fahmy farid p.

‘Inna al-haqqa lam yushibhu al-nâs­ fî kulli wujûhihi wa lâ akhthaûhu fî kulli wujûhihi, bal ashâba kullu insânin jihhatan’

[ Plato ]


Diskursus sejarah boleh dibilang diskursus paling ‘ambigu’. Penekanan pada tataran paling objektif sekalipun, ditengarai berada di ambang batas ‘utopis’. Karena, ‘sejarah’ –dalam tataran paling ‘lugu’- adalah tentang asumsi-asumsi subjektif. Walhasil, kita tidak akan pernah menemukan nilai-nilai objektifitasnya secara utuh. Nilai subjektifitas sejarah hanya bisa ditekan pada bentuk paling bebas ketika sejarawan mampu menghadirkan data dan fakta secara seimbang. Dalam arti, ‘pembacaan sejarah’ harus dimulai dengan pendekatan yang se-‘lugu’ mungkin, agar hadir dalam bentuk yang bebas nilai, tanpa terbelenggu stigma alam bawah sadar. Namun itu semua –pada tataran paling logis sekalipun- tetap saja nihil.


Pemaknaan ambiguitas ini tentu tak sekedar sikap justifikatif, tapi mempertimbangkan bahwa seorang sejarawan tentu takan telepas dari ‘ragam prespektif tak sadar’ ketika menghadirkan catatan sejarah. Hal ini sangat erat kaitannya dengan dinamika kondisi sosio-kultur, geografis, politik, strata sosial, kecenderungan, hingga agama, sebagai pembentuk ke-aku-an seorang sejarawan. Sehingga, ketika melakukan pembacaan sejarah, data-fakta yang ada tentu akan mengalami (sedikit-banyak) reduktifikasi ataupun disparitas.


Frame global ini selayaknya dikedepankan terlebih dahulu, agar pembacaan sejarah (paling tidak) mampu dihadirkan se-objektif mungkin, untuk kemudian mampu mengedepankan paradigma berfikir yang bijak, bukan justifikatif. Karena, dalam mendeskripsikan sejarah, ada tanggung jawab objektifitas yang harus diemban seorang pengkaji. Pembacaan sejarah secara proporsional akan melahirkan prespektif yang tepat, pembacaan secara rigid-kaku dan tendensius-justifikatif hanya menjadikan sejarah sebatas ‘bualan kisah’ dan coretan kertas sampah! Pada kesempatan kali ini; 23 September 2010, Hadlîqah al-Dauliyyah dipilih Mizânis untuk berdiskusi, dengan rekan Ronny el-Zahro sebagai presentator dan Fahmy el-Sundawiy sebagai moderator.


I


Jazîrah Arab pra-Islam bisa dikategorikan potret peradaban ‘tanpa identitas’. Komunitas masyarakat dengan letak geografisnya yang berada di belahan padang pasir, dengan pola hidup yang cenderung nomaden, sangat jauh sekali dikatakan peradaban maju, jika memang yang menjadi parameter abash saat itu adalah peradaban sekitar Arab; Romawi, Sasania dan lainnya. Potret ini sangat berbanding terbalik ketika perlahan-lahan Islam mulai menghegemoni nalar peradaban Arab (baik etnik Arab, ataupun etnik yang mengalami proses Arabisasi). Tepatnya sekitar abad ke-8 M. (saat tampuk kekuasaan Islam dalam genggaman dinasti Abbassiyah), nalar Arab mengalami lompatan-lompatan progresifitas yang cukup signifikan. Eksistensi Islam menjadi hegemonik, baik dalam kaitannya dengan budaya, keilmuan, hingga peta wilayah kuasa. Peradaban Arab-Islam saat itu turut mewarnai sejarah peradaban manusia. Namun masa kegemilangan ini tidaklah berangkat dari ruang hampa ataupun semesta ilusi, tapi ada dialektika intim yang tidak akan pernah lepas dari konflik dan intrik, terlebih politik. Itulah prakata awal rekan Ronny yang hendak mendedah metodologi pembacaan sejarah dengan konflik Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyyah ibn Abi Sufyan sebagai sampel.


