fahmy farid p.

‘SATU’ tak selamanya baik buat manusia. Bilangan itu terlampau berbatas untuk didaku seluruh umat manusia seutuhnya.


Identitas, bagaimanapun juga selalu memendam muatan enigmatik. Ia sesekali waktu bagai topeng tanpa kerutan tegas-menegas, apalagi relief yang jelas, terkaburkan atau sengaja dikaburkan. Tapi di lain waktu justru bisa menjelma lakon dalam suatu peranan yang menjadikan sesiapa itu dikenal, walaupun senyatanya tak pernah tuntas. Ia adalah entitas yang selalu bergerak, entah maju atau bahkan mundur, sering pula tidak memiliki kejelasan arah yang pasti. Berpijak dari sini, ada semacam muatan-muatan penting dalam sebuah identitas, namun sekaligus memendam problematisnya tersendiri. Sebegitu penting sekaligus problematisnya identitas ini telah menjadikannya patut untuk dibaca secara hati-hati. Karena bagaimanapun juga, bahkan sedari awal, setiap bentuk perjuangan manusia boleh jadi hanya sebatas proses mempertegas identitas belaka, tidak lebih. Dalam hal ini, mula-mula identitas menampak dalam potret yang teramat lugu, lalu sesaat seketika mendadak konyol. Tak heran, banyak catatan sejarah menjadi saksi bisu hadirnya juta angkara atas nama identitas itu, pun akhirnya nyawa hanya seharga ‘AKU’ saja.


Terkait identitas ini, lebih dahulu bisa kita tarik garis analisa secara linear bahwa pada prinsipnya manusia cenderung berkelompok dengan berpijak pada persesuaian prespektif, atau paling tidak hadir semacam kebermungkinan itu. Sebagian besar, dalam bentangan cakrawala sejarah manusia yang biasa kita sebut peradaban, paradigma dasar kelompok itu terbilang eksklusif dalam identitas yang kaku. Di sisi lainnya hadir pula semacam dorongan untuk saling mendominasi, lalu jikapun memungkinkan menyerap cakrawala kebudayaan dalam batas pemaknaan normalitatif yang mampu diabstraksi.


Jelas jikapun demikian, identitas di sini bisa jadi hanya menghadirkan ambivalensi saja. Dalam pengertian yang paling sederhana, tanpa identitas, ke-aku-an takan pernah dikenal. Tapi ketika itu mulai menancap tegas, disadari ataupun tidak, ia justru ‘telah’ memproklamirkan diri sebagai eksistensi yang berbeda. Kemudian bisa jadi yang beda itu semerta harus tersingkir, bahkan acap kali tanpa hormat. Lantas slogan ‘SATU’ menemukan momentum wacananya saat itu juga.


Tapi naïf, cita-cita ‘SATU’ seakan menjadi lebih sering terdengar tanpa bergandeng mesra dengan slogan –dalam konteks Indonesia- ‘BHINEKA’, sehingga hal tersebut lebih terdengar sebatas penanda dengan rongga yang teramat menganga, tak padat. Keanekaragaman –seolah- menjadi tidak penting di sini, namun kepentingan yang justru memainkan peran sentral. Pada titik paling radikal, nilai paradoksial ini justru telah menjadikan identitas manusia terjebak –katakanlah- dalam dimensi ‘limbo’, ruang imajiner tanpa ketegasan yang jelas. Ia tak tahu, tanpa sadar, kenyataan apa yang didepannya. Ada satu keadaan yang –sengaja- dilupakan, dihilangkan, karena ia telah menafikan satu kenyataan penting; ‘SATU’ tak selamanya baik buat manusia. Bilangan itu terlampau berbatas untuk didaku seluruh umat manusia seutuhnya.


