Showing posts with label laporan kegiatan. Show all posts
Showing posts with label laporan kegiatan. Show all posts
fahmy farid p.

Aku berfikir, maka aku ada (cogito, ergo sum)

[ Rene Descartes ]


Mendedah turâts boleh jadi teramat membosankan, bahkan bisa saja terjerat dalam prespektif yang cenderung apologetik hingga justifikatif. Namun jika saja ada ‘sedikit’ keberanian untuk berbuat ‘nakal’, turâts bisa menjadi cakrawala keilmuan yang tak berbatas, tentunya disamping memerankan fungsi prinsipil sebagai pengikat peradaban agar tidak tercerabut dari akar kulturalnya, atau katakanlah agar tidak terjadi semacam discontinuitas. Alat baca yang semakin ‘berserakan’ memungkinkan teks turâts menjadi sedemikian bercabang, untuk kemudian di tarik kemanapun ia dikehendaki dalam batas artikulasi yang memungkinkan.


Adalah rekan Dzunnun Amrullah yang menjadi presentator diskusi interaktif Al-Mizan Study Club yang bertepatan dengan hari Rabu, 24 Agustus 2011 bertempat di rumah rekan Rouf-Angga. Diskusi kali ini juga sedikit agak berbeda dari biasanya, karena dihadiri pula oleh salah satu kawan dari Indonesia yang sedang melakukan studi banding di Mesir, rekanita Fita Nafisa. Adapun topik yang coba diangkat rekan Dzunnun adalah pemikiran klasik Ibn Rusyd. Tegasnya, mencoba membangkitkan kembali sesosok rasionalis Islam dari alam kuburnya agar tidak hanya tampak dalam bongkahan batu nisan saja, semerta disingkap dalam potret yang –bisa jadi- bercita-rasa beda. Momentum kali ini mungkin se-nafas dengan apa yang pernah terucap dari seorang Clive Cookson bahwa ‘akhirnya, Tuhan kembali ke gelanggang argumentasi’.


Ada yang coba digugat di sini, sebuah kemapanan yang me-laten terkait bagaimana manusia membaca dunia dan Tuhan-nya. Tapi sebelum masuk dalam ranah itu, adalah sebuah sikap bijak jika dilakukan diferensiasi terlebih dahulu, agar tidak terjebak dalam prasangka skeptis dan sengketa klasik, yaitu tentang proses identifikasi pijakan paradigmatik antara ‘yang digugat’ dan ‘yang tergugat’. Harus ada pembacaan hati-hati antara tipologi pemikiran yang berpijak pada paradigma antroposentris dan teosentris, antara al-wâqi` (realitas) dengan nafs al-amr-al-haqîqah (hakikat sejati), antara kebenaran ilmiah (al-haqîqah al-ilmiyyah) dengan kebenaran teologis (al-haqîqah al-ilâhiyyah).


Frame global ini –setidaknya- menjadi penting agar pembacaan Ibn Rusyd mampu dihadirkan se-objektif mungkin, karena jika logika pemikiran Ibn Rusyd diteruskan pada tataran paring radikal, akan menghadirkan prespektif dualisme kebenaran (dualism of truth), kebenaran akal dan kebenaran wahyu yang bisa menjelma paradoks. Sehingga, tanpa adanya pemahaman akan pijakan paradigmatik tersebut, semerta hanya menghadirkan prespetif –terkesan- justifikatif, bahkan rasialis.


***


Dalam mendedah Ibn Rusyd yang aslinya bernama Abu Al-Walid ibn Muhammad ibn Rusyd kelahiran Cordova-Spanyol (1126-1198 M.), hal pertama yang coba dianalisa rekan Dzunnun adalah terkait latar belakang sosiologisnya. Hal ini penting dilakukan mengingat pada dasarnya pemikiran seseorang merupakan cerminan realitas di mana ia tumbuh-kembang. Bagaimanapun juga, lingkungan pulalah yang membentuk kepribadian Ibn Rusyd menjadi sesosok multidisipliner (mutafannin), mengingat ia tumbuh dalam lingkup keluarga dengan kultur keilmuan yang teramat kental. Ada persaksian yang menarik, unik, atau boleh jadi terlalu hiperbolis dari Ibn Al-Abar bahwa sejak dewasa (baligh) hingga wafat, hanya dua malam yang dilewatkan Ibn Rusyd tanpa membaca buku, yaitu malam pernikahannya dan malam kematian ayahnya. Karya yang ditulisnya bukan hanya menyangkut filsafat, tapi juga di bidang fikih hingga kedokteran.


