fahmy farid p.
Hukum hanya milik Allah
[Khawarij]

Yang menjadikan kita berbeda adalah yang menjadikan kita satu. Seharusnya!
Akan tetapi, berhati-hatilah terhadap kelompok yang menyembunyikan kebusukannya di balik ritual ibadah dan atribut Islam lainnya, padahal mereka adalah “agen-agen” yang akan menghancurkan pluralitas Islam dari dalam! Waspadalah…waspadalah…!

Prolog

Pergumulan sejarah peradaban manusia tidak akan pernah lepas dari konflik dan intrik-intrik, terlebih politik. Dalam arti, dinamika perbedaan merupakan sebuah keniscayaan dalam lika-liku peradabannya. Di samping itu, perlu pembacaan kritis dalam mengurai puing-puing sejarah pergumulan manusia, sebagaimana analisis relasi kekuasaan dengan kebenaran yang ditawarkan Faocault. Dengan analisis historisnya, Faocault merevitalisasi sesuatu yang selama ini dianggap absolut. Ia menempatkan kebenaran, rasio, pengetahuan, wacana akademik, pendidikan, manusia dan sebagainya di dalam kerangka relasi kekuasaan. Baginya, kekuasaan mempunyai korelasi yang cukup erat dengan berbagai fenomena sosial-kemasyarakatan yang bergumul pada tataran sebuah ruang dan waktu. Semuanya berada di dalam relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran itu. Karena itu, “kebenaran tidak ada dengan sendirinya. Kebenaran tidak berada di luar kekuasaan, ia berada di dalam kekuasaan”. Dengan demikian, “kekuasaan adalah kebenaran”.[1]

Mencermati perkembangan ragam sekte-sekte Islam, plot catatan sejarah –pasca wafatnya Rasulullah SAW., terkungkung dalam bingkai perselisihan, sebagai manifestasi dari hadits prediktif akan terpecahnya umat Islam menjadi 73 kelompok, semua masuk Neraka kecuali satu.[2] Mereka –yang selamat– adalah kelompok yang berpegang kepada al-sunnah dan ijma` sahabat (mâ ana `alaih wa ashâbî), untuk kemudian lebih dikenal dengan sebutan ahlussunnah wal-jamâ`ah. Hasil identifikasi mendalam yang dilakukan oleh para ulama mengarah pada bentuk sikap –dalam konteks interaksi politik-sosial– tawasuth (moderat) dan i`tidâl (konsisten).

`Amir Najar berasumsi bahwa 72 kelompok umat Islam lainnya tidaklah tergolong kafir yang abadi dalam Neraka. Rasul sendiri masih menggolongkan mereka terhadap umatnya, bukan yang lain. Dalam arti, pecahan kelompok ini sejatinya masih umat Muhammad SAW. “yang tersesat”.[3] Karena pada dasarnya, perberbeda pandangan dalam diskursus teologi, sosial-politik dan permasalahan-permasalahan Fiqh tidak terjadi dalam tataran substansial agama. Perang ideologi yang terjadi diantara mereka berkutat pada peoblem parsial. Namun sayangnya, prediksi ini justru “turut berjasa” memunculkan klaim-klaim tunggalitas kebenaran dan keselamatan di akhirat kelak. Lebih parah lagi, sering sekali terjadi aksi saling mengkafirkan pihak lain, semata untuk menegaskan posisinya sebagai firqah nâjiyah.
Frame global ini mengajak untuk melakukan pembacaan sejarah secara tepat, karena akan melahirkan paradigma berfikir yang bijak, sedangkan pembacaan secara rigid merupakan akar perselisihan.

Akar Khilafiyah

Pada prinsipnya, persatuan umat manusia dalam “satu panji-ideologis yang sama” merupakan sebuah impian setiap insan yang cinta damai (peace, love and respect) –walaupun kenyataannya bersifat utopis.[4] Hal ini diamini pula nash Al-Qur`an untuk menguatkan hal tersebut.[5] Sejarah berbicara, sebelum nilai-nilai Islam melebur dengan Bangsa Arab, mereka terjebak dalam peperangan kekuasaan. Yang berlaku kala itu tidak lain representasai dari hukum rimba (siapa yang kuat dia yang berkuasa). Maka, ketika masa kegelapan Bangsa Arab tersebut semakin akut, diutuslah Muhammad untuk melenyapkan karakter jahiliyah dalam jiwa-jiwa pesakitan mereka. Beliau mampu membentuk sebuah peradaban harmoni dalam lautan perbedaan.

Fakta ini memunculkan sebuah tanya, kenapa umat Islam hancur berkeping-keping setelah sang pemersatu kembali keharibaan-Nya? Bukankah beliau telah mewariskan petunjuk agar tidak tersesat di persimpangan jalan! Menyikapi fenomena ini, Syahrastani berpendapat bahwa secara umum, dia menyepakati akan tidak adanya perpecahan dan perbedaan prinsip akidah dalam tubuh umat Islam pada masa Nabi –dan beberapa waktu setelahnya. Sikap chauvistik Bangsa Arab tersembunyi di balik prinsip pluralitas-universalitas. Hanya saja, perlu diperhatikan bahwa ambiguitas (syubahat) umat manusia di akhir masa, muncul dari pertikaian yang terjadi pada akar historisnya.[6] Sehingga, sangat logis jika percikan-percikan karakter jahiliyah tersebut muncul kembali pada masa Khulafa Al-Rasyidin, walaupun secara umum nilai-nilai universalitas tersebut masih terjaga.

Muhammad Abu Zahrah mengidentifikasi secara sistematik-substantif untuk melacak akar perpecahan.[7] Menurutnya, berbagai catatan sejarah menyimpulkan beberapa faktor mendasar. Pertama, sikap chauvistik (sifat patriotik yang berlebih-lebihan), arogansi suku serta fanatisme sekte Bangsa Arab.[8] Pada masa Nabi SAW, sikap barbarian ini tidak menyeruak ke permukaan. Karena, nilai-nilai yang diusung lebih mengedepankan toleransi antar umat manusia. Hal ini berlangsung sampai masa ke-Khalifah-an Utsman ibn `Affan (perbedaan yg terjadi baru sebatas percikan-percikan). Pertikaian ini menyeruak dan semakin akut di akhir masa kepemimpinannya. Fanatisme tersebut seolah-olah menemukan momentum untuk berkembang. Utsman dituduh mengadakan gerakan nepotisme, dengan memberikan posisi strategis kepada sanak familinya. Meruntut lebih ke belakang, hal ini ditengarai sebagai ekses sejarah panjang perselisihan antara kelompok bani Umayah dan bani Hasyimiyah pada masa Jahiliyah. Di samping itu, muncul juga perselisihan antara kelompok Khawarij dengan kelompok lainnya.[9]

Kedua, perselisihan politik-kekuasaan. Sesaat setelah Nabi SAW. wafat, problematika pertama yang dihadapi umat Islam terkait dengan siapa yang pantas menggantikan posisinya. Masing-masing dari golongan Anshar dan Muhajirin mengaku yang paling pantas. Anshar mengklaimnya, karena mereka merasa turut berjasa besar mengawal dakwah Islam. Sedangkan pertimbangan sebagai kelompok paling awal masuk Islam dijadikan alibi Muhajirin untuk mendapatkan tampuk kekuasaan tersebut. Hanya saja, kekuatan iman Anshar-lah yang mencegah terjadinya pertikaian lebih lanjut di antara keduannya. Tidak berhenti disana, perselisihan kembali menyeruak, dimana Muhajirin sendiri masih kebingungan, apakah kepemimpinan harus dari Ahlul Bait, ataukah siapa saja berhak. Kedepannya, munculah Syi`ah, Khawarij dan kelompok-kelompok sempalan lainnya sebagai ekses logis dari perebutan kekuasaan ini.

Ketiga, saling berdampingannya muslim dengan penganut agama lain, untuk kemudian sebagian dari mereka memeluk Islam dengan motif yang relatif beragam (benar-benar Islam ataukah penyusup yang mencoba merusak Islam dari dalam). Percampuran ini –disadari atau tidak–mengakibatkan terjadinya infiltrasi ideologis besar-besaran (cross cultur and ideology). Sisa-sisa ideologi agama jahiliyah mengakar kuat dalam alam bawah sadar mereka, sehingga ketika merenungkan hakikat Islam, mereka terjebak dalam bongkahan cahaya agama sebelumnya.

Di samping frame besar akar khilafiyah di atas, banyak pula faktor lainnya seperti alih bahasa diskursus filsafat yang notabene warisan budaya peradaban Yunani, penyebaran mitologi dan kisah-kisah Israiliyât di masjid-masjid yang bermula saat kepemimpinan Utsman, ragam interpretasi terhadap ayat-ayat mutasyâbihat. Juga ribuan alasan lainnya yang ikut terpendam bersama puing-puing sejarah peradaban manusia.

Secara sistematis, perpecahan Islam pada awal perkembangannya (masa Dinasti Umayah) dapat dibagi menjadi; -1- Politik-keagamaan yang direpresentasikan oleh Khawarij dan Syi`ah. -2- Ideologi-keagamaan yang diwakili kelompok Murji`ah, Jabariyah, Qadariyah dan Mu`tazilah.[10]

Genealogi Sekte Khawârij

Khawarij merupakan salah satu prototype sekte-sekte Islam pada awal perkembangannya. Dalam tinjauan etimologis-derivatif, istilah ini digunakan untuk sekelompok orang yang mengisolasi dan memisahkan diri dari manusia. Dipakai pula sebagai julukan orang yang memiliki kecenderungan tunggalitas pendapat atas dorongan hawa nafsu.[11] Sejarawan Syahrastani mengklasifikasikannya pada setiap kelompok pembangkang pemerintahan (kepemimpinan) sah secara konstitusi dan disepakati oleh masyarakat, baik pada masa sahabat (masa Khulafa Al-Rasyidin), Tabi`in, maupun pemimpin dalam setiap masanya.[12]

Secara terminologis-filologis, penamaan ini hanya ditujukan pada sekelompok orang yang pada awalnya mendorong sahabat Ali ibn Abi Thalib untuk menerima tawaran Muawiyah ibn Abi Sufyan, terkait tahkîm (arbitrase-perundingan) di tengah berkecamuknya perang Siffîn (37 H.). Akan tetapi, kemudian mereka keluar (desersi) dari barisan Khalifah Ali, setelah hasil perundingan kedua belah pihak tidak sepaham dengan mereka.[13]

Mereka juga sering disebut dengan kelompok Haruriyah (dinisbatkan pada daerah Harura, tempat mereka mengasingkan diri dari pemerintahan Ali ibn Abi Thalib), Muhakkimah (karena slogan masyhur mereka “lâ hukma illa-Allah”), juga Syuraah (sebuah nama yang paling dibanggakan, karena mereka merasa telah menjual jiwanya hanya untuk Allah dengan menjustivikasi al-Quran surat Al-Baqarah ayat 207; dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya).[14]

Cikal-bakal sekte ini, sebenarnya sudah diprediksikan Nabi SAW. jauh-jauh hari sebelum mereka membuka topeng kebusukannya.[15] Isyarat ini terkait pasukan tentara yang dipimpin Ali ibn Abi Thalib, ketika prosesi pembagian harta ghanîmah (harta rampasan perang). Saat itu, Dzul Huwaishirah, keturunan Bani Tamim, mendatangi Rasul untuk menuntut keadilan. Beliau bersikap bijak dalam menyikapi percikan ini, sehingga tidak terjadi kericuhan hebat. Rasulullah mencegah para Sahabat saat hendak memerangi mereka. Beliau tahu, di belakangnya terdapat kroni-kroni yang sama persis sifatnya dan kemungkinan besar mereka akan mengobarkan pemberontakan (bughat) saat tahu temannya dianiaya.[16]