Tapi jangan lantas semerta terjustifikasi bahwa ini adalah satu-satunya gagasan besar yang terpotret pada seluruh gagasan peradaban manusia. Dalam arti, ketika slogan ‘SATU’ menjadi sedemikian tereduksi ke dalam tatanan yang paling kaku sebagai sebentuk sketsa hitam-putih saja. Jika ‘dia’ hitam, maka ‘aku’ adalah putih, lantas si hitam hanyalah duri dalam sejarah pun masa depan peradaban manusia. Pada titik paling kejam, potret ini terpetakan dalam usaha perebutan dominasi ideologis di mata publik hingga penguasa. Padahal dari dialektika intra-identitas ini, tak jarang pula sesiapa yang pernah berpijak pada bumi manusia mempunyai gagasan besar lain. Tak sedikit yang memperjuangkan keutuhan ‘SATU’ dengan menggunakan pembacaan menyeluruh terkait konsep manusia seutuhnya. Mereka cenderung mendudukan ‘SATU’ tidak pada sketsa hitam-putih yang notabene hanya sebatas problem dimensional saja. Tapi lebih pada bagaimana keragaman entitas yang membentuk identitas tersendiri, sebagai buah eksklusifitas terkait fenomena ‘SATU’ itu, berkumpul-lebur dalam satu wadah gagasan universal, sebuah kesatuan yang utuh nan inklusif. Dengan cara pandang inklusif ini, tiap riak eksklusifitas menjadi terangkul. Tegasnya, mendudukan gagasan tersebut pada tatanan proporsional yang paling mampu diabstraksi manusia, sebagai sebuah fenomena lainnya, fenomena ‘Bhineka Tunggal Ika’, dengan sebenar-benarnya, tanpa kamuflase.


***


Bagi penulis, Bhineka Tunggal Ika, sebagai sebuah prinsip, bahkan ideologi, telah menjadi identitas paten di bumi pertiwi. Kemudian dalam hal ini, ada nilai-nilai yang senafas dengan gagasan kebinekaan itu, prinsip moderatisme. Dengan cara pandang seperti ini, perbedaan tidak lagi didudukan sebagai lahan konflik, tapi justru menerimanya sebagai sebuah kenyataan hidup. Walaupun nyatanya sejauh ini baru terimplementasikan dalam lokus teori dan belum pada tatanan aksi yang utuh, namun prinsip ini sejatinya bisa dijadikan weltanschauung (cara pandang) terkait problem laten identitas.


Tapi sebelum masuk pada tatanan konstruk identitas masyarakat moderat itu sendiri, ada beberapa hal yang perlu dibaca secara hati-hati. Bagi penulis, hal ini menjadi sedemikian klise mengingat –diakui atau tidak- terminologi moderatisme senyatanya menyimpan sisi-sisi problematis yang acap kali tak terbaca, baik dari tipologi paradigmatiknya maupun pemegang otoritas yang berhak menentukan bentuk tegasnya. Dalam arti, semenjak di mula, konstruk moderatisme tidak memiliki batas garis demarkasi yang jelas. Hadir semacam pemaknaan yang kabur, mengabur. Lain pada itu, problem otoritas menjadi penanda krusial di sini. Maka di akhir cerita, setiap per satu entitas manusia akan tidak selalu sama dalam memaknai moderatisme tersebut. Hadir semacam kebermungkinan yang luas terkait pemaknaannya, atau jangan-jangan moderatisme hanyalah sebatas ilusi metafisikal dan cenderung mengarah pada gagasan imajiner saja?


Pertimbangan penulis –sebagaimana di singgung sebelumnya, ketika sesiapa sudah menentukan sikapnya, ia justru telah memproklamirkan diri sebagai eksistensi yang berbeda. Karena bagaimanapun juga muncul sebuah sikap di sana, sebagai konsekwensi logis dari proses memilih identitas. Dan saat pemilihan itu terjadi, maka saat itu juga sesiapa telah menegaskan keberpihakannya, baik itu ke kanan atau ke kiri, ke depan atau ke belakang. Ini akan sama halnya dengan kasus yang terjadi ketika dihadapkan pada beberapa identitas lain, seperti identitas fundamentalisme, liberalisme, terorisme, [K]iri, [K]anan atau lainnya. Bukankah ini bisa jadi hanya semacam stigma bahasa yang mengakar tanpa konsepsi yang jelas. Sederhananya, paradigma ini muncul hanya dari pendakuan-pendakuan semata, bahkan tanpa kejelasan siapa yang berhak menentukan bentuk konsepsinya kecuali hanya kesepakatan-kesepakatan yang terlegalkan. Tak ayal, moderatisme tak bisa semerta kita maknai secara eksistensialis nan lugu, tapi harus didudukan pada batas abstraksi yang relevan dengan konteksnya, sebuah konteks yang membatasi pemaknaannya, sebuah aktualita.


