fahmy farid p.


Sebenarnya, cakupan judul yang diketengahkan terlalu luas –atau bahkan mbulet- untuk sebuah tulisan sederhana ini, dan yang pasti sama sekali jauh dari kesan ‘seksi’. Tapi apapun jadinya kita saksikan saja pertunjukannya!


-- I --


Mudah saja bagi kita memaknai moralitas sebagai tata nilai (etos) yang menyangkut kesadaran manusia, dalam kerangka baik dan benar, buruk dan salah. Moralitas telah menjadi sebentuk kesaksian atas sejarah panjang fenomena sosial. Namun semenjak keberadaannya, moralitas sama sekali tidak memiliki garis demarkasi yang ‘jelas’ –terlalu rumit aku kira. Moralitas dalam sosial-kultural, politik, hukum dan agama hadir dalam perwajahannya yang eksklusif. Pemaknaannya selalu saja mengalami mutasi sesuai dengan pijakan paradigmatik-nya, untuk kemudian didekati dengan cara yang berbeda. Dan akhirnya, moralitas itu mendaku atas standar nilai yang berbeda pula. Tapi bagaimanapun juga, konstruk sosial telah membentuk dua unsur penting terkait moralitas; (1) Etika normatif sebagai sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan. (2) Meta-etika sebagai perangkat analisis logika perbuatan. Lalu, kedua fungsi ini dipadukan dalam satu ruang dialektika untuk membangun tatanan peradaban.


Menyorot dalam ruang lingkup yang lebih sederhana, moralitas lokal-kultural dengan moralitas ‘agama’ acap kali mengalami tarik ulur yang terbilang alot. Di sebagian potret, hadir sebentuk kesadaran yang teramat hati-hati, atau semacam ‘pretensi’ yang dipersiapkan baik-baik, untuk tidak menyinggung lalu menggugat kode etik satu sama lain, tapi saling menghargai. Tapi di-sebagian lainnya hanya menampilkan perwajahan ‘moralitas yang angkuh’. Perbedaan identitas dan pijakan ideologis ditengarai menjadi faktor terjadinya benturan nilai dan disharmoni diantara keduanya. Moralitas lokal-kultural lahir dari variasi-variasi keseharian masyarakat melalui kontemplasi mendalam atas apa yang nampak di pelupuk mata, juga tak jarang etos ini muncul dari mitos-mitos yang diyakini turun-temurun. Sedangkan moralitas ‘agama’ muncul sebagai hasil artikulasi wahyu yang berkesinambungan. Dalam hal ini, posisi wahyu lebih pada kontrol nalar sosial sekaligus memerankan fungsi visioner-nya.


Kemudian, jika kita sepakati bahwa etika normatif dan meta-etika memerankan lakon penting dalam proses penataan nilai-nilai sosial, juga antara moralitas lokal-kultural dan agama memiliki pijakan paradigmatik yang beda, maka menjadi terang bahwa basis pemetaan keduanya akan sering kali mengalami tumpang-tindih, dengan masing-masing mengibarkan panji ‘etnisitas’ dan ‘agama’. Moralitas etnik dengan sadar telah menjadikan adat istiadat sebagai basis etika normatif, dengan tradisi sebagai akar konseptual meta-etika. Sedangkan perwajahan moralitas agama lebih pada bagaimana memposisikan fikih sebagai perangkat etika normatif, dengan basis meta-etika yang perpijak pada paradigma ushul fikih. Namun moralitas –seharusnya- bukan hanya tentang aturan, bukan pula tentang hitam dan putih saja, tapi portet panorama ideal atas identitas hidup manusia, potret ‘altruisme’, pula ‘eudaimonisme’. Ia menemukan bentuknya melalui keragaman tanpa batas.


Berpijak dari sini, konstruk sosial tidak seharusnya melulu hanya sebuah sistem, karena ia tak hadir begitu saja disana dengan perwajahan yang kaku dan polos. Sosial adalah potret kesadaran yang terus bergerak, sebagai bagian dari evolusi kesadaran kultural. Ia melanjutkan ribuan pemaknaan-pemaknaan manusia. Sehingga, moralitas –baik lokal-kultural ataupun ‘agama’- bisa dimaknai sebagai warisan katalog nilai. Maka kini masalahnya bukan lagi berkutat pada proses kognitif, bukan pula sebatas masalah perubahan epistema. Langkah menuju alam ideal memerlukan sesuatu yang lain, sesuatu yang mampu mengalirkan semua variabel kesadaran pada satu titik ideal –meski rasanya itu terlampau utopis, tapi bukankah hidup berawal dari mimpi!