Sebelum masuk dalam diskursus Khawarij, seyogyanya memperhatikan alur dinamika perjalanan ke-khalifah-an sahabat Ali ibn Abi Thalib. Ada ikatan yang sangat erat antara kemunculan khawarij dengan rentetan peristiwa yang terjadi sebelum meledaknya perang Siffîn. Karena, “batang hidung” sekte Khawarij sendiri mulai muncul ke permukaan saat perpecahan di antara kaum muslimin semakin suram. Hal ini bermula ketika sahabat Ali r.a. mendapati berbagai kejanggalan pada kasus pembunuhan Khalifah Utsman ibn `Affan. Kejanggalan yang dirasakannya, kemudian benar-benar menyeruak setelah tampuk kepemimpinan beralih ke tangannya.[17]

Ketika Ali r.a. menerima tongkat estafet kepemimpinan, stabilitas politik saat itu benar-benar amburadul (chaos). Di samping itu, konsolidasi antar kelompok dalam rangka perbaikan struktur pemerintahan bentukan Khalifah Utsman r.a. belum dilakukan. Maka, aktifitas ke-khalifah-an pertama yang dilakukannya adalah memisahkan kelompok Muawiyah dari wilayah kekuasaan Utsmâniyin,[18] karena platform politik keduanya sangat kontradiktif. Akhirnya, kelompok Umawiyyîn “diasingkan” ke daerah Syam. Di samping itu, dia memecat gubernur-gubernur yang diangkat Utsman dan menarik kembali tanah negara yang telah dibagi-bagikan Ustman kepada kerabatnya. Kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan Ali, membuat berang lawan-lawan politiknya. Sehingga posisi Ali benar-benar dilematis, terjepit antara keinginan untuk memperbaiki stabilitas negara dan ambisi musuh yang senantiasa menjegal pemerintahannya. Kondisi Madinah yang tidak kondusif, memaksa Ali memindahkan Ibu Kota Negara di Kuffah, dimana dirinya mendapatkan dukungan penuh rakyat.

Instabilitas politik yang terjadi di awal masa pemerintahannya, memunculkan polemik hebat dengan kelompok Utsmaniyîn yang menuntut keadilan atas terbunuhnya sang Khalifah. Kekacauan dengan kelompok ini berakhir dengan meletusanya perang Jamal (36 H. – 656 M.) di Bashrah-Irak.[19] Peperangan ini dimenangkan oleh pasukan Ali r.a. dengan terbunuhnya sahabat Thalhah dan Zubair serta sekitrar 13 ribu jiwa lainnya melayang. Sedangkan Sayidah `Aisyah dipulangkan ke Madinah.

Selain dihadapkan pada pemberontakan kelompok Utsmâniyîn, Ali r.a. juga “dipusingkan” oleh pemberontakan Umawiyîn. Kebijakan yang diambil untuk mengasingkan mereka ke tanah Syam, terang-terang ditolak Muawiyah dan membuatnya kecewa, serta berdampak pada keengganannya membai`at Ali r.a. sebagai khalifah pengganti Utsman ibn `Affan. Kekecewaan yang dirasakannya, juga mendorong Muawiyah untuk “bercerai” dengan pemerintahan Ali r.a, dan kemudian mendeklarasikan “pemerintahan tandingan” di daerah Syam. Bayang-bayang masa suram perang saudara (perang Jamal) dalam tubuh umat Islam, kembali hadir di pelupuk mata, dimana Muawiyah mulai menyebarkan hasutan-hasutan dengan menuduh Ali r.a. sebagai aktor di balik pembunuhan Utsman r.a. Dia juga menyeru penduduk Syam untuk kian gencar menyuarakan “revolusi” pemerintahan dan kudeta kepemimpinan.[20]

Perseteruan kelompok Ali dan Muawiyah mulai meruncing dan menyeruak ke permukaan pada bulan Muharam (37 H./657 M.), namun belum terjadi peperangan yang sesungguhnya. Bulan ini digunakan keduanya untuk mengutus perwakilan masing-masing (dalam rangka mengadakan perundingan), dengan harapan bisa tercapai islah (rekonsiliasi). Hanya saja, utusan dari kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan islah. Seiring berlalunya bulan Muharam, kedua kelompok ini mulai bersiap-siap bertempur. Di awal bulan Shafar, perang saudara ini (perang Siffin) tak bisa lagi dihindari, dan berlangsung selama sepuluh hari berturut-turut. Pada hari kesepuluh, pasukan Ali sedikit demi sedikit mampu memukul mundur tentara Muawiyah dan `Amru ibn `Ash. Melihat potensi kekalahan yang sudah di pelupuk mata, `Amru ibn `Ash memberikan saran kepada Muawiyah untuk melakukan Tahkim, dengan mengangkat Mushaf pada ujung pedang agar tentara Ahlu Iraq terpecah dan mempersatukan pasukan Ahlu Syam. Melihat Mushaf yang diacung-acungkan di atas pedang, sahabat Ali r.a. memperingatkan pasukannya agar tidak tertipu oleh strategi perang musuh.[21]

Walaupun rekayasa tersebut sudah diperingatkan, namun tentara Ali benar-benar terperangkap strategi Muawiyah. Inilah momentum awal kemunculan sekte Khawarij, dimana mereka mengabaikan peringatan pimpinan atas tipu daya lawan, dengan memaksa pimpinan pasukan untuk menerima Tahkim. Ancaman dan intimidasi-pun dilancarkan; mengultimatum dan memperlakukan Ali sebagaimana perlakuan mereka terhadap Utsman r.a.[22]

Permasalahan ini membuat Ali r.a. berada dalam posisi sulit. Akhirnya dia memberikan tawaran, apakah mereka mau mentaatinya dan melanjutkan peperangan, ataukah membangkang. Sebagian dari pasukan Ali menghendaki agar perang dilanjutkan, sedangkan sebagian lainnya (cikal-bakal Khawarij)[23] menghendaki proses Tahkim. Kelompok yang menginginkan perundingan kemudian mengajukan Abu Musa Al-`Asy`ari sebagai utusan.[24] Sahabat Ali melobi mereka dengan mencalonkan `Abdullah ibn `Abbas (ahli diplomatik) dan tidak mengutus Abu Musa, karena merasa karakternya tidak cocok untuk dijadikan juru runding. Permintaan ini ditolak mentah-mentah dengan alasan bahwa pengutusan ibn Abbas tidak lain bentuk nepotisme yang serupa dilakukan Utsman. Akhirnya, Abu Musa menjadi utusan pihak Ali (yang secara pribadi menolaknya).[25]

Kedua belah pihak menghentikan peperangan, lalu diadakan Tahkim. Dalam proses perundingan ini Abu Musa benar-benar dipecundangi oleh siasat `Amru ibn `Ash. Tahkim ini menghasilkan keputusan yang timpang, dimana Ali diturunkan dari jabatan dan Mu’awiyah naik posisinya menjadi khalifah. Apa yang dibayangkan kelompok Muawiyah benar-benar menjadi kenyataan. Pasukan Ali bergoncang dari dalam, terutama setelah hasil proses Tahkim selesai. Dokumen perundingan tersebut ditulis dan disampaikan kepada khalayak oleh al-Asy`ats ibn Qais al-Kindiy. Dia menyerahkan dokumen tersebut, kemudian mereka membacanya sendiri. Hingga sampailah dokumen tersebut ke tangan kelompok Bani Tamim yang di sana terdapat `Urwah ibn Udayah al-Tamîmi.[26] Melihat isi perundingan yang tidak sesuai dengan harapan, dia marah besar seraya memukul bagian belakang kuda milik al-Asy`ats. Hal ini hampir saja memicu pertikaian di antara keduanya, juga Bani Yamâniyah.

Setelah proses arbitrase selesai, Pasukan Ali memutuskan pulang dari peperangan dan kembali ke Kuffah dalam keadaan “terkoyak”. Kejadian ini terang-terang memercikan krisis baru dengan menyeruaknya pembangkangan yang dilakukan oleh sekelompok –sebagian besar– muslim dari Bani Tamim. Mereka menyatakan ketidakpuasan terhadap proses dan hasil perundingan tersebut. Secara aklamatif, mereka menganggap kafir Ali, Muawiyah, serta tentara-tentara yang sepakat dengan hasil Tahkim.[27] Ketika hendak memasuki Kuffah, mereka menolak kembali ke sana,[28] kemudian memilih tanah Harura sebagai markas besarnya. Di sana, mereka mendirikan pemerintahan yang terpisah dari kepemimpinan Ali r.a.

Pergolakan ini mengindikasikan bahwa kemunculan sekte Khawarij sangat erat terkait dengan problematika nuansa kekuasaan-kepemimpinan. Persoalan teologi hanya dijadikan komoditi politik untuk melegitimasi gerakan mereka. Syahrastani berpendapat bahwa, perbedaan paling akut –yang berujung pada peperangan– dalam tubuh umat Islam selalu terkait masalah kekuasaan. Karena, dalam catatan sejarah Islam, perbedaan akidah agama (teologi) tidak pernah berakhir “di ujung pedang”.[29] Sebagai catatan, masing-masing kelompok memiliki ijtihadnya dalam menentukan pemimpin. Namun dimata Ahlu al-Sunnah, ijtihad yang dilakukan Ali r.a. dan para loyalisnya dipandang lebih tepat (benar) daripada Muawiyah. Sedangkan pendapat Imam Ahmad dan imam-imam umat muslim lebih cenderung tidak menyalahkan ataupun membenarkan keduanya.[30]

Ideologi Sekte Khawârij

Kerangka pemikiran sekte Khawarij mewarnai ragam pemikiran Islam klasik, hanya bertahan dalam waktu yang cukup singkat. Selain karena konstruknya belum mapan, ideologi mereka cenderung destruktif, bersifat kekerasan doktrinal-kultural (doctrinal-cultural violences), maupun sosial. Dengan aksi-aksinya yang kejam dan destruktif, mereka tidak hanya mengacaukan stabilitas politik, tetapi juga mendistorsi logika berfikir umat Islam dan memahami keimanan-kebenaran secara monolitik-monopolistik. Perilaku keseharian mereka bisa dibilang sangat mencerminkan muslim yang dekat dengan Tuhan. Namun sikap rigiditas telah menyeret mereka jatuh dalam lembah kenistaan dan pelanggaran terhadap aturan-aturan Tuhan. Ironi!

Secara garis besar, ideologi Khawarij tercermin dalam beberapa aspek;[31] Pertama, menghalalkan darah (membunuh) orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Pemahaman mereka tentang Islam telah dibingkai oleh batasan-batasan ideologis dan platform politik, sehingga tidak mampu melihat –apalagi memahami– kebenaran. Di samping itu, mereka memahami al-Qur`an dan hadits secara harfiah dalam bingkai “korpus tertutup”. Dalam hal ini, terdapat dikotomi mendasar antara literalisme korpus tertutup dan korpus terbuka. Literalisme korpus tertutup membatasi makna teks dari makna-makna lain yang sama-sama berkemungkinan benar. Pembacaan tersebut mereduksi serta mendistorsi pesan teks itu sendiri. Sehingga, klaim-klaim kebenaran sepihak (one-sided truth claims) dengan mengandalkan paradigma teologis dan pembatasan paradigma keagamaan terhadap kandungan makna literal teks, terus bermunculan dalam memahami fenomena kontemporer. Sedangkan literalisme terbuka merupakan pencarian makna teks secara luas dan terbuka, dengan tetap berusaha berpegang kuat pada makna harfiah teks yang bersangkutan, namun tanpa terikat secara kaku.[32]

Mekanisme rigiditas ideologis dan pemahaman Islam secara monolitik ini, tidak memberi ruang (mentolelir) pada setiap perbedaan ijtihady. Ideologi mereka yang cenderung ekstrem seolah-olah satu-satunya interpretasi yang benar tentang Islam, sedangkan lainnya divonis kafir.[33] Paradigma ini adalah penyakit epistemologis yang telah membuat perbedaan pendapat tidak produktif.

