fahmy farid p.
--ليس الحرية هي ظواهرها ولكن الحرية هي بواطنها--

Dengan ragam kesadarannya, manusia, sebagai sebuah fenomena, selalu saja menjadi misteri. Kadang kesadaran itu bisa diuraikan ‘secara tidak lugu’ ketika apa yang dipahami menemukan ruang intimnya secara populis, mendapati apa yang sering disebut komunitas dialektis. Tidak jarang kompleksitas pelbagai imajinasi yang bergumul dalam ruang kesendirian menjadi terpinggirkan, bisa jadi karena ia tidak cakap membahasakannya, atau memang itu menjadi sebuah pilihan untuk mengasingkan diri dari sosial. Dualisme semacam ini tentu berkelindan dengan bagaimana manusia memandang ‘realitas’.

‘Realitas’ di sini boleh jadi struktur paling intim dengan manusia sebagai diri. Ia bisa menjadi sedemikian berjarak semerta menemukan ‘kesenangan yang tidak memihak’. Tapi sangat memungkinkan pula untuk menyatu, walaupun dalam kapasitasnya sebagai entitas yang memang selalu, akan, berbeda, dan pasti ada yang terkorbankan. Kenyataan semacam ini tentunya semakin menegaskan bahwa manusia dan realitas adalah wajah sebuah pilihan, dengan aspek ‘keberuntungan’ yang sangat kental, bukan lagi sebatas potret paling lugu yang bisa diabstraksi. Pilihan mengingat keduanya selalu merupakan potensi tak berhingga. Keberuntungan mengingat di-terima-tidak-nya sebuah sikap menjadi sangat enigmatik. Pada titik ini, bagaimana memahami manusia menjadi sedemikian kompleks, bahkan terkadang paradoks.

Bagi saya, ‘realitas’ pada akhirnya dibentuk oleh bagaimana ruang kesendirian manusia mampu diterima secara populis. Ada semacam usaha terus-menerus terkait bagaimana imajinasi diri bisa di-cirta-kan secara bersama, sekaligus bagian dari proses pembentukan ingatan komunal. Hal ini mendapatkan pembenarannya ketika sesiapa menyadari bahwa ‘kebenaran tergantung bagaimana kesadaran membenarkannya’, se-‘naif’ apapun itu. Jika demikian, sikap sebuah komunitas sosial menjadi penanda penting di sini, atau tentang bagaimana menghadirkan cara pandang dari ragam dialektika yang terjadi.

Ketika itu membincang cara pandang, sebagai sebuah kesadaran diskursif, tentu bisa saja dikaitkan dengan terma-terma ‘moralitas’, baik itu menyangkut moralitas kaum pinggiran, yang terpinggirkan, sebagai pemahaman diri yang tidak menemukan komunitas, ataupun moralitas populis. Jika sepakat bahwa manusia bisa didefinisikan sebagai binatang yang ber-moral (hexis), maka manusia –setidaknya- mampu dihadirkan dalam pemaknaan yang lebih humanis, bukan logis dan eksakta. Dalam hal ini, moralitas bisa saja dipahami sebagai sistem tata nilai (etos) yang berkembang dalam tatanan sosial. Moralitas selalu saja menyangkut kesadaran manusia, dalam kerangka baik dan benar, buruk dan salah. Tak ayal, penanda ini telah menjadi saksi sejarah panjang riak-riak fenomena sosial. Bukankah munculnya sejarah peradaban manusia seiring dengan terbentuknya tata nilai. Bukankah masa lalu selalu hadir dengan berbagai alasan, pun mengajarkan banyak hal.

Dengan menyederhanakan kompleksitas yang terjadi dalam liku perjalanannya, moralitas dapat dipahami dalam dua pemaknaan, yaitu etika sebagai cara pandang an sich (al-akhlaq al-nadzhariy), dan etika sebagai laku keseharian (al-akhlaq al-`amaliy). Keduanya mampu terejawantahkan melalui ikatan-ikatan manusia dengan realitas dalam beberapa ikatan tegas, menegas. Pertama, ikatan historis (`alâqah târikhiyyah) yang memandang bahwa agama dan moralitas terbentuk sebagai saksi sejarah peradaban manusia. Kedua, ikatan diri (`alâqah nafsiyyah) yang memandang bahwa keduanya membentuk ke-aku-an (eksistensi) manusia dengan segala tujuan tertentu dan menghasilkan corak prespektif apriori bagi ‘sang aku’. Ketiga, ikatan sosial (`alâqah ijtimâ`iyah), dalam arti keduanya memunculkan sistem aturan untuk memperoleh kebaikan bersama. Keempat, ikatan kognitif (`alâqah mantîqiyyah), yang memandang bahwa keduanya memiliki ketentuan-ketentuan logika formal yang memunculkan pola pikir tertentu. Kelima, ikatan epistemik (`alâqah ma`rîfiyyah), yang memandang bahwa keduanya mencakup premis-premis yang –bisa- diajdikan pijakan dasar pembentuk diskursus dan kesadaran lain. Keenam, ikatan ontologis (`alâqah kiyâniyyah) yang memandang bahwa alasan eksistensi keduanya merupakan kehendak ‘Sang Ada’.

Moralitas, walaupun sering dituduhkan sebagai judisium tanpa refleksi (nir-argumentatif), mengingat pertimbangan (judgment) moral cenderung lebih dekat dengan sentimen ataupun selera, tapi ia tidak bisa dilepaskan dari akal budi. Sehingga, pertimbangan reflektif harus dipahami sebagai pertimbangan yang sejalan dengan kecocokan real dan formal dalam ruang kesadaran bersama, ingatan bersama. Pada akhirnya, kesepakatanlah yang menjadikan moralitas reflektif itu menemukan ruang pembenarannya, tanpa harus melacurkan apa yang sering disebut ruang ideal subjektif

______________________________

Hanya sebuah catatan, atau lebih tepatnya curhat, atas indahnya kebersamaan kawan-kawan sekre NU kemarin malam, mencipta ingatan bersama, mencita idealisme bersama. Suasana itu akan selalu dirindukan, setidaknya bagi penulis pribadi.

-Kamis, 8 Desember 2011-
fahmy farid p.

‘SATU’ tak selamanya baik buat manusia. Bilangan itu terlampau berbatas untuk didaku seluruh umat manusia seutuhnya.


Identitas, bagaimanapun juga selalu memendam muatan enigmatik. Ia sesekali waktu bagai topeng tanpa kerutan tegas-menegas, apalagi relief yang jelas, terkaburkan atau sengaja dikaburkan. Tapi di lain waktu justru bisa menjelma lakon dalam suatu peranan yang menjadikan sesiapa itu dikenal, walaupun senyatanya tak pernah tuntas. Ia adalah entitas yang selalu bergerak, entah maju atau bahkan mundur, sering pula tidak memiliki kejelasan arah yang pasti. Berpijak dari sini, ada semacam muatan-muatan penting dalam sebuah identitas, namun sekaligus memendam problematisnya tersendiri. Sebegitu penting sekaligus problematisnya identitas ini telah menjadikannya patut untuk dibaca secara hati-hati. Karena bagaimanapun juga, bahkan sedari awal, setiap bentuk perjuangan manusia boleh jadi hanya sebatas proses mempertegas identitas belaka, tidak lebih. Dalam hal ini, mula-mula identitas menampak dalam potret yang teramat lugu, lalu sesaat seketika mendadak konyol. Tak heran, banyak catatan sejarah menjadi saksi bisu hadirnya juta angkara atas nama identitas itu, pun akhirnya nyawa hanya seharga ‘AKU’ saja.


Terkait identitas ini, lebih dahulu bisa kita tarik garis analisa secara linear bahwa pada prinsipnya manusia cenderung berkelompok dengan berpijak pada persesuaian prespektif, atau paling tidak hadir semacam kebermungkinan itu. Sebagian besar, dalam bentangan cakrawala sejarah manusia yang biasa kita sebut peradaban, paradigma dasar kelompok itu terbilang eksklusif dalam identitas yang kaku. Di sisi lainnya hadir pula semacam dorongan untuk saling mendominasi, lalu jikapun memungkinkan menyerap cakrawala kebudayaan dalam batas pemaknaan normalitatif yang mampu diabstraksi.


Jelas jikapun demikian, identitas di sini bisa jadi hanya menghadirkan ambivalensi saja. Dalam pengertian yang paling sederhana, tanpa identitas, ke-aku-an takan pernah dikenal. Tapi ketika itu mulai menancap tegas, disadari ataupun tidak, ia justru ‘telah’ memproklamirkan diri sebagai eksistensi yang berbeda. Kemudian bisa jadi yang beda itu semerta harus tersingkir, bahkan acap kali tanpa hormat. Lantas slogan ‘SATU’ menemukan momentum wacananya saat itu juga.


Tapi naïf, cita-cita ‘SATU’ seakan menjadi lebih sering terdengar tanpa bergandeng mesra dengan slogan –dalam konteks Indonesia- ‘BHINEKA’, sehingga hal tersebut lebih terdengar sebatas penanda dengan rongga yang teramat menganga, tak padat. Keanekaragaman –seolah- menjadi tidak penting di sini, namun kepentingan yang justru memainkan peran sentral. Pada titik paling radikal, nilai paradoksial ini justru telah menjadikan identitas manusia terjebak –katakanlah- dalam dimensi ‘limbo’, ruang imajiner tanpa ketegasan yang jelas. Ia tak tahu, tanpa sadar, kenyataan apa yang didepannya. Ada satu keadaan yang –sengaja- dilupakan, dihilangkan, karena ia telah menafikan satu kenyataan penting; ‘SATU’ tak selamanya baik buat manusia. Bilangan itu terlampau berbatas untuk didaku seluruh umat manusia seutuhnya.