-- II --


Masa lalu datang dengan berbagai alasan, juga telah mengajarkan banyak hal. Katakanlah tentang bagaimana memadukan dua kecenderungan –atau bahkan lebih- dalam satu wadah epistema, dan tentunya dalam nuansa yang teramat harmoni. Apa yang terekam dalam jejak ingatan bersama kalaulah –misal- diskursus sufistik telah dengan sadar berdialektika, berasimilasi atau apapun istilahnya. Hal ini terbaca tegas bagaimana persinggungan episema antara perwajahan tashawuf asketis-praksis (al-tashawuf al-`amalliy) yang marak menghiasi kesadaran pemeluk Islam di mula, dengan corak tashawuf sinkretis-filosofis (al-tashawuf al-falsafiy) yang riuh-tumpah dari ruang yang berbeda. Ataupun rekam-jejak ketekunan al-Syafi`i dalam membaurkan nalar Ahl al-Ra`yi yang berkembang di Baghdad dengan Ahl al-Hadits di Hijaz, pun al-Ghazali yang meleburkan filsafat Yunani dengan wilayah normalitatif Ushûl Fiqh.Sebagai sebuah jejak kesaksian yang teramat tajam, ini tentunya menjadi catatan penting tersendiri dimana watak dasar pengetahuan sejatinya ‘bebas nilai’, dan tak perlu disematkan nilai –aku kira.


Memang benar, kehadiran sejarah akan selalu dirasakan begitu nyata bagi pemujanya ketika warisan katalog nilai senantiasa dipertahankan apa adanya, dijaga kemurniannya. Tapi dunia terlalu sederhana untuk diungkapkan ‘diam’. Akan selalu terjadi gejolak, selalu nampak pergeseran tata nilai sosial. Dan niscaya, banyak faktor yang mempengaruhinya, mulai dari psikologi masyarakat, geografis, iklim, atau apalah itu. Namun poin terpenting adalah bagaimana masyarakat memaknai sesegala tentang dunia, mitos, tradisi, hingga tentang agama, yang pastinya selalu melibatkan prespektif lokal, bahasa, memori, realitas, struktur kognitif-intelegensia dan aspek lainnya.


Menyorot hadirnya beragam instrumen analisa baru pada kesadaran manusia modern, lebih dari apa yang telah diwariskan leluhur, pula semakin berjubelnya permasalahan sosial yang –sangat mungkin- belum terpikirkan mereka, maka penyegaran dinamika tata nilai menjadi sebuah keniscayaan logis. Toh, pemaknaan yang dicapai nenek moyang bukanlah sesuatu yang benar-benar benar, juga tidak hadir secara utuh. Masa lalu akan selalu menyisakan ‘ruang tak terbaca’ untuk dapat diungkapkan melalui bahasa dan kesadaran kini.


Mempersempit ruang analisa, juga untuk lebih mempertegas apa yang hendak dimaksud dalam tulisan ini, izinkanlah untuk sejenak mengupas identitas jikalau aku terlahir sebagai muslim. Ini adalah simbol diri, simbol yang sangat mempengaruhi ruang prespektif dimana aku memahami dunia, membaca fenomena sosial. Tapi aku hidup bukan dimana Islam muncul untuk kali pertama, juga jauh dari apa yang dikenang sejarah sebagai bangsa berperadaban besar dengan ide besar yang akan selalu dikenang masa. Aku hidup dalam dimensi dimana perkembangan Islam lebih pada proses keseharian kultural, sama sekali jauh dari kesan ideologisasi –meski kadang memang itu terjadi. Lalu, potret moralitas lingkunganku menuntut untuk tidak menghadirkan tata nilai yang absolutistik an sich. Disamping ‘Islam’ yang hadir di bumi –yang katanya- zamrud khatulistiwa bukanlah pemaknaan yang identik dengan nenek moyangnya (Arab), Islam juga bukanlah satu-satunya moralitas yang menancap tegas di dada masyarakat sekitarku. Disana ada mitos, ada tradisi, ada kreatifitas, ada agama lain, yang pasti bergelimpangan hal. Jadi terlalu naïf dan angkuh jika moralitas didaku hanya ‘aku’, karena disana juga ada ‘kamu’, ‘dia’ bahkan ‘mereka’.


