fahmy farid p.

"tanpa perbedaan...sama rata...dalam roda kehidupan...kita berdiri...dalam dunia yang menawan..."

-bondan & fade2black-

Dalam menghindari stagnasi peradaban, yang dibutuhkan bukan keadilan "sama rata dan sama rasa" diantara para pelaku sejarah (male-female) akan tetapi dengan menumbuhkan saling pengertian. Saling pengertian itu timbul ketika ada keselarasan antara teks dan konteks, dalam arti bagaimana menginterpretasi manuskrip-manuskrip yang ada dengan sosio-kultur yang berkembang. Bayangin aja, ketika Tuhan menampakan diri-Nya dalam wajah sebagai "Sang Maha Adil", bukan "Sang Maha Mengasihi", betapa menakutkan bukan!.

Permasalahannya, tidaklah mudah menumbuhkan rasa saling pengertian karena memang paradigma berfikir manusia akan dan selalu dipengaruhi ruang dan waktu yang bersifat individualistis, sehingga konsep "saling pengertian" ini akan dikembalikan pada konsep awal yaitu "keadilan". Namun lagi-lagi sebuah keadilan sering kali terjebak dalam bingkai parsial, bukan substansial.

Maka "keadilan" yang mempunyai cita rasa "kasih sayang dan saling pengertian" akan menjadi sebuah realita bukan sekedar utopia ketika semua piranti diposisikan pada tempatnya secara substansial-proporsional.

Permasalahannya lagi, seperti apa "wajah" peradaban (agama-red) yang sesuai dengan manuskrip yang ada dan sosio-kultur tempat kita berpijak.

إن الحق لم يصبه الناس في كل وجوهه ولا أخطئوه في كل وجوهه بل أصاب كل إنسان جهة

-أريسطوا-

"Sesuatu yang tersirat saat kajian tentang feminisme"
fahmy farid p.

tersadar aku dari tidur panjang...
ku-pun mulai terhenyak oleh pergumulan romantisme sosial...
warna yang dahulu sebatas hitam_putih...
kini mulai berpendar...
dan...takan ada lagi kisah 'jelaga'...
karna api mulai berkobar...
akupun mulai merindukannya...
bukan hanya tentang kerinduan manusia akan bentuk nilai tuhan dan cinta lewat kesadaraan mentalitas yang secara niscaya mengitari, tapi bagaimana nilai ketuhanan dan cinta mampu menyentuh nilai kemanusiaan, sehingga 'agama' tidak hanya sebatas tempat berfikir,… bertindak… dan berprilaku semata, tetapi sekaligus memberi dampak nyata bagi para 'pecandunya'

fahmy farid p.

jiwa yang senantiasa berkelana dalam lautan pemikiran aneh,…sendirian,…dalam bahasa yang hanya kita yang tahu,…

saat kelopak mata mulai terasa berat
dan telinga sudah enggan lagi mendengar tiap kebisingan
sejenak kupejamkan mata dan mulai kugunakan hati
sejenak ku tutup telinga dan mulai dengarkan kata jiwa...
ajariku...
...'jangan pernah takut akan bayangan'...
seindah apapun bayangan di pelupuk mata...bukanlah kenyataan...

dan,..hanya dengan melewati proses keterpisahan, manusia bisa mengatasi dan mendapatkan keselarasan baru!

fahmy farid p.

there is no such thing as a moral or an immoral book (idea-red).
book (idea-red) are well written or badly written. that's all.
-oscar wilde, the picture of dorian gray-


`sebuah peradaban,…kebudayaan,…akan hancur oleh sebuah peradaban dan kebudayaan baru yang lebih menarik`.

Seorang sahabat dalam tulisannya mengatakan bahwa "sebuah gagasan baru mula-mula dicemooh dan dicampakkan, kemudian lama-kelamaan mulai dilirik dan akhirnya diminati juga"

Dalam dinamika kehidupan, semua orang akan terus mengadopsi sebuah konsepsi tertentu tentang sesegala -hidup,…mati,…cinta,…benci,…sehat,…sakit,…bahkan tuhan sekalipun-, bukan karena konsep itu ilmiah atau filosofis, tapi karena hal itu berguna bagi mereka.