Kedua, pelaku dosa (ketika tidak bertaubat) maka dianggap kafir, serta dihukumi sebagai penghuni abadi neraka. Dalam hal ini, mereka berpijak pada al-Qur`an, surat al-Baqarah [81], yang artinya; (Bukan demikian), yang benar: Barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Bagi mereka, setiap pelaku dosa (baik dosa besar atau kecil) dianggap telah berpaling dari iman dan Islam. Maka, ketika mati tidak dihukumi muslim, sedangkan selain muslim (kafir) selamanya abadi di neraka.[34] Di samping itu, mereka menganggap bahwa sebuah pendapat (ra`yun ijtihâdiyun) yang kontradiktif dengan kebenaran (dari sudut pandang mereka) merupakan dosa. Hal ini menjadi titik tolak pemikiran mereka saat memvonis kekufuran Ali, Muawiyah, orang-orang yang sepakat dengan Tahkim, serta ashab al-Jamal.

Ketiga, kepemimpinan (khalifah) tidak harus dari golongan Quraisy, akan tetapi boleh dari kelompok mana saja (Quraisy atau lainnya).[35] Pijakan al-Qur`an yang dijadikan justifikasi pandangan mereka adalah surat al-Nisâ [58-59]. Bagi mereka, seorang khalifah harus ditetapkan melalui proses pemilihan bebas oleh kaum Muslimin. Legitimasi kepemimpinannya tetap (sah) selama bersikap adil, menegakan syari`ah, serta menjauhi kesalahan. Ketika sudah tidak memenuhi syarat, maka wajib diasingkan, diperangi, kalau perlu dibunuh. Namun, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang niscaya dalam tatanan kehidupan sosial ketika masyarakat bisa berbuat adil atas fenomena yang terjadi di lingkungannya. Mereka memandang bahwa syara` sama sekali tidak mengharuskan adanya pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat, akan tetapi sesuatu yang diperbolehkan (jâiz).[36]

Keempat, terkait wacana keagamaan yang berhubungan dengan iman dan perbuatan. Konsep iman dalam perspektif mereka bukan terbatas pada meyakini adanya Allah dengan hati dan menetapkannya dengan ucapan, akan tetapi harus disertai dengan perbuatan nyata. Pemahaman ini menjadikan iman mengalami pembengkakan makna, dimana asalnya bersifat keyakinan (i`tiqâdi), kini merambah tataran perbuatan fisik (`amali). Eksesnya, mereka kerap kali “turun ke jalan” untuk melakukan jihad –yang sayangnya mengatasnamakan Islam– dalam rangka merealisasikan –dengan paksa– prinsip-prinsip dasar akidah mereka.[37]

Terlepas dari dogma-dogma parsial, postulat-postulat di atas merupakan frame besar ideologi sekte Khawarij (karena Khawarij sendiri pecah ke dalam beberapa kelompok). Di samping itu, mereka juga meyakini kemakhlukan al-Qur`an sebagaimana sekte Mu`tazilah.

Kelompok-Kelompok Pecahan Sekte Khawarij[38]

Menurut Fakhrudin al-Razi, sekte Khawarij tercerai-berai ke dalam 21 kelompok, yaitu: al-Muhakkimiyah,[39] al-Azâriqah (Abu Nafi` Rasyid ibn al-Azraq.),[40] al-Najdât (Najdah ibn `Amir al-Nukh`a),[41] al-Baihasiyah (Abu Baihasi),[42] al-`Ajâridah (`Abdul al-Karim ibn `Ajrad),[43] al-Shaltiyah (Utsman ibn Abi Shalat),[44] al-Maimûniyah (Maimun ibn `Imran),[45] al-Hamziyah (Hamzah ibn Adrak),[46] al-Khalafiyah (khalaf),[47] al-Athrâfiyah (Ghalib ibn Syadzan ibn Sajastani),[48] al-Sya`îbiyah (Syu`aib ibn Muhammad),[49] al-Hâzimiyah (Hazim ibn `Ali),[50] al-Tsa`labiyah (Tsa`lab ibn `Amir),[51] al-Akhnasiyah (Akhnas ibn Qais),[52] al-Mu`abbadiyah (Mu`abbad),[53] al-Rasyîdiyah (Rasyid al-Thusiy),[54] al-Makramiyah (Makram ibn `Abdullah al-`Ujla),[55] al-Ma`lumiyah wa al-Majhûliyah,[56] al-Ibâdliyah (`Abdullah ibn Ibadli al-Maqâ`isy),[57] al-Ashfariyah (Ziyad ibn al-Ashfar),[58] dan al-Hafshiyah (Hafash ibn al-Miqdam).[59]

Kendati demikian, sebagian ulama agama dan ahli Fiqih memandang Khawarij sebagai kelompok kafir sempalan. Salah satu hadits yang digunakan hujjah mereka –terlepas dari apakah termasuk kategori hadits shahih atau tidak- adalah hadits yang diriwayatkan dari `Abdullah ibn Aufa; berkata, “Aku mendengar Rasulullah berkata; Khawarij adalah anjingnya penghuni neraka”. Namun segolongan lainnya memilih bersikap hati-hati agar tidak terjerumus ke dalam ‘lahan basah’ saling mengkafirkan, seperti al-qadli `Iyadl, al-Balqani, al-Khuthabi, Ibn Bathal, imam al-Syafi`i, dan Ibn Taimiyah yang memandang Khawarij sama sekali tidak kafir. Bereka hanya menggolongkan Khawarij sebagai kelompok orang-orang fasiq.[60] Hanya saja, di antara 21 kelompok tersebut terdapat sebagian dari mereka meyakini prinsip-prinsip yang jelas-jelas kontradiktif dengan ajaran Islam –yang pantas dihukumi kafir, yaitu kelompok al-Yazîdiyah dan al-Maimûniyah.[61]

Keterkaitan Ideologis Khawarij dengan Gerakan Garis Keras Kontemporer (neo-Khawarij)

Walaupun secara institusi Khawarij dinyatakan telah lenyap dari muka bumi, namun DNA ideologi mereka masih saja berkeliaran hingga saat ini dengan baju yang berbeda. Ideologi Khawarij jelas-jelas menjadi preseden buruk bagi generasi muslim berikutnya. Dalam hal ini, Islam menjadi korban! Dan siapa pun yang mewarisi kebiasaan buruk Khawarij pantas dipanggil sebagai “neo-Khawarij”.[62]

Fenomena ekstrimisme –yang akhir-akhir ini marak dalam tubuh umat Islam, jika dilihat dari kacamata prespektif Nasr Hamid, berkait-kelindan dengan mekanisme diskursus Islam kontemporer. Kecenderungan beberapa kelompok fundamentalis dalam sikap rigiditas ideologis sangat erat kaitannya dengan mekanisme penyatuan antara nalar dan agama. Keterkaitan ini cerminan sisi historikal yang sarat dengan ragam pertentangan. Fakta sejarah berbicara bahwa ideologi Khawarij jelas-jelas tidak mentolelir setiap perbedaan yang bersifat ijtihady-fundamental. Perlu dipahami bahwa, ketika wacana keagamaan cenderung dikuasai oleh satu hakikat kebenaran, dengan menolak setiap perbedaan yang bersifat fundamental, maka bentuk wacana yang muncul justru akan menggeret pada sikap kaku, keras dan ekstrim.[63] Sehingga kasus saling memfasikkan, bahkan mengkafirkan menjadi asas akidah dan keimanan agama.[64] Mengutip hasil analisa Syafii Maarif ketika melacak akar fundamentalisme dalam dunia Islam;

Kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang dinilai telah sangat menyudutkan Islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu, golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk “menghibur diri” dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Jika sekedar “menghibur”, barangkali tidak akan menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk mrelawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan golongan muslim yang tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari.[65]

Dapat ditarik garis linear, sikap yang ditunjukan mengarah pada ketidakmampuan menjawab tantangan fenomena laju peradaban, sehingga mereka mengalihkan perhatian pada bentuk “negara uthopia” atas nama agama.

Hingga saat ini, para aktivis garis keras (neo-Khawarij) senantiasa memelihara dan terus memperjuangkan ideologi mereka. Bingkai pemahaman yang cenderung ekstrem, kaku, dan keras tidak lain hasil dari pembacaan harfiah atas sumber-sumber ajaran Islam. Ekses logisnya, menyeruak seruan penolakan rasionalisme, kultur-tradisi, pluralitas, serta beragam khazanah intelektual Islam lainnya yang sangat kaya (yang notabene berangkat dari akar tradisi). Ini merupakan representasi perang ideologi.

Epilog

Fenomena Khawarij yang telah menggerogoti Islam dari dalam, ataupun neo-Khawarij yang cenderung ke arah dekstuksifikasi internal Islam, nyata-nyata mewarnai rentetan sejarah peradaban Islam. Mereka mengubah wajah Islam dari agama menjadi ideologi politik, sehingga pemahaman Islam akan tereduksi karena dibingkai dengan batasan-batasan ideologis dan platform politik.

Tidak hanya itu, dengan innocent-nya para aktivis garis keras menyuarakan klaim-klaim implisit bahwa mereka sepenuhnya memahami maksud kitab suci. Seolah-olah mereka berhak menjadi wakil Allah (khalîfah) dengan serta-merta menguasai dunia ini untuk memaksa siapapun yang mengikuti pemahaman ‘sempurna’ mereka. Jelas, hal ini sama sekali tidak bisa diterima baik secara teologis maupun politis. Maka perang ideologi ini semestinya disikapi dengan bijak, tentang bagaimana mendasarkan pemahaman agama dan praktik keagamaan pada semangat rahmat dan spiritual terbuka, bukan secara ideologis dan politis yang kaku.

Dalam mendeskripsikan sejarah, ada tanggung jawab objektifitas yang harus diemban seorang pengkaji. Penulis sadar, pembacaan sejarah secara bijak-benar akan melahirkan prespektif yang tepat, pembacaan secara rigid-kaku akan menjadikan sejarah sebatas bualan kisah dan coretan pada kertas sampah! Di samping itu, diskursus keilmuan akan lebih bisa diterima oleh khalayak ketika tidak terdapat –sedikit- turut campur ideologi penulis. Maka dari itu, sebagai apologi, penulis berasumsi; “sekelumit rentetan sejarah tak akan pernah terlepas dari pembacaan reduktif dan distortif, serta alam bawah sadar (archeology of knowledge) penulis yang terkadang ikut nimbrung menjustifikasi sejarah secara sepihak”. Sehingga, tulisan inipun sangat rentan dengan kesalahan data dan fakta otentik.