Hal ini kiranya bukan pernyataan aku seorang. Untuk itu, Moralitas dan tata nilai tidak bisa lagi dilihat dari satu prespektif. Harus ada dialog intra-kultur, kalau perlu intra-agama, duduk satu meja bersama untuk sekedar bercengkrama ringan, namun padat. Karena apa yang terjadi di sini, sejatinya tidak akan –pernah- sama dengan fenomena di Arab sana, tempo dulu. Ia punya sejarah terbuka yang tak bebas dari dislokasi dan perubahan-perubahan.


-- III --


Mulai bagian ini pembahasan kiranya akan lebih serius –semoga, mengerucut lebih intim pada titik konsenterasi judul yang diketengahkan, tanpa lagi ba-bi-bu. Moralitas dan tata nilai sosial semestinya dibangun oleh hasrat, refleksi, cita-cita hingga idealisme bersama. Dalam mewujudkan mimpi itu, perlu sebuah usaha (ijtihâd) yang terbuka, mencoba membangun tata nilai yang mengatur kehidupan bersama, baik melalui tindakan, wacana ataupun lembaga, sebagai sebentuk proses menuju konsensus yang –setidaknya- disepakati bersama pula –walaupun sejatinya ia senantiasa terbentuk dari kompetisi dan konflik terbuka nanberkepanjangan.


Mari sejenak merenungkan kisah klasik. Adalah –diasumsikan kuat- fanatisme madzhab, dependensi kreatifitas, hegemoni pandita, politisasi fikih dan berjubel motif lainnya ditengarai menjadi aktor dibalik wacana terberangusnya potensi nalar dengan mengunci rapat gerbangijtihâd, semenjak –kira-kira- akhir abad ke-4. Wangsa itu benar-benar menampakan perwajahan yang asing satu sama lain, seakan terbangun dinding kokoh pemisah antara syari`ah dengan fenomena sosial. Pengaruh negatif ini telah menggeret sosial pada titik kesadaran fanatisme holistik berlebihan, yang akhirnya ijtihâd hanya mampu berdialektika di ambang batas yang tak terjamah.


Pada titik ini, ‘Islam’ tentu hanyalah ‘agama’ yang sakit. Butuh beberapa dekade untuk sekedar sadar kalaulah sistem holistik hanya bak seonggok bangkai, setumpuk sampah, jika tak bergandeng mesra dengan usaha bersolek diri, berkreasi, ber-ijtihâd nyata. Tak ayal, ijtihâd di era kontemporer adalah suatu keniscayaan peradaban, bukan sebatas tren intelektual abal-abal. Namun yang menjadi tanya adalah bagaimana caranya, mengingat jauhnya jarak masa dengan yang ‘terberkati’, bukan pula bagian dari bangsa asal nabi?


Sebagaimana terpampang jelas dalam judul besar tulisan ini, penulis akan menekankan pentingnya usaha bersama/kolektif (ijtihâd jamâ`i) dalam menata sengkarut sosial. Disana ada sintesis, dialektika, asimilasi, anti-tesa atau apapun itu, yang sekiranya mampu memilah lalu memilih formulasi yang tepat-guna bagi manusia modern seutuhnya, sebagai sebuah kebenaran konsensus.


-- IV --


Dunia bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah kini, pun nanti. Untuk itu, sosial harus memiliki otoritas refresentatif untuk tiap masanya, otoritas yang merasakan langsung pergeseran-pergeseran tata nilai masyarakat. Tapi penting juga menghadirkan otoritas yang mampu menjaga akar tradisi, agama hingga pijakan paradigmatiknya. Kesemuanya harus ber-integrasi harmoni di jantung sang juru moral, karena urgensitas ijtihâd jamâ`i sendiri merupakan fenomena yang lebih didasari oleh komplikasi penyakit sosial yang semakin menjadi-jadi. Jadi akan terlalu ‘sembrono’, ‘egois’, untuk bisa diselesaikan perorangan, walaupun ia memiliki kapasitas itu. Paradigma ijtihâd jamâ`i harus dibentuk dengan semangat kebersamaan, riuh-gaduh di belaantara intelektual, karena di dalamnya mampu menampung ragam komunitas, bersama-sama mewujudkan alam ideal yang mampu dijamah manusia, menuntaskan problematika sosial.


