fahmy farid p.


“Al-turâts `ibârah `an al-mautâ al-ahyâ fînâ”

[ Al-Jabiri ]


Benar, masisir (mahasiswa Kairo) benar-benar –sedang- mati berdinamika. Euphoria revolusi berbanding terbalik dengan euphoria intelektual, mati di titik ide! Tulisan sederhana ini –setidaknya- salah satu cara yang aku tempuh untuk kembali menghadirkan dinamika itu yang sempat terhenti di titik jajah.


***


Berdialektika dengan teks-teks ataupun kesadaran kuno (turâts) menjadi sangat ‘penting’ sekaligus ‘berbahaya’, mengingat teks tersebut hadir dalam kenyataan yang beda. Teks kuno ini boleh jadi muncul dari refleksi manusia atas apa yang dilihat, didengar hingga dirasa melalui mitologi rakyat, tradisi, refleksi sosial hingga teks holistik agama dan kepercayaan. Terbilang penting tentunya mempertimbangkan nalar manusia selamanya memiliki keterikatan epistemik dengan masa lalu, sebagai sebuah akar konseptual sekaligus potret kesadaran yang terus bergerak untuk melanjutkan ribuan pemaknaan moyang. Sederhananya, memutus teks kuno dengan realitas sama saja menghanguskan rona identitas yang sudah mengakar di jantung kesadaran. Namun juga berbahaya, berpijak bahwa realitas adalah sebuah kesadaran yang tidak akan pernah tuntas. Realitas –pada tataran ini- bisa jadi masih dan akan terus mencari bentuk idealnya. Ia tak boleh sekali-kali menawarkan ‘peluang untuk ragu ataupun diam’. Ketika itu terjadi, maka manusia bak robot yang tidak memiliki kesadaran berdialektika untuk –setidaknya- tumbuh-kembang melintasi batas kemauan, menembus batas asa. Berpijak pada paradigma ini, maka sudah selayaknya keluar dari perdebatan apologetik menuju kajian akademis atas turâts.


Jika kita meminjam pemaknaan yang digunakan al-Jabiri kalaulah turâts merupakan ‘teks atau kesadaran mati (warisan katalog nilai) yang hidup dalam kesadaran kita (masa setelah kemunculannya), maka akan nampak jelas di mana ia meletakkan penekanan konteksnya. Untuk itu, kritik turâts senantiasa menemukan momentumnya melalui analisa tiada henti. Sikap ini tentunya bukan berarti memutus ikatan sejarah dengan wacana yang hadir bertubi, melalui hantaman-hantaman kritik. Akan tetapi harus dipahami bahwa wacana tersebut merupakan sebentuk kesadaran epistemik, agar turâts terjaga dari konteksnya secara utuh. Seandainya memaksakan pemaknaan turâts secara an sich, semerta takluk pada kesadaran-kesadaran primordial, maka wacana yang muncul hanya nampak dalam konstruk pemaknaan realitas yang ‘jorok’, jauh dari pergerakan konteks manusia yang punya hasrat menggelora dan tak mudah dihabisi.


Untuk itu, analisa sederhana ini mencoba memotret fungsi otoritatif turâts atas realitas yang ‘bergerak dalam ketidak-ajegan’. Terlebih, teks-teks keagamaan yang –tentunya- menyimpan dimensi holistik nan tabu untuk dijamah dan diacak-acak (dekonstruksi) secara ‘arogan’. Karena bagaimanapun juga, turâts itu tak selamanya dipatuhi, atau lebih tepatnya tak selamanya persis mengena. Lain pada itu, manusia tidak membuat berhala dengan sendirinya, atau mewudjudkan realitas dalam benda mati, tapi –mungkin- yang mereka lakukan sekedar mewujudkan ekspresi dari ‘rindu dialektika’ dalam bats kultur diamana ia berkembang.


***


Turâts keagamaan –dalam hal ini wacana-wacana Islam klasik- layaknya potret dinamika sejarah peradaban dalam miniatur kesadaran yang padat. Semenjak terkodifikasikan secara apik, ia menjelma elemen yang mudah ditemukan, tapi sekaligus riwayat dialektika keberagamaan yang tak mudah diingat. Lain pada itu, keberadaannya di tengah hiruk-pikuk sosial bertaut dalam satu misteri, dimana teks turâts terlampau diposisikan sebagai teks holistik nan tertutup, tanpa kritik, tanpa analisa. Untuk itu, setidaknya langkah mula untuk mengubah mindset kita terhadap turâts adalah kembali terlibat dengan potret peristiwa-peristiwa yang berubah dan terkadang mengguncang, menjerumuskan diri dalam medan peristiwa lalu, untuk kemudian dilakukan melakukan pembacaan ualng teks turâts secara komprehensip.