Tapi jangan lantas semerta terjustifikasi bahwa ini adalah satu-satunya gagasan besar yang terpotret pada seluruh gagasan peradaban manusia. Dalam arti, ketika slogan ‘SATU’ menjadi sedemikian tereduksi ke dalam tatanan yang paling kaku sebagai sebentuk sketsa hitam-putih saja. Jika ‘dia’ hitam, maka ‘aku’ adalah putih, lantas si hitam hanyalah duri dalam sejarah pun masa depan peradaban manusia. Pada titik paling kejam, potret ini terpetakan dalam usaha perebutan dominasi ideologis di mata publik hingga penguasa. Padahal dari dialektika intra-identitas ini, tak jarang pula sesiapa yang pernah berpijak pada bumi manusia mempunyai gagasan besar lain. Tak sedikit yang memperjuangkan keutuhan ‘SATU’ dengan menggunakan pembacaan menyeluruh terkait konsep manusia seutuhnya. Mereka cenderung mendudukan ‘SATU’ tidak pada sketsa hitam-putih yang notabene hanya sebatas problem dimensional saja. Tapi lebih pada bagaimana keragaman entitas yang membentuk identitas tersendiri, sebagai buah eksklusifitas terkait fenomena ‘SATU’ itu, berkumpul-lebur dalam satu wadah gagasan universal, sebuah kesatuan yang utuh nan inklusif. Dengan cara pandang inklusif ini, tiap riak eksklusifitas menjadi terangkul. Tegasnya, mendudukan gagasan tersebut pada tatanan proporsional yang paling mampu diabstraksi manusia, sebagai sebuah fenomena lainnya, fenomena ‘Bhineka Tunggal Ika’, dengan sebenar-benarnya, tanpa kamuflase.


***


Bagi penulis, Bhineka Tunggal Ika, sebagai sebuah prinsip, bahkan ideologi, telah menjadi identitas paten di bumi pertiwi. Kemudian dalam hal ini, ada nilai-nilai yang senafas dengan gagasan kebinekaan itu, prinsip moderatisme. Dengan cara pandang seperti ini, perbedaan tidak lagi didudukan sebagai lahan konflik, tapi justru menerimanya sebagai sebuah kenyataan hidup. Walaupun nyatanya sejauh ini baru terimplementasikan dalam lokus teori dan belum pada tatanan aksi yang utuh, namun prinsip ini sejatinya bisa dijadikan weltanschauung (cara pandang) terkait problem laten identitas.


Tapi sebelum masuk pada tatanan konstruk identitas masyarakat moderat itu sendiri, ada beberapa hal yang perlu dibaca secara hati-hati. Bagi penulis, hal ini menjadi sedemikian klise mengingat –diakui atau tidak- terminologi moderatisme senyatanya menyimpan sisi-sisi problematis yang acap kali tak terbaca, baik dari tipologi paradigmatiknya maupun pemegang otoritas yang berhak menentukan bentuk tegasnya. Dalam arti, semenjak di mula, konstruk moderatisme tidak memiliki batas garis demarkasi yang jelas. Hadir semacam pemaknaan yang kabur, mengabur. Lain pada itu, problem otoritas menjadi penanda krusial di sini. Maka di akhir cerita, setiap per satu entitas manusia akan tidak selalu sama dalam memaknai moderatisme tersebut. Hadir semacam kebermungkinan yang luas terkait pemaknaannya, atau jangan-jangan moderatisme hanyalah sebatas ilusi metafisikal dan cenderung mengarah pada gagasan imajiner saja?


Pertimbangan penulis –sebagaimana di singgung sebelumnya, ketika sesiapa sudah menentukan sikapnya, ia justru telah memproklamirkan diri sebagai eksistensi yang berbeda. Karena bagaimanapun juga muncul sebuah sikap di sana, sebagai konsekwensi logis dari proses memilih identitas. Dan saat pemilihan itu terjadi, maka saat itu juga sesiapa telah menegaskan keberpihakannya, baik itu ke kanan atau ke kiri, ke depan atau ke belakang. Ini akan sama halnya dengan kasus yang terjadi ketika dihadapkan pada beberapa identitas lain, seperti identitas fundamentalisme, liberalisme, terorisme, [K]iri, [K]anan atau lainnya. Bukankah ini bisa jadi hanya semacam stigma bahasa yang mengakar tanpa konsepsi yang jelas. Sederhananya, paradigma ini muncul hanya dari pendakuan-pendakuan semata, bahkan tanpa kejelasan siapa yang berhak menentukan bentuk konsepsinya kecuali hanya kesepakatan-kesepakatan yang terlegalkan. Tak ayal, moderatisme tak bisa semerta kita maknai secara eksistensialis nan lugu, tapi harus didudukan pada batas abstraksi yang relevan dengan konteksnya, sebuah konteks yang membatasi pemaknaannya, sebuah aktualita.


Untuk itu, sebagai langkah awal, penulis akan melakukan analisa dari pengertiannya terlebih dahulu untuk mempersempit batas abstraksinya. Moderat, dalam KBBI mengandung arti selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem. Pengertian lainnya adalah berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah pandangannya (cukup mau mempertimbangkan pandangan pihak lain). Padanannya dalam bahasa Arab berarti wasath (tengah). Dalam kamus Lisan Al-`Arab, kata ini dimaknai mâ baina tharfaih (sesuatu yang berada di antara dua hal). Sedangkan beberapa literatur tafsir klasik maupun kontemporer, seperti tafsir Ibn Katsir ataupun tafsir Al-Wasith, memaknai wasath, seperti yang tertera dalam surat Al-Baqarah: 143, dengan khiyâr (pilihan) dan `udûl (adil). Lantas jika kita tarik pemaknaannya lebih ke dalam konteks sosial, ini menjadi sebentuk paradigma yang mengedepankan kemaslahatan bersama dalam bingkai perbedaan yang harmoni.


Jika demikian pemaknaannya, moderatisme, sebagai sebuah identitas sejatinya telah tumbuh-terkembang dan mengakar di nafas tradisi bumi pertiwi. Semenjak masa nenek moyang, budaya tepo seliro, handap asor, someah, dan berbagai karakteristik prilaku bangsa Indonesia telah menjadi ‘penanda kultural’. Hal tersebut tegas terlacak dalam jejak kesadaran salah satu wadah organisasi di Nusantara, Nahdlatul Ulama (NU), dengan prinsip moderatisme sebagai salah satu gagasan pentingnya. Moderatisme ala NU seyogyanya menjelma mainstream paradigmatik yang dimunculkan melalui gerakan-gerakan kultural, yaitu dengan menghindari cara-cara kekerasan, mengupayakan harmonisasi tiap paradigma, pendekatan-pendekatan persuasif, hingga membangun dimensi solidaritas secara total. Ada semacam kecenderungan paradikmatik di sini yang me-laten dan berelasi tegas dengan gagasan toleransi, inkusifitas serta prinsip-prinsip ke-bhineka-an, lantas menjadikan pluralitas sebagai potret realitas manusia yang tidak mungkin dibantah.


Maka dalam hal ini, NU menjadi salah satu percontohan yang unik sekaligus kontekstual di Indonesia dibalik berjubelnya organisasi sosial-kemasyarakatan yang bergerak di lahan yang sama, dengan pembasisan gagasan yang sama pula, walaupun dalam bentuk yang –bisa jadi- berbeda. Terbilang unik mengingat gagasan moderatisme ala NU selalu berpijak pada akar tradisi peradaban Indonesia sebagai potret masyarakat multi-kultural, dengan tidak menafikan keberagaman tersebut. Kontekstual mengingat gagasan-gagasan yang di usung NU tidak mengenal kecenderungan kolonialistik atau semacam dorongan untuk saling mendominasi. Walaupun secara internal NU membuat koridor yang membatasi ruang gerak anggotanya, koridor ahl al-sunnah wa al-jamâ`ah, tapi keragaman yang hadir di bumi Nusantara tetap dijaga sebagai sebuah realitas manusiawi. Maka jangan heran kalau NU memainkan peranan penting dalam menjaga keutuhan NKRI. Salah satu momentumnya terjadi pada Muktamar di Situbondo tahun 1984 ketika NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal yang final.


Hanya saja, cita-cita moderatisme ala NU atau organisasi sejenis yang memiliki sayap paradigma yang hampir sama, saat ini dihadapkan pada tantangan yang cukup serius nan pelik. Yaitu mereka yang cenderung berpikiran uthopianis. Yaitu mereka yang menginginkan ‘SATU’ seperti apa yang dipahaminya saja, ‘SATU’ yang hitam-putih. Cara-cara yang digunakannya (baik ideologi ataupun aksi) juga terkesan dogmatis, kalau perlu menggunakan kekerasan untuk meluluskan pandangannya, radikalistis. Yang lebih mengherankan, mereka menamai aksi-aksinya sebagai sesuatu yang sesuai dengan nilai-nilai kultural, kepantasan, bahkan –bila perlu- membawa-bawa agama sebagai pembenarannya. Jika demikian, maka disintegrasi NKRI hanya tinggal menunggu waktu. Dan yang pasti bagi penulis, cita-cita identitas ‘SATU’ yang hitam-putih itu lebih terdengar ungkapan emosional dari para uthopianis. Mereka membangun sebuah manifesto yang terbilang ‘tak bias realitas’, baik muncul akibat imajinasi uthopis itu sendiri, atau hanya dengan meraba-raba masa silam, lalu dihadirkanlah kepingan kesadaran nostaligik belaka, tanpa sadar bahwa kenyataan tak selamanya manis, namun acap kali pahit. Lantas?


