fahmy farid p.

Dimanakah Batas Cakrawala Pemikiran Generasi Muda NU Mau Diletakan?

Oleh: Fahmy Farid Purnama

"Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku goncangkan dunia"

-Bung Karno-

Akar Pergerakan

Permasalahan yang semakin kompleks serta ragam kultur-budaya, tradisi dan nilai-nilai sosial menuntut adanya sebuah perubahan yang bisa mengakomodir terhadap laju perkembangan moderenitas, sehingga Islam muncul dengan wajah yang responsif dan adaptif terhadap permasalahan kontemporer, bukan muncul dalam bentuk yang kaku, rigid dan usang. Dapat diartikan bahwa pola penerapan agama yang diusung harus mampu membuat masyarakat menerima Islam sebagai akidah, tanpa harus terasingkan dari akar budaya yang telah membentuk watak, kepribadian dan tradisinya.

Nilai-nilai ini akan membentuk Islam yang mampu beradaptasisi dengan seluruh umat manusia yang sangat beragam (heterogen), baik karena perbedaan geografis maupun tingkat kebudayaannya. Sebagaimana yang diyakini Cak Nur bahwa wacana (proyek) pembaharuan justru harus dimulai dari pemahaman terhadap tradisi, bukan menolaknya. Sehingga yang nampak ke permukaan adalah Islam yang bersifat inklusif, plural dan multikultural yang terbangun dari interaksi sosial dengan semangat toleransi intra-agama.

Polarisasi diskursus keilmuan dalam Islam sangatlah luas dan beragam yang mengerucut pada trilogi Islam: Fiqh, Teologi dan Tashowuf. Disini, disiplin Ilmu Fiqh mempunyai peluang yang sangat luas untuk berjalan mengawal dinamika perkembangan zaman.

Hukum dalam Islam sendiri (baca: Fiqh), sebagaimana digagas oleh Yusuf al-Qardlawi terbagi menjadi dua bentuk, yaitu ats-tsawâbit (hukum yang tetap-ajeg) dan al-mutaghayyar (berubah-ubah). Dalam ranah al-mutaghayyar inilah percikan-percikan konfrontasi antara golongan konservatif yang direpresentasikan oleh "kaum tua" dan golongan progresif yang disuarakan oleh "kalangan muda".

Suara-suara perubahan di kalangan Nahdliyyin -terutama di kalangan muda- mulai menyeruak ke permukaan seiring dengan pembacaan terhadap realitas kekinian. Gempuran-gempuran moderenitas seolah-olah telah membukakan cakrawala pemikiran baru, sehingga paradigma yang berkembang telah mengalami pergeseran, terutama pergeseran paradigma Fiqh dari yang bercorak formalistik menjadi Fiqh yang etik. Dalam arti pengembangan hukum Islam harus mengedepankan watak yang dinamis sehingga tidak "tersesat" dan kehilangan relevansinya dengan konteks kekinian dan mampu menopang masalah-masalah kontemporer.

Paradigma Fiqh harus didasarkan pada konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan dlarûriyyah (primer), hâjiyyah (sekunder) dan tahsîniyyah (tersier), sehingga Fiqh diposisikan sebagai instrumen untuk mengukur realitas sosial (social control) sekaligus pada saat yang sama bermetamorfosa menjadi alat rekayasa sosial (social enginering). Sehingga Fiqh tidak hanya berfungsi tunggal sebagai alat justifikasi sebuah kebenaran untuk mengukur kebenaran ortodoksi. Hal ini menuntut perubahan pembacaan Fiqh klasik yang pada awalnya bersifat qauly menjadi manhaji (penalaran metodologis) yang lebih mengedepankan pembacaan analisis secara konstektual.

Corak berfikir ini akan menampilkan Islam dalam wajah yang moderat (tawasuth) dan toleran (tasammuh) ketika dihadapkan pada pluralitas sebuah masyarakat yang heterogen. Hal ini dimulai dengan perubahan dalam penalaran konteks Fiqh klasik (reformulasi keilmuan tradisional Fiqh) yang notabene literatur-literatur klasik tidak banyak menyentuh ranah yang dianggap "tabu" di kalangan nahdliyyin.