Bagaimanapun juga, pembacaannya sejarah akan selalu hadir dalam bentuk yang tidak utuh lagi. Walhasil, perlu pisau analisa dalam mendekatinya untuk menekan nilai-nilai reduktifikasi dan disparitas fenomena kesejarahan pada bentuk yang (dirasa) paling objektif. Maka, sebelum melakukan analisa sampel, rekan Ronny lebih dahulu memaparkan metodologi pendekatan yang akan digunakan dalam membongkar dan membangun lokus sejarah, yaitu dialektika historis-materialistis, dengan marxis sebagai tendensi model. Mayoritas penganut paham marxisme memahami terma ‘dialektika’ sebagai sebentuk teori mengenai proses perubahan secaracontinue yang terjadi melalui pergumulan dua hal kontradiktif. Sedangkan ‘materi’ bisa diartikulasikan sebagai fakta-fakta empiris. Pendekatan ini diasumsikan sebagai perangkat verifikasi dan falsifikasi data-fakta sejarah, sehingga ‘yang hadir’ bisa terlihat –paling tidak- identik dengan yang sesungguhnya, sebagai sebuah kontekstualisasi kesadaran dan keshalihan dalam proses pembacaan sejarah manusia modern. Bagi rekan Ronny, pendekatan dialektika historis-materialistis merupakan antithesis dari pendekatan tradisional (al-fahm al-turâts li al- turâts), yaitu sebuah pola pendekatan yang cenderung bergerak mundur, regresif.


Menelisik lebih intim, mendedah terminologi sejarah merupakan sebuah keniscaraan logis, agar pemetaannya teratur dan tidak terjebak dalam problematika istilah. Dalam konteks bahasa Indonesia, sejarah diidentifikasi sebagai bahasa serapan yang diambil dari bahasa Arabsyajarah: pohon. Sejarah sendiri bisa didefinisikan sebagai: recovered (ditemukan kembali), remembered (dikenang), invented (diciptakan). Beberapa pemaknaan etimologis ini sangat dekat dengan sesuatu yang acap kali raib, seolah sejarah memang sebentuk fenomena yang hilang (lost history).


Meminjam analisa al-Jabiri, rekan Ronny mulai merangsek masuk pada tataran konstruk diskursus, dimana sejarah akan selalu bersifat universal dan cenderung generalisir. Untuk menekan sifat dasar ini ke dalam bentuk paling orisinil, lalu menjembataninya menuju nilai yang lebih objektif, langkah awal adalah melakukan diferensiasi antara sejarah dengan legenda, antara fakta dengan fiksi, hingga antara realitas dan mitos. Disamping itu, perlu pula mengidentifikasi simbol-simbol tokoh pada tiap babak sejarah. Melalui pendekatan dialektika historis-materialistis, rekan Ronny memetakan beberapa titik poin penting ketika hendak membaca sejarah, yaitu substansi turâts, ideology, historisitas dan waktu. Dengan menggunakan analisa Tayeb Tizini, relasi antar poin pijakan ini merupakan faktor-faktor penting yang saling berkelindan satu sama lain. Disamping itu, sejarah selalu memuat dimensi dua, istimrâriyyah(kontinuitas) dan al-lâ istirâriyah (diskontinuitas) sebagai sebuah perpaduan antara sejarah danturâts, juga sebagai titik pijak konsep dialektika-histo-turâtsiy. Pendekatan ini berbeda dengan konsep yang ditawarkan Mahmud Ismail, dimana cenderung menggunakan analisa marxis secara total. Walhasil, pembacaannya cenderung didominasi aspek ekonomi.


***


Setelah memaparkan metode pembacaan yang akan digunakan mendedah sejarah peradaban Islam, rekan Ronny masuk pada tatanan aplikasi metode. Tinta pena telah mencatat ragam liku peradaban Islam, mulai dari al-Thabari, Ibn Khaldun hingga Ahmad Amin. Hanya saja, nomenklatur-nomenklatur sejarah peradaban Islam telah menyisakan tanya yang cukup mendalam, tentang realitas seperti apa yang terjadi pada masa Arab-Islam? Apa sudut-sudut menarik yang mampu dihadirkan sebuah sejarah?