Oke, kita katakan bahwa apa yang telah dipaparkan sebelumnya –bisa jadi- hanyalah salah satu pemaknaan moderatisme ala NU, lantas tidak semerta menutup kemungkinan dipahami secara bebeda oleh kalangan Nahdliyyin itu sendiri atau lainya. Hanya saja harus ada koridor yang membatasi moderatisme Nusantara di sini agar tidak terjadi penggelembungan. Maka harus muncul sebuah pemahaman terlebih dahulu bahwa kebenaran sosial ‘terserak’ dimana ia berkembang, dalam batas artikulasi yang pantas. Ia bukan logika hitam-putih, terlebih kalkulus. Ia harusnya jejak kesadaran yang berkesinambungan, menapaki apa yang sering disebut jejak bersama. Karena memahami ‘SATU’ pada titik yang tak bisa diabstraksi kembali, tentunya sebatas tentang apa yang ‘diimani’. Namun pada dimensi tertentu, ‘SATU’ menjadi potret ujaran tanpa batas, abstraksi tiada henti. Tak ada otoritas apapun yang mampu membelenggu artikulasinya, bukan logika, apalagi dogma. Lalu, akan terbilang arogan bilamana memaknai kesadaran manusia dengan eksakta, tanpa negosiasi, hanya sebatas dogma. Maka dalam hal ini, tradisi yang dibangun semenjak dahulu oleh nenek moyang Nusantara memainkan peranannya.


Untuk itu, moderatisme Indonesia, NU khususnya, jangan sampai tersesatkan menjadi lahan baku hantam identitas, terperangkap dalam ruang limbo. Meminjam prespektif Hasan Hanafi saat Simposium Lakpesdam lalu bahwa istilah-istilah yang profokatif, justifikatif dan cenderung menyudutkan beberapa kelompok sepantasnya dihindari, mengingat sejatinya realitas adalah sebuah sikap itu sendiri (al-wâqi` huwa al-tatharruf). Justru rongga-rongga kesadaran yang tak tuntas akibat keterjebakan manusia pada laju khayal tentang ‘SATU’ sejatinya bisa terpadatkan oleh sebuah sikap bijak yang mampu menerima kenyataan tentang keanekaragaman, bahkan –meminjam istilah Pram- sejak dalam pikiran. Karena rongga itu senantiasa siap untuk dimasuki ‘BHINEKA’, kapan saja dan tanpa pamrih. Sederhananya, jalan manusia memang –akan selalu- beda, tapi akan ada masa dimana ‘sesegala’ akan kembali di titik yang sama.

fahmy farid p.

‘Just as interpretation is grounded in understanding, so assertions is grounded in interpretation’

[ Stephen Mulhall ]


Implikasi dari Pernyataan Stephen Mulhall di atas ketika membincang Being and Time milik Heidegger boleh jadi cukup serius terhadap filsafat. Walaupun demikian, harus dipahami terlebih dahulu bahwa gugatan yang ditujukan pada filsafat bukan tentang inkonsistensi logika, premis-premis yang kurang meyakinkan atau bahkan lemahnya argumen, tapi justru aktifitas berfilsafat itu sendiri. Dalam arti, sebuah pernyataan –katakanlah filososfis- selalu didasarkan pada bagaimana sesiapa mengartikulasikan sebuah teks, lantas artikulasi itu sendiri sangat dipengaruhi bagaimana sesiapa memahami teks. Tak ayal, Ada yang tergugat sekaligus terjadi pengalihan isu yang sangat sentral. Dalam hal ini, kemunculan post-modernisme telah menjadi simbol tumbangnya filsafat, dengan menjadikan keragaman rasionalitas dalam permainan-permainan bahasa sebagai inti tak terbantahkan (undeniable core) yang notabene akan memporak-porandakan bangunan epistemologi itu sendiri.


Meminjam analisa Bambang Sugiharto, jika dilacak agak lebih ke dalam terkait aktifitas berfilsafat, tentunya ini selalu berkelindan dengan ‘tulisan’. Dalam arti, sebagai ungkapan yang menjadi materi dalam bentuk ‘tulisan’, filsafat sama sekali tidak pernah merupakan ungkapan paling transparan dari sebuah pemikiran langsung. Pernyataan filosofis selalu mewujud dalam sistem tanda (simbol), baik berupa grafik (tinta) maupun fonik (bunyi). Konsekuensi teoritis semacam ini akan menggiring pada sebuah kenyataan bahwa kemampuan filsafat untuk menguraikan (membuat kalim) setiap kenyataan yang melampaui partikularitas bahasa harus dipertanyakan ulang. Karena pada akhirnya pernyataan filosofis yang hadir sangat bergantung pada sistem makna yang berlaku dalam satu komunitas pengguna sistem tanda tertentu. Pada titk ini, kebenaran menjadi semacam kesepakatan-kesepakatan bersama (inter-subjectivity), dengan menggunakan simbol tertentu pula. Jadi bagaimana kesepakatan itu kemudian diungkapkan dalam bentuk material akan sangat ditentukan oleh beragam kehidupan yang mendasarinya, sehingga rasionalitas tidak lagi bisa disebut bersifat universal dan absolutistik, tapi lebih pada perangkat temporal dan lokal saja.


Lain pada itu, jika memang filsafat itu selalu terkait dengan kebenaran, maka tentunya memerlukan perangkat tertentu yang bisa melacak dasar-dasar dan batas-batas yang mengantarkan pada proses identifikasi pengetahuan itu sendiri. Maka epistemologi menjadi perangkat filsafat yang sangat penting. Hanya saja, pemahaman semacam ini justru akan menjauhkan manusia dari realitasnya, dengan menjadikan kebenaran sebagai objek yang senantiasa dianalisa oleh subjek (manusia). Padahal –meminjam analisa Heidegger, yang memungkinkan sesiapa merepresentasikan realitas secara utuh justru harus berangkat dari sebuah kenyataan paling dasar bahwa manusia –sedari awal- sudah selalu menjadi bagian realitas itu sendiri. Pada titik tersebut, manusia sejatinya tidak pernah sedemikian berjarak apalagi terlepas dari realitasnya, karena setiap reprersentasi realitas yang muncul selalu didasarkan pada bagaimana pergaulan awal seseorang dengan dunia. Sehingga dualisme subjek-objek justru menjadi tidak penting di sini, semerta membuat keseluruhan posisi epistemologi porak-poranda atau setidaknya goyah. Walaupun demikian, pergaulan ini sejatinya tidak pernah terartikulasikan secara utuh. Maka persoalannya klini bukan lagi tentang epistemologi, tapi lebih pada bahasa (linguistic turn).


Semenjak dahulu, bahasa sudah menjadi sorotan penting terutama jika dikaitkan pada peradaban Islam yang notabene sangat berkaitan dengan teks keagamaan. Dalam arti bagaimana ungkapan Tuhan yang imateri (bilâ harf wa lâ shaut) kemudian hadir dihadapan manusia sebagai sesuatu yang mewujud dalam sistem tanda (bahasa-simbol, fonik maupun grafik). Simbol-simbol tersebut tentunya bukan sesuatu yang muncul dari ruang hampa menuju ruang hampa lain, tapi memiliki makna (dilâlah/significance). Makna ini sendiri memerlukan mekanisme untuk bisa dipahami manusia yang sangat berkelindan dengan bagaimana bahasa mewujud dalam sistem sosial.


Jika merujuk pada pendedahan Fakhruddin Al-Razi dalam Al-Mahsûl, beberapa ulama Islam memiliki mekanisme yang berbeda terkait sistem tanda (dalam hal ini kata). Tersebutkan Abbad ibn Sulaiman Al-Shaimuriy lebih melihat persoalan significance ini sebagai entitas yang menunjukan sesuatu dengan sendirinya (li dzâtih), atau katakanlah apriori di sini. Maksudnya, pemaknaan sebuah kata sama sekali tidak bersinggungan dengan pengalaman indrawi, tapi mengacu pada makna yang niscaya, pasti ataupun benar secara universal. Hanya saja perspektif demikian teramat problematis mengingat banyak ditemukan perbedaan mencolok terkait pemaknaan sebuah kata, sebanyak perbedaan cara pandang ataupun peradaban itu sendiri.


Dalam perspektif Asy`ariyah dan Ibn Furak ataupun Abu Hasyim Al-Jubai, significance justru lebih dipahami sebagai entitas yang dimunculkan melalui tangkapan-tangkapan realitas yang mendasarinya (bi al-wadl`i). Hanya saja, Asy`ariyah dan Ibn Furak melihat fenomena tersebut bersifat sesuatu yang sangat bergantung dengan bagaimana –dalam hal ini- Tuhan memaknai kata tersebut (tauqîfiy-interdependence). Meminjam pengistilahan Al-Ghazali, mekanisme semacam ini tentang bagaimana mencari makna kata menggunakan teks wahyu (bi al-naql). Artinya, intervensi manusia terhadap pemaknaan sebuah kata sama sekali terabaikan. Mereka berpijak pada kenyataan penting bahwa Tuhan mengajarkan Nabi Adam as. tentang semua nama-nama benda, sebagaimana dipaparkan dalam surat Al-Baqarah ayat 31. Sedangkan bagi Al-Jubai, significance justru lebih pada bagaimana manusia memaknainya yang didasarkan pada bagaimana manusia melakukan pencerapan fenomena kesehariannya kemudian dibahasakan (ishthilâhiy), atau sebagaimana dikatakan Al-Ghazali sebagai pemaknaan kata yang menggunakan mekanisme penalaran (bi al-`aql). Al-Jubai berpijak pada surat Ibrahim ayat 4 yang menjelaskan bahwa Tuhan mengutus setiap rasul menggunakan bahasa kaumnya. Perbedaan antara keduanya ini kemudian melahirkan semacam perspektif yang memandang bahwa sebagian kata bersifat ishthilâhiy dan sebagian lainnya tauqîfiy. Walaupun demikian, poin penting di sini bahwa bahasa semakin menegaskan posisinya sebagai perangkat yang mengantarkan pada pemahaman realitras.


Jika memang bahasa tersebut menjadi sebuah perangkat aktif dalam menghadirkan realitas, maka adagium ‘just as interpretation is grounded in understanding, so assertions is grounded in interpretation’ semakin menemukan momentumnya. Tak ayal, relasi manusia dengan bahasa menjadi kunci analisa untuk menyingkan ‘kebenaran’. Dalam arti, sejauh mana bahasa mampu mengartikuklasikan pengalaman hingga ke titik paling partikularnya? Untuk menguraikannya kekaburan relasi ini, penulis mencoba membidik dari bagaimana sebuah klaim itu mewujud.