Secara eksplisit, Oscar Wilde mengatakan bahwa "tidak ada buku (gagasan-red) yang bermartabat atau tidak. buku (gagasan-red) adalah tentang tulisan yang baik atau buruk. itu saja". dapat kita pahami dari sini, manusia akan terus bergerak menuju puncak sebuah peradaban yang dipengaruhi oleh berbagai pemikiran, budaya dan sejarah.

Akan tetapi sirkulasi tersebut akan terputus -stagnan- manakala kebebasan berpendapat dan berkarya terberangus dalam bingkai justifikasi kebenaran yang mutlak dengan menyatakan jika yang lain adalah sebuah 'kesalahan'. budanya saling menyalahkan akan tumbuh dari pola pemikiran seperti ini, sehingga gagasan yang ditawarkan bukan dijadikan sebuah wacana yang memperkaya khazanah pemikiran, tapi sebuah batu karang bagi sekte tertentu yang harus segera dilebur. Padahal perbedaan -jika disikapi secara bijak- akan menjadi stimulus berkembannya sebuah peradaban.

Terkadang kita terjebak dalam diskursus tentang benar dan tidaknya sebuah konsepsi. Semuanya mengarah pada pola pemikiran yang sama, menemukan sebuah idealisme!. Namun idealisme tersebut terbangun dalam cakrawala yang sama pula, eksklusifitas. Eksklusifitas yang tumbuh, terutama dalam tubuh sekte-sekte agama semakin akut. tidak hanya saling menyalahkan yang lain dan membenarkan sendiri, akan tetapi sudah mengarah pada saling kafir-mengkafirkan. Sangat mudah kita menemukan kasus pembunuhan dengan latar belakang agama dan ras.

Disini kita dituntut untuk bijak dalam menyikapi perbedaan pendapat dan keyakinan, dimana sudut pandang dan sikap yang bijak terhadap perbedaan dapat mengumpulkan hati manusia pada kerangka pemikiran dan pemahaman yang sama. Hal ini bertujuan untuk mengungkap kejeniusan manusia yang berjuang untuk hidup dan kebebasan melalui banyak generasi, kebebasan yang mempunyai pola yang jelas dengan tidak turut campur dalam ranah hak dan kebebasan orang lain. Mungkin kebebasan dan keragaman boleh jadi meresahkan sewaktu-waktu, tapi itulah harga yang pantas kita bayar dan kita perjuangkan untuk menghindari kebekuan dsan stagnasi.

Pada akhirnya, kerinduan kami akan bentuk nilai-nilai tuhan dan cinta lewat kesadaran mentalitas itu…terlalu hebat, hingga kami tak lebih berharga dari kebebasan itu sendiri.

save our soul…!

fahmy farid p.

To make us love our contry,our country ought to be lovely
-Edmund Bruke, Reflections on The French Revolution-

Some when Gus Dur met to Castro and give him a jok, "indonesia so far at this time had four president":

one was crazy about ladies

the second, crazy about fortune

the third, totally crazy

the fourth, myself, was making other people crazy

and he said that mybe he will be in the third or fourth category

I was very suprised and said "why?"

"because I give seven hours speech

so that means I`m either crazy or

making other people crazy."

you can see a different interpretation of craziness.

Kira-kira sosok seperti apa yah pemimpin kita nanti...?. apa termasuk ashabu al_junuun ga ya?


Revolusi Prancis yang terjadi antara tahun 1789 sampai 1799 telah mengubah wajah negaranya, dimana Gereja Katolik Roma dipaksa untuk menjalani restrukturisasi yang radikal dalam ketatanegaraannya. Revolusi ini dengan jelas telah mengubur rezim lama. Revolusi ini menjadi lebih penting daripada revolusi-revolusi berikutnya yang terjadi di Perancis.