--------------------------------------------------
[1] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta: LKiS, cet. V, Maret 2001, hal. 31-32, diterjemahkan oleh M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula dengan judul asli; Between Modernity and Postmodernity
[2] Hadits prediktif ini dinilai janggal (dlâif) jika ditelaah dari sudut pandang matan-nya. Pertama, penuturan bilangan dengan urut (71,72,73) terkesan direkayasa dan irasional. Lebih aneh lagi, hadits ini serta-merta disandarkan langsung pada Nabi SAW. Kedua, Nabi SAW. sebagai agen pemersatu umat, tidak sepantasnya memprediksikan perpecahan yang akan dialami umatnya –andaipun hal ini benar dan sangat mungkin, jika ditelisik dari kapasitasnya sebagai seorang Rasul. Ketiga, seandainya hadits ini shahih, keberadaannya mesti ditemukan pada awal-awal perkembangan Islam pasca wafat Nabi. Faktanya, sama sekali tidak ditemukan sekitar abad 2-3 H. Keempat, eksesnya, muncul berbagai klaim-klaim dengan saling mengaku sebagai sekte yang selamat (firqah nâjiyah) yamg rentan sekali memunculkan berbagai hadits palsu. Pada akhirnya, banyak sejarawan yang yang terjebak dengan nominal redaksi hadits tersebut, kemudian meraba-raba untuk menggenapkannya hingga mencapai angka 73. Mereka lupa bahwa perpecahan umat islam tidak hanya berhenti pada masa mereka saja, akan tetapi –ditinjau dari hukum probabilitas, sangat mungkin sekali kedepannya akan muncul sekte-sekte lain, atau malah justru berkurang. Lihat Abdel-Rahman Badawi, Madzâhib al-Islâmiyîn, Beirut: Dar Al-`Ilm li Al-Malayin, cet. 1997, hlm. 33-34
[3] `Amir Al-Najar, fî Madzâhib al-Islâmiyîn, Kairo: Al-Haiah Al-Mishriyah Al-`Amah li Al-Kitab, 2005, hlm. 18
[4] Muhammad Abu Zahrah, Târikh al-Madzâhib al-Islâmiyah, Kairo; Dar al-Fikr al-`Arabi, 1996, ham. 7. Dalam kitabnya, dia memetakan kerangka akar perbedaan manusia terkait pendapatnya dengan mengutip pendapat plato bahwa: inna al-haqqa lam yushibhu al-nâs fî kulli wujûhihi wa lâ akhthaûhu fî kulli wujûhihi, bal ashâba kullu insânin jihhatan. Berangkat dari sini, persatuan akan sangat mungkin terwujud saat semua umat manusia mampu menerima universalitas kebenaran.
[5] Sebagaimana dalam Q.S. Ali Imran: 103-104; Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. merekalah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.
[6] Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, tahqîq `Abd al-Latif al-`Abd, Al-Angelo Al-Misriyah, 1977, hlm. 12
[7] Muhammad Abu Zahrah, Târikh al-Madzâhib al-Islâmiyah, Op. Cit., hlm. 12-19
[8] Ajaran Islam sendiri sangat membenci sikap ini sebagai mana tertera dalam surat al-Hujurât ayat 13; Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
[9] Kabilah al-Rib`iyah merupakan cikal bakal sekte Khawarij, bukan al-Mudlriyah. Perselisihan diantara keduanya sangat terkenal sekali pada masa jahiliyah. Ketika Islam muncul, mereka menyembunyikan fakta perselisihannya sampai munculnya aliran Khawarij.
[10] Ahmad Mu`ithah, al-Islam al-Khawârijy, Kairo; Dâr al-Hiwâr, cet. I, 2000, hlm. 43
[11] Ibn Mandzur, Lisân al-`Arabi, Kairo: Dar al-Ma`arif, juz II, hlm. 1126
[12] Muhammad `Isa Al-Hariri, al-Firaq wa al-Madzâhib fî al-`Âlam al-Islâmiy; al-Khawârij, Kairo: Al-Majlis Al-A`la li Al-Syu`un Al-Islamiah, hlm. 303
[13] Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Beirut; Dar al-Ma`rifah, 1984, hlm. 115
[14] `Amir Al-Najar, fî Madzâhib al-Islâmiyîn, Op. Cit., hlm. 66
[15] Abu Al-Yaman telah menceritakan pada kami, Syuaib telah mengabarkan pada kami dari Al-Zuhri, ia berkata: Abu Salamah ibn Abdurrahman telah mengabarkan kepadaku bahwa Abu Said Al-Khudri r.a. berkata, “Ketika kami berada di samping Rasulullah, sementara Beliau sedang membagikan bagian harta (rampasan perang), dating kepadanya Dzul Huwaishirah. Ia adalah seorang laki-laki dari Bani Tamim. Kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, berlaku adillah Engkau!” Rasul pun menjawab, “Celakalah engkau! Siapa lagi yang akan berbuat adil kalau aku tidak berlaku adil? Kau pasti akan kecewa dan merugi kalau aku tidak berbuat adil.” Umar kemudian berkata, “Izinkan aku, wahai Rasulullah, untuk memukul tengkuknya.” Beliau menjawab, “Biarkan saja dia. Sebab, dia memiliki teman-teman yang salah seorang di antara kalian akan menganggap shalatnya sendiri belum seberapa kalau dibandingkan dengan shalat mereka, begitu pula dengan shaumnya dibandingkan dengan shaum mereka. Mereka membaca Al-Quran, tapi tidak sampai melewati tenggorokan mereka. Mereka menusuk agama seperti anak panah menusuk buruannya. Dilihat mata panahnya, ternyata tidak ditemukan apapun; kemudian dilihat pegangan panahnyanya juga tidak ditemukan apa-apa, lalu dilihat batang panahnya tidak ada apa-apa juga, dan kemudaian dilihat bulu anak panahnya, juga tidak ditemukan apapun. Sungguh ia sudah mendahului kotoran dan darah (binatang buruan itu). Tanda-tanda mereka adalah seorang laki-laki hitam yang salah satu lengannya seperti susu perempuan atau seperti anggota tubuh yang terguncang. Dan mereka keluar saat terjadi perpecahan di antara orang-orang. Abu Sa’id berkata, “Aku bersumpah bahwa aku mendengar hadis ini dari Rasulullah Saw.; dan aku bersumpah bahwa Ali r.a. memerangi mereka. Akupun ikut bersama Ali. Ali memerintah untuk mencari lak-laki itu. (Akhirnya) Ia dapat ditangkap dan dihadapkan (kepada kami) hingga aku dapat melihat sifat-sifat yang disebutkan Nabi Saw. (Shahih Al-Bukhari, No. 3341).
[16] Selengkapnya, bisa dirujuk dalam; `Amir Al-Najar, fî Madzâhib al-Islâmiyîn, Kairo: Al-Haiah Al-Mishriyah Al-`Amah li Al-Kitab, hlm. 51
[17] Ibn Atsir menceritakan bahwa, sahabat Ali sebenarnya tidak menyukai diangkat menjadi khalifah steelah terbunuhnya Khalifah Utsman. Hanya saja, para sahabat dari kalangan muhajirin dan anshar saat itu berunding, kemudian mendesaknya untuk naik tahta. Mereka berkata, “Umat manusia harus memiliki seorang pemimpin”. Menanggapinya, Ali berdalih, “Aku tidak punya kepentingan apapun pada urusan kalian. Siapapun yang kalian pilih, aku sepakat”. Merekapun merajuk, “Siapa yang pantas kami pilih selain engkau!”. Berulang kali Ali diminta untuk menggantikan posisi Utsman, hingga pada akhirnya mereka membujuk, “Kami tidak tahu seorang-pun yang lebih berhak dari engkau, lebih dahulu masanya -masuk Islam- dan lebih dekat garis keturunannya dengan Rasul”. Ali menjawab, “Janganlah kalian lakukan hal ini. Sesungguhnya aku lebih nyaman menjadi seorang mentri daripada harus menjadi pemimpin”. Mereka semakin mendessaknya dan berujar, “Demi Allah, kami tidak akan melakukannya sampai kami membaiatmu”. Akhirnya, Ali –dengan terpaksa- menerima permintaan mereka dengan mengajukan syarat pembaiatan harus dilakukan di masjid dan disaksikan umat muslim (Ali berkata, “lakukanlah di masjid. Jika kalian hendak membaiatku, janganlah disembunyikan dan jangan dilakukan kecuali di mesjid”. Sahabat pertama yang bembaiat Ali r.a adalah Thalhah ibn Ubaidillah, yang kemudian diikuti Zabir ibn `Awam. Selengkapnya, bisa dirujuk dalam; Muhammad `Isa Al-Hariri, al-Firaq wa al-Madzâhib fî al-`Âlam al-Islâmiy; al-Khawârij, Op. Cit., hlm. 304
[18] Kelompok Utsmaniyîn merupakan kerabat dekat Utsman ibn `Affan. Kelompok ini digerakan oleh sahabat Thalhah, Zubair dan Sayyidah `Aisyah.
[19] Ibid., hlm. 304. Lihat juga; Sa`id Murad, al-Firaq wa al-Jamâ`ât al-Dîniyah fi al-Wathan al-`Arabi, Kairo: Ein For Human and Social Studies, hlm. 34
[20] Strategi politik yang dilancarkan Muawiyah untuk menghasut penduduk Syam, dengan berdekamasi penuntutan balas atas kematian Utsman r.a. di atas mimbar masjid, seraya mengangkat pakaian (qâmis) sang Khalifah yang berlumuran darah, serta mengangkat jemari istrinya. Salah satu kutipan orasinya; ”Sesungguhnya kalian dihimbau untuk patuh dan bersatu. Adapun himbauan untuk bersatu pada kalian, maka persatuan itu bersamaku. Sedangkan patuh pada sahabat kalian (Ali), maka aku tidak melihatnya (kemaslahatannya). Sesungguhnya sahabat kalian telah membunuh pimpinan kita, juga memecah-belah persatuan kita… Selengkapnya, bisa dirujuk dalam; Muhammad `Isa Al-Hariri, al-Firaq wa al-Madzâhib fî al-`Âlam al-Islâmiy, Op. Cit., hlm. 323
[21] Ibid., hlm. 306. Sahabat Ali r.a. menyeru pasukannya untuk tidak tertipu dengan rekasaya yang dilancarkan musuh seraya berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, sempurnakanlah hak kalian, kebenaran kalian dan memerangi musuh kalian. Sesungguhnya Muawiyah, `Amr ibn `Ash, Ibn Abi Mu`ith, Habib ibn Maslamah, Ibn Abi Sirah dan Dlahak ibn Qais, bukanlah ahli Agama dan ahli Qur`an. Saya lebih tahu mereka daripada kalian. Sesungguhnya aku telah bersama-sama dengan mereka saat kecil dan dewasa. Mereka adalah seburuk-buruknya anak kecil dan remaja. Mereka mengangkat Mushaf hanya untuk melakukan tipu daya dan rekayasa belaka. Lihat juga; Ahmad Mu`ithah, al-Islam al-Khawârijy, Op.Cit., hlm. 16
[22] Muhammad `Isa Al-Hariri, al-Firaq wa al-Madzâhib fî al-`Âlam al-Islâmiy, Op. Cit., hlm. 306
[23] Para sejarawan mencatat bahwa sebagian besar sekte Khawarij adalah orang-orang yang menganjurkan Tahkim. Ahmad Mu`ithah, al-Islam al-Khawârijy, Op.Cit., hlm. 16
[24] Muhammad `Isa Al-Hariri, al-Firaq wa al-Madzâhib fî al-`Âlam al-Islâmiy, Op. Cit., hlm. 307
[25] Ibid., hlm. 307. Statemen Ali ketika menolaknya; “Sesungguhnya, kalian telah memilih kebijakan yang melemahkan kekuatan, menghilangkan harapan serta mewariskan kelemahan dan kehinaan. Demi Allah, aku tidak yakin kalian akan mendapatkan petunjuk setelahnya, dan –hanya akan– mendapatkan kesedihan
[26] Ibid., hlm. 307. Setelah `Urwah membaca teks perundingan tersebut, dia membacakannya dan berkata; “Kalian menghukumi pemuda-pemuda itu dalam urusan Allah! Hukum hanya milik Allah”.
[27] Sa`id Murad, al-Firaq wa al-Jamâ`ât al-Dîniyah fi al-Wathan al-`Arabi, Kairo: Ein For Human and Social Studies, ham. 35
[28] Beberapa sumber mengatakan bahwa kelompok yang memisahkan diri ini berjumlah sekitar dua belas ribu orang.
[29] Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, Op. Cit., hlm. 24
[30] Ibid., hlm. 35
[31] Selengkapnya baca; `Amir Al-Najar, fî Madzâhib al-Islâmiyîn, Op. Cit., hlm. 105-151
[32] The wahid Institute, Ilusi Negara Islam, Jakarta; PT Desantara Utama Media, Cet I, 2009, hlm. 64
[33] Gamal al-Bana melacak konstruk pemikiran Khawarij yang gemar mengkafirkan kelompok yang tidak sepaham dengannya. Bagi mereka, tidak terdapat dikotomi antara dosa besar dan dosa kecil. Hal ini bertendensikan “penafsiran tertutup” ayat al-Qur`an surat al-Taghâbun ayat 2, yang artinya; Dia-lah yang menciptakan kamu Maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan. Gamal al-Bana, Tafsîr al-Qur`an al-Karîm baina al-Qudâmiy wa al-Muhadditsîn, Kairo; Dâr al-Syurûq, Cet I, 2008, hlm. 91
[34] Ahmad Mu`ithah, al-Islam al-Khawârijy, Op.Cit., hlm. 25
[35] Ahlusunnah berbeda pendapat dalam masalah kilafah, dimana menurut mereka tertentu dari golongan Quraisy. Begitu juga sekte Syi`ah yang mengkhususkannya pada Sahabat Ali ibn Abi Thalib dan keturunannya. Lihat; `Amir Al-Najar, fî Madzâhib al-Islâmiyîn, Op. Cit., hlm. 137
[36] Muhammad Abu Zahrah, Târikh al-Madzâhib al-Islâmiyah, Op. Cit., hlm. 63
[37] Ahmad Mu`ithah, al-Islam al-Khawârijy, Op.Cit., hlm. 24
[38] Selengkapnya lihat; Sa`id Murad, al-Firaq wa al-Jamâ`ât al-Dîniyah fi al-Wathan al-`Arabi, Op. Cit., ham. 35
[39] Mereka adalah sekelompok orang yang berkata bada Ali r.a. saat proses arbitrase (Tahkim) berakhir; ”Jika engkau menyadari posisimu sebagai pemimpin yang sah, maka kenapa engkau memerintahkan kami untuk berperang”. Setelah itu, mereka bercerai dengan kelompok Ali dan mengkafirkan semua elemen yang terkait arbitrase.
[40] Dikenal dengan jargon ideologis bahwa siapa saja yang berbeda pandangan dengan apa yang mereka yakini boleh dibunuh. Leih ironis dan naif lagi, mereka juga tidak segan-segan membunuh anak kecil keturunan para “pembangkang”, karena dipandang sebagai keturunan musyrik (aulâd al-musyrik).
[41] Lebih keras dari kelompok al-Azariqah, malah “mewajibkan” siapa saja yang kontradiktif dengan keyakinan mereka.
[42] Mereka berpendapat bahwa barang siapa yang tidak mengetahui Allah, nama-Nya, serta perincian hukum syari`ah adalah kafir. Bahkan menghalalkan untuk merampas harta kelompok yang tidak sepaham dengan mereka.
[43] Mereka menganggap bahwa surat Yusuf bukanlah bagian integral al-Qur`an.
[44] Bagi mereka, siapa saja yang masuk dalam kelompok mereka dianggap muslim. Sedangkan anak kecik dihukumi muslim ketika mencapai akil-balig.
[45] Mereka memperbolehkan seorang ayah menikahi anak perempuannya dan anak perempuan saudara kandungnya. Mereka juga memandang bahwa Keburukan bukanlah dari Allah.
[46] Mereka meyakini bahwa anak-anak orang kafir selamanya abadi di neraka. Disamping itu, mereka membolehkan adanya dua orang pemimpin –bahkan lebih- dalam satu waktu.
[47] Bagi mereka, segala kebaikan dan keburukan bersumber dari Allah.
[48] Dalam konsep Ushûl, mereka cenderung sama dengan Ahusunnah.
[49] Bagi mereka, hamba memiliki hak preogratif dalam setiap perbuatan (usaha/kasab).
[50] Berbeda dengan al-Sya`ibiyah, mereka menyakini bahwa Allah adalah Pencipta perbuatan hambanya, sehingga manusia tidak memiliki kapasitas apapun selain apa yang dikehendaki oleh-Nya.
[51] Dimata mereka, anak turunan turut menanggung dosa leluhur mereka (dosa asal/turunan).
[52] Mereka merupakan kelompok yang mengharamkan al-bayât (peperangan dimalam hari) dan al-ightiyâl (pembunuhan saat musuh lengah).
[53] Pendapat mereka bahwa, tidak diperbolehkan menikahi perempuan yang berbeda agama. Dissamping itu, harta zakat yang diberikan kepada fakir-miskin moleh diambil kembali ketika kaya, dan memberikan bagian harta dari zakat yang mereka berikan saat membutuhkannya.
[54] Konsep zakat zuru` (tanaman) ketika disiram dengan mengandalkan hujan dan sungai adalah `usyur (1/10)
[55] Bagi mereka, orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Hanya saja tidak dhukumi kufur sebelum meninggalkan shalat, akan tetapi dihukumi orang yang tidak tahu.
[56] Al-Ma`lumiyah berkata; “barangsiapa mengetahui sebagian asmâ Allah, maka –sesungguhnya- mengetahui –hakikat- Allah”. Sedangkan al-Majhuliyah berkata; “barangsiapa tidak mengetahui Allah dengan semua asmâ-Nya, maka –sesungguhnya- dia tidak mengetahui –hakikat- Allah, dan sesungguhnya prilaku hamba bukalah sesuatu yang diciptakan (makhluk)”.
[57] Secara substansial, Madzhab Ibadliyyah termasuk dalam kelompok Khawârij, akan tetapi kerangka metodologis bermadzhab yang mereka tawarkan cenderung moderat (mu`tadillah), bahkan sebagian pengikut madzhab ini mengatakan bahwa mereka telah keluar dari kelompok Khawârij. Dalam arti, nalar-teoritis mereka tentang Islam merupakan kelompok yang hampir selaras dengan Madzhab Ahlu as-Sunnah, baik dalam bidang teologi maupun Fiqh. Perbedaannya hanya dalam beberapa permasalahan furu`iyah yang memang kental dengan pemikiran Mu`tazilah, seperti mustahilnya makhluk melihat Allah SWT. di akhirat kelak dan konsep kemakhlukan al-Qurân. Lihat juga; `Abdullah Rabi` Abdullah Muhammad, al-Tasyrî` al-Islâmy; Ushul al-Madzâhib al-Fiqhiyah, Kairo: Al-Majlis Al-A`la li Al-Syuun Al-Islamiah, hlm. 67
[58] Mereka melegalkan pernikahan intra-agama, memakan hasil sembelihan musyrik, menerima kesaksian, serta harta warisannya. Mereka beralibi bahwa Nabi SAW. menikahkan putrinya dengan orang musyrik.
[59] Kelompok ini pecah lagi menjadi dua, yaitu; al- Yazîdiyah (Yazid ibn Anisah), dan al-Bad`iyah. Kelompok al-Yazîdiyah, meyakini mahwa Allah akan mengutus seorang lelaki asing (al-`ajam), kemudian menurunkan –wahyu- dalam satu waktu yang akan mengganti syari`at Muhammad SAW. Sedangkan al-Bad`iyah meyakini bahwa kewajiban shalat hanya pada waktu Isya` dua rakaat dan pagi dua rakaat, tidak diwaktu lainnya. Mereka bertendensikan Qur`an surat Hûd [114]; dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam.
[60] `Amir Al-Najar, fî Madzâhib al-Islâmiyîn, Op. Cit., hlm. 157
[61] Muhammad Abu Zahrah, Târikh al-Madzâhib al-Islâmiyah, Op. Cit., hlm. 77
[62] Beberapa tabiat buruk Khawarij juga menjadi tabiat dari Wahabi. Memang wahabi tidak bisa dikatakan sebagai penerus Khawarij. Bahkan ia dianggap sebagai fenomena yang sama sekali tidak mempunyai pendahulunya dalam sejarah Islam. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam sejarah pemikiran Islam, Wahabi tidak menempati posisi penting apapun. Bahkan secara intelektual dikatakan marjinal. Disamping itu, para peneliti dan sejarawan Islam memandag Wahabi sebagai fenomena khas yang terpisah dari aliran-aliran pemikiran maupun gerakan Islam lainnya. The wahid Institute, Ilusi Negara Islam, Op. Cit., hlm. 61
[63] Individu garis keras adalah orang yang menganut pemutlakan atau absolutism pemahaman agama, bersikap tidak toleran terhadap pandangan dan keyakinan yang berbeda; berprilaku atau menyetujui prilaku dan/atau mendorong orang lain atau pemerintah berprilaku memaksakan pandangannya sendiri kepada orang lain; memusuhu dan membenci orang lain karena berbeda pandangan. Ibid., 45
[64] Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitâb al-Dîniy, Beirut; al-Markaz al-Tsaqâfiy fi al-`Arabiy, hlm. 46-47
[65] The wahid Institute, Ilusi Negara Islam, Op. Cit., hlm. 8
fahmy farid p.
Cartatan yang Aku Pahami dari Buku Karya Nasr Hâmid Abû Zaid:
Naqd al-Khitâb al-Dîniy -Critique of Islamic Discourse-