Untuk memetakan konsep dasar ijtihâd jamâ`i, perlu kiranya melakukan pembatasan ruang lingkupnya terlebih dahulu. Ada sebuah klasifikasi menarik yang saya pinjam dari hasil analisa dari Dr. Qutub Musthafa Sanu, dimana ijtihâd jamâ`i disederhanakan kedalam tiga bentuk, dengan menggenggam fungsinya masing-masing. Pertama, al-ijtihâd al-jamâ`i al-qathriy.Proses ini melibatkan struktur sosial masyarakat terkecil. Ruang lingkupnya terbilang sempit, berkutat dalam problematika lokal. Kedua, al-ijtihâd al-jamâ`i al-iqlîmiy. Cakupan ijtihâd ini tentunya lebih luas. Bidikannya lebih pada ruang-ruang regional yang memiliki kesamaan tradisi, sifat dan lainnya. Dan ketiga, al-ijtihâd al-jamâ`i al-umamiy. Ruang lingkup manusia seutuhnya (sekup internasional) menjadi pijakan dasar ruang lingkup corak ijtihâd ini.


Hanya saja, ada aspek yang acap kali terlupakan, pembahasannya masih selalu saja monolitik. Ada ke-tidak-berani-an untuk melibatkan disiplin keilmuan lain secara lebih terbuka, menjadikannya sebagai instrument primer membangun moralitas sosial. Ijtihâd kini harusnya bukan lagi hanya tentang ajang unjuk diri pakar tafsir, fikih, usul fikih, hadits, ataupun lainnya yang berkutat pada sirkulasi teks holistik. Konsep dasar ijtihâd jamâ`i harus lebih berani merangkul ilmu sosiologi, antropologi, fenomenologi, psikologi, fisika, kedokteran, astronomi, linguistik, atau apapun saja, pun bukan lagi tentang bagaimana Islam, sendirian, melenggang angkuh.


Cairo; 27 januari 2011 (03:40 am.)



fahmy farid p.

Bagiku, dunia –sudah- terlalu bising dengan irama distorsi yang berjela-jela. Kehidupan sosial yang –seolah- nampak tenang, terlampau absurd untuk tidak dibahasakan ‘angkuh’. Keangkuhan ini teramat kasat mata, pun hadir secara rutin, lebih menggelikan lagi, bangga! Ya, dunia memang tidak –lagi- se-polos yang kita duga, tapi potret ambisi liar sang pandita, membentuk ruang-ruang ekslusif, padahal ‘hanya’ untuk menegaskan ke-aku-an, tidak lebih. Pun akhirnya, banyak jelata terperangah, lalu murung, durja atas apa yang terserai masa. Dunia telah beranjak tua dan bergerak tanpa pola yang pasti. Mungkin ini bukanlah kesadaran baru bagiku, bukan pula kesadaran yang sulit dimengerti. Tapi kiranya, kini ia hadir ‘lebih terang’ dalam belantara, menghuni pikiran seperti sebuah mimpi buruk.


Bagiku, sosial tidaklah hadir secara ‘lugu’. Ia senantiasa berpianak dualisme, wajah ‘iblis’ dan ‘malaikat’, sebagai sebentuk panggung teater, drama kehidupan, hadir tanpa tapal batas identitas. Walaupun sejatinya sosial di-desain sedemikian ideal oleh anak zaman, semerta mengejar nilai objektifitas, tapi justru hanya menghadirkan ambiuitas yang –bisa jadi- teramat liar. Kehidupan sosial akhirnya harus memunculkan konsensus nilai sebagai sebuah sikap, moralitas dan etika. Namun –sekali lagi, acap kali sayup-riuh ratapan terdengar tak berbalas. Selalu muncul sketsa ke-tidak-adil-an yang tak terbaca, atau mungkin sengaja tak dibaca. Sosial menjelma bak sandiwara yang kaku, membosankan. Naif-nya, hidup ternyata hanyalah tentang bagaimana logika membenarkan alam bawah sadar sebagai pijakan paradigmatik. Hanya mengejar pembenaran pra-asumsi untuk kemudian dijadikan ideologi. Perubahan menjadi tak begitu tenang, bergejolak. Pada tataran ini, ‘agama’ –bisa jadi- hanya drama sosial, hasil rekayasa ‘makelar moral’, riuh-rancu bergelimpangan di tiap pelataran ‘vagina’ yang menganga, basah-berlendir!