Sebuah klaim kebenaran tentunya berkelindan dengan apa yang dinamakan assertion (penryataan tegas). Assertions sendiri merupakan pengungkapan postulat-postulat yang mengarah pada pencarian kebenaran yang berpijak pada realitas. Hanya saja postulat-postulat tersebut untuk bisa dikategorikan benar-salah memerlukan semacam penelusuran terma-terma yang berkaitan dengan postulat itu terlebih dahulu. Misalkan, seseorang membuat sebuah pernyataan bahwa ‘lukisan di dinding itu miring’. Maka terma ‘lukisan’, ‘dinding’, dan ‘miring’ menjadi kata kunci untuk memahami pernyataan tersebut. Lebih dari itu, sesiapa juga harus memahami dengan hati-hati terkait benar-salahnya pernyataan tersebut jika dikaitkan dengan realitas. Untuk itu, assertions bukan lagi hanya tentang artikulasi kebahasaan, tapi juga artikulasi realitas. Mengapa bisa demikian?


Dalam menjawabnya, penyelidikan sisi kebahasaan menjadi isu sentral di sini. Memang, pernyataan yang terbahasakan, atau katakanlah menjadi simbol, menjadi kunci utama yang merelasikannya dengan realitas. Tapi penanda (significance) ini ditetapkan melalui kesepakatan-kesepakatan mekanisme sistem tanda yang mengatur penggunaannya. Misalkan dalam komunitas tertentu sebuah cairan yang mempunyai komposisi H2O dinamakan dengan air. Adanya pernyataan ini bukan berarti menutup kemungkinan adanya entitas lain yang tersusun dari komposisi semacam itu. Artinya, pengungkapan air dengan H2O ini hanya sebatas permainan bahasa saja, bukan menyingkap kebenarannya dalam realitas. Tah ayal, ia hanya dipahami bagi komunitas yang menyepakati pernyataan tersebut saja, tidak bagi yang lain. Sehingga, bahasa di sini hanya mempunyai fungsi deskriptif saja, bukan sebagai pemotret realitas secara utuh. Bahasa di sini hanya sebatas cara manusia untuk memahami apa yang dinamakan ‘kenyataan’. Pada akhirnya, keragaman realitas manusia menjadi sulit untuk dibahasakan secara universal dan absolutistik, tapi lebih pada perangkat temporal dan lokal saja.


Tagammu` Awwal, 2 November 2011 (12:37 am)

fahmy farid p.

Ah, sungguh malam yang begitu tenang. Angan-pun melayang pada sesuatu yang selama ini mengganjal, tentang bagaimana mengoyak paradigma keberagamaan yang terbilang arogan; ‘strata agama telah diposisikan lebih tinggi dari budaya’. Pijakan semacam ini berdampak jelas pada matinya dialektika manusia itu sendiri. Baiknya, agama diposisikan sejajar dengan budaya. Bukankah agama merasuk dalam tatanan sosial melalui proses keseharian kultural!?. Pada titik ini, keduanya saling melengkapi, dimana agama memerankan fungsinya sebagai kontrol sosial agar tidak ‘liar’, dan budaya sebagai kontrol agama supaya dinamis, bukan statis apalagi anarkis. Mungkin pen-sejajar-an ini sama arogannya dengan melakukan pen-strata-an. Untuk itu penulis kira perlu semacam penelusuran sangat sederhana di sini, setidaknya agar malam nan tenang ini menjadi tidak sia-sia.


Jika mengamati proses bagaimana manusia menegaskan identitas, maka tak bisa semerta dilepaskan dari apa yang sering disebut dialektika. Pemahaman ini berpijak pada satu kenyataan penting bahwa manusia (individu) adalah bagian tak terpisahkan dari entitas-entitas pembentuk masyarakat, atau meminjam perspektif Ibn Khaldun kalaulah watak dasar manusia selalu berkelompok (madaniy/civilis). Kecenderungan berkelompok ini erat kaitannya dengan persesuaian prespektif, atau paling tidak hadir semacam kebermungkinan itu. Dengan demikian, ada semacam inter-subjektivity atau katakanlah pergulatan ragam kesadaran yang hadir dalam batas kultur dimana sesiapa tumbuh-kembang, untuk kemudian membangun kebersamaan di sana. Sehingga manusia pada prinsipnya tidak sedang menghidangkan kesadaran indivual untuk dirinya sendiri, tapi juga akan melibatkan masyarakat secara luas, semerta berelasi dalam bingkai tradisi. Maka, seorang manusia boleh jadi belum memahami hidup secara utuh kecuali ia melibatkan dirinya secara intim dalam konstruk sosial. Ia dituntut membumikan kesadarannya dalam ruang-ruang publik. Pada titik ini, budaya menjelma medium untuk merelasikan kesadaran bersama itu.


Budaya itu sendiri merupakan fenomena sosial yang kompleks, dinamis sekaligus mempesona. Kompleks mengingat ada keragaman tanpa batas di sana. Dinamis karena budaya merupakan entitas yang selalu bergerak, entah maju atau bahkan mundur, sering pula tidak memiliki kejelasan arah yang pasti. Mempesona mempertimbangkan budaya adalah bahasa peradaban yang bisa membantu sesiapa mengerti masa lalunya. Tak ayal, budaya –bisa jadi- tidak memiliki batas demarkasi pemaknaan yang ajeg, kecuali hanya sebatas fenomena-fenomena yang terbahasakan, kemudian dikonsensuskan dalam batas kulturnya. Dalam arti, pada titik tertentu pengejawantahan terma budaya secara diskursif senantiasa mengalami pergeseran-pergeseran epistemologis, atau semacam tarik-ulur paradigmatik disetiap masa.


Pergeseran ini sendiri terbilang sesuatu yang logis mengingat setiap kata –bagaimanapun juga- selalu menyembunyikan konteks keterbentukannya dalam ikatan yang tegas. Keterikatan kata dengan konteks ini dengan sendirinya telah menunjukan bahwa setiap interpretasi selalu melibatkan berbagai kemungkinan pemaknaannya yang luas. Pemaknaannya akan sangat dipengaruhi olah kesadaran komunal di masanya, sehingga tiap peradaban tentu memiliki artikulasinya masing-masing di sini. Untuk itu, penulis bukan hendak melakukan pendefinisian budaya di sini, tapi –setidaknya- mencoba membatasi ruang lingkupnya dengan mengidentifikasi lebih lanjut cakupan paradigmatik budaya itu sendiri. Yaitu tentang bagaimana ke-tidak-terbatas-an pengalaman nyata untuk selalu direfleksikan secara beragam, membentuk masyarakat yang ber-kebudayaan itu sendiri.


Katakanlah budaya di sini adalah bentukan dialektika manusia dengan lingkungannya. Manusia melakukan pencerapan-pencerapan beragam fenomena, kemudian diolah sedemikian rupa hingga terbentuk semacam sistem prilaku, kepercayaan, adat-istiadat, nilai, kesenian dan berbagai kesepakatan-kesepakatan sosial lainnya. Relasi seperti ini meniscayakan sebuah pola komunikasi berbasiskan al-tatsîr wa al-taatsûr (saling mempengaruhi). Dalam arti, disatu sisi budaya membentuk identitas manusia, lain sisi kesadaran mereka mempengaruhi budaya itu sendiri. Hadir semacam ruang-ruang terbuka yang memungkinkan terjadinya peleburan paradigma di sini.


Proses peleburan itu sendiri memiliki beberapa karakter. Bisa dengan melakukan penjajaran identitas kemudian menghadirkan potret relasinya yang berkesinambungan. Relasi tersebut semerta menghadirkan kenyamanan melalui relasi-relasi harmoni. Bisa juga dengan memunculkan sesuatu kreatifitas dari ruang-ruang fantasi. Namun yang pasti, proses ini selalu tentang bagaimana identitas mewujud, bersalin rupa, berefleksi untuk kemudian mengikatkan diri pada jejaring epistema yang luas dalam bingkai sebuah kebudayaan. Maka sejauh ini selalu ada celah yang bisa dimasuki proses dialektika itu, mengisi apa-apa yang belum padat dari konstruk sosial. Lantas pada titik inilah agama menjadi sesuatu yang penting untuk dicermati secara ketat dan hati-hati. Atau bahasakanlah ada celah menganga ketika budaya ‘mungkin’ bisa didialektikakan dengan agama, saling mengisi rongga-rongga yang menganga, memadatkan apa yang dinamakan identitas.


Sadar diri bahwa baik agama manupun budaya memiliki rongga menganga ini berpijak pada kenyataan krusial bahwa teks Wahyu tidak bisa meng-cover ragam fenomena keseharian manusia hingga bentuknya yang paling partikular. Hal ini bahkan jauh hari telah ditegaskan ulama semisal Ibn Miskawaih dalam Al-Hawâmil wa Al-Syawâmil hingga Al-Ghazali dalam Fadlâih Al-Bâthiniyyah. Namun jangan dipahami bahwa keterbatasan teks Wahyu ini semerta menciutkan atau bahkan menghilangkan sifat dasarnya yang sakral itu. Karena jika kita pinjam analisa filsafat bahasa, keterbatasan bahasa dalam mengartikulasikan ragam fenomena manusia mempertimbangkan pengalaman nyata selalu lebih luas, lebih dalam dan lebih rumit dari sekedar apa yang terbahasakan. Tak ayal, fenomena yang terbahasakan pada dasarnya sedang mengalami semacam penciutan pengalaman. Bahasa sepenuhnya kesulitan memotret keragaman itu dalam bentuk yang paling utuh, atau bahkan memang tidak bisa.