“Saatnya keluar dari perdebatan apologetik menuju kajian akademis”.


1. Mukadimah
Fenomena perluasan religiustic-islamic (fenomena yang diklaim sebagai proyek kebangkitan Islam) telah mengalami lompatan cukup signifikan dan turut mempengaruhi paradigma berfikir para intelektual yang concern terhadap diskursus keagamaan. Perluasan wacana ini diikuti dengan menyeruaknya ragam corak pemikiran akibat bentukan akulturasi realitas sosio-politik, ragam budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat. Banyaknya penawaran konsep ini justru akan dihadapkan pada sebuah polemik substansial, dimana proyek kebangkitan Islam terbentur dengan sulitnya menentukan pilihan konsepsi dan orientasi tepat-guna bagi peradaban manusia yang heterogen (majemuk). Rumusan pelebaran wacana kebangkitan agama ini, seyogyanya dipandang dari perkembangan frame konstruk dasar orientasi dan struktur wacana keagamaan.

Untuk mengkaji frame konstruk dasarnya secara lebih komprehensif, cukup ditelisik dalam beberapa terma esesnsial. Pertama, pemahaman terhadap kecenderungan sikap yang dikembangkan institusi agama resmi sebuah negara dan paradigma pemikiran tokoh-tokoh intelektual dibelakanngnya, ketika dihadapkan pada tuntutan pelurusan kontardiksi keagamaan. Sebagai contoh, posisi al-Azhar yang mempunyai otoritas istimewa dalam pemerintahan Mesir. Menurut mereka, setiap fenomena wacana kontemporer pada umumnya merupakan sesuatu yang bersifat positif-konstruktif jika ditinjau dari indikasi dan tujuannya, namun perlu ada pengawalan dan perhatian intensif dalam bentuk yang lebih khusus.