Diantara faktor yang menyebabkan terjadinya revolusi besar-besaran ini adalah kekecewaan terhadap sikap yang ditunjukan orde lama yang terlalu kaku dalam menyikapi perubahan yang diiringi oleh bangkitnya gagasan-gagasan "pencerahan". disamping itu, adanya berbenturan kepentingan-kepentingan dari kelompok-kelompok kaum borjuis, kaum petani, para buruh dan individu dari semua kelas yang semula bersekutu kemudian menjadi sumber konflik dan pertumpahan darah. Saat itu merupakan saat dimana Prancis mengalami masa-masa paling 'hitam_kelam' yang tercatat dalam sejarah, dimana negara yang masih menggunakan sistem monarki mempunyai sistem ekonomi yang buruk sehingga utang nasional menjadi tidak terkendali. disamping itu, kerajaan memberikan hak-hak istimewa terhadap kaum bangsawan juga dominasi kelas profesional dalam kehidupan yang membuat geram kaum buruh dan petani disana. hal ini mendorong terjadinya revolusi prancis dengan semboyannya "Liberte, Egalite, Fraternite" atau Kebebasan, Persamaan, Persaudaraan. bisa kita lihat secara kasat mata, Prancis menjadi negara yang paling toleran terhadap segala bentuk perbedaan, sehingga menjadi negara dengan perkembangan yang cepat.

Filipina juga mempunyai catatan sejarah yang akan diingat, dimana sebuah demonstrasi massal 'tanpa kekerasan' yang terjadi pada tahun 1986. Aksi damai selama empat hari yang dikenal sebagai aksi 'People Power' dilakukan oleh jutaan rakyat Filipina di Metro Manila mengakhiri rezim otoriter presiden Ferdinand Marcos dan pengangkatan corazon Aquino sebagai presiden. Revolusi ini dilatarbelakangi oleh pembunuhan senator Benigno aquIno, jr. (yang dikenal sebagai "Ninoy") pada 21 Agustus 1983 di Manila International Airport (sekarang dikenal sebagai Ninoy Aquino International Airport) setelah kembali dari pengasingan selama tiga tahun di amerika serikat yang menyulut kemarahan rakyat yang notabene sebagian besarnya sudah kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan Marcos.

bagaimana dengan Indonesia?.

Sebuah negara yang ironis sekaligus menyedihkan. negara yang terus saja berkutat di 'gerbang kemerdekaan'. Indonesia telah memiliki Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara, namun tetap saja masih belum membumi. Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 belum cukup untuk mengubah wajah negara ini.

Memang butuh proses yang cukup panjang dan pastinya melelahkan untuk menjadikannya sebagai negara yang maju. Dibutuhkan pemimpin yang mampu membumikan falsafah dan ideologi Pancasila dengan semangat yang diusung dalam UUD 45.

ليس العاقل الذي يدفع بين الخير والشر, فيختار الخير, ولكن العاقل الذي يدفع بين الشرّين فيختار أيسرهما

_الشافعي_

Kini, Indonesia sudah mempunyai tiga pasang capres-cawapres dimana mereka akan bertarung pada pemilu presiden juli mendatang. Walaupun pemilihan anggota legislatif yang cukup carut-marut menjadi catatan yang menyedihkan, tapi Indonesia membutuhkan sebuah perubahan dalam tatanan kehidupan bernegara -bukan hanya sekedar republik mimpi belaka-. sebagaimana petuah yang diungkapkan Imam asy-Syafi`i bahwa "bukanlah termasok golongan orang-orang yang berakal (bijak-red) seseorang yang dihadapkan pada situasi antara baik dan buruk, kemudian memilih yang baik. akan tetapi orang yang berakal adalah orang yang dihadapkan pada dua sisi buruk kemudian memilih yang paling ringan konsekuansinya". Maka pilihan bijak akan menentukan kemana Indonesia akan berlari...ataukah golput akan menjadi pilihan yang cukup bijak...!

save our nation...!

fahmy farid p.