Mungkin sesiapa akan merasa terbatasi oleh penegasan Al-Qur`an terkait kesempurnaan agama, semerta ia dipahami se-kaku mungkin. Dalam surat Al-Maidah ayat 3 dijelaskan bahwa; ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu’. Ayat ini dipahami seolah menunjukan tidak ada celah yang bisa dimasuki budaya untuk mengartikulasikan agama secara lebih kultural. Padahal kesempurnaan di sini –sebagaimana dipaparkan dalam beberapa literatur tafsir klasik- lebih dimaksudkan demikian jika memang dibidik dari pemaparan kaidah-kaidah umum, baik menyangkut akidah, nilai ataupun ketetapan-ketetapan hukum. Sedangkan bagaimana agama dipahami dalam potret partikularnya justru lebih dekat dengan interpretasi manusia yang berkelindan dengan pola hidup kesehariannya. Maka penegasan ini sebaiknya diartikan sebagai koridor yang membatasi ruang gerak keberagamaan, koridor Al-Qur`an dan Hadits. Sehingga tiap keragaman yang hadir dari bagaimana sesiapa mengartikulasikannya tetap dijaga sebagai sebuah realitas, atau semacam keniscayaan manusiawi.


Jadi walaupun agama –katakanlah- merupakan sesuatu diluar kesadaran indrawi, namun ketika dipahami oleh manusia agama harus didudukan dalam sistem kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam arti, pijakan paradigmatik keduanya yang menjadikan agama akan selalu berbeda dengan budaya, tapi proyeksi ke-beragama-an inilah yang selalu memunculkan keragaman interpretasi. Karena agama, sebagai sesuatu yang –katakanlah- ‘asing’, diluar sistem sosial dan adat-istiadat, sering mengadopsi tradisi dan kebiasaan yang sudah ada, agar perpindahan agama tidak terlalu mengagetkan (shock culture). Dan penulis kira, pendekatan kultural semacam inilah yang menjadikan Islam perlahan-lahan diterima di komunitasnya. Untuk itu, sesiapa harus cermat dalam memilah dan memilih antara nilai agama yang ajeg (al-tsâbit) dan nilai yang senantiasa berdialektika, berubah (al-mutaghayyir).


Memang, untuk melakukan identifikasi antara yang ajeg dengan sesuatu yang senantiasa berubah menjadi penting di sini. Namun bagi penulis, keduanya tidak bisa dibatasi dengan tipologi yang tegas, mengingat keduanya sangat berkelindan dengan bagaimana sesiapa memahami teks keagamaan. Dalam hal ini pernyataan Stephen Mulhall menjadi menarik bahwa; ‘just as interpretation is grounded in understanding, so assertions is grounded in interpretation’. Dalam arti, sebuah pernyataan selalu didasarkan pada bagaimana sesiapa mengartikulasikan sebuah teks, lantas artikulasi itu sendiri sangat dipengaruhi sesiapa memahami teks. Tak ayal, penegasan yang kaku menjadi tidak menemukan pembenarannya di sini.


Asumsi penulis, justru pada titik inilah nampak semacam celah dimana budaya masuk dalam nilai-nilai agama, memotret manusia dalam bentuk yang paling beragam, paling partikular. Dalam arti, teks yang terbatas ini menghadirkan semacam peluang untuk menguisi apa-apa yang belum padat dari pencerapan realitas melalui proses ijtihâd. Dan selama manusia memiliki imajinasi, fenomena akan selalu berubah dan bagaimana memaknai agama juga tidak akan pernah ajeg. Akhirnya, tunggalitas interpretasi menjadi tidak penting, dan pluraitas menjelma tak terbantahkan.


Tagammu; 25 Oktober 2011 (01:40 pm)

fahmy farid p.

Veronica sayang, malam lalu kita –setidaknya, katakanlah- berhasil mengidentifikasi apa itu authentic dan mana yanginauthentic. Walaupun dunia keduanya beda, tidak bisa saling bertemu-padu, tapi bisa saja kita munculkan imajinasi seolah tiada spasi yang memisahkan, pun tetap dalam perbedaannya. Ia justru berelasi, berjejaring, membentuk satu ikatan menegas yang berkesinambungan. Karena pada titik ini kita tidak lagi ‘membacanya dari luar’ yang penuh dengan prejudis naif, terlebih dogmatik. Tapi meresapinya dari dalam, terlibat intim dengan sandiwara kesadaran sebagai yang menjadi ‘ada’ itu, sebagai bagian dari proyeksinya.


Veronica, lantas jika memang benar ontic itu tak lain yang authentic dan kita ingin memahaminya sebagai sebuah kebermungkinan yang tak berbatas, lantas yang meng-‘ada’ itu inauthentic dan kita ingin mengenalnya sebagai keberagaman entitas yang berakar dari esensi yang sama, tanpa tercampuri dengan prejudis-prejudis dan dogma-dogma yang telah tersimbolkan dalam sebuah institusi, maka biarkanlah ia mengenalkan dirinya sendiri. Dan tentang yang inauthentic, janganlah kita kaburkan pemaknaannya dengan sesuatu yang justru semakin menjauhkan dia dari habitat asalnya. Sebisa mungkin jangan kita tegaskan menggunakan prasangka apapun, tapi mari kita duduk mesra saja, semerta menjadi pemerhati yang bijak.


Veronica, memang benar ontic sama sekali tidak punya ikatan apapun dengan ‘waktu’, sehingga sangat pantas kalau kita juluki dia dengan si authentic. Namun setelah ontic melakukan semacam proyeksi, dan kita sadar bahwa semua berelasi dengan apa yang sering kita sebut ‘waktu’, lantas kita memposisikan diri sebagai pemerhati yang bijak itu, maka saat itu ontic telah melibatkan dirinya di dalam jaringan terkait bagaimana ia mendefinisikan dirinya sendiri, dengan menggunakan kesadaran apapun proyeksi itu terbaca dan dibaca. Ketika itu terjadi, kebermungkinan yang kita bicarakan di awal menjadi terkunci. Pada akhirnya apa yang meng-‘ada’ telah menjelma fenomena, bukan lagi apa yang sering disebut Kant sebagai noumena. Dan kau tahu sayang, dalam membaca fenomena, kita butuh semacam metode agar tidak semakin tersesatkan dengan keberagamannya, butuh fenomenologi.


Tapi Veronica, mungkin malam ini terakhir kita bermimpi bersama. Maafkan jika sejenak aku mau bergelut dengan dunia lain. Tapi suatu waktu aku akan kembali bercumbu mesra denganmu, berimajinasi lagi bersama dalam dunia yang lebih syahdu. Walaupun sering kali imajinasiku ngawur, tapi aku cukup bahagia bersamamu. Saya akan merindukanmu sayang.

fahmy farid p.

Veronica sayang, bagaimana jika malam ini kita lanjutkan imajinasi kita. Toh tak ada ruginya kan. Malam lalu kita sepakat akan membiarkan ontic menari-nari intim dalam dimensinya sendiri sebagai semesta yang ‘ada’, lalu ditarik perlahan menuju batas ‘waktu’ dimana sesiapa sadar diri. Dan melalui penjajaran-penjajaran entitas nyata dalam keseharian kita, menegaskan apa yang di mula kita sebut sebagai potret kebermungkinan, ontic menjelma beings. Ia bukan lagi tentangDasein, atau tentang being of beings, tapi ini tentang beings.


Mungkin melalui penjajaran-penjajaran entitas ini, kamu bisa paham apa itu beda, bahwa kita ‘ada’, semua, memusat pada esensi yang sama, sebagai manifesto nyata dari ontic itu. Pada titik ini, identifikasi onologis menjadi sesuatu yang mungkin menjamahnya, karena toh ia sudah melibatkan dirinya dengan ‘waktu’. Tapi Veronica, kita butuh pijakan pertama untuk setidaknya mengungkapkan, misteri yang selama ini sangat spekulatif, atau bisa dikatakan terkesan dogmatik berbau holistik; entitas yang merelasikan antara ontic dengan spatio-tempora. Atau setidaknya kita bahasakan ‘menguraikan ontic dalam dimensi tempora’.


Veronica, sebelum kau menjadi ‘gila’, kau harus mengerti terlebih dahulu kalaulah ontic sebagai sesuatu yang meng-‘ada’, nyata, terbungkus satu, menyatu, oleh apa yang Heidegger sebut ‘care’. Dengan ‘care’ ini, semesta di rawat sedemikian rupa sehingga apa yang 'menjadi' selalu didaku berasal dari akar yang sama, apapun itu bentuknya. Dan apa yang kita sebut sebagai kebermungkinan yang lusa dalam dimensi ontic, menemukan relasinya dengan dimensi aktualita, menegaskan keber-‘ada’-an dirinya.


Tapi harus juga dipahami sayang, bahwa yang satu adalah authentic, lantas lainnya inauthentic. Atau sederhananya aktualita hanyalah sebatas manifesto, imitasi atau apapun namanya itu. Karenaauthentic, ketika kita tarik ke garis yang tidak terikat ‘waktu’, ia hanyalah kebermungkinan itu, ia hanyalah ontic, sebatas Dasein. Ia bisa memilih dirinya sendiri, bisa saja menjadi ada, mungkin juga semerta tiada. Bolehlah juga kalau kita namakan imajinasi. Sedangkan aktualita, tidak seperti itu. Ia telah memilih, jatuh hati kepada bentuk yang imitasi.


Veronica sayang, sebelum kita benar-benar menjadi gila, baiknya kita bobo dulu aja. Selamat bermimpi sayang!

fahmy farid p.

Ah, jika saja Veronica tahu kalau kita ‘ada’, semua, berasal dari esensi yang sama, tentu tak akan searogan itu menyikapinya. Ataukah dia belum sadar kalau ini hanya tentang ‘waktu’ saja, dan dengan segala kebermungkinannya menjadikan kita yang beda. Penjajaran-penjajaran atas sesegala yang dia lakukan seolah hanya semakin menegaskan kepongahannya sebagai dia yang ada.