Kedua, orientasi yang bersinggungan dengan corak pembentukan suatu peradaban Islam baru. Stigma buruk yang berkembang disebagian kalangan umat Islam sendiri dalam memandang moderenitas -terutama peradaban Amerika dan Eropa- telah menjerumuskan mereka pada sikap arogansi dan fanatisme kesukuan serta chauvinism (sifat patriotik yang berlebih-lebihan). Mereka lebih senang mengisolasi diri dari segala dinamika moderenitas dan hanya bangga akan sejarah kegemilangan Islam klasik. Terdapat aspek penting yang terlupakan ketika menutup diri dari sikap plagiarisme peradaban bangsa lain, bahwa hal ini tidak akan pernah sempurna dengan hanya mencoba menghidupkan kembali kultur budaya dan peradaban Islam klasik yang telah mengalami banyak reduksi. Seolah-olah ada sejarah panjang peradaban manusia pra-Islam terpenggal, yaitu dnamika kehidupan yang telah membentuk sosio-kultur masyarakat kala itu. Jadi, pada dasarnya harus dipahami bahwa pembentukan identitas kemasyarakatan tidaklah kaku dan paripurna, akan tetapi selalu mengalami proses dialektika-akulturatif yang memungkinkan terjadinya penarikan dan pembentukan ulang kondisi sosial kemasyarakatan melalui proses cross cultur. Proses akulturasi ini dapat dilihat dari banyaknya pengaruh budaya dan pemikiran Eropa –mulai dari marxisme, sosialisme bahkan sekulerisme– terhadap peradaban Islam. Padahal, jika ditilik dari sisi historitas, faham tersebut sebagai representasi dari arus “politik dan pemikiran kiri”.

Ketiga, pola interpretasi terhadap warisan pemikiran dalam manuskrip (turats) kuno, dengan melakukan problematisasi-kritik pembacaan nash keagamaan secara ilmiah dan objektif. Pembacaan teks yang tepat sangat berperan serta dalam mengawal polemik rivalitas pemikiran Islam klasik dan kontemporer dari rongrongan kelompok penentang proyek revitalisasi wacana keagamaan dengan jargon “Islam adalah jawaban dan solusi”. Orientasi ini bukan semata-mata bentukan dari kemunculan gerakan perluasan wacana keagamaan, juga bukan respon negatif terhadapnya, akan tetapi merupakan arus pergerakan orisinil yang menyeruak ditengah-tengah para pemikir kontemporer. Mereka –bisa diklaim– merupakan ikon dari semangat Renaissance (al-tanwîr) dengan sekulerisme (al-`ilmâniyah) sebagai ideologi yang ditawarkan. Hanya saja, sekulerisme itu sendiri sering kali dituduh sebagai bertuk sarkasme dan pengkhianatan terhadap agama, bahkan dianggap sebuah manifesto dari faham atheis.

Pengguliran wacana reinterpretasi terhadap substansi polemik teks-teks keagamaan bukanlah sebuah bentuk penyimpangan. Dapat diartikan bahwa, hal ini sebenarnya tidak terjadi dalam tataran intra-teks, akan tetapi polemik pembacaan nash-nash keagamaan selalu selaras dengan sejarah panjang mekanisme nalaritas peradaban manusia, bukan nalar yang terbelenggu dalam bingkai mitologi agama yang justru akan mengekang terhadap wacana renaissance (pencerahan). Jadi, polemik yang terbentuk dalam dinamika wacana klasik pada dasarnya merupakan pemicu polemik dalam wacana kontemporer. Hanya saja, kali ini muncul dalam bentuk yang lebih kompleks, tidak terbatas mengenai perbedaan interpretasi teks-teks keagamaan, namun menyangkut pula dimensi kesetaraan sosial, politik dan ekonomi. Disamping itu, cakupannya juga merambat isu-isu mitologi atas nama agama dan pembatasan paradigma keagamaan terhadap kandungan makna literal teks.

Perkembangan rasionalisme sendiri mempunyai peranan penting dalam usaha melenyapkan unsur mitologi agama. Wacana-wacana yang diusung oleh kelompok rasionalis ini jelas-jelas merupakan mekanisme perang ideologi, bukan semata-mata titik tolak proses aktualisasi kesadaran intelektual dalam bingkai watak nash keagamaan dan ragam metodologi interpretasinya. Pada tataran ini, wacana keagamaan dan wacana rasionalitas senantiasa mengalami pergumulan yang cukup alot. Rivalitas keduanya justru menghadirkan dilema terpisah, dimana proses akhir perang tersebut hanyalah permasalahan superioritas ideologis, tidak lebih.

Konfrontasi ini sekiranya perlu disikapi secara bijak (rekonstruktif) dengan melakukan studi dan analisa secara komprehensif. Dialog antar ideologi akan mampu membersihkan perselisihan paradigma wacana pemikiran agama dan entitas-entitas didalamnya. Disamping itu, perlu adanya kampanye secara masif bahwa agama adalah unsur prinsipil yang orisinil, pembentuk komponen kemasyarakatan utuh, sehingga konstruk dasar agama sangat membutuhkan prinsip dan elemen fundamental (asasi) dalam proyek kebangkitannya (Islam-red).

Diantara bentuk rekonstruksi wacana keagamaan adalah dengan tidak melakukan pembacaan pada tataran ‘permukaan’ teks-teks keagamaan. Begitu pula, perlu adanya pemahaman mendalam tentang konstruk historis dinamika penyusunan hukum-keadilan sosial kemasyarakatan, serta independensi politik-ekonomi dalam hubungannya dengan situasi sosio-politik dan kultur kemasyarakatan saat itu –yang notabene penuh dengan intik-intrik kekuasaan dan unsur mitologi. Puncaknya, ketika titik tolak diskursus keagamaan berpijak pada mitologi agama dan pemberangusan nalar-dialektik (merasa cukup dengan kegemilangan peradaban Islam klasik), proses kebangkitan hanya akan berkutat dalam lingkup wacana, hingga akhirnya menjadi uthopia belaka.

Pada akhirnya, tidak diragukan lagi bahwa agama (tidak hanya Islam tentunya) pastilah memiliki komponen fundamental dalam setiap proyek kebangkitannya. Perbedaannya justru terfokus pada tujuan dasar agama; apakah tujuan tersebut –dalam bingkai ragam ideologi– bermanfaat bagi pergerakan pemikiran ‘arus kiri’ dan ‘arus kanan’ secara seimbang? ataukah agama –setelah dilakukan reinterpretasi, revitalisasi dan analisa ulang– pada dasarnya terbebas dari bentuk mitologi?

Sebagai contoh bahwa, sekulerisme merupakan salah satu wacana keagamaan yang menyeruak dalam proyek kebangkitan Islam. Sekulerisme bukanlah seperti apa yang dituduhkan penentangnya sebagai bentuk atheisme sebagai usaha pemisahan otoritas agama dari realitas sosial dan kehidupan. Harus dipahami bahwa, pemisahan otoritas agama dari otoritas pemerintahan (politik) dengan pemisahan otoritas agama dari realitas sosial dan kehidupan sangatlah berbeda. Bentuk pertama (pemisahan otoritas agama dari otoritas pemerintahan) sangat mungkin diaplikasikan dalam realitas kehidupan beragama dan bernegara, sebagaimana diterapkan oleh negara-negara di Eropa dalam tindakan nyata, sehingga mereka mampu keluar dari masa-masa kegelapan abad pertengahan menuju kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan kemerdekaan.

2. Wacana Keagamaan Kontemporer
Titik tolak pemaparan analisa diskursus keagamaan disini bersifat menyeluruh. Dalam arti, analisa yang ditawarkan akan mengesampingkan perbedaan paradigma wacana yang dikembangkan kelompok moderat dan ekstrimis-fundamentalis. Karena pada prinsipnya, titik tolak dan mekanisme pemikiran kedua kelompok ini tidak memiliki diferensiasi mendasar. Keduanya sepakat bahwa wacana keagamaan harus disandarkan pada unsur fundamental tak terbantahkan, yaitu otoritas teks (al-nash) dan otoritas komando/konstitusi hukum (al-hâkimiyah).

Secara umum, ruang lingkup wacana keagamaan kontemporer mencakup; Pertama, penyatuan antara nalar dan agama serta mengabaikan jarak antara wacana dan tema. Kedua, interpretasi segala fenomena semesta dan berbagai realitas sosial-kemasyarakatan, dengan menggembalikan seluruhnya kepada sumber utama (primer). Ketiga, berpijak pada otoritas manuskrip kuno (turats) –sebagai sumber kedua (sekunder)– dan pola pikir ulama salaf (klasik), dengan mentrasformasi pemahaman klasik untuk diterapkan dalam konteks kekinian, tanpa dilakukan reinterpretasi, revitalisasi dan analisa ulang. Keempat, keyakinan hati dan ketetapan pemikiran serta penolakan segala bentuk perbedaan prinsip dasar pemikiran, tidak dalam tataran parsial (al-furû` wa al-tafâsîl). Kelima, penghilangan kesenjangan dimensi sejarah dengan meratapi periode kegemilangan peradaban Islam (golden age) pada masa silam.

a.Mekanisme
i.Penyatuan Antara Nalar dan Agama
Semenjak periode awal kemunculan peradaban Islam –periode turunnya wahyu dan penyusunan teks-teks keagamaan, mengakar suatu paradigma dikotomis antara penerapan wilayah nash keagamaan (dalam wilayah tertentu) dengan wilayah yang tunduk pada nalar dan pengetahuan empirik manusia (tidak berkaitan dengan otoritas teks sama sekali). Tidak sedikit dari kalangan muslim dahulu yang mempertanyakan setiap perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW, apakah termasuk tindakan yang didasarkan atas wahyu ataukah sebatas bentukan nalar dan pengetahuan belaka. Maka, banyak dari para sahabat yang mengambil langkah berbeda dengan Rasul –kemudian memilih bentuk lain– ketika dihadapkan pada permasalahan yang berada dalam lingkup nalar dan pengetahuan. Walaupun demikian, kecenderungan wacana keagamaan yang ada, masih saja berpijak pada wilayah teks keagamaan secara total, seolah-olah lupa pada perkataan Nabi sendiri bahwa “Kamu sekalian lebih tahu dalam urusan-urusan dunia kalian.”

Diferensiasi antara teks dengan rasio, seperti yang terjadi pada periode awal, –secara aksiomatis– akan menghapus jarak antara substansi realitas dengan konteksnya. Hanya saja, hal ini tidaklah cukup untuk diterapkan dalam wacana keagamaan kontemporer. Perlu adanya penggabungan mekanisme metodologis antara teks-teks keagamaan dengan pembacaan dan pemahamannya. Pola pembacaan wacana keagamaan kontemporer dengan metode seperti ini –diasumsikan– akan mampu mengatasi segala hambatan, juga sampai pada maksud rahasia Ilahiyah yang tersembunyi dalam goresan tiap teks keagamaan dibalik segala fenomena kekinian.

Penerapan mekanisme ini –hampir– tidak ditemukan dalam setiap diskursus keagamaan kontemporer. Yang mengherankan, justru muncul berbagai statemen –atas nama Tuhan– tuduhan pengadopsian mekanisme dari wacana Kristen dan intelektual gerejawan pada abad pertengahan. “Mereka” terjerumus dalam lahan basah perang ideologi intra-agama. Hal ini ditengarai, sebab adanya kecenderungan sikap merasa puas wacana keagamaan klasik –yang diasumsikan sebagai bentuk Islam paripurna, dengan berpijak pada pendapat dan ijtihad ulama salaf tanpa mempertimbangkan unsur eksternal yang membentuk paradigma wacana tersebut.