Untuk itu, sebagai langkah awal, penulis akan melakukan analisa dari pengertiannya terlebih dahulu untuk mempersempit batas abstraksinya. Moderat, dalam KBBI mengandung arti selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem. Pengertian lainnya adalah berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah pandangannya (cukup mau mempertimbangkan pandangan pihak lain). Padanannya dalam bahasa Arab berarti wasath (tengah). Dalam kamus Lisan Al-`Arab, kata ini dimaknai mâ baina tharfaih (sesuatu yang berada di antara dua hal). Sedangkan beberapa literatur tafsir klasik maupun kontemporer, seperti tafsir Ibn Katsir ataupun tafsir Al-Wasith, memaknai wasath, seperti yang tertera dalam surat Al-Baqarah: 143, dengan khiyâr (pilihan) dan `udûl (adil). Lantas jika kita tarik pemaknaannya lebih ke dalam konteks sosial, ini menjadi sebentuk paradigma yang mengedepankan kemaslahatan bersama dalam bingkai perbedaan yang harmoni.


Jika demikian pemaknaannya, moderatisme, sebagai sebuah identitas sejatinya telah tumbuh-terkembang dan mengakar di nafas tradisi bumi pertiwi. Semenjak masa nenek moyang, budaya tepo seliro, handap asor, someah, dan berbagai karakteristik prilaku bangsa Indonesia telah menjadi ‘penanda kultural’. Hal tersebut tegas terlacak dalam jejak kesadaran salah satu wadah organisasi di Nusantara, Nahdlatul Ulama (NU), dengan prinsip moderatisme sebagai salah satu gagasan pentingnya. Moderatisme ala NU seyogyanya menjelma mainstream paradigmatik yang dimunculkan melalui gerakan-gerakan kultural, yaitu dengan menghindari cara-cara kekerasan, mengupayakan harmonisasi tiap paradigma, pendekatan-pendekatan persuasif, hingga membangun dimensi solidaritas secara total. Ada semacam kecenderungan paradikmatik di sini yang me-laten dan berelasi tegas dengan gagasan toleransi, inkusifitas serta prinsip-prinsip ke-bhineka-an, lantas menjadikan pluralitas sebagai potret realitas manusia yang tidak mungkin dibantah.


Maka dalam hal ini, NU menjadi salah satu percontohan yang unik sekaligus kontekstual di Indonesia dibalik berjubelnya organisasi sosial-kemasyarakatan yang bergerak di lahan yang sama, dengan pembasisan gagasan yang sama pula, walaupun dalam bentuk yang –bisa jadi- berbeda. Terbilang unik mengingat gagasan moderatisme ala NU selalu berpijak pada akar tradisi peradaban Indonesia sebagai potret masyarakat multi-kultural, dengan tidak menafikan keberagaman tersebut. Kontekstual mengingat gagasan-gagasan yang di usung NU tidak mengenal kecenderungan kolonialistik atau semacam dorongan untuk saling mendominasi. Walaupun secara internal NU membuat koridor yang membatasi ruang gerak anggotanya, koridor ahl al-sunnah wa al-jamâ`ah, tapi keragaman yang hadir di bumi Nusantara tetap dijaga sebagai sebuah realitas manusiawi. Maka jangan heran kalau NU memainkan peranan penting dalam menjaga keutuhan NKRI. Salah satu momentumnya terjadi pada Muktamar di Situbondo tahun 1984 ketika NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal yang final.


Hanya saja, cita-cita moderatisme ala NU atau organisasi sejenis yang memiliki sayap paradigma yang hampir sama, saat ini dihadapkan pada tantangan yang cukup serius nan pelik. Yaitu mereka yang cenderung berpikiran uthopianis. Yaitu mereka yang menginginkan ‘SATU’ seperti apa yang dipahaminya saja, ‘SATU’ yang hitam-putih. Cara-cara yang digunakannya (baik ideologi ataupun aksi) juga terkesan dogmatis, kalau perlu menggunakan kekerasan untuk meluluskan pandangannya, radikalistis. Yang lebih mengherankan, mereka menamai aksi-aksinya sebagai sesuatu yang sesuai dengan nilai-nilai kultural, kepantasan, bahkan –bila perlu- membawa-bawa agama sebagai pembenarannya. Jika demikian, maka disintegrasi NKRI hanya tinggal menunggu waktu. Dan yang pasti bagi penulis, cita-cita identitas ‘SATU’ yang hitam-putih itu lebih terdengar ungkapan emosional dari para uthopianis. Mereka membangun sebuah manifesto yang terbilang ‘tak bias realitas’, baik muncul akibat imajinasi uthopis itu sendiri, atau hanya dengan meraba-raba masa silam, lalu dihadirkanlah kepingan kesadaran nostaligik belaka, tanpa sadar bahwa kenyataan tak selamanya manis, namun acap kali pahit. Lantas?