Bagi rekan Ronny, mendekati sejarah merupakan kegiatan menafsir yang tak berhenti. Pembenahan cara pandang merupakan pijakan awal pembacaan sejarah yang progresif dan revolusioner, sehingga tidak cenderung ‘kelelahan’ ketika dihadapkan pada ribuan data-fakta sejarah. Misal, pendekatan transmisional (riwâyah) yang diusung Ibn Jarir al-Thabari dalam karyanya; Târikh al-Thabari, terbilag cukup komprehensip (pada masanya) dalam menyajikan data-fakta tentang peristiwa tsaqîfah. Dalam analisanya, motif penunjukan Abu Bakar sebagai suksesor Nabi saw. bukanlah berdasarkan suaka politik, chauvinisme Qurais ataupun legalitasnya, tapi lebih pada keshalihan dan strata sosial yang dia miliki. Dari sini, ada asumsi kuat bahwa bangsa Arab telah mengenal dan menerapkan hirarki sosial dalam tatanan sosialnya. Adanya sistem hirarki strata sosial inilah, ditengarai sebagai akar sistem monarki kekuasaan Arab-Islam pada periode selanjutnya, dimana sistem genealogikal politik ini dianut dinasti Umayyah, Abbasiyyah dan Utsmaniyyah.


Pendekatan tendensius marxis ini telah membongkar sisi-sisi pembentuk peradaban Arab; (1) Genealogikal, (2) suhbah (rentang waktu bersahabat dengan Nabi saw.), (3) status sosial, dan (4) religiuitas –pada tataran yang paling subjektif dalama analisa pemakalah. Keempat aspek ini diasumsikan sangat dominan dalam mempengaruhi nalar Bangsa Arab, kemudian bertransformasi menjadi sebentuk kesadaran Umat Islam saat itu. Di akhir presentasi yang memakan waktu kurang-lebig satu jam, rekan Ronny menjelaskan bahwa, meskipun pembacaan sejarah cenderung repetitif, namun itulah sebentuk proses hadirnya sebuah kesadaran bersejarah.


II


Seusai presentasi, diskusi dilanjutkan pada sesi editorial. Sudah menjadi karakter Mizan, diskusi selalu dimulai dengan kritik editing. Hal ini dirasa sangat penting dalam proses pembelajaran penulisan karya ilmiah.


***


Dengan lugas, rekanita Lailatu Zakiyah (Tz) membuka prakata analitisnya dengan menyadari bahwa, data-fakta sejarah sangat memungkinkan hadir dalam bentuknya yang kontradiktif, antara satu dengan yang lainnya. Hal ini cukup banyak ditemukan dalam berbagai literature sejarah Arab-Islam, dimana pada tahapan awal penulisan sejarah masih berkutat dalam bentuk periwayatan cerita, tanpa studi analitis. Bagi Tz, al-Thabari bisa disebut sebagai sejarawan aliran transmisional tersebut. Banyak data-fakta sejarah yang dimunculkan al-Thabari secara ‘lugu’, sehingga sangat potensial disusupi isrâiliyat. Hal ini tidaklah aneh, mengingat kondisi saat itu memungkinkan tumbuh-kembang isrâiliyat dalam bentuk yang paling ‘radikal’.


Bagi rekan Fahim Khasani, menulis sejarah secara objektif adalah satu hal yang sulit dihadirkan. Pembacaannya sangat kental dipengaruhi berjubel faktor eksternal, ditambah pula dengan pembacaan yang dipengaruhi problem internal. Penulisannya kuat dipengaruhi keyakinan/nalar terberi (al-`aql al-mukawwan). Misal, sejarawan Sunni cenderung mendedah sejarah Syi`ah dalam bentuk yang telah mengalami reduksi teologis. Bahkan dalam bidang keilmuan sekalipun, arogansi etnik tersebut masih kental seperti terbaca dalam sy`ir Ibn Malik yang notabene dari kelompok Sunni;

Tarfa` kâna mumtada isman wa al-khabar # Thansibuhu ka kâna sayidan Umar

Ketika dipelajari intelektual Syi`ah, syair tersebut disadur ulang menjadi;

Tarfa` kâna mumtada isman wa yaliy # Thansibuhu ka kâna sayidan Aly

Dari fakta ini, dapat dipastikan bahwa penulisan sejarah sangat terpengaruh polemik etnik ini, selain tentunya menyeruak adagium yang dirasa cukup absurd bahwa ‘setiap sahabat tentunya adil’.