Sebagai contoh mekanisme ini, statemen Fahmy Huwaidiy –salah seorang tokoh moderat– bahwa; “Pada prinsipnya, tidak ada dikotomi antara label Islam progresif dan konservaitf, islam revolusioner dan fundamental, Islam politik dan sosial-kemasyarakatan bahkan tidak Islam penguasa dan rakyat jelata. Yang ada hanya Islam satu, kitab satu, yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. kemudian disampaikan kepada umat”. Pendapat ini sejatinya kontradiktif dengan realita sejarah peradaban Islam itu sendiri, dimana banyak sekali ragam perbedaan ijtihad, orientasi pemikiran serta ragam kelompok dalam tubuh Islam yang diakibatkan oleh faktor sosial, ekonomi bahkan politik. Sikap ini dibentuk oleh ragam interpretasi terhadap berbagai teks. Dia juga menuliskan bahwa; ”Bukalah satu lembar dari tiap catatan sejarah Islam, maka kamu akan menemukan kemurnian dalam setiap masanya, ditulis dengan ucapan yang fasih dan ungkapan yang jelas. Seperti merekalah (ulama salaf) agama kamu”.

Asumsi bahwa Islam pada prinsipnya satu (tanpa mempertimbangkan niat penulis diatas), akan menggeret pada dua kongklusi. Pertama, pada dasarnya Islam memiliki makna tunggal, tidak berpengaruh terhadap dinamika pergerakan sejarah, juga tidak terpengaruh oleh ragam perbedaan masyarakat, karena bermacam-macamnya standar kemaslahatan pada tiap kelompok masyarakat. Kedua, makna tunggalitas ini hanya dikuasai oleh otoritas ulama agama, bukan masyarakat awam secara umum. Akan tetapi, wacana keagamaan tidak bisa menerima kongklusi-kongklusi mantiqiyah (nalar-rasional) selamanya, karena banyak pemikir-pemikirnya. Bahkan, banyak sekali yang menggabungkan mekanisme ini dengan bantahannya.

Di sisi lain, Yusuf al-Qardlâwi mendikotomikan Islam menjadi dua macam. Islam politis-hedonis (al-mustanis), yaitu Islam yang diberkati dan dilindungi oleh penguasa. Sedangkan Islam sejati (haqîqiy) adalah Islam al-Qur`ân dan al-Sunnah, juga Islam shahâbat dan tâbi`în. Dia berasumsi bahwa Islam sejati hanyalah Islam yang telah dipaparkan dalam wacana-wacana para ulama, karena mereka adalah orang-orang yang mampu memahami Islam yang benar. Dalam arti, otoritas tawîl dan tafsîr sepenuhnya ditangan mereka. Justifikasi otoritas ulama ini mau tidak mau akan membentuk paradigma berfikir bahwa kajian syari`ah tanpa pengajar akan terjebak dalam kerangka pemahaman hipotetis (praduga), juga tidak akan pernah terlepas dari celah kesalahan dan kerancuan kongkusi. Hal ini merupakan pijakan ulama salaf dalam paradigma pendidikan. Mereka berkata; “Janganlah kamu mengambil –pemahaman– al-Qur`ân dari mushafku, dan ilmu dari catatanku”. Mereka juga berpendapat bahwa; “Barangsiapa yang mengajak kepada al-Qur`ân dan al-Sunnah, kemudian memfitnah ulama umat, maka tidak bisa dipercaya untuk mengajarkan agama. Dan barangsiapa mengutip pendapat ulama dan kitab-kitab madzhab, namun mengesampingkan petunjuk al-Qur`ân dan al-Hadits, maka sesungguhnya mereka telah mengabaikan agama dan sumber syari`at”.

Wacana agama yang terjebak dalam paradox antara pengingkaran terhadap eksistensi otoritas yang dikultuskan dalam Islam –sebagai wacana– dan asumsi keniscaraan otoritas konstitusi hukum sebagai sumber tunggal pemaknaan agama dan akidah –kenyataannya–, sesungguhnya merupakan polemik yang menyeruak dari asas-asas prinsipil sebuah paradigma wacana keagamaan, tanpa memperhatikan kecenderungan watak manusia.

ii. Pengembalian Fenomena Realitas Terhadap Satu Sumber
Mekanisme pengembalian fenomena realitas terhadap satu sumber, bukanlah bentuk perangkat wacana keagamaan yang menyeruak ke permukaan secara sederhana (muncul secara apriori-intuitif dari sebuah keyakinan terhadap ‘syair-syair keagamaan kuno’). Akan tetapi, hal ini ditemukan melalui proses dialektika wacana keagamaan yang –sayangnya– justru menggeret pada paradigma ketertundukan otoritas nalar dalam urusan-urusan hidup dan sosial-kemasyarakatan.

Dalam merealisasikan mekanisme ini, wacana keagamaan berpijak pada “sya`ir-sya`ir teistik kuno” untuk kemudian difungsikan sebagai salah satu postulat ‘tak terbantahkan’. Berangkat dari kerangka berfikir ini, seperti ketika hipotesis-teistik tentang penciptaan semesta dijadikan penjelasan dalam memaparkan eksistensi semesta, maka bentuk interpretasi yang berkembang –dalam wacana kaegamaan selain akidah– adalah pengembalian setiap fenomena sosial-kemasyarakatan pada sumber pijakan primer tersebut. Hal ini, secara aksiomatis akan menghilangkan campur tangan otoritas manusia sebagai makhluk berfikir.

Salah satu efek yang ditimbulkan dari pijakan mekanisme seperti ini, nyata terlihat pada paradigma pemahaman semesta juga kemasyarakatan. Partikel-partikel semesta dan sosial adalah sesuatu yang berserakan. Semuanya berkait-kelindan dengan Sang Pencipta secara total. Interpretasi seperti ini jelas akan menutup akses pendalaman segala fenomena secara ilmiyah –sebagaimana perkembangan paradigma sekte Asy`ariyah klasik yang menolak hukum kausalitas secara total (baik dalam tataran semesta ataupun sosial), sebagai bentuk defensif terhadap infiltrasi ideologi Jabariyah pada dinamika sosio-politik saat itu.

Totalitas penerapan mekanisme pengembalian seluruh semesta dan berbagai realitas sosial-kemasyarakatan terhadap satu sumber, niscaya berkait-kelindan dengan otoritas komando/konstitusi hukum ilahiyah dan pengabaian –bahkan menolak– otoritas hukum manusia. Disamping itu, juga erat kaitannaya dengan pemahaman wacana-wacana eksternal, seperti sekulerisme. Yusuf al-Qardlâwi, salah seorang tokoh Ikhwan al-Muslimîn pernah menuliskan statemen penolakan terhadap sekulerisme bahwa;

“Sesungguhnya, ideologi sekulerisme selaras dengan paradigma pemikiran barat yang memandang Tuhan sebagai Sang Pencipta kemudian mereka mencampakannya. Maka, hubungan keduanya –Tuhan dengan semesta penciptaan– seperti pembuat jam dengan jam itu sendiri. Pertama kali, dia membuat jam kemudian membiarkannya berpurtar tanpa ada maksud atas perputaran itu. Pemikiran ini merupakan warisan filsafat Yunani –terutama filsafat Aristoleles– yang tidak mengimajinasikan (memposisikan) Tuhan sebagai suatu otoritas pembentuk fenomena semesta. Hal ini jelas berbeda dengan pandangan kita –orang muslim– terhadap Tuhan. Dia adalah Pencipta semesta, Pemilik segala kuasa, Pengatur segala urusan. Yaitu Tuhan yang mengetahui esensi dan mengkalkulasi substansi segala sesuatu. Rahmat-Nya melingkupi setiap makhluk, Pemberi rizki setiap kehidupan. Karenanya, Dia menurunkan syari`at, menghalalkan apa-apa yang halal, mengharamkan apa-apa yang haram, mewajibkan hamba-Nya untuk mengerjakan syari`at dan menghukumi segala sesuatu dengan apa-apa yang telah diwahyukan. Jika tidak, mereka termasuk golongan kafir, tersesat dan fasiq”

Dimatanya, urgensi pemetaan pemikiran barat bukan terletak pada ilustrasi jam dan pembuatnya. Yang patut diwaspadai adalah infiltrasi ideologi barat yang syarat dengan bentuk imprealisme dan kapitalisme terhadap Islam.

Namun sebenarnya, poin penting dalam wacana ini adalah menyeruaknya perang ideologi sebagai sebuah dampak yang muncul dari penguasaan paradigma pengkultusan otoritas sumber hukum, dengan mengembalikan segala fenomena realita kepada Tuhan dan mengabaikan campur tangan otoritas –nalar– manusia. Mekanisme ini jelas-jelas akan mereduksi peranan akal (ijtihad) dalam memahami substansi setiap wacana, sebagaimana sekulerisme yang dijustifikasi –tanpa melihat akar historis– sebagai “wacana penentangan agama”. Bahkan yang lebih disayangkan lagi, wacana keagamaan yang digulirkan ini tidak berhenti pada studi kasus sekulerisme saja, akan tetapi sudah masuk dalam tataran sikap penyerangan terhadap setiap wacana yang muncul dari nalaritas manusia.

iii. Berpijak Pada Pemahaman Manuskrip Kuno (Turats) dan Ulama Salaf
Mekanisme ini berpijak pada kerangka berfikir dan pendapat ulama salaf, dengan mentrasformasi pemahaman klasik untuk diterapkan dalam konteks kekinian yang dipaparkan dalam turats “tak terbantahkan”, tanpa adanya reinterpretasi, revitalisasi dan analisa ulang. Sikap inilah pemicu paradigma penyatuan terma ijtihad dan agama. Mekanisme ini, pada dasarnya merupakan bentuk pemanfaatan total ideologi turats, yaitu sikap yang menjauhkan dari rasionalisme dan semangat renaissance (pencerahan), juga sangat dekat dengan sikap konservatif dan keterbelakangan (takhalluf). Hal ini pula ditengarai sebagai pendorong sebagian pemikir Islam untuk menggunakan corak mekanisme wacana keagamaan yang disandarkan pada nalar progresif dalam turats. Mereka menyangka bahwa pemanfaatan wacana turats –mungkin– akan memerangi dan menghilangkan keterbelakangan. Namun pada hakikatnya, hal ini justru menjadi pemicu dalam memfungsikan mekanisme penghilangan kesenjangan dimensi sejarah dalam wacana keagamaan kontemporer.

Telah disinggung sebelumnya bahwa, pada dasarnya orang-orang muslim sadar akan adanya dikotomi antara otoritas teks-teks keagamaan dan otoritas yang tunduk pada nalar dan pengetahuan empirik manusia. Kesadaran ini senantiasa tertanam dalam hati mereka sebagai watak perbedaan yang dilatarbelakangi kemaslahatan duniawi, bukan perbedaan akidah agama. Namun, realita catatan sejarah berbicara lain, sebagaimana pertikaian politis yang terjadi saat pimpinan Bani Umayyah menawarkan konsep tahkim (memfungsikan teks keagamaan dalam setiap permasalahan, baik wilayah sengketa politik ataupun ragam kemaslahatan sosial) kepada khaifah Ali ibn Abî Thâlib. Hal ini terjadi ketika khalifah Mu`âwiyah ibn Abî Sufyân menerima nasihat dati Ibn al-`Âsh dan para pejabat pemerintahannya untuk mengangkat mushaf al-Qur`ân pada setiap ujung pedang seraya mengajak untuk mengembalikan konstitusi hukum kepada al-Qur`ân. Mekanisme yang dikembangkan pemerintahan Bani Umayyah sejatinya adalah permulaan praktek monopoli kesadaran manusia. Untuk menjustifikasi mekanisme yang ditanam ini, mereka mengadopsi pendapat sekte Jabariyyah yang menyandarkan setiap fenomena semesta (termasuk prilaku manusia) terhadap kehendak Tuhan.

