fahmy farid p.

Perkembangan disiplin ilmu Ushul al-Fiqh terbentuk dalam tiga periode:


1. Periode pertama

Periode pertama, yaitu periode kemunculan ilmu Ushul al-Fiqh. Adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi`i sebagai ulama yang pertama kali mengkodifikasikan sebuah disiplin ilmu yang memberi batasan tentang istnbath (penetapan) hukum sekaligus menyusun sistematika penetapannya dengan kaidah-kaidah umum yang bersifat menyeluruh. Beliau adalah peletak dasar ilmu Ushul al-Fiqh yang tertuang dalam karyanya ar-Risalah, meskipun setelahnya banyak bermunculan ulama-ulama yang mengembangkan disiplin ilmu ini, termasuk definisi-definisinya. Periode ini berakhir sekitar akhir abad ke-4 H.

Pada masa itu terdapat dua lembaga pendidikan yang menjadi rujukan para pengkaji literatur Islam, yaitu lembaga pendidikan yang menjadi pusat penelitian hadits-hadits yang terdapat di kota Madinah yang dipimpin oleh Imam Mâlik ibn Annas (179 H.). Lembaga ini menjadi basis dalam ilmu hadits karena Madinah merupakan tanah kelahiran para sahabat dan juga tempat turunnya wahyu. Yang kedua adalah lembaga pendidikan yang berada di daratan Iraq yang lebih banyak bergumul dengan ilmu filsafat, terutama filsafat Yunani. Hal ini bisa dimaklumi sebagai sebuah konsekuensi dari sedikitnya mereka mendapatkan informasi tentang sebab-sebab periwayatan suatu hadits. Maka munculnya beragam perbedaan pendapat, riwayat-riwayat palsu dan fitnah menjadi sebuah keniscayaan. Lembaga ini dipimpin oleh ashab (generasi) Imam Abu Hanîfah yaitu an-Nu`mân ibn Tsâbit. Walaupun kedua lembaga pendidikan ini mempunyai spesialisasi yang berbeda, akan tetapi keduanya sepakat bahwa dalam meng-istinbath suatu hukum, harus diambil dari al-Kitab (al-Qurân) dan as-Sunnah, juga mengedepankan nahs dari sebuah asumsi teoritis belaka.

Kedua lembaga tersebut menjadi pusat pengembangan diskursus berbagai khazanah Islam, akan tetapi sedikit sekali para fuqâha yang menimba ilmu di kedua lembaga pendidikan tersebut. Adalah Imam asy-Syafi`i yang mampu menguasai kedua manhaj ini sekaligus menggabungkan keduanya. Beliau menguasai Fiqh Imam Mâlik saat menuntut ilmu di Hijaz-Madinah. Beliau juga menguasai Fiqh Imam Abu Hanîfah (150 H.) ketika menimba ilmu di Iraq kepada Muhammad ibn Hasan (189 H.) yang mempunyai keterkaitan (hubungan/sandaran) dengan Fiqh ahli Syam dan Mesir. Disamping itu, Imam asy-Syafi`i juga mempelajari beberapa disiplin ilmu lainnya di lembaga pendidikan yang berlokasi di Makah, yaitu sebuah lembaga yang memelihara sekaligus menjadi sentral ilmu tafsir, Asbab an-Nuzul, lugaht juga ilmu antropologi. Beliau juga mempelajari literatur Bahasa Arab di daerah-daerah pedalaman untuk kemudian menetap di sebuah desa bernama Hudzailah. Beliau menetap disana karena bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Arab yang paling fasihat.

Pada periode ini perkembangan Fiqh Islam begitu cepat dan mulai bermunculannya kumpulan-kumpulan fiqh para mujtahid serta mulai terbentuknya mazhab-mazhab. Selain itu banyak perdebatan-perdebatan dikalangan para mujtahid dan pengikut mazhab-mazhab yang mengambil peran aspek-aspek yang beragam dan berbeda-bedanya dalam fiqh dan dalil. Kenyataan-kenyataan inilah yang mendorong beliau memasuki kancah perdebatan bersama-sama dengan orang-orang yang menyelaminya. Dengan kapasitas yang dimiliki oleh Imam asy-Syafi`i, beliau mulai menyusun suatu kaidah ushul untuk meng-istinbath hukum, kaidah-kaidah istidlâl juga batasan-batasan seorang mujtahid, sehingga Fiqh tidak lagi didasarkan pada fatwa-fatwa dan ketetapan-ketetapan suatu golongan, akan tetapi didasarkan pada suatu kaidah ushuliyyah yang bersifat menyeluruh.

2. Periode kedua

Periode kedua dimulai sekitar awal abad ke-5 H. yang terus mengalami dinamikanya hingga akhir abad ke-7 H. Periode ini merupakan masa keemasan dalam perkembangan ilmu Ushul al-Fiqh yang bertendensikan hadits-hadits Nabawiyyah dan atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat dan tâbi`în. Masa ini ditandai dengan munculnya dua sosok ulama, yaitu Imam Khatib al-Baghdady (pengarang kitab Tarikh Baghdad) dan Abu `Amr ibn `Abdu al-Birri (pengarang kitab at-Tamhîd).

Dalam disiplin Ilmu Ushul, Imam Khatib (Imam dari Timur/Baghdad) mengarang kitab al-Faqîh wa al-Mutafaqqih. Kitab ini merujuk kepada kitab ar-Risâlah. Didalamnya memuat tentang nasihat-nasihat bagi ahulu al-hadits. Selain itu terdapat juga ilmu metodologi diskusi dan pembahasan tentang tata krama dalam meng-istinbath hukum fiqh.

