fahmy farid p.

USHUL AL-FIQH

(Sebuah Metodologi Penelitian dan Pengetahuan Dalam Ilmu Hukum Islam)

Ilmu Ushul al-Fiqh digunakan untuk mengetahui dalil-dalil penetapan hukum Fiqh secara mujmal. Ilmu ini menjelaskan tentang sebuah metodologi penetapan Hukum Islam yang diambil dari dalil tersebut. Ilmu ini juga membahas tentang kapasitas seseorang yang berkompeten dalam menginterpretasikan dalil-dalil yang ada untuk kemudian dijadikan sebuah hukum.

Eksistensi ilmu Ushul al-Fiqh berbanding lurus dengan Fiqih itu sendiri. Dalam arti dimana ada Fiqh, maka sudah dipastikan Ushul al-Fiqh menyertainya, karena Fiqh pada dasarnya adalah hakikat yang dicari oleh ilmu Ushul al-Fiqh. Namun, sekalipun eksistensi keduanya terjadi bersamaan, Fiqh lebih dulu dikodifikasikan. Hal ini bukan berarti bahwa keduanya muncul dalam waktu yang berbeda karena pembukuan hanyalah menunjukan keberadaannya bukan kemunculannya, seperti halnya pembukuan disiplin ilmu Gramatika Arab (nahwu-sharaf) dimana orang-orang arab selalu me-rafa`-kan mubtada atau me­-nashab-kan maf`ul bîh dalam setiap percakapannya, sehingga berlakulah kaidah tersebut sebagai salah satu bagian dari disiplin ilmu Gramatika Arab, sekalipun belum terkodifikasikan. Juga bukan berarti bahwa para fuqôha tidak menggunakan metode-metode dan kaidah-kaidah tertentu dalam menetapkan sebuah hukum, akan tetapi kaidah dan metode tersebut sudah melekat dalam diri mereka. Dalam arti mereka menyandarkan pemahamannya terhadap makna-makna syara`, arah dan tujuan hukum, hal-hal yang disyaratkan oleh nash-nash syara` serta yang ditunjukan oleh maksud-maksudnya.

Sumber hukum pada masa Rasulullah saw. hanyalah al-Qurân dan as-Sunnah. Dalam arti beliau dituntun langsung oleh wahyu dalam menetapkan suatu hukum,.

Setelah Rasulullah saw. wafat, muncul beragam permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan jalan ijtihad. Namun dalam meng-istinbath (menetapkan) sebuah hukum syar`i, para sahabat melakukannya dengan dengan merujuk suatu kaidah ushuliyyah yang sudah melekat dalam diri mereka. Mereka mengetahuinya dari nash-nash dan nilai-nilai syar`i, juga dari sikap dan prilaku Rasulullah saw. yang mereka saksikan dan alami sendiri tanpa harus menggunakan referensi kaidah-kaidah tertulis yang dibukukan. Pada masa ini, dalam mencetuskan sebuah hukum yang berkaitan dengan permasalahan baru mereka mencarinya dalam al-Qurân. Jika belum menemukannyan mereka mencarinya dalam as-Sunnah. Jika belum menemukannya juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuannya tentang maqashid asy-Syari`ah (tujuan syari`ah).Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad karena mereka memahami seluk-beluk literatur Gramatika Arab (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah, ma`âni, bayan, badi` dll.). Mereka juga mengetahui rahasia dan hikmah pen-syari`at-an, asbâb an-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat al-Qurân) dan asbâb al-wurud (sebab-sebab datangnya hadits). Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqih-an yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Rasulullah saw. Disamping itu, para sahabat memiliki keistimewaan berupa jiwa yang bersih, daya tangkap yang cepat yang ditunjang oleh ingatan yang kuat serta ketajaman analisis dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan dasar-dasar syara` dalam menetapkan hukum. Mereka mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri (Arab) yang juga bahasa al-Qurân dan as-Sunnah.

Pada masa tabi`in dan tabi` at-tâbi`în, kaidah-kaidah Ushul al-Fiqh belum pula dibukukan. Walaupun kompleksitas permasalahan semakin beragam, akan tetapi mereka mengikuti metodologi para sahabat dalam melakukan istinbath, sehingga pengkodifikasian ini menjadi tidak perlu karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi saw. dan telah belajar banyak dari para sahabat.

Banyaknya penaklukan-penaklukan menjadikan kekuasaan Islam semakin meluas. Selain itu percampuran ragam bahasa dan budaya membuat Bahasa Arab "terkontaminasi". Permasalahan-permasalahan baru yang semakin kompleks memaksa munculnya banyak ijtihad, mujtahid dan cara-cara mereka dalam mencetuskan suatu hukum. Diskusi dan perdebatan semakin meluas, sehingga banyak ulama yang mengkhususkan diri dalam fatwa. Kenyataan-kenyataan ini membuat para Fuqâha terdorong untuk meletakan suatu kaidah ushuliyyah yang definitif serta metode ijtihad yang sistematis sebagai rujukan bagi para mujtahid dan ukuran kebenaran ketika terjadi perselisihan. Hanya saja disiplin ilmu Ushul al-Fiqh belum teridentifikasi kecuali setelah Imam asy-Syafi`i (204 H.) meletakan kerangka dasarnya yang tertuang dalam karyanya "ar-Risâlah".

0 Responses

Post a Comment