Perkembangan disiplin ilmu Ushul al-Fiqh terbentuk dalam tiga periode:


1. Periode pertama

Periode pertama, yaitu periode kemunculan ilmu Ushul al-Fiqh. Adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi`i sebagai ulama yang pertama kali mengkodifikasikan sebuah disiplin ilmu yang memberi batasan tentang istnbath (penetapan) hukum sekaligus menyusun sistematika penetapannya dengan kaidah-kaidah umum yang bersifat menyeluruh. Beliau adalah peletak dasar ilmu Ushul al-Fiqh yang tertuang dalam karyanya ar-Risalah, meskipun setelahnya banyak bermunculan ulama-ulama yang mengembangkan disiplin ilmu ini, termasuk definisi-definisinya. Periode ini berakhir sekitar akhir abad ke-4 H.

Pada masa itu terdapat dua lembaga pendidikan yang menjadi rujukan para pengkaji literatur Islam, yaitu lembaga pendidikan yang menjadi pusat penelitian hadits-hadits yang terdapat di kota Madinah yang dipimpin oleh Imam Mâlik ibn Annas (179 H.). Lembaga ini menjadi basis dalam ilmu hadits karena Madinah merupakan tanah kelahiran para sahabat dan juga tempat turunnya wahyu. Yang kedua adalah lembaga pendidikan yang berada di daratan Iraq yang lebih banyak bergumul dengan ilmu filsafat, terutama filsafat Yunani. Hal ini bisa dimaklumi sebagai sebuah konsekuensi dari sedikitnya mereka mendapatkan informasi tentang sebab-sebab periwayatan suatu hadits. Maka munculnya beragam perbedaan pendapat, riwayat-riwayat palsu dan fitnah menjadi sebuah keniscayaan. Lembaga ini dipimpin oleh ashab (generasi) Imam Abu Hanîfah yaitu an-Nu`mân ibn Tsâbit. Walaupun kedua lembaga pendidikan ini mempunyai spesialisasi yang berbeda, akan tetapi keduanya sepakat bahwa dalam meng-istinbath suatu hukum, harus diambil dari al-Kitab (al-Qurân) dan as-Sunnah, juga mengedepankan nahs dari sebuah asumsi teoritis belaka.

Kedua lembaga tersebut menjadi pusat pengembangan diskursus berbagai khazanah Islam, akan tetapi sedikit sekali para fuqâha yang menimba ilmu di kedua lembaga pendidikan tersebut. Adalah Imam asy-Syafi`i yang mampu menguasai kedua manhaj ini sekaligus menggabungkan keduanya. Beliau menguasai Fiqh Imam Mâlik saat menuntut ilmu di Hijaz-Madinah. Beliau juga menguasai Fiqh Imam Abu Hanîfah (150 H.) ketika menimba ilmu di Iraq kepada Muhammad ibn Hasan (189 H.) yang mempunyai keterkaitan (hubungan/sandaran) dengan Fiqh ahli Syam dan Mesir. Disamping itu, Imam asy-Syafi`i juga mempelajari beberapa disiplin ilmu lainnya di lembaga pendidikan yang berlokasi di Makah, yaitu sebuah lembaga yang memelihara sekaligus menjadi sentral ilmu tafsir, Asbab an-Nuzul, lugaht juga ilmu antropologi. Beliau juga mempelajari literatur Bahasa Arab di daerah-daerah pedalaman untuk kemudian menetap di sebuah desa bernama Hudzailah. Beliau menetap disana karena bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Arab yang paling fasihat.

Pada periode ini perkembangan Fiqh Islam begitu cepat dan mulai bermunculannya kumpulan-kumpulan fiqh para mujtahid serta mulai terbentuknya mazhab-mazhab. Selain itu banyak perdebatan-perdebatan dikalangan para mujtahid dan pengikut mazhab-mazhab yang mengambil peran aspek-aspek yang beragam dan berbeda-bedanya dalam fiqh dan dalil. Kenyataan-kenyataan inilah yang mendorong beliau memasuki kancah perdebatan bersama-sama dengan orang-orang yang menyelaminya. Dengan kapasitas yang dimiliki oleh Imam asy-Syafi`i, beliau mulai menyusun suatu kaidah ushul untuk meng-istinbath hukum, kaidah-kaidah istidlâl juga batasan-batasan seorang mujtahid, sehingga Fiqh tidak lagi didasarkan pada fatwa-fatwa dan ketetapan-ketetapan suatu golongan, akan tetapi didasarkan pada suatu kaidah ushuliyyah yang bersifat menyeluruh.