Kesempatan selanjutnya diberikan pada rekan M. Masykur Abdillah. Dia memandang bahwa sejarah selalu memendam problematika. Dengan memposisikan diri sebagai seorang skeptisisme dalam diskusi kali ini, rekan masykur memulai orasinnya dengan aneka tanya; Kapan sebenarnya sejarah terbentuk, kemarinkah, sekarangkah, atau esokkah? Meskipun stressing point ketiga terminologi ini berbeda, namun sejatinya manusia bergerak ke depan, sehingga hari esok berada pada tataran nilai tertinggi! Lalu, apa yang menjadi latar belakang sjarah? Apa standarisasi sejarah (Islam)? Dalam beberapa literatur, dikatakan bahwa sejarah bermula semenjak adanya tulisan. Tapi analisa ini diasumsikan sangat subjektif, karena akan mereduksi nilai-nilai historisitas sebelum masa tulisan, seperti dongeng yang tidak mendapatkan porsi yang proporsional dalam bingkai sejarah. Jikapun kita sepakat bahwa sejarah ada, bagaimana kita harus memahaminya?


Lebih lanjut, rekan Masykur mencoba mendedah tipologi pebacaan sejarah. Dalam analisanya, pembacaan sejarah bisa diklasifikasikan pada dua tipologi: secara terberi (al-mu`thâ al-tamtsîliy) dan secara representatir-interpretatif (al-mu`thâ al-al-mufassar). Keduanya mempunyai titik pijak yang berbeda, dimana metode al-mu`thâ al-tamtsîliy yang dikembangkan al-Thabari, cenderung menggeret konstruk sejarah pada bagaimana sesuatu yang terjadi pada masa lalu –sebatas- diposisikan sebagai cermin (pantulan/proyeksi) untuk masa kini. Pembacaan ini lebih menekankan pada bagaimana data-fakta sejarah (baik berupa riwayat, isrâiliyat, dongeng ataupun syair) dihadirkan dalam bentuk yang paling ‘telanjang’, daripada analisa atas validitas. Sedangkan metode al-mu`thâ al-al-mufassar yang dikembangkan Ibn Khaldun, lebih berkutat pada bagaimana memaknai sejarah sebagai sesuatu yang kita tafsirkan melalui pendekatan analitis. Karena bagaimanapun juga, pergerakan sejarah tidaklah diam, tapi bisa dibidik dari arah manapun. Maka, bentuk pendekatan ini merupakan sebentuk kesadaran dan keshalehan masyarakat modern.


Sebelum masuk pada analisa kesejarahan, rekan Subhan Azhari terlebih dahulu mengkritik pemaparan presentator terkait pendefinisian sejarah yang mengkomparasikannya dengan istilah dalam bahasa Indonesia. Bagi rekan Subhan, membandingkan istilah sejarah dengan syajarahdinilai terlalu ambisius dan jauh dari substansi istilah. Karena, dalam literature bahasa Arab, pengistilahannya menggunakan kata târikh. Jadi, sama sekali tidak ada ikatan simbolis antara sejarah dengan syajarah.


Selanjutnya, rekan Subhan menelisik sejarah Arab-Islam melalui sisi objektifitas dan fungsinya. Tidak sedikit sejarawan sangat kental dengan aroma tendensius. Analisa data-fakta cenderung terabaikan. Maka, kedua sisi tersebut harus dipahami terlebih dahulu sebelum bergumul pada ‘lahan basah’ sejarah. Dan yang terpenting, bagaimana memposisikan sejarah tersebut secara proporsional. Disamping itu, perlu mendedah tipologi antara agama dengan sejarah, dimana karakter agama pada dasarnya tetap, sedangkan sejarah diasumsikan selalu bergerak, tidak tetap. Walhasil, interpretasi sejarah sangat berpotensi untuk benar ataupun salah.


Bagi rekan Ahmad Syafiuddin, sejarah peradaban terbentuk dari faktor-faktor yang melingkupinya; ideologi, keilmuan, politik dan kekuasaan. Keempat faktor ini sangat kental terbaca dalam tiap entitas peradaban. Hanya saja, sejarah telah mengaburkan kebenaran. Kebenaran acap kali dipahami dengan pola tendensius, yang justru dapat mereduksi nilai-nilai objektifitas data-fakta sejarah sekaligus mengaburkan nilai-nilai relativitas kebenaran.


Sebagai koordinator sementara Mizân, rekan Andi Luqmanul Qasim menganalogikan sejarah dengan sebuah pohon yang memiliki ‘berjuta’ ranting, akan tetapi senantiasa bergerak ke satu titik, titik identitas. Dalam hal ini, sejarah (Arab-Islam) merupakan semesta fenomena manusia yang dibentuk dialektika, bergerak menuju identifikasi Islam secara utuh. Menganalisa sejarah Arab-Islam, berarti menelanjangi polemik yang hadir sepanjang catatannya. Rekan Andi menyayangkan lebam-kelamnya sejarah peradaban Islam paska wafat Nabi SAW. Seolah, nooktah perebutan kekuasaan menjadi sisi hitam dari apa yang hadir saat itu. Padahal, –dengannada sedikit menyayangkan dan raut yang cukup emosional, kekuasaan selalu diakhiri dengan terbunuhnya sang pemimpin.