Kecakapan Ibn Rusyd dalam segala bidang keilmuan ini tegas nampak jika kita telisik garis keturunannya agak ke atas. Kakeknya adalah seorang fuqoha' terkemuka madzhab Maliki dan pernah menjadi hakim agung di Cordova. Lain pada itu, jaringan epistema keilmuan Ibn Rusyd juga berelasi dengan tokoh-tokoh terkemuka di masanya. Katakanlah dari sisi kedokteran, ia membentuk jejaring epistema dengan Abu Ja`far Harun dan Abu Marwan ibn Jarbul Al-Balansi. Dalam ilmu fikih relasinya bertemu dengan Abu Muhammad ibn Rizq. Sedangkan terkait filsafat dan teologi Ibn Rusyd berkelindan dengan Ibn Tufail, seorang filsuf kenamaan yang mengarang buku Hayy ibn Yaqdzan.


Persinggungan Ibn Rusyd dengan diskursus filsafat secara lebih serius dan mendalam tak lepas dari gejolak politik yang terjadi saat itu. Jika di masa awal kehidupannya ia berpayung di bawah kekuasaan Dinasti Murabhitun yang secara pemikiran sangat didominasi kalangan fuqahâ dan cenderung antipati terhadap ilmu-ilmu rasional. Hanya saja harus dicermati disini bahwa saat tersebut dinasti ini sedang berada di ambang batas kehancuran. Dan ketika kekuasaan Dinasti Murabhitun berakhir, sekitar tahun 1147, terjadi semacam pergeseran paradigma yang diusung penerima tampuk kekuasaan baru, Dinasti Muwahhidun. Khalifah Abu Ya`qub Yusuf Abd Al-Mu`min bisa dibilang pecinta filsafat sejati. Hal ini terbukti ketika ia meminta Ibn Rusyd untuk menterjemahkan karya-karya Aristoteles secara langsung dan lebih hati-hati dan ketat agar tidak terjerumus pada kesalahan yang sama sebagaimana dilakukan sebelumnya, yaitu membersihkan kesalahan penafsiran dan kerancuan penterjemahan terdahulu.


Walaupun demikian, perjalan Ibn Rusyd tidaklah sedemikian lurus. Ketika Abu Ya`qub meninggal kemudian pemerintahan beralih ke tangan Abu Yusuf Al-Manshur, muncul berbagai fitnah yang menerpanya secara telak, mulai dari tuduhan atheis hingga sarkasme agama. Ibn Rusyd kemudian ditangkap dan diasingkan ke daerah Lucena yang notabene basis orang-orang Yahudi. Tempat pengasingan ini dipilih agar ia kembali ke habitat asalnya sebagai seorang Bani Israel (asumsi sejarawan ini kemudian dibantah oleh Ernest Renan. Pertimbangannya, jabatan dokter khalifah dan hakim agung yang pernah diemban marga Rusyd tidak mungkin diberikan kepada orang non-Arab). Yang paling menyedihkan dari peristiwa ini adalah ketika khazanah intelektual diberangus. Dimunculkan semacam opini publik bahwa buku-buku hasil karya Ibn Rusyd ‘haram’ dikonsumsi khalayak, bahkan tak segan-segan dibakar.


Tapi di akhir kisah, Ibn Rusyd mendapatkan remisi hukum kemudian dibebaskan dan namanya dibersihkan dari segala tuduhan. Hal ini terjadi tepatnya sekitar tahun 1197 yang bertepatan dengan momentum mundurnya pasukan kerajaan dari Cestalla. Yang menjadi penanda penting dari analisa biografi di sini bahwa Ibn Rusyd menjelma sesosok penting dalam catatan kesejarahan diskursus Islam, terutama terkait pendedahan pemikiran-pemikiran Aristoteles secara lebih serius dan hati-hati, karena dalam kasus Al-Kindi maupun Al-Farabi, Aristoteles menjadi sedemikian tereduksi, semerta bercampur dengan pemikiran-pemikiran Neo-Platonis, mengingat alur filsafat yang berkembang di tangan filsuf tersebut berelasi dengan Alexandria.


