fahmy farid p.

Sebelum bergumul dengan diskursus ilmu Ushûl al-Fiqh, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memberikan makna kata tersebut secara definitif.

Ushûl al-Fiqh adalah rangkaian dua kata dasar. Dalam gramatika arab, susunan kata Ushûl al-Fiqh dinamakan dengan tarkib idlôfy (kata majemuk), yaitu susunan dua kata yang saling berkaitan satu sama lain. Kata pertama (ushûl) dinamakan dengan mudlôf (yang dijadikan sandaran) dan kata kedua (fiqh) dinamakan dengan mudlôf ilaih (yang bersandar). Kemudian kata ini digunakan oleh pakar-pakar ilmu ushûl dan fuqâha untuk sebuah istilah (`alam laqab) disiplin ilmu tertentu, sehingga mengalami metamorfosa (peralihan makna).

Dua kata yang dirangkai menjadi satu kalimat (tarkib idlôfy) terkadang mempunyai korelasi makna dengan bentuknya setelah bermetamorfosa menjadi sebuah nama (`alam), seperti kata `Abdullah yang dijadikan sebuah nama -`alam isim-. Terkadang pula tidak mempunyai korelasi makna diantara keduanya, seperti `anfu an-naqâh (nama panggilan -`alam laqab- untuk Ja`far ibn Qarî`. Dikisahkan bahwa suatu hari ayahnya membagi-bagikan daging unta betina kepada istri-istrinya, kemudian Ja`far ibn Qarî` mendatangi ayahnya untuk mendapatkan jatah bagi ibunya, namun yang tersisa hanya tinggal kepalanya saja. Dalam perjalanan pulang dia menyeret kepala unta tersebut dengan memegang hidungnya). Kata Ushûl al-Fiqh sendiri termasuk dalam rangkaian kata yang mempunyai korelasi makna dalam beberapa sudut pandang.

Perbedaan dalam mendefinisikan Ushûl al-Fiqh antara `alam laqab dengan idlôfah itu sendiri dari dua sudut pandang:

- `Alam laqab merupakan sebuah nama -istilah- untuk sesuatu, sedangkan idlôfah adalah rangkaian kata yang bisa bermetamorfosa menjadi `alam (baik `alam isim, kunyah ataupun laqab)

- Setelah Ushûl al-Fiqh dijadikan `alam laqb, maka akan mengakomodir tiga aspek, yaitu pengetahuan tentang dalil-dalil hukum syara`, metodologi penetapan hukum dan kapasitas seseorang yang mempunyai kompetensi dalam menginterpretasikan dalil-dalil. Adapun bentuk idlofy hanya mengakomodir tentang pengetahuan dalil-dalil.

Dari sini, dalam mendefinisikan Ilmu Ushûl al-Fiqh seyogyanya ditinjau dari dua aspek:

1. Tinjauan kata Ushûl al-Fiqh sebelum dijadikan nama untuk sebuah disiplin ilmu.

a. Ushul

Secara etimologi (bahasa) Usul merupakan bentuk Jamak dari kata Aslu, yaitu sesuatu yang mempunyai cabang. Seperti aslu al-walad (anak) adalah orang tua dan aslu asy-syajaroh (pohon) adalah akar. Allah swt. berfirman: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit” (QS. Ibrahim : 24)

Menurut Abu al-Husain al-Bashry, Ashlu yaitu sesuatu yang dibangun diatasnya sesuatu yang lain.

Secara terminologi, pengertian Ushûl adalah sesuatu yang memiliki cabang. Para ulama sendiri memutlakannya kedalam beberapa pengertian:

- ad-Dalil (petunjuk)

Seperti al-ashlu (ad-dalîl) dalam setiap permasalahan adalah al-kitâb wa as-Sunnah. Makna ini adalah pengertian yang dipakai dalam disiplin ilmu ushûl.