2. Periode kedua

Periode kedua dimulai sekitar awal abad ke-5 H. yang terus mengalami dinamikanya hingga akhir abad ke-7 H. Periode ini merupakan masa keemasan dalam perkembangan ilmu Ushul al-Fiqh yang bertendensikan hadits-hadits Nabawiyyah dan atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat dan tâbi`în. Masa ini ditandai dengan munculnya dua sosok ulama, yaitu Imam Khatib al-Baghdady (pengarang kitab Tarikh Baghdad) dan Abu `Amr ibn `Abdu al-Birri (pengarang kitab at-Tamhîd).

Dalam disiplin Ilmu Ushul, Imam Khatib (Imam dari Timur/Baghdad) mengarang kitab al-Faqîh wa al-Mutafaqqih. Kitab ini merujuk kepada kitab ar-Risâlah. Didalamnya memuat tentang nasihat-nasihat bagi ahulu al-hadits. Selain itu terdapat juga ilmu metodologi diskusi dan pembahasan tentang tata krama dalam meng-istinbath hukum fiqh.

Adapaun Imam Abu `Amr (Imam dari Barat/Andalusia, 463 H.) mengarang kitab Jâmi` Bayan al-`Ilm wa Fadlihi. Kitab ini ditulis sebagai respon atas pertanyaan orang-orang tentang esensi ilmu juga cara-cara penetapan suatu hujjah yang bertendensikan ilmu pengetahuan, data dan fakta yang ada, bukan asumsi teoritis-filosofis belaka. Dalam periwayatan-periwayatan hadits dan atsar sahabat, beliau banyak merujuk kepada imam-imam yang berafiliasi dengan madzhab Mâlikiyah dan ulama-ulama Shalaf ash-Shâlih. Beliau juga menjadikan kitab karangan Imam asy-Syafi`i dan Imam Muhammad ibn al-Hasan sebagai refrensi dalam beberapa permasalahan.

Pada periode ini lahir pula beberapa buah karya dalam disiplin ilmu ushul. Kitab-kitab dari kalangan madzhab Hanâfi diantaranya kitab Taqwim al-Adillah karya Abu Zaid ad-Dabûsy (430 H.) dan kitab mustau`ab karya al-Bazdawy. Kitab al-Mustashfa karya Imam al-Ghazâli (505 H.) dari kalangan madzhab Syafi`i dan kitab al-`Ahdu karya `Abdu al-Jabbar dan syarahnya al-Mu`tamad karya Abu al-Husain al-Bishry. Keduanya dari golongan Mu`tazilah.

Periode kedua dinamakan dengan masa keemasan karena dalam mengeluarkan suatu hujjah, sudah mulai tidak terbatas pada periwayatan dan tekstual hadits belaka, akan tetapi sudah mulai menggunakan nalar pemahaman kontekstual sebuah hadits dan metodologi istinbath (qiyas). Disamping itu para ulama sudah mulai menggunakan nalar dalam membuat sebuah definisi dalam syara`. Mereka juga tidak tergesa-gesa dalam menetapkan suatu hukum dan berfatwa.

3. Periode ketiga

Permulaan periode ketiga sekitar abad ke-8 H. yang berkembang hingga sekitar akhir abad ke-10 H. Pada awal periode ini, muncul dua imam besar yang didaulat sebagai pembaharu dalam permasalahan-permasalahan agama yang berpijak pada manhaj (pola pikir) Ahlu as-Sunnah wa al-Jamâ`ah. Keduanya adalah Syaikh al-Islam Imam Ibn Taymiyyah (pengarang kitab al-Muswaddah, 728 H.) dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah (pengarang kitab I`lâm al-Mauqi`în, 751 H.). Pada masa kedua pembaharu ini, begitu melimpahnya karya-karya para ulama yang mulai bergumul dengan diskursus ilmu ushuliyyah, baik tertuang dalam kitab-kitab mukhtashar (kitab yang pembahasannya ringkas) ataupun kitab-kitab muthawwalât (kitab yang pembahasannya luas dan mendalam). Karya-karya ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia dan semakin banyak orang-orang yang mempelajari dan menelaahnya.