Setelah memaparkan sisi biografi, rekan Dzunnun mulai masuk ke dalam analisa rasionalitas Ibn Rusyd dan relasi epistemiknya dengan Aristoteles. Dalam hal ini, beberapa tema pembahasan yang tertera pada buku Fasl Al-Maqâl baina Al-Hikmah wa Al-Syarî`ah min Al-Istidlâl dan Manâhij Al-Adillah fî `Aqâid Al-Millah dijadikan pijakan analisa. Maka hal pertama yang hendak didedah adalah pembahasan terkait kedudukan filsafai itu sendiri di hadapan syari`at, mengingat posisi filsafat sangat dicemooh saat itu.


Bagi Ibn Rusyd, jika memang fungsi filsafat senyatanya mendorong manusia untuk mencermati semesta penciptaan dengan lebih seksama, maka justru hal tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip dasar syari`at yang banyak dipaparkan dalam Al-Qur`an terkait keharusan seseorang memberdayakan akalnya. Dalam arti, filsafat justru bisa menjelma perangkat analisa yang akan mengantarkan seseorang pada eksistensi Sang Pencipta. Dengan menggunakan qiyâs `aqliy inilah sesiapa mampu mencapai nilai-nilai ke-Tuhan-an dengan sudut yang berbeda dari sebatas keimanan dogmatik.


Dari sini, rekan Dzunnun mencoba melakukan analisa terkait strategi yang digunakan Ibn Rusyd melalui buku Fasl Al-Maqâl. Tegas terbaca kalaulah judul buku tersebut tidak langsung menggunakan kata falsafah yang notabene secara kultural menjadi sangat problematis saat itu, tapi justru menggunakan hikmah yang tak lain memiliki padanan istilahnya dalam Islam. Maka dalam hal ini, Ibn Rusyd telah menemukan titik kesesuaian intra-paradigma, antara agama dan filsafat itu sendiri. Setelah itu, ia juga menggunakan dali-dalil Al-Qur`an sebagai pembenaran argumennya. Tak ayal, dengan pendekatan ini, filsafat menjadi tidak sedemikian antagonistik, karena Ibn Rusyd terbilang berhasil menggiring opini publik bahwa filsafat merupakan salah satu instrumen kebudayaan penting yang dimiliki manusia.


Masuk pada kepingan pemikiran Ibn Rusyd, rekan Dzunnun membidik permasalahan ta`wil, sebuah metode interpretasi teks. Ta`wil itu sendiri diartikan sebagai sebuah cara pembacaan teks dengan mengeluarkan arti sebuah kata dari pemaknaan literal kepada pemaknaan majaz-nya. Melalui strategi pembacaan teks inilah, Ibn Rusyd mencoba menjadikan akal sebagai perangkat yang memiliki otoritas kuat dalam mendudukan Teks Wahyu pada bentuknya yang manusiawi. Dengan demikian, bukan berarti mengeret posisi akal berada di atas wahyu, tapi sebatas menjembatani sisi-sisi paradoksial pemaknaan teks yang bertentangan dengan akal jika ditafsirkan secara lugu dan literalis yang dapat mereduksi sisi kebenaran itu sendiri.


Tak ayal, paradigma ini telah menggeret Ibn Rusyd pada sebuah sikap tersendiri dalam memotret intelektualitas manusia. Ia lantas membaginya ke dalam tiga kelompok umum; ahl-khitâb (orang awam yang tidak memiliki otoritas pen-ta`wil-an), ahl al-jadl (orang yang memiliki otoritas tersebut, tapi ta`wil mereka masih bersifat praduga) dan ahl al-burhân (orang yang memiliki otortas penuh dan hasilnya bersifat aksiomatik). Hanya saja, justru dari klasifikasi semacam ini Ibn Rusyd –bisa jadi- terlihat rasial terkait metode pembuktian eksistensi sang Pencipta. Tapi sebagaimana di singgung di mula, seorang penganalisa harus jeli dalam melihat pijakan paradigmatiknya, semerta terjebak dalam sikap justifikatif seperti ini.