Ah, Veronica mungkin harus menanamkan kesadarannya terlebih dahulu bahwa butuh semacam kejernihan untuk sekedar menguraikan dia sebagai bagian tak terpisahkan dari yang ‘ada’. Ia perlu di tarik ke dalam dimensi yang tak terjamah waktu, butuh dunia yang tak terikat oleh akar keberadaannya. Dia harus menjerumuskan diri pada apa yang sering disebut dunia --kalau boleh disebut demikian- ontic. Baru setelah itu Veronica bisa memahami apa yang dinamakan beda, kebermacaman yang tak berbatas, lantas menguraikan diri dalam dimensi waktu.


Veronica, ontic, dunia ini memang sedikit rumit untuk sekedar diuraikan secara logika kebahasaan. Karena toh bahasa itu hanya sebatas perangkat intuk menunjukan kita saja, bukan kita sebagai yang ada? Mungkin memang sebaiknya kita rasakan saja. Tapi bukannya rasa juga terikat dengan arkeologi kesadaran yang diikat waktu itu sendiri?


Veronica, mungkin ontic lebih dari sekedar penjajaran entitas dengan menggunakan identifikasi ontologis. Ia bisa jadi being of beings, ia juga sering disebut Heidegger sebagai Dasein. Ah Veronica, mungkin sebaiknya kita mencari perangkat terlebih dahulu untuk sekedar mengakses dunia ontic, itu tanpa harus menjadi tergugat lagi. Atau jangan-jangan ia harus mengenalkan dirinya sendiri, tanpa harus kita paksa!


Veronica, aku tak ingin apa yang kita tahu, ‘pernah’ tahu, mengaburkan ontic itu. Memang selama ini kita berusaha, setidaknya, mengenal dunia tersebut. Berbagai upaya telah dilakukan semenjak kita sadar diri. Tapi apa benar itu telah membawa kita pada sebuah pemaknaan yang ajeg , semerta memahami apa yang ada, yang beda, merupakan hasil penjajaran-penjajaran entitas yang dimunculkan dari dimensi ontic, atau dunia Dasein itu? Atau jangan-jangan hanya sebatas dogma yang menutupui asumsi-asumsi teoritis yang pernah ada? Ah Veronika, tak ada garansi dalam hal itu. Ontic itu mungkin malu untuk sekedar menunjukan bukti-bukti diri pada kita, terlebih mengenalkan dirinya sendiri.


Veronica, bagiamana jika kita biarkan ontic itu termanifestasikan sendrirnya saja, menunjukan keistimewaannya tanpa harus kita campuri dengan latar belakang habitatnya, mendudukannya dalam dimensi yang bebas waktu. Biarkan ia menjelma sebagai entitas yang penuh dengan kebermungkinan. Mungkin suatu saat ia mau berkenalan dengan kita, lantas kita tarik dia ke dalam dunia kita, our ordinary days, dan akhirnya ontic muncul dalam bentuk yang senantiasa tak terduga.


Selamat berimajinasi sayang!

fahmy farid p.

Aku berfikir, maka aku ada (cogito, ergo sum)

[ Rene Descartes ]


Mendedah turâts boleh jadi teramat membosankan, bahkan bisa saja terjerat dalam prespektif yang cenderung apologetik hingga justifikatif. Namun jika saja ada ‘sedikit’ keberanian untuk berbuat ‘nakal’, turâts bisa menjadi cakrawala keilmuan yang tak berbatas, tentunya disamping memerankan fungsi prinsipil sebagai pengikat peradaban agar tidak tercerabut dari akar kulturalnya, atau katakanlah agar tidak terjadi semacam discontinuitas. Alat baca yang semakin ‘berserakan’ memungkinkan teks turâts menjadi sedemikian bercabang, untuk kemudian di tarik kemanapun ia dikehendaki dalam batas artikulasi yang memungkinkan.


Adalah rekan Dzunnun Amrullah yang menjadi presentator diskusi interaktif Al-Mizan Study Club yang bertepatan dengan hari Rabu, 24 Agustus 2011 bertempat di rumah rekan Rouf-Angga. Diskusi kali ini juga sedikit agak berbeda dari biasanya, karena dihadiri pula oleh salah satu kawan dari Indonesia yang sedang melakukan studi banding di Mesir, rekanita Fita Nafisa. Adapun topik yang coba diangkat rekan Dzunnun adalah pemikiran klasik Ibn Rusyd. Tegasnya, mencoba membangkitkan kembali sesosok rasionalis Islam dari alam kuburnya agar tidak hanya tampak dalam bongkahan batu nisan saja, semerta disingkap dalam potret yang –bisa jadi- bercita-rasa beda. Momentum kali ini mungkin se-nafas dengan apa yang pernah terucap dari seorang Clive Cookson bahwa ‘akhirnya, Tuhan kembali ke gelanggang argumentasi’.


Ada yang coba digugat di sini, sebuah kemapanan yang me-laten terkait bagaimana manusia membaca dunia dan Tuhan-nya. Tapi sebelum masuk dalam ranah itu, adalah sebuah sikap bijak jika dilakukan diferensiasi terlebih dahulu, agar tidak terjebak dalam prasangka skeptis dan sengketa klasik, yaitu tentang proses identifikasi pijakan paradigmatik antara ‘yang digugat’ dan ‘yang tergugat’. Harus ada pembacaan hati-hati antara tipologi pemikiran yang berpijak pada paradigma antroposentris dan teosentris, antara al-wâqi` (realitas) dengan nafs al-amr-al-haqîqah (hakikat sejati), antara kebenaran ilmiah (al-haqîqah al-ilmiyyah) dengan kebenaran teologis (al-haqîqah al-ilâhiyyah).


Frame global ini –setidaknya- menjadi penting agar pembacaan Ibn Rusyd mampu dihadirkan se-objektif mungkin, karena jika logika pemikiran Ibn Rusyd diteruskan pada tataran paring radikal, akan menghadirkan prespektif dualisme kebenaran (dualism of truth), kebenaran akal dan kebenaran wahyu yang bisa menjelma paradoks. Sehingga, tanpa adanya pemahaman akan pijakan paradigmatik tersebut, semerta hanya menghadirkan prespetif –terkesan- justifikatif, bahkan rasialis.


***


Dalam mendedah Ibn Rusyd yang aslinya bernama Abu Al-Walid ibn Muhammad ibn Rusyd kelahiran Cordova-Spanyol (1126-1198 M.), hal pertama yang coba dianalisa rekan Dzunnun adalah terkait latar belakang sosiologisnya. Hal ini penting dilakukan mengingat pada dasarnya pemikiran seseorang merupakan cerminan realitas di mana ia tumbuh-kembang. Bagaimanapun juga, lingkungan pulalah yang membentuk kepribadian Ibn Rusyd menjadi sesosok multidisipliner (mutafannin), mengingat ia tumbuh dalam lingkup keluarga dengan kultur keilmuan yang teramat kental. Ada persaksian yang menarik, unik, atau boleh jadi terlalu hiperbolis dari Ibn Al-Abar bahwa sejak dewasa (baligh) hingga wafat, hanya dua malam yang dilewatkan Ibn Rusyd tanpa membaca buku, yaitu malam pernikahannya dan malam kematian ayahnya. Karya yang ditulisnya bukan hanya menyangkut filsafat, tapi juga di bidang fikih hingga kedokteran.


Kecakapan Ibn Rusyd dalam segala bidang keilmuan ini tegas nampak jika kita telisik garis keturunannya agak ke atas. Kakeknya adalah seorang fuqoha' terkemuka madzhab Maliki dan pernah menjadi hakim agung di Cordova. Lain pada itu, jaringan epistema keilmuan Ibn Rusyd juga berelasi dengan tokoh-tokoh terkemuka di masanya. Katakanlah dari sisi kedokteran, ia membentuk jejaring epistema dengan Abu Ja`far Harun dan Abu Marwan ibn Jarbul Al-Balansi. Dalam ilmu fikih relasinya bertemu dengan Abu Muhammad ibn Rizq. Sedangkan terkait filsafat dan teologi Ibn Rusyd berkelindan dengan Ibn Tufail, seorang filsuf kenamaan yang mengarang buku Hayy ibn Yaqdzan.


Persinggungan Ibn Rusyd dengan diskursus filsafat secara lebih serius dan mendalam tak lepas dari gejolak politik yang terjadi saat itu. Jika di masa awal kehidupannya ia berpayung di bawah kekuasaan Dinasti Murabhitun yang secara pemikiran sangat didominasi kalangan fuqahâ dan cenderung antipati terhadap ilmu-ilmu rasional. Hanya saja harus dicermati disini bahwa saat tersebut dinasti ini sedang berada di ambang batas kehancuran. Dan ketika kekuasaan Dinasti Murabhitun berakhir, sekitar tahun 1147, terjadi semacam pergeseran paradigma yang diusung penerima tampuk kekuasaan baru, Dinasti Muwahhidun. Khalifah Abu Ya`qub Yusuf Abd Al-Mu`min bisa dibilang pecinta filsafat sejati. Hal ini terbukti ketika ia meminta Ibn Rusyd untuk menterjemahkan karya-karya Aristoteles secara langsung dan lebih hati-hati dan ketat agar tidak terjerumus pada kesalahan yang sama sebagaimana dilakukan sebelumnya, yaitu membersihkan kesalahan penafsiran dan kerancuan penterjemahan terdahulu.


Walaupun demikian, perjalan Ibn Rusyd tidaklah sedemikian lurus. Ketika Abu Ya`qub meninggal kemudian pemerintahan beralih ke tangan Abu Yusuf Al-Manshur, muncul berbagai fitnah yang menerpanya secara telak, mulai dari tuduhan atheis hingga sarkasme agama. Ibn Rusyd kemudian ditangkap dan diasingkan ke daerah Lucena yang notabene basis orang-orang Yahudi. Tempat pengasingan ini dipilih agar ia kembali ke habitat asalnya sebagai seorang Bani Israel (asumsi sejarawan ini kemudian dibantah oleh Ernest Renan. Pertimbangannya, jabatan dokter khalifah dan hakim agung yang pernah diemban marga Rusyd tidak mungkin diberikan kepada orang non-Arab). Yang paling menyedihkan dari peristiwa ini adalah ketika khazanah intelektual diberangus. Dimunculkan semacam opini publik bahwa buku-buku hasil karya Ibn Rusyd ‘haram’ dikonsumsi khalayak, bahkan tak segan-segan dibakar.