- ar-Rajhân (yang utama)

Seperti al-ashlu (ar-râjih) dalam setiap perkataan bagi pendengar adalah makna hakikat bukan makna majaz.

- al-Qa`idah al-Mustamirrah (kaidah-asas)

Seperti diperbolehkannya memakan bangkai dalam kondisi tertentu tidak sesuai dengan al-ashlu (al-Qa`idah al-Mustamirrah).

- ash-Shurah al-Muqayyas `alaiha

Yaitu bentuk negasi dari furû` dalam bab al-Qiyâs.

b. Fiqh

Pengertian fiqih secara etimologi adalah mutlaq al-fahmu (pemahaman). Alloh swt. berfirman dalam surat an-Nisâ ayat 78:

فَمَا لِهَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا

Artinya: Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan [pelajaran dan nasehat-nasehat yang diberikan] sedikitpun?

Pengertian al-fahmu itu sendiri adalah pengetahuan yang mendalam tentang akar-pangkal makna suatu kalimat (ilmu-red).

Menurut sebagian pendapat, al-fiqh itu sendiri diartikan sebagai al-`ilm (pengetahuan) dan al-fithnah (kecerdasan). Dikatakan pula bahwa al-fiqh adalah pemahaman terhadap sesuatu yang sulit untuk difahami (samar). Menurut Imam al-Jurjâny dan Abu al-Husain al-Bishry, al-fiqh adalah pengetahuan tentang sesuatu yang dikehendaki (diucapkan) oleh pembicara.

Sedangan pengertian fiqih ditinjau dari sudut pandang terminologi adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syara` yang bersifat amaliyyah (perbuatan) yang digali dari uraian dalil-dalil terperinci dengan jalan ijtihad.

Sebagian ulama mendefinisikannya dengan pengetahuan seorang mujtahid akan seluruh hukum-hukum syara` yang bersifat furu`iyyah-juziyyâh (partikular), baik dengan metodologi istidlâl (mengutip langsung dari sumber asal) ataupun tahayyu bi al-istidlâl (menggunakan perangkat-perangkat lain), seperti metode qiyas, istihsân, al-`adat al-muhkamât dan lainnya.

Dari pemaparan diatas, dapat ditarik sebuah garis kesimpulan bahwa makna Ushûl al-Fiqh ditinjau dari sudut pandang ini adalah dalil-dalil yang berkaitan dengan hukum-hukum syara` yang bersifat amaliyyah (perbuatan).

2. Tinjauan kata Ushûl al-Fiqh setelah dijadikan nama untuk sebuah disiplin ilmu.

Ushûl al-Fiqh adalah disiplin ilmu yang membahas tentang dalil-dalil dan kaidah-kaidah fiqh secara general (mujmal), pakar-pakar ilmu ushûl yang mempunyai pengetahuan tentang kaidah-kaidah tersebut, metodologi perumusan dan penetapan hukum partikular (juziyyât) dan kapasitas seseorang yang mempunyai kompetensi dalam menginterpretasikan dalil-dalil (mujtahid). Sebagian ulama ushûl mendefinisikannya dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah hukum fiqh.

Secara implisit, definisi ini memuat tiga aspek:

a. Kaidah-kaidah general fiqh

Yaitu kaidah-kaidah umum yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum syara`, baik yang disepakati ataupun tidak. Seperti muthlaq al-amr li al-wujûb (bentuk perintah mutlak menunjukan hukum wajib), ijmâ`, qiyâs, istishâb dan kaidah lainnya.

b. Metodologi penetapan hukum partikular

Yaitu metodologi perumusan dan perincian hukum syara` ketika ditemukan kontradiksi (ta`ârudl) dalam dalil-dalil asumtif (dzanny), seperti mendahulukan dalil yang khâsh (khusus) dari dalil yang `âm (umum).

c. Kapasitas mujtahid

Yaitu pembahasan tentang syarat-syarat seseorang yang mempunyai kapasitas dalam merumuskan hukum.