Dalam kasus penciptaan, Rekan Dzunnun membidik masalah eksistensi alam. Ibn Rusyd sangat menentang kesimpulan filsuf sebelumnya yang meyakini bahwa penciptaan alam bermula dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Baginya, hal ini justru bertentangan dengan semangat Al-Qur`an, semerta tak mampu dijangkau oleh penalaran kalangan awam (ahl al-khitâb). Untuk itu, dalil yang tepat terkait permasalahan in, bagi Ibn Rusyd, adalah: Pertama dalil inâyah (perawatan), yaitu bukti-bukti keteraturan dan kesesuaian yang nampak dalam pola pergerakan alam itu sendiri. Kedua dalil ikhtirâ` (penciptaan), yaitu sebuah kenyataan tegas bahwa semesta merupakan buah cipta, lantas tak ayal aksiomatik menunjukan adanya sang Pencipta. Ketiga dalil harakât (gerak), yaitu realitas yang nampak senantiasa bergerak yang notabene menunjukan adanya sang Penggerak, sebagai penggerak pertama.


Melalui ketiga dalil ini, sekiranya orang awam mampu mencernanya dan seorang intelektual akan terpuaskan olehnya. Dari sini Ibn Rusyd –bisa jadi- hendak melibatkan setiap elemen manusia untuk membuktikan keberadaan sang Pencipta, tanpa harus bersifat dogmatik. Bertepatan dengan selesainya analisa tentang permasalahan dalil penciptaan ini, rekan Dzunnun mengakhiri presentasinya.


***


Seusai presentasi, diskusi dilanjutkan pada pendedahan Ibn Rusyd lebih lanjut melalui analisa rekan-rekan Al-Mizan lainnya. Dalam hal ini, semua kawan Al-Mizan diharuskan mengeluarkan pendapat dan analisa dari apa yang telah dibacanya. Peliput sendiri akan menuliskan tanggapan rekan-rekan secara garis besarnya di sini agar laporan ini tidak terkesan bertele-tele dan cenderung ‘lebay’ alias kebanyakan ‘nggombling’. Tapi sebelumnya ada statemen yang menarik, tapi juga terbilang kontroversi bahwa jika saja Aristoteles yang menjadi nabi, bukan Muhammad, maka boleh jadi Ibn Rusyd menjadi pengikut paling setia sampai akhir hayatnya. Hal ini bukan sebatas asumsi serampangan, mengingat Ibn Rusyd sesosok filsuf yang –katakanlah- paling berhasil menguraikan simpul-simpul filsafat Aristo secara utuh dan ketat dibanding filsuf lainnya. Tapi sebelum masuk pada konstruk pemikiran Ibn Rusyd, harus disadari terlebih dahulu bahwa ilmu tidak akan pernah terlepas dari kekuasaan. Untuk itu, jika dilakukan kilas-balik teoritis masuknya pemikiran Aristoteles pada dunia Islam, akan banyak fakta-fakta yang bisa dianalisa lebih jauh.


Satu ketika, dunia Islam mengalami masa dimana corak pemikiran menjadi sedemikian beragam, utamanya ketika Alexandria menjadi centre of culture (pusat kebudayaan). Eksesnya, identitas filsafat yang berkembang cenderung kabur. Dalam arti, terjadi percampuran yang terbilang luar biasa di sana. Dan yang menegas di sana, dalam hal filsafat, pemikiran-pemikirannya mengerucut pada bentuk gnosisme (Hermeticism) dan neo-Platonis. Sedangkan nalar Aristoteles benar-benar tidak menemukan pijakan ontologis yang kukuh dan utuh. Hal itulah yang membentuk kerangka berfikir filsuf Islam di mula seperti Al-Kindi, Al-Farabi hingga Ibn Sina.