Dalam menata ulang paradigma pembacaan turâts, saya kira dekonstruksi menjadi opsi paling menarik ‘saat ini’. Karena semenjak kemunculan gagasannya –secara sadar dan konseptual- di tangan Jacques Derrida yang tertuang dalam buku ‘Ilm al-Kitâbah/de la Grammatologie, dekonstruksi muncul sebagai strategi atau metode pembacaan teks. Hal ini tentunya terbilang tepat jika merujuk pada corak keberagamaan Islam yang sangat bergantung pada sirkulasi teks. Disamping itu, problem krusial yang menghantui peradaban yang berpijak pada teks adalah keterbatasan kata. Tentunya, sisi ini sangat paradoks dengan kenyataan bahwa teks selalu memendam ke-tidak-terbatas-an makna, dimana artikulasi suatu kata sangat terpengaruh konteks yang terus bergerak, bahkan terbilang liar. Untuk itu, pembacaan dekonstruktif atas turâts sekiranya mampu menghadirkan pemaknaan teks yang terikat dengan fakta-fakta sejarah, bukan pemaknaan yang terindra pada nalar pembaca melalui bodi teks. Dan pada titik akhir, pembacaan dekonstruktif tidak cuma menafsirkan kenyataan, tapi juga meng-kontekstualisasikan-nya.


Analisa dekonstruktif atas teks berpijak pada paradigma dasar akan ke-tidak-mampu-an analisa bodi teks, sebagaimana pembacaan yang dilakukan strukturalisme, untuk mengindra kebenaran secara utuh. Sederhananya, pemaknaan kata tidak bisa dijustifikasi sebagai makna final ataupun monolitik, akan tetapi sebatas jejak kesadaran yang bisa dilacak plot pembentukannya dalam sejarah. Bisa dipastikan bahwa kerapuhan pembacaan strukturalisme terletak pada prinsip umumnya yang sama sekali tidak melirik pada berbagai aspek dan fakta yang menyejarah, atau sketsa-sketsa internal yang unik. Karena strukturalisme merujuk pada asumsi terdapat logika permanen pada setiap hal sebagai struktur logika integral, yang dalam bahasa Derrida diistilahkan dengan logosentrisme. Logosentisme ini hadir sebagai ‘ilusi metafisikal’ yang mengacu pada asumsi adanya kehadiran objek absolut tertentu. Maka, pembacaan strukturalis ini sangat rentan mencerabut –makna- teks dari konteksnya.


Lain pada itu, pembacaan dekonstruktif juga mengasumsikan bahwa makna kata selalu muncul dalam perwajahannya yang pincang, karena setengah dari makna tersebut tidak hadir. Dalam bahasa lain, pemaknaan sebuah kata senantiasa tertunda dalam permainan-permainan simbol bahasa. Ia akan selalu nampak dalam potret yang simpang-siur, tak menentu dan acap kali mengecoh. Maka, pemaknaannya memendam potensi untuk dibatalkan kapan saja. Hal ini berbeda dengan prespektif semiotika yang pertama kali dihadirkan de Saussure, dimana segala sesuatu yang berkutat pada lingkaran kesadaran manusia, bisa berubah menjadi sebentuk simbol. Dengan demikian, ia menyimpan dua fungsi sekaligus dalam satu waktu; fungsi pragmatis dan fungsi indikatif. Sebagai sampel, pemaknaan singa (asad) secara pragmatis bisa diartikan binatang buas bercakar dan bertaring (sebagaimana yang biasa dibayangkan). Namun kata singa juga mengindikasikan makna lainnya, yaitu sajâ`ah (pemberani berani) dalam kultur arab. Bisa dipastikan kalaulah setiap kultur berbudaya memiliki selalu sistem integral berupa simbol-simbol tertentu untuk mengungkapkan pengalaman kesehariannya.


Dalam turâts Islam, strukturalisme terwakili oleh ilmu gramatika (nahwu-sharaf) dan semiotik oleh adâb dan balaghah (kesusastraan). Pada tataran ini, pembacaan dekonstruktif ‘seolah’ hilang dari analisa ulama muslim klasik ketika menganalisa teks. Katakanlah mulai dari al-Juwainiy yang menyadari sisi keterbatasan teks dan ke-tidak-terbatas-an (al-nash mutanâhiy wa al-wâqi` ghair mutanâhiy). Atau sebagaimana ungkapan Abdul Qahir al-Jurjani bahwa al-lafdz li al-aqdamîn, wa al-ma’nâ li al-muhdatsîn (bodi teks/kata milik para pendahulu, namun maknanya tetap harus merujuk pada –prespektif/konteks- kontemporer). Bahkan Zakariyya al-Anshori –setidaknya- meyakini kalaulah pemaknaan suatu kata bisa hadir dalam perwajahannya yang aksiomatik tidak dengan sendirinya, tapi melalui pemaknaan-pemaknaan konsensus secara turun-temurun (tawâtur) dan persaksian terhadap konteks (musyâhadah) melalui simbol-simbol yang terindra. Kesemuanya –dalam prespektif paling radikal- belum menghadirkan pembacaan dekonstruktif sebagaimana dikonsepkan Derrida. Kalaupun ada diantara ulama klasik yang melakukannya, bisa jadi terselip diantara rentetan teks turâts, ataupun muncul dalam potngan-potongan ide yang acak, lalu hadir sebagai struktur paradigma tak utuh. Namun dari beberapa ungkapan yang diutarakan ulama klasik, saya kira hadir semacam kesadaran dan semangat untuk senantiasa meng-kontekstualisasi-kan teks yang tidak terikat secara kaku pada bodi teks. Pada tataran ini, dekonstruksi telah menemukan momentumnya untuk dijadikan ‘metode alternatif’ dalam meng-kontekstualisasi-kan turâts, tanpa harus ada resistensi berlebihan.


Cairo, 20 Februari 2011 (02:15 pm.)