Sebagai embrio baru intelektual Massiair, rekanita Neli Mulyati –dengan lugu menduga bahwa, sejarah adalah sebuah peradaban. Hal ini terbaca dibalik dinamika yang terjadi pada masa lalu, selalu hadir potensi penggerak, yaitu penggerak roda peradaban. Fungsi ini tentu akan muncul ketika sejarah mampu diposisikan se-proporsional mungkin dalam dinamika manusia seutuhnya.


Untuk kesempatan terakhir, waktu diberikan pada rekan Fahmy Farid Purnama. Baginya, bagaimanapun juga, relasi tatanan sosial peradaban Arab-Islam –dalam dimensi yang tidak kasat mata (al-dhawâhir al-thabî`iyyah), selalu terbentuk dalam kerangka-kerangka emosipredictable dan logika yang sistematis. Dalam hal ini, peradaban Arab-Islam –asumsinya- memuat dua unsur yang berbeda, namun saling melengkapi: tatanan fisik dan metafisik. Tatanan pertama adalah bentuk yang selalu berdialektika, sedangkan unsur kedua cenderung kokoh dan mapan. Dari titik tolak inilah, pendekatan marxime akan kehilangan satu sisi, metafisik, dan lebih didominasi faktor-faktor yang ‘tersentuh’, nalar materialistis. Justru analisa Ibn Khaldun bisa dikatakan pembacaan yang paling tepat dan mapan saat mendedah Arab-Islam. Karena, selain mendedah dialektika historis-matrerialistis, analisanya mampu menyentuh konstruk sosial yang ‘tak tersentuh’, nalar religiuitas.


Lebih lanjut, rekan Fahmy menjelaskan bahwa dalam prespektif Ibn Khaldun, agama sama sekali tidak berpotensi memunculkan konflik. Tapi, sengketa sosial lebih banyak ditimbulkan oleh konflik etnik ataupun tribe chauvinism, dimana penekanan konflik yang ada lebih pada pembentukan semesta dominasi ideologis, politis, ekonomi hingga psikologis. Misal, bagaimana langkah awal Nabi saw. ketika hijrah ke Madinah bukanlah tentang mempersatukan semua golongan dalam satu panji agama, tapi lebih pada mengikat persaudaraan diantara golongan Anshar dan Muhajirin, sebagai langkah antisipatif untuk mereduksi kecenderungan ethnic conflict. Sebagaimana analisa Bernard Lewis, problematika etnik-chauvinistik ini kemudian menyeruak kembali paska wafatnya Nabi saw. Terjadi transformasi karakter kepemimpinan dari yang berbentuk caliphate (khilâfah) menjadi kingship (mulk). Maka, konstruk sosial Arab-Islam bergerak kembali pada nilai-nilai masa pra-Islam, dengan unsur agama sebatas perangkat legitimasi dan kendaraan jusifikatif saja. Terakhir, rekan Fahmy menyitir asumsi Faocault bahwa, kekuasaan –pada dasarnya- mempunyai korelasi yang cukup erat dengan berbagai fenomena sosial-kemasyarakatan. Semuanya berada di dalam relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran itu. Karena itu, ‘kebenaran tidak ada dengan sendirinya. Kebenaran tidak berada di luar kekuasaan, ia berada di dalam kekuasaan’. Dengan demikian, ‘kekuasaan adalah kebenaran’.


***


Begitulah sekelumit potret dialektika diskusi Mizân dengan pekat malam sebagai saksi. Dari diskusi ini, dapat diasumsikan bagwa dialektika perbedaan dalam mendedah sejarah, merupakan sebuah keniscayaan logis ketika memahami lika-liku peradabannya. Perlu pembacaan kritis dalam mengurai puing-puing sejarah pergumulan manusia. [el-sundawiy]

fahmy farid p.
The Cold War is gone. Colonialism is gone. Apartheid is gone. Yet remnants of past troubles remain
[ Bill Clinton ]


Beberapa dasawarsa sebelumnya, ada kekuatan terselubung yang menghegemoni kesadaran muslim secara komunal, kolonialisme. Krisis identitas internal, ditambah rongrongan bangsa-bangsa berjiwa imperial telah merusak tatanan sistem politik, psikologi, sosial-budaya hingga moralitas bangsa terjajah. Jelas, hal ini menghantam telak peradaban Islam, sehingga dinamika internalnya menjadi mati, kemudian ‘berhenti di titik jajah’. Dominasi ekonomi, kekuasaan hingga ideologi menjelma sebentuk potret muram gerakan kolonialisme. Akhirnya, peradaban Islam bermuram durja. Lantas?