Dengan demikian, disiplin ilmu Ushûl al-Fiqh merupakan cabang ilmu yang membahas sumber-sumber pembahasan diskursus Fiqh, metodologi sistematika (tharîqah manhâjiyyah) penggalian hukum syar`i sebagai landasan teoritis yang bersifat global (ijmâliyyah) dan syarat-syarat mujtahid. Hal ini berbeda dengan Fiqh yang menitikberatkan pada tataran praktis-aplikatif.

fahmy farid p.

1. Tharîqah al-Mutakallimîn

Studi komprehensif terhadap diskursus ilmu Ushûl al-Fiqh yang dilakukan aliran ini menggunakan metodologi Ilmu Kalâm (teologi-filsafat), yaitu dengan merumuskan sistematika kaidah-kaidah ushûliyyah yang ditopang oleh bukti-bukti autentik dan alasan-alasan teoritis secara naqly (naskah-wahyu) dan `aqly (logis-filosofis). Pendekatan yang dilakukan mereka bersifat analisis-filosofis, dalam arti, secara substansial aliran ini tidak terikat dengan hukum-hukum furû` fi`qhiyyah yang telah ditetapkan para imam mujtahid sebelumnya sehingga tidak terjerumus pada fanatisme madzhab tertentu.

Dalam menetapkan suatu kaidah ushûliyyah, mereka tidak mengharuskan adanya kesesuaian dengan rumusan para imam mujtahid. Hal ini bukan sebagai bentuk penolakan dan penghapusan terhadap ketetapan hukum-hukum far`iyyah, akan tetapi kaidah tersebut digunakan sebagai neraca atas hasil ijtihad juga menjadi pedoman dasar penetapan hukum.

Yang tergolong aliran ini adalah al-Mu`tazilah, asy-Syâfi`iyyah, Jumhûr al-Mâlikiyyah dan al-Hanâbilah, sehingga dinamakan pula dengan Tharîqah asy-Syâfi`iyyah, Tharîqah ghair al-Hanafiyyah dan Tharîqah al-Jumhûr.

Diantara karya-karya para ulama dari aliran ini adalah:

- al-Mu`tamad, karangan Abu al-Hasan al-Bishry al-Mu`tazily (413 H.). Kitab ini merupakan ringkasan asy-Syarhu karangan Abu al-Husain sebagai pemaparan dari kitab al-`Umdah (al-`Ahdu) yang disusun oleh abdu al-Jabbar al-Mu`tazily.

- al-Burhân, karangan `Abdu al-Mulki ibn `Abdullah al-Juwainy an-Naisaburiy asy-Syâfi`y (478 H.) yang masyhur dengan sebutan Imam al-haramain.

- al-Mustasyfa, karangan Abu Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâli asy-Syafi`y (505 H.).

- al-Mahsûl, karangan Fakhru ar-Râzi (606 H.). Kitab ini merupakan ringkasan al-Mu`tamad, al-Burhân dan al-Mustasyfa. Kitab al-Mahsûl ini kemudian diringkas oleh Sirâjuddin al-Armawi (672 H.) yang tertuang dalam karyanya at-Tahshîl, juga oleh Tâjuddin Muhammad ibn Hasan al-Armawi (656 H.) dalam karyanya al-Hâshil.

Kitab al-Hâshil itu sendiri diringkas kembali oleh Abdullah bin Umar al-Baidlôwi (675 H.) dalam Minhâj al-Wushûl ilâ `Ilmi al-Ushûl. Kitab ini sendiri dipaparkan lebih mendalam dan komprehensif oleh beberapa ulama, diantaranya oleh Jamâluddin al-Asnawi yang tertuang dalam karyanya Nihâyah as-Suûl Syarh Minhâj al-Wushûl juga oleh syaikh as-Subki dalam karyanya al-Ibhâj.