Tapi di akhir kisah, Ibn Rusyd mendapatkan remisi hukum kemudian dibebaskan dan namanya dibersihkan dari segala tuduhan. Hal ini terjadi tepatnya sekitar tahun 1197 yang bertepatan dengan momentum mundurnya pasukan kerajaan dari Cestalla. Yang menjadi penanda penting dari analisa biografi di sini bahwa Ibn Rusyd menjelma sesosok penting dalam catatan kesejarahan diskursus Islam, terutama terkait pendedahan pemikiran-pemikiran Aristoteles secara lebih serius dan hati-hati, karena dalam kasus Al-Kindi maupun Al-Farabi, Aristoteles menjadi sedemikian tereduksi, semerta bercampur dengan pemikiran-pemikiran Neo-Platonis, mengingat alur filsafat yang berkembang di tangan filsuf tersebut berelasi dengan Alexandria.


Setelah memaparkan sisi biografi, rekan Dzunnun mulai masuk ke dalam analisa rasionalitas Ibn Rusyd dan relasi epistemiknya dengan Aristoteles. Dalam hal ini, beberapa tema pembahasan yang tertera pada buku Fasl Al-Maqâl baina Al-Hikmah wa Al-Syarî`ah min Al-Istidlâl dan Manâhij Al-Adillah fî `Aqâid Al-Millah dijadikan pijakan analisa. Maka hal pertama yang hendak didedah adalah pembahasan terkait kedudukan filsafai itu sendiri di hadapan syari`at, mengingat posisi filsafat sangat dicemooh saat itu.


Bagi Ibn Rusyd, jika memang fungsi filsafat senyatanya mendorong manusia untuk mencermati semesta penciptaan dengan lebih seksama, maka justru hal tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip dasar syari`at yang banyak dipaparkan dalam Al-Qur`an terkait keharusan seseorang memberdayakan akalnya. Dalam arti, filsafat justru bisa menjelma perangkat analisa yang akan mengantarkan seseorang pada eksistensi Sang Pencipta. Dengan menggunakan qiyâs `aqliy inilah sesiapa mampu mencapai nilai-nilai ke-Tuhan-an dengan sudut yang berbeda dari sebatas keimanan dogmatik.


Dari sini, rekan Dzunnun mencoba melakukan analisa terkait strategi yang digunakan Ibn Rusyd melalui buku Fasl Al-Maqâl. Tegas terbaca kalaulah judul buku tersebut tidak langsung menggunakan kata falsafah yang notabene secara kultural menjadi sangat problematis saat itu, tapi justru menggunakan hikmah yang tak lain memiliki padanan istilahnya dalam Islam. Maka dalam hal ini, Ibn Rusyd telah menemukan titik kesesuaian intra-paradigma, antara agama dan filsafat itu sendiri. Setelah itu, ia juga menggunakan dali-dalil Al-Qur`an sebagai pembenaran argumennya. Tak ayal, dengan pendekatan ini, filsafat menjadi tidak sedemikian antagonistik, karena Ibn Rusyd terbilang berhasil menggiring opini publik bahwa filsafat merupakan salah satu instrumen kebudayaan penting yang dimiliki manusia.


Masuk pada kepingan pemikiran Ibn Rusyd, rekan Dzunnun membidik permasalahan ta`wil, sebuah metode interpretasi teks. Ta`wil itu sendiri diartikan sebagai sebuah cara pembacaan teks dengan mengeluarkan arti sebuah kata dari pemaknaan literal kepada pemaknaan majaz-nya. Melalui strategi pembacaan teks inilah, Ibn Rusyd mencoba menjadikan akal sebagai perangkat yang memiliki otoritas kuat dalam mendudukan Teks Wahyu pada bentuknya yang manusiawi. Dengan demikian, bukan berarti mengeret posisi akal berada di atas wahyu, tapi sebatas menjembatani sisi-sisi paradoksial pemaknaan teks yang bertentangan dengan akal jika ditafsirkan secara lugu dan literalis yang dapat mereduksi sisi kebenaran itu sendiri.


Tak ayal, paradigma ini telah menggeret Ibn Rusyd pada sebuah sikap tersendiri dalam memotret intelektualitas manusia. Ia lantas membaginya ke dalam tiga kelompok umum; ahl-khitâb (orang awam yang tidak memiliki otoritas pen-ta`wil-an), ahl al-jadl (orang yang memiliki otoritas tersebut, tapi ta`wil mereka masih bersifat praduga) dan ahl al-burhân (orang yang memiliki otortas penuh dan hasilnya bersifat aksiomatik). Hanya saja, justru dari klasifikasi semacam ini Ibn Rusyd –bisa jadi- terlihat rasial terkait metode pembuktian eksistensi sang Pencipta. Tapi sebagaimana di singgung di mula, seorang penganalisa harus jeli dalam melihat pijakan paradigmatiknya, semerta terjebak dalam sikap justifikatif seperti ini.


Dalam kasus penciptaan, Rekan Dzunnun membidik masalah eksistensi alam. Ibn Rusyd sangat menentang kesimpulan filsuf sebelumnya yang meyakini bahwa penciptaan alam bermula dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Baginya, hal ini justru bertentangan dengan semangat Al-Qur`an, semerta tak mampu dijangkau oleh penalaran kalangan awam (ahl al-khitâb). Untuk itu, dalil yang tepat terkait permasalahan in, bagi Ibn Rusyd, adalah: Pertama dalil inâyah (perawatan), yaitu bukti-bukti keteraturan dan kesesuaian yang nampak dalam pola pergerakan alam itu sendiri. Kedua dalil ikhtirâ` (penciptaan), yaitu sebuah kenyataan tegas bahwa semesta merupakan buah cipta, lantas tak ayal aksiomatik menunjukan adanya sang Pencipta. Ketiga dalil harakât (gerak), yaitu realitas yang nampak senantiasa bergerak yang notabene menunjukan adanya sang Penggerak, sebagai penggerak pertama.


Melalui ketiga dalil ini, sekiranya orang awam mampu mencernanya dan seorang intelektual akan terpuaskan olehnya. Dari sini Ibn Rusyd –bisa jadi- hendak melibatkan setiap elemen manusia untuk membuktikan keberadaan sang Pencipta, tanpa harus bersifat dogmatik. Bertepatan dengan selesainya analisa tentang permasalahan dalil penciptaan ini, rekan Dzunnun mengakhiri presentasinya.


***


Seusai presentasi, diskusi dilanjutkan pada pendedahan Ibn Rusyd lebih lanjut melalui analisa rekan-rekan Al-Mizan lainnya. Dalam hal ini, semua kawan Al-Mizan diharuskan mengeluarkan pendapat dan analisa dari apa yang telah dibacanya. Peliput sendiri akan menuliskan tanggapan rekan-rekan secara garis besarnya di sini agar laporan ini tidak terkesan bertele-tele dan cenderung ‘lebay’ alias kebanyakan ‘nggombling’. Tapi sebelumnya ada statemen yang menarik, tapi juga terbilang kontroversi bahwa jika saja Aristoteles yang menjadi nabi, bukan Muhammad, maka boleh jadi Ibn Rusyd menjadi pengikut paling setia sampai akhir hayatnya. Hal ini bukan sebatas asumsi serampangan, mengingat Ibn Rusyd sesosok filsuf yang –katakanlah- paling berhasil menguraikan simpul-simpul filsafat Aristo secara utuh dan ketat dibanding filsuf lainnya. Tapi sebelum masuk pada konstruk pemikiran Ibn Rusyd, harus disadari terlebih dahulu bahwa ilmu tidak akan pernah terlepas dari kekuasaan. Untuk itu, jika dilakukan kilas-balik teoritis masuknya pemikiran Aristoteles pada dunia Islam, akan banyak fakta-fakta yang bisa dianalisa lebih jauh.


Satu ketika, dunia Islam mengalami masa dimana corak pemikiran menjadi sedemikian beragam, utamanya ketika Alexandria menjadi centre of culture (pusat kebudayaan). Eksesnya, identitas filsafat yang berkembang cenderung kabur. Dalam arti, terjadi percampuran yang terbilang luar biasa di sana. Dan yang menegas di sana, dalam hal filsafat, pemikiran-pemikirannya mengerucut pada bentuk gnosisme (Hermeticism) dan neo-Platonis. Sedangkan nalar Aristoteles benar-benar tidak menemukan pijakan ontologis yang kukuh dan utuh. Hal itulah yang membentuk kerangka berfikir filsuf Islam di mula seperti Al-Kindi, Al-Farabi hingga Ibn Sina.


Berangkat dari sini, jika dilakukan analisa paradigma filsafat secara regional, maka akan ditemukan bahwa Islam di Timur cenderung mencari formulasi yang tepat untuk mengharmonikannya dengan agama. Hal ini menjadi berbeda ketika kita telisik paradigma yang berkembang di wilayah Barat. Ada kecenderungan pemisahan agama dengan filsafat yang sangat kental di sana. Dalam arti, agama bermain dalam satu wilayah sedangkan filsafat di wilayah yang berbeda. Memang benar analisa ini terkesan simplifikatif jika semerta menjustifikasi bahwa Islam di Barat cenderung memisahkan agama dengan filsafat (sekuleristik). Tapi jika ditarik analisanya agak lebih ke dalam, justru yang nampak tentang bagaimana kedudukan filsafat disejajarkan dengan agama. Hanya saja memang, imbas dari prespektif ini ketika dibaca oleh pemikir di masa setelahnya mengalami semacam reduksi. Sehingga muncul asumsi bahwa ada ancaman penundukan agama oleh akal. Dari sini, akan nampak sebuah ketegasan identitas antara Islam di Timur dengan di Barat. Hanya ketegangan ini bukan berarti memunculkan sebuah asumsi bahwa titik akhir dari keduanya teramat berbeda. Padahal tidak demikian jika kita cermati lebih hati-hati. Perbedaan ini justru merujuk pada titik pijak di mula dan proses metodologinya saja, sedangkan titik akhirnya justru memiliki kesesuaian, yaitu pencarian hakikat tertinggi.