Manuskrip-manuskrip yang dibuat pada periode ketiga berpolarisasi pada dua sudut pembahasan:

- Pertama, pembuatan kaidah-kaidah ushuliyah yang sesuai dengan konsep Ahlu as-Sunnah wa al-Jamâ`ah, juga membuat asas-asas yang menopang pola pikir as-Salaf ash-Shâlih melalui hujjah yang sesuai dengan apa yang dimaksud dan bukti-bukti yang jelas. Disamping itu, mengembalikan semua permasalahan kepada nash-nash, yaitu al-Kitâb, as-Sunnah, Ijmâ`, nalar yang sehat yang disertai jiwa yang selamat, juga metodologi para shahabat dan tâbi`în (dalam arti tidak terjebak dalam retorika dan pola pikir yang ditawarkan ilmu Mantiq dan nalar para filusuf).

- Kedua, merekonstruksi pemikiran para fuqâha yang mulai terjebak dalam dialektika tidak sehat ketika mengemukakan sebuah hujjah dengan saling melemparkan celaan, bukan dialektika yang ilmiah. Hal ini diwujudkan dengan penolakan terhadap segala bentuk kebatilan dan menyingkap berbagai kepalsuan sekaligus menjelaskan letak kebenarannya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan dalil-dalil yang sesuai dengan `aql dan naql.

Bisa disimpulkan bahwa keberadaan manuskrip-manuskrip yang lahir pada abad ini untuk merekonstruksi pola pikir yang mulai rancu sekaligus menjelaskan sebuah metodologi yang sesuai dengan as-Salaf ash-Shâlih.

Diantara karya-karya lang lahir pada abad ini:

- al-Madkhal ilâ Madzhab al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, karangan asy-Syaikh `Adb al-Qadir ibn Badrân ad-Daumy ad-Damasyqi (1346 H.).

- Nazhat al-Khâtir al-`Âthir syarah kitab Raudlat an-Nâdzir wa Jannat al-Manâdzir, karangan asy-Syaikh `Adb al-Qadir ibn Badrân ad-Daumy ad-Damasyqi (1346 H.).

- Risâlah Lathîfah fî Ushul al-Fiqh, karangan asy-Syaikh `Abd ar-Rahmân ibn nâshir as-Sa`udy (1376 H.).

- Wasîlah al-Wushûl ilâ Muhimmât al-Ushûl, karangan asy-Syaikh Hâfidz ibn Ahmad al-Hikamy (1377 H.).

- Mudzakkaroh Ushûl al-Fiqh `alâ Raudlah an-Nâdzir, karangan asy-Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syanqithy (1393 H.)

fahmy farid p.

USHUL AL-FIQH

(Sebuah Metodologi Penelitian dan Pengetahuan Dalam Ilmu Hukum Islam)

Ilmu Ushul al-Fiqh digunakan untuk mengetahui dalil-dalil penetapan hukum Fiqh secara mujmal. Ilmu ini menjelaskan tentang sebuah metodologi penetapan Hukum Islam yang diambil dari dalil tersebut. Ilmu ini juga membahas tentang kapasitas seseorang yang berkompeten dalam menginterpretasikan dalil-dalil yang ada untuk kemudian dijadikan sebuah hukum.