Kerangka berfikir ini kemudian diadopsi oleh sekte Asy`ariyah dalam setiap konteks perkembangan pergerakan realitas dan pemikiran, yang akhirnya menjerumuskan mereka pada penolakan hukum kausalitas (sebab-akibat/aksi-reaksi). al-Gazhâli sendiri mengemukakan alasan yang melatarbelakangi Asy`ariyah menolak adanya hukum kausalitas. Penolakan ini didasarkan bahwa, tidak selamanya akibat dan hikmah penciptaan selaras dengan hukum alam. Karena hal ini berkaitan langsung dengan Kehendak Tuhan (fi`lu kulli mumkinin au tarkuhu). Seperti halnya api –yang secara tabiat– membakar, akan tetapi tidak menutup kemungkinan api tidak membakar. Dapat diartikan bahwa akibat dan hikmah yang terjadi sangatlah ditentukan oleh pngalaman tiap personal, sehingga dalam tatanan ini, segala hal tidak dapat digeneralisir secara massif.

Dalam perkembangannya, sekte Asy`ariyah mendikotomikan antara prilaku manusia dengan hukum alam. Prilaku manusia digeret dalam bingkai usaha (al-kasab), sedangkan wilayah hukum alam mereka sandarkan “sepenuhnya” langsung kepada Tuhan, dengan asumsi bahwa Allah adalah pelaku sejati dalam setiap partikel semesta beserta segala fenomenanya. Paradigma ini sangat berpengaruh terhadap wacana keagamaan dalam budaya pemikiran Islam (kebudayaan Arab khususnya), dimana mereka meyakini api tidak membakar dan pisau tidak memotong. Sesungguhnya Tuhan adalah sebab dibalik segala fenomena alam.

Ketika diskursus keagamaan kontemporer bersandar pada mekanisme ini, maka seolah-olah ada unsur kesengajaan untuk melupakan sisi wcaana turats lainnya, seperti hukum-hukum natural yang diusung sekte Mu`tazilah dan filsafat. Mereka menuduh bahwa paham-paham yang ditawarkan telah disusupi diskursus wacana di luar Islam. Padahal, sumber-sumber pijakan berfikir merekapun pada hakikatnya sudah mengalami percampuran kultur-ideologis (cross cultur-ideology). Kerangka penafsiran al-Qur`ân, ilmu Kalâm, Fiqh serta Usul Fiqh –kenyataannya– sangat dipengaruhi filsafat dan mantiq Yunani, hikayat-hikayat dalam manuskrip Persia, cerita-cerita Yahudi (Isrâîliyat), teologi Nasrani juga ragam disiplin ilmu luar lainnya, melalui endapan-endapan peradaban manusia.

iv. Keyakinan intelektual dan Ketetapan Pemikiran
Mekanisme keyakinan intelektual dan kepastian pemikiran sangat erat kaitannya dengan mekanisme penyatuan antara nalar dan agama. Dalam wacana keagamaan kontemporer, keterkaitan ini menggeret pada sisi historikal yang sarat dengan ragam pertentangan, di sisi lain mengkafirkan mereka. Mekanisme ini tidak memberi ruang (mentolelir) pada setiap perbedaan yang bersifat fundamental, walaupun mereka menerima realita perbedaan dalam tataran parsial.

Analisa bahwa “setiap” fenomena realita sosial-kemasyarakatan hanya boleh diserahkan pada “ulama” yang kompeten dalam pengetahuan Islam, karena ditangan merekalah pemaknaan Islam dan realita mendapatkan kesejatiannya. Hal ini muncul dari tuduhan –secara apriori– akan banyaknya pena-pena intelektual –seperti orientalis– yang tidak tahu, dengki ataupun disewa untuk berbicara panjang lebar tentang terma keislaman tanpa ilmu, petunjuk bahkan sumber-sumber otentik. Dari sini, wacana keagamaan memonopoli ragam realitas sosial-kemasyarakatan, sehingga setiap penjelasan ataupun hukum selama tidak disandarkan pada pemahaman Islam orisinil, nash serta kaidah-kaidah syari`at tidak ada harganya sama sekali. Berpijak pada kerangka berfikir ini, pendapat yang bertolak belakang dengan “warisan” hukum fikih dalan turats seperti dalam larangan musik, gambar, bersalaman dengan perempuan, kewajiban hijab, niqâb, jenggot serta ragam permasalahan lainnya tidak dapat ditolelir.

Ketika wacana keagamaan cenderung dikuasai oleh satu hakikat kebenaran, dengan menolak setiap perbedaan yang bersifat fundamental dan menerimanya terbatas dalam tataran parsial (yang diasumsikan sebagai bentuk toleransi), maka bentuk wacana yang muncul justru akan menggeret pada sikap kaku, keras dan ekstrim. Sehingga kasus saling memfasikkan, bahkan mengkafirkan menjadi asas akidah dan keimanan agama. Akan tetapi, ketika wacana keagamaan dapat menerima corak perbedaan pendapat pada lingkup asas prinsipil (fundamental) sebagai sebuah hakikat kebenaran, maka wacana tersebut justru akan mendapatkan proteksi dari hakikat kebenaran sejati yang mencakup perbedaan setiap prinsip. Disamping itu, tidak akan terjebak pada dikotomi ekstimisme, liberalism maupun moderat.

Wacana keagamaan yang berpijak pada mekanisme ini, telah memposisikan Islam dalam kesempurnaan ambigu, dimana justru mengasingkan diri dari dinamika realitas. Pergerakannya justru mundur kebelakang dengan penafsiran yang tendensius terhadap warisan wacana klasik –yang telah kehilangan kontekstualisasinya– dalam menjawab segala problematika sosial, politik, kemasyarakatan, ekonomi, budaya hingga tata karma kontemporer. Dalam arti, paradigma bahwa Islam telah paripurna ditangan ulama salaf, telah mencerabut sekaligus menutup aspek problematika kontemporer dari konteksnya. Wacana klasik yang berpijak pada teks-teks keagamaan, diasumsikan cukup kompeten dalam mengatasinya. Pola pikir ini mengindikasikan ketidakmampuan wacana keagamaan menawarkan berbagai analisa ilmiah untuk menjawabnya. Pada akhirnya, menyeruaklah jargon bahwa “syari`ah adalah solusi bagi segala ragam problematika kekinian” yang dipahami sebagai sebuah “keyakinan” –namun sayangnya mengarah pada proses memberangus nalar.

v. Penghilangan Kesenjangan Dimensi Sejarah
Wacana keagamaan tidaklah cukup mapan ketika berpijak pada suatu mekanisme yang menghilangkan kesenjangan dimensi sejarah, dengan memisahkannya dari konteks masa kodifikasi nash. Konstruk yang dibangun tanpa memperhatikan dinamika sejarah, hanya akan menjadikan Islam sebagai ajaran yang kehilangan konteksnya. Solah-olah, antara dinamika problematika kontemporer dan problematika klasik memiliki kesesuaian mendasar, dengan asumsi –yang cenderung memaksakan– bahwa solusi permasalahan masa lalu mampu mengatasi fenomena realita masa kini. Hal ini terlihat jelas sangat mempengaruhi setiap sudut wacana keagamaan sebelumnya, lebih-lebih dari titik tolak fundamentalnya. Disamping itu, juga terlihat jelas pada kemunculan sebuah asumsi akan adanya kesesuaian, antara pemaknaan manusia (ijtihad nalar) atas segala fenomena realitas dengan teks-teks primer yang terkait pada dinamika –realitas peradaban manusia– masa lalu. Menjadi jelas bahwa, hal ini merupakan prasangka yang memunculkan problematika berbahaya –pada tataran keyakinan– yang sama sekali tidak mendapatkan perhatian wacana keagamaan kontemporer.

Memfungsikan paradigma pemikiran salaf dan otoritas turats sebagai teks primer yang dikultuskan, semakin memperuncing pijakan mekanisme ini dalam wacana keagamaan kontemporer. Begitu pula, akan menggeret manusia pada bentuk pengasingan diri dari problematika kekinian. Ruang paradigma keduanya dalam diskursus keagamaan, mengisyaratkan adanya bentuk simbiotis terhadap penerapan mekanisme pengembalian fenomena realitas terhadap satu sumber, terutama kaitannya dalam penafsiran fenomena sosial-kemasyarakatan. Dalam arti, menjawab setiap krisis peradaban manusia –terutama masyarakat Islam– dengan metodologi klasik, sejatinya adalah bentuk ketidak mampuan membaca sejarah dengan benar dan bijak. Juga menjauh dari semangat kemajuan peradaban yang justru menuntut suatu pergerakan aktif menuju perubahan dan kesempurnaan.

Untuk membongkar kerancuan dalam memfungsikan mekanisme ini, sekiranya cukup meninjau kembali makna jâhiliyah (tanpa mencampurkan pemaknan Jâhiliyah dengan istilah kontemporer sebagai sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan/bodoh). Istilah jâhiliyah pada masa sebelun masuk peradaban Islam di jazirah Arab dipahami sebagai ketundukan terhadap pengaruh kekuasaan dan kekuatan perasaan (hawa nafsu), dengan tidak menyerahkan otoritas hukum dan Interpretasi sosial-kemasyarakatan pada pembenaran akal dan logika. Maka, “bodoh” disini diartikan sebagai penafian akal dan logika.

Dari sini, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keterkaitan suatu tatanan sosial-kemasyarakatan dengan “kebodohan”, merupakan alasan umum dan paling kuat untuk menjelaskan keterbelakangan manusia. Maka, seyogyanya umat Islam memfungsikan kembali otoritas hukum yang bersumber kepada akal dan logika (rasionalisme wacana). Pijakan ini, dapat mengantarkan pada suatu pemahaman komprehensif setiap wacana yang dipaparkan nash keagamaan dalam mengecam sikap jâhiliyah, seraya mengajak untuk merasionalisasikan ragam permasalahan.

Pada prinsipnya, teks-teks keagamaan menyampaikan pesan-pesan dalam lingkup terbatas yang menyangkut problematika kondisi sosio-kultur masa silam –sebagai kenyataan dan bagian sejarah. Akan tetapi, wacana-wacana itu sesugguhnya dapat dibuka dan diperluas kembali (reinterpretasi dan revitalisasi), agar sesuai dengan konteks peradaban kontemporer, dengan syarat tidak bertentangan dengan petunjuk aslinya. Ironinya, wacana keagamaan kontemporer malah menggeret para intelektual kearah pemberangusan nalar dan logika (kembali pada sikap jâhiliyah). Dalam arti, wacana keagamaan yang berpijak pada mekanisme ini, telah menggeret pada penafsiran jâhiliyah sebagai sikap penggunaan nalar-logika pada setiap fenomena realitas dan pelanggaran terhadap otoritas hukum Tuhan di muka bumi. Dari sini, pemaknaan jâhiliyah tereduksi dimensi sejarah menjadi ketundukan pada hukum manusia sebagai antitesis dari hukum Tuhan.

b. Titik Tolak Pemikiran (...to be continue!)