Bagiku, musik –tertentu- telah menjelma –salah satu- nafas sosial yang hidup. Seniman bukan saja telah, sedang, atau dalam proses membebaskan diri dari belenggu sengkarut sosial. Mereka tak terjajah di dunianya, menjadikan simbol-simbol bahasa sebagai alat ‘pemerkosa kesadaran’. Meliuk gemulai namun ‘garang’! Menghadirkan semburat nalar yang dibisukan keangkuhan sosial. Pijakan ini telah memunculkan lirik lagu sebagai sebuah sikap, bahkan kritik sosial yang multi-artikulasi. Simbol yang hadir bukan lagi sebatas membaca apa yang nampak ‘lugu’, namun muncul potret lainya, begitu berwarna dari kejauhan, entah itu apa, namun yang pasti aku tak memiliki kata untuk menjelaskannya, tapi bisa kurasa dan kunikmati.


Bagiku, kalaupun aku meminjam ‘teriakan’ band Bondan Prakoso & Fade2Black, salah satu musisi yang kukagumi, kalaulah ‘Jika satu tambah satu sama dengan dua, kenapa hitunganku slalu saja tidak sama. Mungkin saja karna faktor x, atau mungkin manusia slalu ikuti teks’, dapat dipahami bahwa, sosial dan bahasa memang semerta identitas yang tak mudah dijinakkan, senantiasa ber-mutasi. Ia takan pernah tunduk atas aransemen monololitik. Jikapun dipaksakan, tentunya sesiapapun dipastikan tidak mengerti akan sintesis atau asimilasi, atau bahkan tentang dialektika. Lantas atas otoritas apa ‘mafia moral’ mendaku bahwa ‘itu’ adalah ‘hanya aku’, padahal gelap tak sepenuhnya tertembus gulita, padahal satu itu palsu, padahal teks menerima pembacaan yang berbeda. Ya, mengherankan, kala ‘mereka’ tak hentinya mempersoalkan, menggugat bahkan meng-‘anjing’-kan ragam rona identitas dalam hidup. Ah, barang kali ‘mereka’ terlalu terpesona pikatan-pikatan yang –justru- melumpuhkan kreatifitas.


Bagiku, tak biasanya ada bagian diri ini yang berdegup lamat, lamat, lalu menghentak teramat kencang dan liar. Pada hari yang biasa, itu semua nampak begitu lugu, tapi hari itu kini menjadi berbeda. Then finally, I realize that languages has personifies the human’s ideas, hopes, and dreams as a life symbol in continuous movement, not belong to a particular group, but it belong to mankind.


Cairo, 17 Januari 2011 (09:09 pm.)



fahmy farid p.

jejak kesadaran selalu saja meniscayakan ironi

niscaya…ya sebuah keniscayaan hidup…

mungkin bagi sebagian orang, jejak itu sebatas sisa potret diri

terpenggal, terlupakan begitu saja…

hingga tak pernah ada kelabu, atau bahkan dosa sejarah

terbiarkan mati dalam pusara kisah

membusuk bersama mimpi...

tapi…

persinggungan kesadaran sering kali dimulai dengan senyap

sesaat yang teramat syahdu…

hanya bermain dengan fantasi, fantasi, fantasi dan emosi

pun acap kali bermula dengan gemerisik

sebentuk potret masa yang maha dahsyat…

lalu bergumul dengan ngeri, ngeri, ngeri dan seri

lantas…?

jejak kesadaran mungkin bisa termaknai miniatur hidup yang padat

mempertegas apa yang kita namai jejak rasa