- al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, karangan Saifuddîn al-Âmidi asy-Syâfi`y (631 H.). Kitab ini juga merupakan ringkasan dari al-Mu`tamad, al-Burhân dan al-Mustasyfa. Kitab ini sendiri kemudian diringkas kembali oleh Abu `Umar ibn al-Hâjib al-Maliky (646 H.) dalam karangannya yang berjudul Muntaha as-Suûl wa al-Amal fî `Ilmi al-Ushûl wa al-Jidal. Beliau kemudian meringkas karangannya dalam Mukhtashar al-Muntahâ. Namun karena bentuknya yang dianggap terlalu ringkas dan sulit dipahami, maka kemudian para ulama menjelaskannya kembali, diantaranya oleh `Adldluddîn `Abdu ar-Rahman ibn Ahmad al-`Ajjiy (756 H.)

2. Tharîqah al-Fuqahâ

Aliran ini kebanyakan muncul dari golongan pakar ilmu fiqh Madzhab Hanafi, sehingga dinamakan pula dengan Tharîqah al-Hanafiyyah.

Metodologi yang digunakan dalam menyusun kaidah-kaidah ushûliyyah oleh aliran ini tidak berangkat dari penjelasan teoritis-filosofis (al-burhân an-nadzhary), akan tetapi dari studi aplikatif (`amaliyyah tathbîqiyyah istiqrâiyyah) hukum-hukum fiqhiyyah furû`iyah (partikular) yang telah dirumuskan oleh para imam madzhab untuk kemudian dibuat suatu kaidah ushûliyyah sebagai justifikasi benar-tidaknya rumusan tersebut. Maka pendekatan yang dilakukan aliran ini lebih bersifat praksis dimana rumusannya lebih banyak bersentuhan dengan hukum figh daripada retorika perdebatan filosofis-metodologis.

Pola pikir aliran ini disebabkan para Imam Madzhab Hanafiyyah tidak meletakan kerangka dasar yang terkodifikasikan secara komprehensif sebagaimana yang dilakukan Imam asy-Syâfi`i. Mereka hanya mewariskan hukum-hukum fiqh partikular dan kaidah-kaidah ushûliyyah yang terselip berceceran diantaranya.

Metodologi yang ditawarkan ini melahirkan suatu kaidah yang menjaga persesuaian antara teks hukum dengan konteks kekinian (wqî`iyyah). Hanya saja kemudian terjerumus pada fanatisme madzhab tertentu (Hanafiyyah-red).

Beberapa karya monumental dari aliran ini adalah:

- Ushûl Abi Bakr al-Jashâshi, karangan Abu Bakr Ahmad ibn `Aly al-Jashâsi (380 H.)

- Tasîs an-Nadzri, karangan Abu Zaid `Ubaidillâh ibn `Umar al-Qâdly ad-Dabûsy (430 H.)

- Ushûl al-Bazdawi, karangan asy-syaikh al-Bazdawi (730 H.). Kitab ini kemudian diberi penjelasan (syarah) oleh `Abdu al-Azîz al-Bukhâri (730 H.) dalam karyanya Kasyfu al-Asrâr.

- Ushûl as-Sarkhasi, karangan asy-syaikh asy-Syarkhasi (483 H.)

- Al-Manâr, karangan al-Hafidz an-Nasafi (710 H.)

3. Tharîqah al-Jâmi`ah (al-Mazdûjah)

Studi komparatif yang dilakukan para ulama diakhir abad ke 7 H. memunculkan sebuah aliran yang merkonstuksi kedua aliran sebelumnya dengan memadukan teori al-burhân an-nadzhary yang diusung oleh aliran al-Mutakallimîn dan teori amaliyyah tathbîqiyyah istiqrâiyyah yang diusung oleh aliran al-Fuqahâ. Mereka meletakan rumusan kaidah ushûliyyah ditopang dengan argumentasi logis sekaligus menjaga persesuaiannya dengan fiqh praksis. Jadi, dalam pembahasannya aliran ini sama sekali tidak mengusung madzhab tertentu, akan tetapi mereka melakukan perbandingan dari sejumlah madzhab sekaligus mengakomodir pola pikirnya. Mereka tidak terlalu berdebat dalam tataran filosofis-metodologis, namun juga tidak terlalu terpaku dengan persoalan furû`iyyah.