Bagaimanapun juga, tekanan penjajahan selalu memunculkan titik balik, resistensi. Dan percikan api gerakan itu mulai muncul ke permukaan, sebagai sebuah lompatan kesadaran sosial-komunal yang mencoba melepaskan diri dari gurita hegemonial ‘sang pandita’. Kini, peradaban Islam sedang bergerak dari romansa kolonialsme menuju nuansa kemerdekaan. Suara-suara pembebasan membuncah bergelimpangan ‘di lahan-lahan basah agama’. Bermunculan semesta identitas baru yang berkarakter ideologis maupun praksis, kemudian menapaki lipatan jalan tersendiri dalam mengentaskan problem krisis identitas tersebut. Terjadi dialektika identitas diantara corak-corak pergerakan fundamentalis, liberalis, hingga sekuleris, dimana masing-masing mendaku diri memiliki konsep tepat-guna untuk menyembuhkan sisa-sisa penyakit peradaban yang muncul akibat kolonialisme.

Ketika ‘pasar dogma’ kemudian disikapi dengan bijak, tentu akan memunculkan warna yang indah nan harmoni. Dalam arti, bukan tentang bagaimana memaksa perbedaan digeret pada bentuk tunggalitas epistemik, tapi membuat suatu wadah yang mampu mendialogkan berjubel corak paradigma yang diusung masing-masing kelompok. Namun, ketika disikapi secara dogmatis-ideologis, justru akan menjadi sebentuk ‘kolonialisme baru’ dalam tubuh internal Islam pasca kolonial.

Dari sini dapat diidentifikasi bahwa, sepanjang sejarah pergumulan manusia dengan lingkungan sosial –baik mikro maupun makro, selalu terbentuk dua corak pendekatan dalam menawarkan suatu prespektif: Dialogis-kulturalis dan imperialis-ideologis. Corak pertama lebih mengedepankan proses dialog dengan kultur setempat dalam mencari formulasi yang tepat dalam menata ulang suatu peradaban yang porak-poranda. Sedangkan corak kedua cenderung memaksakan kebenaran, sehingga enggan berdamai dengan realitas, kesadaran maupun kearifan lokal, hingga akhirnya menjelma menjadi sebentuk ‘ideologi tertutup'. Bentuk pendekatan imperialistik – secara sadar ataupun tidak- telah menghancurkan kultur setempat. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, dan timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat lanjutannya, muncul jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture of violence), bukan budaya dialog.

Berjubel permasalahan, justru akan muncul saat fenomena imperialis-ideologis mewarnai gerakan pembebasan peradaban Islam dari kungkungan sisa-sisa masa kolonialisme. Corak pendekatan ini tentunya tidak memiliki kontrol sosial yang jelas, dan terkesan memaksakan. Yang dicari hanyalah semesta dominasi ideologis, politis, hingga psikologis. Padahal, tiap peradaban tentu dihadapkan pada problematikanya tersendiri, dimana konstruk sosial cenderung berubah dari waktu ke waktu, juga peradaban senantiasa mengalami dinamika seiring perubahan konstruk sosialnya. Dan sayangnya, fenomena inilah yang lebih tercium pada tatara permukaan. Dibalik keragaman gerakan pembebaasn kolonialisme, terjadi klaim-klaim ideologis-dogmatis atas suatu kebenaran. Warna dialektika intelektual berubah fungsi menjadi lahan ‘baku-hantam’ untuk saling menjatuhkan, lalu fenomena tarik-ulur ‘tidak sehat’ menjadi sebuah keniscayaan tak terbantahkan. Adanya kecenderungan untuk mengkotak-kotakan ‘ke-aku-an’ pada tiap-tiap konsep yang diusung, ditengarai menjadi faktor adanya disharmoni antar gerakan, hingga akhirnya sebuah konsep menjadi ekslusif tanpa melalui proses dialog epistemik terlebih dahulu.