Eksistensi ilmu Ushul al-Fiqh berbanding lurus dengan Fiqih itu sendiri. Dalam arti dimana ada Fiqh, maka sudah dipastikan Ushul al-Fiqh menyertainya, karena Fiqh pada dasarnya adalah hakikat yang dicari oleh ilmu Ushul al-Fiqh. Namun, sekalipun eksistensi keduanya terjadi bersamaan, Fiqh lebih dulu dikodifikasikan. Hal ini bukan berarti bahwa keduanya muncul dalam waktu yang berbeda karena pembukuan hanyalah menunjukan keberadaannya bukan kemunculannya, seperti halnya pembukuan disiplin ilmu Gramatika Arab (nahwu-sharaf) dimana orang-orang arab selalu me-rafa`-kan mubtada atau me­-nashab-kan maf`ul bîh dalam setiap percakapannya, sehingga berlakulah kaidah tersebut sebagai salah satu bagian dari disiplin ilmu Gramatika Arab, sekalipun belum terkodifikasikan. Juga bukan berarti bahwa para fuqôha tidak menggunakan metode-metode dan kaidah-kaidah tertentu dalam menetapkan sebuah hukum, akan tetapi kaidah dan metode tersebut sudah melekat dalam diri mereka. Dalam arti mereka menyandarkan pemahamannya terhadap makna-makna syara`, arah dan tujuan hukum, hal-hal yang disyaratkan oleh nash-nash syara` serta yang ditunjukan oleh maksud-maksudnya.

Sumber hukum pada masa Rasulullah saw. hanyalah al-Qurân dan as-Sunnah. Dalam arti beliau dituntun langsung oleh wahyu dalam menetapkan suatu hukum,.

Setelah Rasulullah saw. wafat, muncul beragam permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan jalan ijtihad. Namun dalam meng-istinbath (menetapkan) sebuah hukum syar`i, para sahabat melakukannya dengan dengan merujuk suatu kaidah ushuliyyah yang sudah melekat dalam diri mereka. Mereka mengetahuinya dari nash-nash dan nilai-nilai syar`i, juga dari sikap dan prilaku Rasulullah saw. yang mereka saksikan dan alami sendiri tanpa harus menggunakan referensi kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan. Pada masa ini, dalam mencetuskan sebuah hukum yang berkaitan dengan permasalahan baru mereka mencarinya dalam al-Qurân. Jika belum menemukannyan mereka mencarinya dalam as-Sunnah. Jika belum menemukannya juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuannya tentang maqashid asy-Syari`ah (tujuan syari`ah).Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad karena mereka memahami seluk-beluk literatur Gramatika Arab (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, ma`âni, bayan, badi` dll.). Mereka juga mengetahui rahasia dan hikmah pen-syari`at-an, asbâb an-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat al-Qurân) dan asbâb al-wurud (sebab-sebab datangnya hadits). Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqih-an yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Rasulullah saw. Disamping itu, para sahabat memiliki keistimewaan berupa jiwa yang bersih, daya tangkap yang cepat yang ditunjang oleh ingatan yang kuat serta ketajaman analisis dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara` dalam menetapkan hukum. Mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa al-Qurân dan as-Sunnah.

Pada masa tabi`in dan tabi` at-tâbi`în, kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh belum pula dibukukan. Walaupun kompleksitas permasalahan semakin beragam, akan tetapi mereka mengikuti metodologi para sahabat dalam melakukan istinbath, sehingga pengkodifikasian ini menjadi tidak perlu karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi saw. dan telah belajar banyak dari para sahabat.

Banyaknya penaklukan-penaklukan menjadikan kekuasaan Islam semakin meluas. Selain itu percampuran ragam bahasa dan budaya membuat Bahasa Arab "terkontaminasi". Permasalahan-permasalahan baru yang semakin kompleks memaksa munculnya banyak ijtihad, mujtahid dan cara-cara mereka dalam mencetuskan suatu hukum. Diskusi dan perdebatan semakin meluas, sehingga banyak ulama yang mengkhususkan diri dalam fatwa. Kenyataan-kenyataan ini membuat para Fuqâha terdorong untuk meletakan suatu kaidah ushuliyyah yang definitif serta metode ijtihad yang sistematis sebagai rujukan bagi para mujtahid dan ukuran kebenaran ketika terjadi perselisihan. Hanya saja disiplin ilmu Ushul al-Fiqh belum teridentifikasi kecuali setelah Imam asy-Syafi`i (204 H.) meletakan kerangka dasarnya yang tertuang dalam karyanya "ar-Risâlah".