‘Just as interpretation is grounded in understanding, so assertions is grounded in interpretation’
[ Stephen Mulhall ]
Implikasi dari Pernyataan Stephen Mulhall di atas ketika membincang Being and Time milik Heidegger boleh jadi cukup serius terhadap filsafat. Walaupun demikian, harus dipahami terlebih dahulu bahwa gugatan yang ditujukan pada filsafat bukan tentang inkonsistensi logika, premis-premis yang kurang meyakinkan atau bahkan lemahnya argumen, tapi justru aktifitas berfilsafat itu sendiri. Dalam arti, sebuah pernyataan –katakanlah filososfis- selalu didasarkan pada bagaimana sesiapa mengartikulasikan sebuah teks, lantas artikulasi itu sendiri sangat dipengaruhi bagaimana sesiapa memahami teks. Tak ayal, Ada yang tergugat sekaligus terjadi pengalihan isu yang sangat sentral. Dalam hal ini, kemunculan post-modernisme telah menjadi simbol tumbangnya filsafat, dengan menjadikan keragaman rasionalitas dalam permainan-permainan bahasa sebagai inti tak terbantahkan (undeniable core) yang notabene akan memporak-porandakan bangunan epistemologi itu sendiri.
Meminjam analisa Bambang Sugiharto, jika dilacak agak lebih ke dalam terkait aktifitas berfilsafat, tentunya ini selalu berkelindan dengan ‘tulisan’. Dalam arti, sebagai ungkapan yang menjadi materi dalam bentuk ‘tulisan’, filsafat sama sekali tidak pernah merupakan ungkapan paling transparan dari sebuah pemikiran langsung. Pernyataan filosofis selalu mewujud dalam sistem tanda (simbol), baik berupa grafik (tinta) maupun fonik (bunyi). Konsekuensi teoritis semacam ini akan menggiring pada sebuah kenyataan bahwa kemampuan filsafat untuk menguraikan (membuat kalim) setiap kenyataan yang melampaui partikularitas bahasa harus dipertanyakan ulang. Karena pada akhirnya pernyataan filosofis yang hadir sangat bergantung pada sistem makna yang berlaku dalam satu komunitas pengguna sistem tanda tertentu. Pada titk ini, kebenaran menjadi semacam kesepakatan-kesepakatan bersama (inter-subjectivity), dengan menggunakan simbol tertentu pula. Jadi bagaimana kesepakatan itu kemudian diungkapkan dalam bentuk material akan sangat ditentukan oleh beragam kehidupan yang mendasarinya, sehingga rasionalitas tidak lagi bisa disebut bersifat universal dan absolutistik, tapi lebih pada perangkat temporal dan lokal saja.
Lain pada itu, jika memang filsafat itu selalu terkait dengan kebenaran, maka tentunya memerlukan perangkat tertentu yang bisa melacak dasar-dasar dan batas-batas yang mengantarkan pada proses identifikasi pengetahuan itu sendiri. Maka epistemologi menjadi perangkat filsafat yang sangat penting. Hanya saja, pemahaman semacam ini justru akan menjauhkan manusia dari realitasnya, dengan menjadikan kebenaran sebagai objek yang senantiasa dianalisa oleh subjek (manusia). Padahal –meminjam analisa Heidegger, yang memungkinkan sesiapa merepresentasikan realitas secara utuh justru harus berangkat dari sebuah kenyataan paling dasar bahwa manusia –sedari awal- sudah selalu menjadi bagian realitas itu sendiri. Pada titik tersebut, manusia sejatinya tidak pernah sedemikian berjarak apalagi terlepas dari realitasnya, karena setiap reprersentasi realitas yang muncul selalu didasarkan pada bagaimana pergaulan awal seseorang dengan dunia. Sehingga dualisme subjek-objek justru menjadi tidak penting di sini, semerta membuat keseluruhan posisi epistemologi porak-poranda atau setidaknya goyah. Walaupun demikian, pergaulan ini sejatinya tidak pernah terartikulasikan secara utuh. Maka persoalannya klini bukan lagi tentang epistemologi, tapi lebih pada bahasa (linguistic turn).
Semenjak dahulu, bahasa sudah menjadi sorotan penting terutama jika dikaitkan pada peradaban Islam yang notabene sangat berkaitan dengan teks keagamaan. Dalam arti bagaimana ungkapan Tuhan yang imateri (bilâ harf wa lâ shaut) kemudian hadir dihadapan manusia sebagai sesuatu yang mewujud dalam sistem tanda (bahasa-simbol, fonik maupun grafik). Simbol-simbol tersebut tentunya bukan sesuatu yang muncul dari ruang hampa menuju ruang hampa lain, tapi memiliki makna (dilâlah/significance). Makna ini sendiri memerlukan mekanisme untuk bisa dipahami manusia yang sangat berkelindan dengan bagaimana bahasa mewujud dalam sistem sosial.
Jika merujuk pada pendedahan Fakhruddin Al-Razi dalam Al-Mahsûl, beberapa ulama Islam memiliki mekanisme yang berbeda terkait sistem tanda (dalam hal ini kata). Tersebutkan Abbad ibn Sulaiman Al-Shaimuriy lebih melihat persoalan significance ini sebagai entitas yang menunjukan sesuatu dengan sendirinya (li dzâtih), atau katakanlah apriori di sini. Maksudnya, pemaknaan sebuah kata sama sekali tidak bersinggungan dengan pengalaman indrawi, tapi mengacu pada makna yang niscaya, pasti ataupun benar secara universal. Hanya saja perspektif demikian teramat problematis mengingat banyak ditemukan perbedaan mencolok terkait pemaknaan sebuah kata, sebanyak perbedaan cara pandang ataupun peradaban itu sendiri.