Maka, dalam membangun identitas baru Islam yang sempat tenggelam sebelumnya, justru tradisi –asumsi penulis- dapat diposisikan menjadi sebuah perangkat yang berfungsi sebagai kontrol pergerakan Islam pasca kolonial. Beragam khazanah dan tradisi suatu peradaban yang hilang semasa kolonialisme, semestinya mulai diapresiasi kembali agar pembacaan identitas tidak selalu diterawang secara inter-kultural dan tercerabut dari akarnya. Andai saja masa transisi Islam mengalami problem kegagapan dalam membaca faktor-faktor kultural melalui kebangkitan kelompok-kelompok etnis dan kedaerahan, maka ‘militansi atas nama agama’ dan benturan antar gerakan pembebasan, bukan lagi sesuatu yang aneh. Jika demikian, justru Islam pasca kolonial akan dihadapkan pada bentuk gerakan kolonialisme baru, kolonialisme internal!

***

Dalam pemetaannya –meminjam analisa Hasan Hanafi dalam buku Humûm al-Fikr wa al-Wathan, proyek peradaban Islam secara umum terbentuk dari tiga periode: Pertama, proyek peradaban klasik (mâdliy al-masyrû` al-hadlâriy). Masa ini terbentang dari abad ke-1 H. hingga sekitar abad ke-7 H., yang mengalami masa keemasan sekitar abad ke-3 hingga 4 H.. Pada rentang waktu tersebut, terjadi ekspansi, integrasi dan puncak peradanban, dimana menyeruak sebentuk pergeseran paradigma peradaban dari bentuk syair ke wahyu, dari bentuk paganistik menuju monotheistik, hingga transformasi wahyu kedalam bentuk interpretasi humanis, matematis bahkan medis. Namun setelahnya, dinamika itu berhenti di titik ‘diam’. Sementara peradaban Islam terbentur oleh desakan syahwat politik dari dalam pada masa dinasti Mamluk-Turki yang menyebabkan munculnya disintegrasi internal, peradaban Barat lambat laun mulai menghegemoni jajahannya ke luar. Masa-masa di akhir abad ke-7 H. ini merupakan potret nyata ambiguitas peradaban Islam, dimana pergerakannya cenderung stagnan.

Potret muram ini diawali dengan runtuhnya kekuasaan Baghdad oleh Hulagu di tahun 1258 M.. Puncaknya, invasi yang dilakukan Napoleon Bonaparte di tahun 1798 M. telah berhasil menduduki Mesir sebagai poros peradaban Islam yang terpenting. Konflik serta intrik internal ditambah intervensi eksternal (Barat) inilah diantara faktor-faktor yang telah menghancurkan budaya intelektualitas Islam, ‘hingga tubuhnya terbujur kaku nan rapuh’.

Kedua, proyek peradaban kini (hâdlir al-masyrû` al-hadlâriy). Dibutuhkan berapa dasawarsa bagi peradaban Islam untuk sekedar pulih dari trauma masa keterpurukan. Dan selama itu pula Islam mencari-cari formula yang tepat. Hegemoni Barat telah mengusik generasi Islam yang selama berabad-abad terus saja berkutat pada pada konflik internal. Masa-masa pembaharuan dan kebangkitan (renaissance) yang ditunggu-tunggu itu akhirnya muncul ke permukaan. Sebagai langkah awal, stagnasi disiplin-disiplin keilmuan Islam mulai dibongkar dengan melakukan pelbagai pembacaan ulang, yaitu: Pembacaan transendentis, dengan menumbuhkan dimensi transendental danam dinamika budaya. Liberalis, dengan membebaskan manusia dari belenggu yang mereka buat sendiri, kemudian menyatu dengan realitas. Dan humanis, dengan memanusiakan manusia dan membebaskannya dari proses dehumanisasi, kemudian menyadari eksistensinya secara utuh.