Oke, kita katakan bahwa apa yang telah dipaparkan sebelumnya –bisa jadi- hanyalah salah satu pemaknaan moderatisme ala NU, lantas tidak semerta menutup kemungkinan dipahami secara bebeda oleh kalangan Nahdliyyin itu sendiri atau lainya. Hanya saja harus ada koridor yang membatasi moderatisme Nusantara di sini agar tidak terjadi penggelembungan. Maka harus muncul sebuah pemahaman terlebih dahulu bahwa kebenaran sosial ‘terserak’ dimana ia berkembang, dalam batas artikulasi yang pantas. Ia bukan logika hitam-putih, terlebih kalkulus. Ia harusnya jejak kesadaran yang berkesinambungan, menapaki apa yang sering disebut jejak bersama. Karena memahami ‘SATU’ pada titik yang tak bisa diabstraksi kembali, tentunya sebatas tentang apa yang ‘diimani’. Namun pada dimensi tertentu, ‘SATU’ menjadi potret ujaran tanpa batas, abstraksi tiada henti. Tak ada otoritas apapun yang mampu membelenggu artikulasinya, bukan logika, apalagi dogma. Lalu, akan terbilang arogan bilamana memaknai kesadaran manusia dengan eksakta, tanpa negosiasi, hanya sebatas dogma. Maka dalam hal ini, tradisi yang dibangun semenjak dahulu oleh nenek moyang Nusantara memainkan peranannya.


Untuk itu, moderatisme Indonesia, NU khususnya, jangan sampai tersesatkan menjadi lahan baku hantam identitas, terperangkap dalam ruang limbo. Meminjam prespektif Hasan Hanafi saat Simposium Lakpesdam lalu bahwa istilah-istilah yang profokatif, justifikatif dan cenderung menyudutkan beberapa kelompok sepantasnya dihindari, mengingat sejatinya realitas adalah sebuah sikap itu sendiri (al-wâqi` huwa al-tatharruf). Justru rongga-rongga kesadaran yang tak tuntas akibat keterjebakan manusia pada laju khayal tentang ‘SATU’ sejatinya bisa terpadatkan oleh sebuah sikap bijak yang mampu menerima kenyataan tentang keanekaragaman, bahkan –meminjam istilah Pram- sejak dalam pikiran. Karena rongga itu senantiasa siap untuk dimasuki ‘BHINEKA’, kapan saja dan tanpa pamrih. Sederhananya, jalan manusia memang –akan selalu- beda, tapi akan ada masa dimana ‘sesegala’ akan kembali di titik yang sama.

fahmy farid p.

‘Just as interpretation is grounded in understanding, so assertions is grounded in interpretation’

[ Stephen Mulhall ]


Implikasi dari Pernyataan Stephen Mulhall di atas ketika membincang Being and Time milik Heidegger boleh jadi cukup serius terhadap filsafat. Walaupun demikian, harus dipahami terlebih dahulu bahwa gugatan yang ditujukan pada filsafat bukan tentang inkonsistensi logika, premis-premis yang kurang meyakinkan atau bahkan lemahnya argumen, tapi justru aktifitas berfilsafat itu sendiri. Dalam arti, sebuah pernyataan –katakanlah filososfis- selalu didasarkan pada bagaimana sesiapa mengartikulasikan sebuah teks, lantas artikulasi itu sendiri sangat dipengaruhi bagaimana sesiapa memahami teks. Tak ayal, Ada yang tergugat sekaligus terjadi pengalihan isu yang sangat sentral. Dalam hal ini, kemunculan post-modernisme telah menjadi simbol tumbangnya filsafat, dengan menjadikan keragaman rasionalitas dalam permainan-permainan bahasa sebagai inti tak terbantahkan (undeniable core) yang notabene akan memporak-porandakan bangunan epistemologi itu sendiri.