Dalam kondisi –lebih-kurang- semacam inilah Ibn Rusyd hidup. Ia termasuk sesosok pemikir yang membaca Islam menggunakan teropong wilayah Barat yang notabene sangat berkelindan dengan Ibn Tufail. Aroma rasionalitas Ibn Rusyd sendiri jika diklasifikasikan terbentuk melalui beberapa tahapan. Pertama pengalaman pra-ilmian, yaitu pembentukan arkeologi kesadaran yang mengantarkannya pada filsafat. Dalam hal Ini Ibn Tufail sangat berpengaruh. Kedua pengalaman pra-teori, yaitu proses pembentukan identitas yang kajiannya sudah masuk pada tatanan praksis. Pada tahap ini ia sering melakukan gugatan-gugatan terhadap pemikiran filsuf lainnya semisal Ibn Sina dan Al-Farabi. Dan yang ketiga adalah tahapan penegasan eksistensi. Tak ayal, jika membaca Ibn Rusyd, maka akan didapati sesosok yang rasionalis, Aristotelian di satu sisi tapi cenderung ‘arogan’.


Ketegasan eksistensi sebagai seorang rasionalis-Aristotelian inilah yang menjadikan Ibn Rusyd melakukan semacam upaya penggiringan opini publik yang menegaskan kenyataan tunggal bahwa hakikat hanya bisa dicapai dengan rasionalitas. Hal ini semakin menegas ketika ia melakukan klasifikasi manusia kepada ahl-khitâb, ahl al-jadl dan ahl al-burhân yang menjadikan manusia terkotakan dalam potret hirarki simetris. Paradigma dasarnya bahwa antara nalar satu sama lain tidak bisa saling melampaui. Nalar irfâni (nalar intuitif) tidak akan pernah mencapai level bayâni (nalar kognitif). Bayâni tidak akan pernah sederajat dengan burhâniy (nalar demonstratif). Dan derajat tertinggi struktur nalar manusia adalah nalar burhâniy. Hal ini dengan sendirinya telah menunjukan ‘sisi angkuh’ dari seorang Ibn Rusyd.


Jika demikian, maka sejatinya ada permasalahan yang menjadi penting di sini dan memerlukan analisa yang lebih hati-hati. Katakanlah jika nalar burhâniy didefinisikan dengan pencarian sebuah hakikat yang dicari menggunakan premis-premis yang bersifat yaqîniy, kenapa harus disembunyikan dari ahl-khitâb dan ahl al-jadl. Tentunya ini hanya akan menggeret pada pemaknaan akidah yang cenderung eksklusif. Maka bisa dibilang Ibn Rusyd di sini telah melakukan semacam klaim sepihak yang paradoks bahwa di satu sisi nalar burhâniy diposisikan pada tingkatan tertinggi dari manusia dalam menemukan sebuah hakikat, tapi di sisi lainnya ia tidak berani membuktikannya di luar kelompok yang mengamininya. Tentunya ini menjadi semacam problem tersendiri mengingat jika memang nalar burhâniy adalah metode paling tinggi, tentunya dalam kondisi apapun bisa dibuktikan kebenarannya, sedangkan dengan menyembunyikannnya justru menjadikannya paradoks. Dan pada titik paling akut, akidah semacam ini tidak akan diamini oleh siapapun kecuali oleh sesiapa yang terkumpul dalam ruang-ruang eksklusif.


Padahal diyakini ataupun tidak, ada semacam akumulasi dalam diri manusia antara akal, intuisi dengan spiritual sebagai sebuah potensi fitrah yang manusiawi. Masing-masing ingin mendapatkan pengukuhannya dalam kesadaran seseorang itu. Sehingga ada kalanya seseorang pada saat-saat tertentu muncul sebagai seorang yang rasionalis, di sisi lain sangat sensitif, juga bisa sangat sangat spiritualistis. Keadaan ini tentunya menjadikan manusia memiliki pilihan-pilihan yang sangat beragam untuk menemukan secercah hakikat, atau katakanlah jalan yang beragam untuk menuju Tuhan-nya.


Dengan potret umum ini, maka –paling tidak- Ibn Rusyd mampu dihadirkan rekan-rekan Al-Mizan untuk masuk pada beberapa karyanya, baik yang bersifat ibdâ`ât (karya orisinil) seperti Fasl Al-Maqâl baina Al-Hikmah wa Al-Syarî`ah min Al-Istidlâl, Manâhij Al-Adillah fî `Aqâid Al-Millah dan Tahâfut Al-Tahâfut atau sebatas syarh (komentar) seperti Syarh Shagîr, Syarh Kabîr dan Syarh Mutawashith. Hal ini menjadi penting terkait pendedahan proses perkembangan kesadaran Ibn Rusyd.


Dalam buku Syarh Shagîr, yang dilakukan Ibn Rusyd sebatas al-naql (pemindahan) yaitu memindahkan hal-hal penting yang muncul dari perkataan-perkataan filsuf sebelumnya, baik yang ada di dunia Islam maupun di Yunani. Hal ini dilakukan setidaknya untuk menanamkan kesadaran manusia dalam kerangka berfikir yang benar. Dalam buku ini dia sama sekali belum menunjukan ketakjubannya terhadap Aristoteles, tapi yang patut di cermati di sini bahwa dengan kehati-hatian dan keketatan verifikasi-nya, Ibn Rusyd terbilang berhasil memilah antara perkataan Aristo yang asli dengan perkataan yang sudah bercampur (perkataan neo-Platonis). Baru pada buku selanjutnya (Syarh Mutawashith. Syarh Kabîr) ia mulai melakukan sebuah pilihan, menentukan sikap bahwa nalar Aristoteles merupakan tipologi analisa yang paling unggul dibanding dengan yang lainnya. Hal inilah yang mengantarkan Ibn Rusyd pada dimensi kesadaran baru sebagai seorang rasionalis-Aristotelian Islam.


Adapun dalam buku-buku yang bersifat ibdâ`ât, Ibn Rusyd mulai melakukan semacam domestifikasi epistema. Hal ini terbaca tegas ketika isu-isu filsafat mulai disinggungkan dengan gagasan-gagasan agama. Dalam Fasl Al-Maqâl ia cenderung membincang bagaimana menjustifikasi filsafat menggunakan perangkat syari`ah (teks Wahwu). Terbukti banyak sekali kutipan ayat Al-Qur`an untuk mendukung usahanya. Ada pesan dan penegasan yang hendak disampaikan di sini bahwa bahwa agama dengan filsafat tidak harus dibenturkan, diertentangkan untuk mencapai sebuah hakikat kebenaran, tapi keduanya bisa saling melengkapi. Sedangkan di buku Manâhij Al-Adillah Ibn Rusyd mencoba menjustifikasi syari`ah dengan menggunakan perangkat filsafat. Ia banyak sekali menggunakan penalaran-penalaran logika demonstratif dalam menegaskan eksistensi sang Pencipta. Hanya saja yang harus dicermati di sini bahwa buku tersebut tidak sedang mengukuhkan kesimpulan-kesimpulan teologis. Ia tidak sedang menawarkan hasil teologis menggunakan pendekatan burhâniy, tapi sebatas membahas metode-metode teologi. Seolah-olah ia sedang mengatakan bahwa metode lebih penting dan utama dari sebuah kesimpulan. Ada semacam pembelokan paradigma dari teologi kepada metode teologi di sana. Buku Tahâfut Al-Tahâfut sendiri merupakan kritikan atas filsafat Al-Ghazali, sebuah kritikan yang berkutat pada gugatan-gugatan atas metode yang digunakan Al-Ghazali bukan pada kesimpulan analisanya, mengingat keduanya sama-sama mengadopsi pendekatan-pendakatan filsafat.


Dari sini bisa kita tarik garis tegas kesimpulan secara umum bahwa, Ibn Rusyd menjelma sesosok filsuf yang memperjuangkan filsafat di lingkungan orang yang antipati terhadap filsafat, yang notabene masa itu sangat didominasi penalaran teks Wahyu pada tataran literalis. Sedangkan di luar itu mengalami semacam pemasungan. Yaitu mereka yang cenderung memahami sesuatu pada sesuatu yang indrawi, tidak masuk pada eksistensi yang tak terindra. Hal ini mulai terjembatani ketika Ibn Rusyd mengarang buku Fasl Al-Maqâl. Hanya celakanya, Ibn Rusyd sendiri terjebak dalam pemaknaan filsafat dan syari`at dalam tatanan dzâhir, dengan cenderung mengutip ayat Al-Qur`an yang bersifat Kauniyyah bukan Ilâhiyyah.


Maka sejatinya ada yang menganga di sini. Ada kelemahan-kelemahan yang jarang terbaca bahwa sejatinya Ibn Rusyd tidak menyadari sebuah kenyataan penting terkait pencarian hakikat. Ia tak sadar kalaulah akal itu merupakan perangkat yang tidak mampu menguraikan hakikat secara utuh dan paripurna karena sifatnya yang lemah. Sehingga penalaran atas sebuah hakikat akan berhenti pada entitas yang terbatas atau dalam pemaknaan lain bahwa al-`aql `âjiz lâ ya`rif illa al-`âjiz. Sebagai permisalan, kritik-kritik yang dilakukan Ibn Rusyd terhadap metode yang digunakan Islam di Timur justru telah mereduksi konteks, karena ia sama sekali tidak menghargai bagaimana proses pencarian itu terjadi. Ada yang coba ditundukan, diberangus kebebasannya disini, yaitu hak manusia memilih cara untuk menuju Tuhan-nya.