Dalam perspektif Asy`ariyah dan Ibn Furak ataupun Abu Hasyim Al-Jubai, significance justru lebih dipahami sebagai entitas yang dimunculkan melalui tangkapan-tangkapan realitas yang mendasarinya (bi al-wadl`i). Hanya saja, Asy`ariyah dan Ibn Furak melihat fenomena tersebut bersifat sesuatu yang sangat bergantung dengan bagaimana –dalam hal ini- Tuhan memaknai kata tersebut (tauqîfiy-interdependence). Meminjam pengistilahan Al-Ghazali, mekanisme semacam ini tentang bagaimana mencari makna kata menggunakan teks wahyu (bi al-naql). Artinya, intervensi manusia terhadap pemaknaan sebuah kata sama sekali terabaikan. Mereka berpijak pada kenyataan penting bahwa Tuhan mengajarkan Nabi Adam as. tentang semua nama-nama benda, sebagaimana dipaparkan dalam surat Al-Baqarah ayat 31. Sedangkan bagi Al-Jubai, significance justru lebih pada bagaimana manusia memaknainya yang didasarkan pada bagaimana manusia melakukan pencerapan fenomena kesehariannya kemudian dibahasakan (ishthilâhiy), atau sebagaimana dikatakan Al-Ghazali sebagai pemaknaan kata yang menggunakan mekanisme penalaran (bi al-`aql). Al-Jubai berpijak pada surat Ibrahim ayat 4 yang menjelaskan bahwa Tuhan mengutus setiap rasul menggunakan bahasa kaumnya. Perbedaan antara keduanya ini kemudian melahirkan semacam perspektif yang memandang bahwa sebagian kata bersifat ishthilâhiy dan sebagian lainnya tauqîfiy. Walaupun demikian, poin penting di sini bahwa bahasa semakin menegaskan posisinya sebagai perangkat yang mengantarkan pada pemahaman realitras.
Jika memang bahasa tersebut menjadi sebuah perangkat aktif dalam menghadirkan realitas, maka adagium ‘just as interpretation is grounded in understanding, so assertions is grounded in interpretation’ semakin menemukan momentumnya. Tak ayal, relasi manusia dengan bahasa menjadi kunci analisa untuk menyingkan ‘kebenaran’. Dalam arti, sejauh mana bahasa mampu mengartikuklasikan pengalaman hingga ke titik paling partikularnya? Untuk menguraikannya kekaburan relasi ini, penulis mencoba membidik dari bagaimana sebuah klaim itu mewujud.
Sebuah klaim kebenaran tentunya berkelindan dengan apa yang dinamakan assertion (penryataan tegas). Assertions sendiri merupakan pengungkapan postulat-postulat yang mengarah pada pencarian kebenaran yang berpijak pada realitas. Hanya saja postulat-postulat tersebut untuk bisa dikategorikan benar-salah memerlukan semacam penelusuran terma-terma yang berkaitan dengan postulat itu terlebih dahulu. Misalkan, seseorang membuat sebuah pernyataan bahwa ‘lukisan di dinding itu miring’. Maka terma ‘lukisan’, ‘dinding’, dan ‘miring’ menjadi kata kunci untuk memahami pernyataan tersebut. Lebih dari itu, sesiapa juga harus memahami dengan hati-hati terkait benar-salahnya pernyataan tersebut jika dikaitkan dengan realitas. Untuk itu, assertions bukan lagi hanya tentang artikulasi kebahasaan, tapi juga artikulasi realitas. Mengapa bisa demikian?
Dalam menjawabnya, penyelidikan sisi kebahasaan menjadi isu sentral di sini. Memang, pernyataan yang terbahasakan, atau katakanlah menjadi simbol, menjadi kunci utama yang merelasikannya dengan realitas. Tapi penanda (significance) ini ditetapkan melalui kesepakatan-kesepakatan mekanisme sistem tanda yang mengatur penggunaannya. Misalkan dalam komunitas tertentu sebuah cairan yang mempunyai komposisi H2O dinamakan dengan air. Adanya pernyataan ini bukan berarti menutup kemungkinan adanya entitas lain yang tersusun dari komposisi semacam itu. Artinya, pengungkapan air dengan H2O ini hanya sebatas permainan bahasa saja, bukan menyingkap kebenarannya dalam realitas. Tah ayal, ia hanya dipahami bagi komunitas yang menyepakati pernyataan tersebut saja, tidak bagi yang lain. Sehingga, bahasa di sini hanya mempunyai fungsi deskriptif saja, bukan sebagai pemotret realitas secara utuh. Bahasa di sini hanya sebatas cara manusia untuk memahami apa yang dinamakan ‘kenyataan’. Pada akhirnya, keragaman realitas manusia menjadi sulit untuk dibahasakan secara universal dan absolutistik, tapi lebih pada perangkat temporal dan lokal saja.
Tagammu` Awwal, 2 November 2011 (12:37 am)
Post a Comment