Pada abad ini lahir beberapa karya diantaranya:

- Tankîh al-Ushûl, karangan `Ubaidillah ibn Mas`ûd al-Hanafiy (747 H.). Kemudian beliau memberi penjelasan (syarah) kitab ini dalam karyanya at-Taudlîh fî Hilli Ghawâmidl at-Tankîh.

- Jam`u al-Jawâmi`, karangan Tâjuddin `Abdu al-Wahhâb as-Subki asy-Syâfi`iy (771 H.). Kitab ini kemudian diberi penjelasan oleh Syamsuddin Muhammad al-Mahalli dalam karyanya Hâsyiat al-Bannâniy `alâ Syarh al-Jalâl.

- at-Tahrîr, karangan Kamâluddin Muhammad `Abdu al-Wâhid (861 H.) yang dikenal ibn al-Humâm al-Hanafiy. Kitab ini kemudian diberi penjelasan oleh beberapa ulama setelahnya, diantaranya kitab at-Taqrîr wa at-Tahbîr karya ibn Amîr (879) dan Taisîr at-Tahrîr karya Amir Bâdisyâh.

- Muslim ats-Tsubût, karangan Muhibbullah ibn `Abdi asy-Syukûr (1119 H.). Kitab ini kemudian diberi penjelasan oleh Muhammad ibn Nidzâm ad-Dîn al-Anshâriy ah-Hindiy (1225 H.) dalam karyanya Fawâtih ar-Rahmawât.

Dalam kaitannya dengan diskursus Ilmu Ushûl al-Fiqh ini, Imam Abu Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsa asy-Syâthibiy (780 H.) melakukan sebuah terobosan baru. Metodologi yang diusung sama sekali berbeda dengan mainstream para pakar ilmu ushul sejak abad ke-5 H, dimana corak pembahasannya hanya berkutat pada rumusan pedoman penetapan hukum dalam bentuk ringkasan (talkhis) dan penjelasan (syarah). Hal ini tergambar jelas dalam kitab karangannya al-Muwâfaqât, dimana selain membahas kaidah-kaidah ushûliyyah, dibahas juga tujuan-tujuan syara` (maqâshid asy-syarî`ah) dalam menetapkan hukum. Pembahasan yang dia tawarkan melengkapi khazanah ilmu Ushûl al-Fiqh.

Beberapa kitab penunjang yang penting dipelajari bagi para pengkaji disiplin ilmu Ushûl al-Fiqh diantaranya:

- Irsyad al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haq, karangan Muhammad ibn `Ali asy-Syaukâni (1255 H.)

- Tashîl al-Wushûl, karangan Muhammad `Abdu ar-Rahman al-Mahlâwiy (1920 H.)

- Ushûl al-Fiqh, karangan Muhammad al-Khudlari Bak (1345 H.)

- Ushûl al-Fiqh, karangan `Abdu al-Wahhâb Khalâf

- Ushûl at-Tasyrî` al-Islâm, karangan `Ali Hasbullah

fahmy farid p.

Dimanakah Batas Cakrawala Pemikiran Generasi Muda NU Mau Diletakan?

Oleh: Fahmy Farid Purnama

"Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku goncangkan dunia"

-Bung Karno-

Akar Pergerakan

Permasalahan yang semakin kompleks serta ragam kultur-budaya, tradisi dan nilai-nilai sosial menuntut adanya sebuah perubahan yang bisa mengakomodir terhadap laju perkembangan moderenitas, sehingga Islam muncul dengan wajah yang responsif dan adaptif terhadap permasalahan kontemporer, bukan muncul dalam bentuk yang kaku, rigid dan usang. Dapat diartikan bahwa pola penerapan agama yang diusung harus mampu membuat masyarakat menerima Islam sebagai akidah, tanpa harus terasingkan dari akar budaya yang telah membentuk watak, kepribadian dan tradisinya.