Meminjam analisa Bambang Sugiharto, jika dilacak agak lebih ke dalam terkait aktifitas berfilsafat, tentunya ini selalu berkelindan dengan ‘tulisan’. Dalam arti, sebagai ungkapan yang menjadi materi dalam bentuk ‘tulisan’, filsafat sama sekali tidak pernah merupakan ungkapan paling transparan dari sebuah pemikiran langsung. Pernyataan filosofis selalu mewujud dalam sistem tanda (simbol), baik berupa grafik (tinta) maupun fonik (bunyi). Konsekuensi teoritis semacam ini akan menggiring pada sebuah kenyataan bahwa kemampuan filsafat untuk menguraikan (membuat kalim) setiap kenyataan yang melampaui partikularitas bahasa harus dipertanyakan ulang. Karena pada akhirnya pernyataan filosofis yang hadir sangat bergantung pada sistem makna yang berlaku dalam satu komunitas pengguna sistem tanda tertentu. Pada titk ini, kebenaran menjadi semacam kesepakatan-kesepakatan bersama (inter-subjectivity), dengan menggunakan simbol tertentu pula. Jadi bagaimana kesepakatan itu kemudian diungkapkan dalam bentuk material akan sangat ditentukan oleh beragam kehidupan yang mendasarinya, sehingga rasionalitas tidak lagi bisa disebut bersifat universal dan absolutistik, tapi lebih pada perangkat temporal dan lokal saja.


Lain pada itu, jika memang filsafat itu selalu terkait dengan kebenaran, maka tentunya memerlukan perangkat tertentu yang bisa melacak dasar-dasar dan batas-batas yang mengantarkan pada proses identifikasi pengetahuan itu sendiri. Maka epistemologi menjadi perangkat filsafat yang sangat penting. Hanya saja, pemahaman semacam ini justru akan menjauhkan manusia dari realitasnya, dengan menjadikan kebenaran sebagai objek yang senantiasa dianalisa oleh subjek (manusia). Padahal –meminjam analisa Heidegger, yang memungkinkan sesiapa merepresentasikan realitas secara utuh justru harus berangkat dari sebuah kenyataan paling dasar bahwa manusia –sedari awal- sudah selalu menjadi bagian realitas itu sendiri. Pada titik tersebut, manusia sejatinya tidak pernah sedemikian berjarak apalagi terlepas dari realitasnya, karena setiap reprersentasi realitas yang muncul selalu didasarkan pada bagaimana pergaulan awal seseorang dengan dunia. Sehingga dualisme subjek-objek justru menjadi tidak penting di sini, semerta membuat keseluruhan posisi epistemologi porak-poranda atau setidaknya goyah. Walaupun demikian, pergaulan ini sejatinya tidak pernah terartikulasikan secara utuh. Maka persoalannya klini bukan lagi tentang epistemologi, tapi lebih pada bahasa (linguistic turn).


Semenjak dahulu, bahasa sudah menjadi sorotan penting terutama jika dikaitkan pada peradaban Islam yang notabene sangat berkaitan dengan teks keagamaan. Dalam arti bagaimana ungkapan Tuhan yang imateri (bilâ harf wa lâ shaut) kemudian hadir dihadapan manusia sebagai sesuatu yang mewujud dalam sistem tanda (bahasa-simbol, fonik maupun grafik). Simbol-simbol tersebut tentunya bukan sesuatu yang muncul dari ruang hampa menuju ruang hampa lain, tapi memiliki makna (dilâlah/significance). Makna ini sendiri memerlukan mekanisme untuk bisa dipahami manusia yang sangat berkelindan dengan bagaimana bahasa mewujud dalam sistem sosial.


Jika merujuk pada pendedahan Fakhruddin Al-Razi dalam Al-Mahsûl, beberapa ulama Islam memiliki mekanisme yang berbeda terkait sistem tanda (dalam hal ini kata). Tersebutkan Abbad ibn Sulaiman Al-Shaimuriy lebih melihat persoalan significance ini sebagai entitas yang menunjukan sesuatu dengan sendirinya (li dzâtih), atau katakanlah apriori di sini. Maksudnya, pemaknaan sebuah kata sama sekali tidak bersinggungan dengan pengalaman indrawi, tapi mengacu pada makna yang niscaya, pasti ataupun benar secara universal. Hanya saja perspektif demikian teramat problematis mengingat banyak ditemukan perbedaan mencolok terkait pemaknaan sebuah kata, sebanyak perbedaan cara pandang ataupun peradaban itu sendiri.