Pembaharuan prespektif yang dibangun harus mempunyai corak tersendiri dalam merespon ragam dinamika peristiwa sosial, politik, ekonomi, budaya dan bahkan terma-terma keislaman. Disini, dialog pengetahuan keislaman dengan modernitas menjadi sebuah keniscayaan dengan menanamkan kesadaran akan realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Pemuda

"Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan". Sebuah nilai filosofis yang seolah penjadi pelecut bagi tumbuh-kembangnya generasi muda sebagai prototype NU dimasa depan. Generasi muda NU diharapkan muncul sebagai individu yang moderat, yaitu individu yang menerima dan menghargai pandangan dan keyakinan yang berbeda sebagai fitrah. Denyut NU itu sendiri harus digerakan oleh nilai-nilai keseimbangan, moderasi dan toleransi dalam membawakan dan menampilkan Islam yang konstektual dan sesuai dengan kebenaran kognitifnya. Dalam arti ada keseimbangan antara pembacaan teks dan konteks.

Terkadang, bahkan seringkali cakrawala pemikiran bersikap lokal-regional, jarang mampu menyentuh ranah nasional. Hal ini mendorong sebuah gagasan bahwa perlu adanya upaya penataan ulang kader NU yang berpolarisasi pada konsep tasammuh, tawasuth dan i`tidal, yaitu kader yang selain memiliki keterampilan atau keahlian juga memiliki ruang kesadaran kosmologi yang luas dan toleran, memiliki pola yang jernih, rasional dan sekaligus memiliki integritas moral yang kuat serta memiliki komitmen ideologi yang tinggi. Pola kaderisasi ini akan berdampak pada perubahan cara pandang terhadap dunia luar yang awalnya bersifat homogen bermetafora menjadi heterogen.

Perubahan besar yang sudah dan sedang terjadi di tubuh warga nahdliyyin dimotori oleh generasi muda progresif NU yang berpendidikan ganda, pesantren dan pendidikan modern. Gagasan-gagasan baru mulai dimunculkan.

Pengembaraan intelektual generasi muda NU dengan dunia luar telah memunculkan gagasan dan konstruksi pemikiran yang "jauh" dari khazanah pemikiran Fiqh klasik. Pengembaraan ini menghasilkan spektrum pemikirannya menjadi lebih luas dan beragam. Hal ini ditandai dengan kemunculan Islam Liberal, Islam Transformatif dan Islam Emansipatoris yang digerakan oleh kalangan muda NU.

Akan tetapi gedoran kalangan muda mendatangkan arus balik dari kalangan "penjaga tradisi". Gaya yang disuarakan kalangan muda NU yang dianggap terlalu frontal dan provokatif. Persaingan ideologis ini turut menyumbang kristalisasi gagasan yang kemudian menjadi "aneh" di rumahnya sendiri: Nahdlatul Ulama.

Disadari pula oleh para motor penggerak progresif bahwa konfrontasi akan selalu mendatangkan resistensi. Progresivitas pemikiran kalangan muda NU pada akhirnya membuahkan kritik dan pertentangan. Hal ini bukan berarti suatu yang sia-sia, karena dalam suatu interaksi gagasan, sekalipun menimbulkan kontroversi, selalu ada proses filterisasi (al-muhâdhah `ala al-qadîm ash-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah). Benturan gagasan akan diiringi munculnya proses akomodatif, sehingga kultur NU dipertahankan, tapi gagasan didalamnya mengalami lompatan perubahan.

Pada akhirnya, dimanakah titik temu dua kubu ini?. Titik temu dua perbedaan adalah kesetiaan terhadap tradisi. Pemahaman terhadap tradisi harus diposisikan sebagai pijakan awal untuk melakukan perubahan dan bukan menolaknya. Dengan demikian asset muda NU tidak akan terlepas dan tercerai berai dengan tetap menjadikan NU sebagai "rumah". Home sweet home"

Diantara idealism dan kebebasan

Diantara nasionalisme dan kemurtadan

Diantara kekuasaan dan kasih saying

Diantara ambisi dan kata hati

Aku…

Disampaikan dalam OPABA NU

Cairo, 16 Juli 2009

Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment