fahmy farid p.

Pada prinsipnya, manusia cenderung berkelompok dengan berpijak pada persesuaian prespektif atau paling tidak hadir semacam kebermungkinan itu. Sebagian besar, dalam bentangan cakrawala sejarah manusia yang biasa kita sebut peradaban, paradigma dasar kelompok itu terbilang eksklusif dalam identitas yang kaku. Di sisi lainnya hadir pula semacam dorongan untuk saling mendominasi, lalu jikapun memungkinkan menyerap cakrawala kebudayaan dalam batas pemaknaan normalitatif yang dipahami.


Maka, sebagai salah satu entitas yang menawarkan wadah terkait persesuaian ideologis, agama --setidaknya- akan tertanam di tiap jantung peradaban. Ia bisa jadi --salah satu- aspek prinsipil yang mampu memunculkan nilai tertinggi, lalu mengarungi hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditawarkannya. Jika menilik pada basis paradigmatik, agama secara lugu, apapun itu, mengandung empat watak dasar. Pertama keyakinan (creed), yaitu aspek kognitif sebuah agama; bahwa sesegala bergerak menuju tatanan nilai tertinggi dalam memaknai hidup. Kedua simbol (code), yaitu sebentuk kode etik ataupun watak ke-beragama-an yang memuat segala bentuk aturan normatif yang harus dijalankan. Ketiga ritual (cult), yaitu segala bentuk aktifitas ritual yang berkelindan langsung dengan gagasan yang transenden, langsung ataupun tidak. Dalam hal ini, ritual tersebut hadir sebagai proyeksi keberimanan seseorang atasnya. Keempat struktur komunitas (community-structure), yaitu semacam jaringan komunal yang terbentuk melalui relasi-relasi kesesuaian ideologis. Kesemuanya jelas berpijak tegas pada gagasan tentang yang transenden, baik terkait monoteisme, politeisme, hingga prespektif emptiness. Gagasan-gagasan ini kemudian muncul dalam perwajahan yang beragam sebagai hasil olah penalaran maupun pengalaman.


Dalam prespektif modern, penjelasan terkait gagasan nilai tertinggi dan ide tentang kesesuaian hidup dengan prinsip-prinsip yang ditawarkannya menjadi lebih kompleks. Prespektif yang muncul bukan lagi semata berpijak pada gagasan tentang yang transenden. Ini menjadi fenomena nyata dengan kemunculan –semisal- sekulerisme-humanistik maupun Marxisme. Jadi, walaupun pada dasarnya agama memainkan peranan penting dalam prinsip-prinsip kehidupan, tentunya terkait gagasan yang transenden tersebut, tapi paradigma dasar tentang gagasan nilai tertinggi itu semerta tidak hanya berpijak pada yang transenden saja. Keakurasian kontekstual menjadi semacam pendorong untuk juga menggunakan perangkat di luar gagasan besar itu, atau katakanlah perlu semacam gagasan etika universal juga perubahan paradigma dari dialektika monolog menjadi dialog. Karena jika hanya berkutat di sana, gagasan tersebut justru menjelma ideologi tertutup. Lalu pada titik paling radikal, munculah kesadaran beragama yang teramat pahit, kekerasan ideologis.


Turut berduka cita atas hilangnya tenggang rasa dan moralitas bangsa


PRAY FOR INDONESIA

Tagamu` Awwal, 28 April 2011 (10:27 pm)