Adapaun Imam Abu `Amr (Imam dari Barat/Andalusia, 463 H.) mengarang kitab Jâmi` Bayan al-`Ilm wa Fadlihi. Kitab ini ditulis sebagai respon atas pertanyaan orang-orang tentang esensi ilmu juga cara-cara penetapan suatu hujjah yang bertendensikan ilmu pengetahuan, data dan fakta yang ada, bukan asumsi teoritis-filosofis belaka. Dalam periwayatan-periwayatan hadits dan atsar sahabat, beliau banyak merujuk kepada imam-imam yang berafiliasi dengan madzhab Mâlikiyah dan ulama-ulama Shalaf ash-Shâlih. Beliau juga menjadikan kitab karangan Imam asy-Syafi`i dan Imam Muhammad ibn al-Hasan sebagai refrensi dalam beberapa permasalahan.

Pada periode ini lahir pula beberapa buah karya dalam disiplin ilmu ushul. Kitab-kitab dari kalangan madzhab Hanâfi diantaranya kitab Taqwim al-Adillah karya Abu Zaid ad-Dabûsy (430 H.) dan kitab mustau`ab karya al-Bazdawy. Kitab al-Mustashfa karya Imam al-Ghazâli (505 H.) dari kalangan madzhab Syafi`i dan kitab al-`Ahdu karya `Abdu al-Jabbar dan syarahnya al-Mu`tamad karya Abu al-Husain al-Bishry. Keduanya dari golongan Mu`tazilah.

Periode kedua dinamakan dengan masa keemasan karena dalam mengeluarkan suatu hujjah, sudah mulai tidak terbatas pada periwayatan dan tekstual hadits belaka, akan tetapi sudah mulai menggunakan nalar pemahaman kontekstual sebuah hadits dan metodologi istinbath (qiyas). Disamping itu para ulama sudah mulai menggunakan nalar dalam membuat sebuah definisi dalam syara`. Mereka juga tidak tergesa-gesa dalam menetapkan suatu hukum dan berfatwa.

3. Periode ketiga

Permulaan periode ketiga sekitar abad ke-8 H. yang berkembang hingga sekitar akhir abad ke-10 H. Pada awal periode ini, muncul dua imam besar yang didaulat sebagai pembaharu dalam permasalahan-permasalahan agama yang berpijak pada manhaj (pola pikir) Ahlu as-Sunnah wa al-Jamâ`ah. Keduanya adalah Syaikh al-Islam Imam Ibn Taymiyyah (pengarang kitab al-Muswaddah, 728 H.) dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah (pengarang kitab I`lâm al-Mauqi`în, 751 H.). Pada masa kedua pembaharu ini, begitu melimpahnya karya-karya para ulama yang mulai bergumul dengan diskursus ilmu ushuliyyah, baik tertuang dalam kitab-kitab mukhtashar (kitab yang pembahasannya ringkas) ataupun kitab-kitab muthawwalât (kitab yang pembahasannya luas dan mendalam). Karya-karya ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia dan semakin banyak orang-orang yang mempelajari dan menelaahnya.

Manuskrip-manuskrip yang dibuat pada periode ketiga berpolarisasi pada dua sudut pembahasan:

- Pertama, pembuatan kaidah-kaidah ushuliyah yang sesuai dengan konsep Ahlu as-Sunnah wa al-Jamâ`ah, juga membuat asas-asas yang menopang pola pikir as-Salaf ash-Shâlih melalui hujjah yang sesuai dengan apa yang dimaksud dan bukti-bukti yang jelas. Disamping itu, mengembalikan semua permasalahan kepada nash-nash, yaitu al-Kitâb, as-Sunnah, Ijmâ`, nalar yang sehat yang disertai jiwa yang selamat, juga metodologi para shahabat dan tâbi`în (dalam arti tidak terjebak dalam retorika dan pola pikir yang ditawarkan ilmu Mantiq dan nalar para filusuf).

- Kedua, merekonstruksi pemikiran para fuqâha yang mulai terjebak dalam dialektika tidak sehat ketika mengemukakan sebuah hujjah dengan saling melemparkan celaan, bukan dialektika yang ilmiah. Hal ini diwujudkan dengan penolakan terhadap segala bentuk kebatilan dan menyingkap berbagai kepalsuan sekaligus menjelaskan letak kebenarannya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan dalil-dalil yang sesuai dengan `aql dan naql.

Bisa disimpulkan bahwa keberadaan manuskrip-manuskrip yang lahir pada abad ini untuk merekonstruksi pola pikir yang mulai rancu sekaligus menjelaskan sebuah metodologi yang sesuai dengan as-Salaf ash-Shâlih.

Diantara karya-karya lang lahir pada abad ini:

- al-Madkhal ilâ Madzhab al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, karangan asy-Syaikh `Adb al-Qadir ibn Badrân ad-Daumy ad-Damasyqi (1346 H.).

- Nazhat al-Khâtir al-`Âthir syarah kitab Raudlat an-Nâdzir wa Jannat al-Manâdzir, karangan asy-Syaikh `Adb al-Qadir ibn Badrân ad-Daumy ad-Damasyqi (1346 H.).

- Risâlah Lathîfah fî Ushul al-Fiqh, karangan asy-Syaikh `Abd ar-Rahmân ibn nâshir as-Sa`udy (1376 H.).

- Wasîlah al-Wushûl ilâ Muhimmât al-Ushûl, karangan asy-Syaikh Hâfidz ibn Ahmad al-Hikamy (1377 H.).

- Mudzakkaroh Ushûl al-Fiqh `alâ Raudlah an-Nâdzir, karangan asy-Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syanqithy (1393 H.)

0 Responses

Post a Comment