Nilai-nilai ini akan membentuk Islam yang mampu beradaptasisi dengan seluruh umat manusia yang sangat beragam (heterogen), baik karena perbedaan geografis maupun tingkat kebudayaannya. Sebagaimana yang diyakini Cak Nur bahwa wacana (proyek) pembaharuan justru harus dimulai dari pemahaman terhadap tradisi, bukan menolaknya. Sehingga yang nampak ke permukaan adalah Islam yang bersifat inklusif, plural dan multikultural yang terbangun dari interaksi sosial dengan semangat toleransi intra-agama.

Polarisasi diskursus keilmuan dalam Islam sangatlah luas dan beragam yang mengerucut pada trilogi Islam: Fiqh, Teologi dan Tashowuf. Disini, disiplin Ilmu Fiqh mempunyai peluang yang sangat luas untuk berjalan mengawal dinamika perkembangan zaman.

Hukum dalam Islam sendiri (baca: Fiqh), sebagaimana digagas oleh Yusuf al-Qardlawi terbagi menjadi dua bentuk, yaitu ats-tsawâbit (hukum yang tetap-ajeg) dan al-mutaghayyar (berubah-ubah). Dalam ranah al-mutaghayyar inilah percikan-percikan konfrontasi antara golongan konservatif yang direpresentasikan oleh "kaum tua" dan golongan progresif yang disuarakan oleh "kalangan muda".

Suara-suara perubahan di kalangan Nahdliyyin -terutama di kalangan muda- mulai menyeruak ke permukaan seiring dengan pembacaan terhadap realitas kekinian. Gempuran-gempuran moderenitas seolah-olah telah membukakan cakrawala pemikiran baru, sehingga paradigma yang berkembang telah mengalami pergeseran, terutama pergeseran paradigma Fiqh dari yang bercorak formalistik menjadi Fiqh yang etik. Dalam arti pengembangan hukum Islam harus mengedepankan watak yang dinamis sehingga tidak "tersesat" dan kehilangan relevansinya dengan konteks kekinian dan mampu menopang masalah-masalah kontemporer.

Paradigma Fiqh harus didasarkan pada konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan dlarûriyyah (primer), hâjiyyah (sekunder) dan tahsîniyyah (tersier), sehingga Fiqh diposisikan sebagai instrumen untuk mengukur realitas sosial (social control) sekaligus pada saat yang sama bermetamorfosa menjadi alat rekayasa sosial (social enginering). Sehingga Fiqh tidak hanya berfungsi tunggal sebagai alat justifikasi sebuah kebenaran untuk mengukur kebenaran ortodoksi. Hal ini menuntut perubahan pembacaan Fiqh klasik yang pada awalnya bersifat qauly menjadi manhaji (penalaran metodologis) yang lebih mengedepankan pembacaan analisis secara konstektual.

Corak berfikir ini akan menampilkan Islam dalam wajah yang moderat (tawasuth) dan toleran (tasammuh) ketika dihadapkan pada pluralitas sebuah masyarakat yang heterogen. Hal ini dimulai dengan perubahan dalam penalaran konteks Fiqh klasik (reformulasi keilmuan tradisional Fiqh) yang notabene literatur-literatur klasik tidak banyak menyentuh ranah yang dianggap "tabu" di kalangan nahdliyyin.