Proyek reinterpretasi dan revitalisasi peradaban Islam ini kemudian berpolarisasi pada beberapa bentuk, gerakan fundamentalis (al-ishlâh al-dîniy) yang berakar dari pemikiran al-Afghani, gerakan liberalis (al-libraliyyah al-hadîtsah) yang diusung al-Thahthawi, dan gerakan sekuleris (al-`ilmâniy) yang bermula dari prespektif Syibli Syumail. Jika dilakukan generalisasi analisis, ketiga gerakan ini merupakan kepanjangan tangan dari sejarah pemikiran Islam klasik. Nalar al-Afghani berkelindan dengan pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab, Ibn Qayyim, Ibn Taimiyyah dan Imam Ahmad ibn Hambal. Pemikiran al-Thahthawi berakar dari cara pandang Hasan al-`Athar, Ibn Rusyd, sekte Mu`tazilah dan fuqahâ politis. Sedangkan prespektif Syibli Syumail bersinggungan dengan pemikiran ulama-ulama yang concern di lahan matematik-empiristik. Walaupun demikian, masing-masing memiliki perbedaan mendasar jika ditelisik dari struktur epistemologinya, dimana paradigma agama dijadikan titik tolak gerakan fundamentalis, paradigma negara dan politik-kekuasaan dalam prespektif liberalis, dan empirisme pada sekulerisme, namun ketiganya memiliki tujuan yang sama, yaitu menjadikan Barat sebagai prototype peradaban modern.

Ketiga, proyek peradaban nanti (mustaqbal al-masyrû` al-hadlâriy). Dalam arti, Islam ke depan harus lebih adaptif dan apresiatif terhadap segala dinamika perubahan yang terjadi, tanpa tercerabut dari akar peradaban dan akar tradisi. Akan selalu terjadi dialektika antara al-âna (self) yang diproyeksikan sebagai khazanah turâts dengan al-âkhar (the other) sebagai cermin peradaban maju. Peta proyek peradaban ini mengambarkan bagaimana dinamika yang terjadi dalam tubuh peradaban Islam yang cukup fluktuatif. Dan ketika hal ini terjadi, maka akulturasi antar peradaban menjadi sangat logis. Namun, akulturasi ini tentunya memerlukan kontrol yang jelas ketika akan melakukan proses normalisasi diskursus terapan (al-manqûlat) yang ditransfer dari peradaban lain (the other).

Mengadopsi konsep Taha Abdurrahman, proses normalisasi diskursus memerlukan kaidah standarisasi terlebih dahulu, yaitu: (1) Standar penerimaan (mi`yâr al-taslîm). Dalam arti, konsep dan struktur epistemologi nilai-nilai normalitatif yang akan dijadikan prinsip dasar (prinsip kedua), harus memiliki strata lebih kuat dari nilai-nilai normalitatif sebelumnya (prinsip pertama). (2) Standar diferenesiasi (mi`yâr al-tamyîz). Maksudnya, nilai-nilai normalitatif yang akan dijadikan standar kaidah dasar, harus memiliki kontribusi dalam melakukan diferenesifikasi atas bangunan nilai-nilai turâts Arab-Islam dari bangunan nilai-nilai diluar Islam. (3) Standar preferensifikasi (mi`yâr al-tafdlîl). Dapat diartikan bahwa, nilai-nilai normalitatif yang akan dijadikan standar kaidah dasar, harus menyimpan nilai-nilai keutamaan, lebih dari yang lainnya. Melalui ketiga kaidah standarisasi ini, proses dialog antar peradaban dan antar konsep akan menjadi lebih indah, bukan malah menggeret pada kolonialisme babak baru. Karena dalam medan inilah, dialog antara prespektif fundamentalis, liberalis dan sekuleris berdinamika untuk menemukan suatu konsepsi tepat-guna bagi peradaban Islam pasca kolonial. [el_Sundawiy]
fahmy farid p.

sejenak menghibur diri di belantara keterasingan,...

lalu mulai tanggalkan identitas wujud,

dan akhirnya terdampar di ujung kesadaran

kesadaran manusia,...kesadaran sejarah,...hingga kesadaran bahasa...

bergumul menghadirkan ke-aku-an...


bukan apa-apa,...

semata mencoba melepaskan diri dari apa yang tampak,...

lalu mulai kerasukan simbol-simbol diri,...sosial,...bahkan agama,...

sepenggal kata 'maaf'-pun telah menjadi 'simbol' dan 'maninan kecil' dalam harinya kini,...

-mungkin- sebagai sebentuk tanggung jawab sosial,...

semerta agar tak lantas tersesat di belantara itu...


akhirnya, 'maaf' telah menjadi simbol bahasa ketulusan yang tersakralkan,...

kemudia memperkosa kesadaran manusia...

dan akupun dengan bahasa itu,...

hanya mengharap apa yang (semoga) pantas kuterima di Idul Fitri 1431 H. ini...

...dan tentang yang Satu, biar terselesaikan berdua saja,

dalam romantisme yang lebih syahdu...