Dalam perspektif Asy`ariyah dan Ibn Furak ataupun Abu Hasyim Al-Jubai, significance justru lebih dipahami sebagai entitas yang dimunculkan melalui tangkapan-tangkapan realitas yang mendasarinya (bi al-wadl`i). Hanya saja, Asy`ariyah dan Ibn Furak melihat fenomena tersebut bersifat sesuatu yang sangat bergantung dengan bagaimana –dalam hal ini- Tuhan memaknai kata tersebut (tauqîfiy-interdependence). Meminjam pengistilahan Al-Ghazali, mekanisme semacam ini tentang bagaimana mencari makna kata menggunakan teks wahyu (bi al-naql). Artinya, intervensi manusia terhadap pemaknaan sebuah kata sama sekali terabaikan. Mereka berpijak pada kenyataan penting bahwa Tuhan mengajarkan Nabi Adam as. tentang semua nama-nama benda, sebagaimana dipaparkan dalam surat Al-Baqarah ayat 31. Sedangkan bagi Al-Jubai, significance justru lebih pada bagaimana manusia memaknainya yang didasarkan pada bagaimana manusia melakukan pencerapan fenomena kesehariannya kemudian dibahasakan (ishthilâhiy), atau sebagaimana dikatakan Al-Ghazali sebagai pemaknaan kata yang menggunakan mekanisme penalaran (bi al-`aql). Al-Jubai berpijak pada surat Ibrahim ayat 4 yang menjelaskan bahwa Tuhan mengutus setiap rasul menggunakan bahasa kaumnya. Perbedaan antara keduanya ini kemudian melahirkan semacam perspektif yang memandang bahwa sebagian kata bersifat ishthilâhiy dan sebagian lainnya tauqîfiy. Walaupun demikian, poin penting di sini bahwa bahasa semakin menegaskan posisinya sebagai perangkat yang mengantarkan pada pemahaman realitras.


Jika memang bahasa tersebut menjadi sebuah perangkat aktif dalam menghadirkan realitas, maka adagium ‘just as interpretation is grounded in understanding, so assertions is grounded in interpretation’ semakin menemukan momentumnya. Tak ayal, relasi manusia dengan bahasa menjadi kunci analisa untuk menyingkan ‘kebenaran’. Dalam arti, sejauh mana bahasa mampu mengartikuklasikan pengalaman hingga ke titik paling partikularnya? Untuk menguraikannya kekaburan relasi ini, penulis mencoba membidik dari bagaimana sebuah klaim itu mewujud.


Sebuah klaim kebenaran tentunya berkelindan dengan apa yang dinamakan assertion (penryataan tegas). Assertions sendiri merupakan pengungkapan postulat-postulat yang mengarah pada pencarian kebenaran yang berpijak pada realitas. Hanya saja postulat-postulat tersebut untuk bisa dikategorikan benar-salah memerlukan semacam penelusuran terma-terma yang berkaitan dengan postulat itu terlebih dahulu. Misalkan, seseorang membuat sebuah pernyataan bahwa ‘lukisan di dinding itu miring’. Maka terma ‘lukisan’, ‘dinding’, dan ‘miring’ menjadi kata kunci untuk memahami pernyataan tersebut. Lebih dari itu, sesiapa juga harus memahami dengan hati-hati terkait benar-salahnya pernyataan tersebut jika dikaitkan dengan realitas. Untuk itu, assertions bukan lagi hanya tentang artikulasi kebahasaan, tapi juga artikulasi realitas. Mengapa bisa demikian?


Dalam menjawabnya, penyelidikan sisi kebahasaan menjadi isu sentral di sini. Memang, pernyataan yang terbahasakan, atau katakanlah menjadi simbol, menjadi kunci utama yang merelasikannya dengan realitas. Tapi penanda (significance) ini ditetapkan melalui kesepakatan-kesepakatan mekanisme sistem tanda yang mengatur penggunaannya. Misalkan dalam komunitas tertentu sebuah cairan yang mempunyai komposisi H2O dinamakan dengan air. Adanya pernyataan ini bukan berarti menutup kemungkinan adanya entitas lain yang tersusun dari komposisi semacam itu. Artinya, pengungkapan air dengan H2O ini hanya sebatas permainan bahasa saja, bukan menyingkap kebenarannya dalam realitas. Tah ayal, ia hanya dipahami bagi komunitas yang menyepakati pernyataan tersebut saja, tidak bagi yang lain. Sehingga, bahasa di sini hanya mempunyai fungsi deskriptif saja, bukan sebagai pemotret realitas secara utuh. Bahasa di sini hanya sebatas cara manusia untuk memahami apa yang dinamakan ‘kenyataan’. Pada akhirnya, keragaman realitas manusia menjadi sulit untuk dibahasakan secara universal dan absolutistik, tapi lebih pada perangkat temporal dan lokal saja.


Tagammu` Awwal, 2 November 2011 (12:37 am)