Pembaharuan prespektif yang dibangun harus mempunyai corak tersendiri dalam merespon ragam dinamika peristiwa sosial, politik, ekonomi, budaya dan bahkan terma-terma keislaman. Disini, dialog pengetahuan keislaman dengan modernitas menjadi sebuah keniscayaan dengan menanamkan kesadaran akan realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Pemuda

"Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan". Sebuah nilai filosofis yang seolah penjadi pelecut bagi tumbuh-kembangnya generasi muda sebagai prototype NU dimasa depan. Generasi muda NU diharapkan muncul sebagai individu yang moderat, yaitu individu yang menerima dan menghargai pandangan dan keyakinan yang berbeda sebagai fitrah. Denyut NU itu sendiri harus digerakan oleh nilai-nilai keseimbangan, moderasi dan toleransi dalam membawakan dan menampilkan Islam yang konstektual dan sesuai dengan kebenaran kognitifnya. Dalam arti ada keseimbangan antara pembacaan teks dan konteks.

Terkadang, bahkan seringkali cakrawala pemikiran bersikap lokal-regional, jarang mampu menyentuh ranah nasional. Hal ini mendorong sebuah gagasan bahwa perlu adanya upaya penataan ulang kader NU yang berpolarisasi pada konsep tasammuh, tawasuth dan i`tidal, yaitu kader yang selain memiliki keterampilan atau keahlian juga memiliki ruang kesadaran kosmologi yang luas dan toleran, memiliki pola yang jernih, rasional dan sekaligus memiliki integritas moral yang kuat serta memiliki komitmen ideologi yang tinggi. Pola kaderisasi ini akan berdampak pada perubahan cara pandang terhadap dunia luar yang awalnya bersifat homogen bermetafora menjadi heterogen.

Perubahan besar yang sudah dan sedang terjadi di tubuh warga nahdliyyin dimotori oleh generasi muda progresif NU yang berpendidikan ganda, pesantren dan pendidikan modern. Gagasan-gagasan baru mulai dimunculkan.

Pengembaraan intelektual generasi muda NU dengan dunia luar telah memunculkan gagasan dan konstruksi pemikiran yang "jauh" dari khazanah pemikiran Fiqh klasik. Pengembaraan ini menghasilkan spektrum pemikirannya menjadi lebih luas dan beragam. Hal ini ditandai dengan kemunculan Islam Liberal, Islam Transformatif dan Islam Emansipatoris yang digerakan oleh kalangan muda NU.

Akan tetapi gedoran kalangan muda mendatangkan arus balik dari kalangan "penjaga tradisi". Gaya yang disuarakan kalangan muda NU yang dianggap terlalu frontal dan provokatif. Persaingan ideologis ini turut menyumbang kristalisasi gagasan yang kemudian menjadi "aneh" di rumahnya sendiri: Nahdlatul Ulama.

Disadari pula oleh para motor penggerak progresif bahwa konfrontasi akan selalu mendatangkan resistensi. Progresivitas pemikiran kalangan muda NU pada akhirnya membuahkan kritik dan pertentangan. Hal ini bukan berarti suatu yang sia-sia, karena dalam suatu interaksi gagasan, sekalipun menimbulkan kontroversi, selalu ada proses filterisasi (al-muhâdhah `ala al-qadîm ash-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah). Benturan gagasan akan diiringi munculnya proses akomodatif, sehingga kultur NU dipertahankan, tapi gagasan didalamnya mengalami lompatan perubahan.

Pada akhirnya, dimanakah titik temu dua kubu ini?. Titik temu dua perbedaan adalah kesetiaan terhadap tradisi. Pemahaman terhadap tradisi harus diposisikan sebagai pijakan awal untuk melakukan perubahan dan bukan menolaknya. Dengan demikian asset muda NU tidak akan terlepas dan tercerai berai dengan tetap menjadikan NU sebagai "rumah". Home sweet home"

Diantara idealism dan kebebasan

Diantara nasionalisme dan kemurtadan

Diantara kekuasaan dan kasih saying

Diantara ambisi dan kata hati

Aku…

Disampaikan dalam OPABA NU

Cairo, 16 Juli 2009