Berangkat dari sini, jika dilakukan analisa paradigma filsafat secara regional, maka akan ditemukan bahwa Islam di Timur cenderung mencari formulasi yang tepat untuk mengharmonikannya dengan agama. Hal ini menjadi berbeda ketika kita telisik paradigma yang berkembang di wilayah Barat. Ada kecenderungan pemisahan agama dengan filsafat yang sangat kental di sana. Dalam arti, agama bermain dalam satu wilayah sedangkan filsafat di wilayah yang berbeda. Memang benar analisa ini terkesan simplifikatif jika semerta menjustifikasi bahwa Islam di Barat cenderung memisahkan agama dengan filsafat (sekuleristik). Tapi jika ditarik analisanya agak lebih ke dalam, justru yang nampak tentang bagaimana kedudukan filsafat disejajarkan dengan agama. Hanya saja memang, imbas dari prespektif ini ketika dibaca oleh pemikir di masa setelahnya mengalami semacam reduksi. Sehingga muncul asumsi bahwa ada ancaman penundukan agama oleh akal. Dari sini, akan nampak sebuah ketegasan identitas antara Islam di Timur dengan di Barat. Hanya ketegangan ini bukan berarti memunculkan sebuah asumsi bahwa titik akhir dari keduanya teramat berbeda. Padahal tidak demikian jika kita cermati lebih hati-hati. Perbedaan ini justru merujuk pada titik pijak di mula dan proses metodologinya saja, sedangkan titik akhirnya justru memiliki kesesuaian, yaitu pencarian hakikat tertinggi.


Dalam kondisi –lebih-kurang- semacam inilah Ibn Rusyd hidup. Ia termasuk sesosok pemikir yang membaca Islam menggunakan teropong wilayah Barat yang notabene sangat berkelindan dengan Ibn Tufail. Aroma rasionalitas Ibn Rusyd sendiri jika diklasifikasikan terbentuk melalui beberapa tahapan. Pertama pengalaman pra-ilmian, yaitu pembentukan arkeologi kesadaran yang mengantarkannya pada filsafat. Dalam hal Ini Ibn Tufail sangat berpengaruh. Kedua pengalaman pra-teori, yaitu proses pembentukan identitas yang kajiannya sudah masuk pada tatanan praksis. Pada tahap ini ia sering melakukan gugatan-gugatan terhadap pemikiran filsuf lainnya semisal Ibn Sina dan Al-Farabi. Dan yang ketiga adalah tahapan penegasan eksistensi. Tak ayal, jika membaca Ibn Rusyd, maka akan didapati sesosok yang rasionalis, Aristotelian di satu sisi tapi cenderung ‘arogan’.


Ketegasan eksistensi sebagai seorang rasionalis-Aristotelian inilah yang menjadikan Ibn Rusyd melakukan semacam upaya penggiringan opini publik yang menegaskan kenyataan tunggal bahwa hakikat hanya bisa dicapai dengan rasionalitas. Hal ini semakin menegas ketika ia melakukan klasifikasi manusia kepada ahl-khitâb, ahl al-jadl dan ahl al-burhân yang menjadikan manusia terkotakan dalam potret hirarki simetris. Paradigma dasarnya bahwa antara nalar satu sama lain tidak bisa saling melampaui. Nalar irfâni (nalar intuitif) tidak akan pernah mencapai level bayâni (nalar kognitif). Bayâni tidak akan pernah sederajat dengan burhâniy (nalar demonstratif). Dan derajat tertinggi struktur nalar manusia adalah nalar burhâniy. Hal ini dengan sendirinya telah menunjukan ‘sisi angkuh’ dari seorang Ibn Rusyd.


Jika demikian, maka sejatinya ada permasalahan yang menjadi penting di sini dan memerlukan analisa yang lebih hati-hati. Katakanlah jika nalar burhâniy didefinisikan dengan pencarian sebuah hakikat yang dicari menggunakan premis-premis yang bersifat yaqîniy, kenapa harus disembunyikan dari ahl-khitâb dan ahl al-jadl. Tentunya ini hanya akan menggeret pada pemaknaan akidah yang cenderung eksklusif. Maka bisa dibilang Ibn Rusyd di sini telah melakukan semacam klaim sepihak yang paradoks bahwa di satu sisi nalar burhâniy diposisikan pada tingkatan tertinggi dari manusia dalam menemukan sebuah hakikat, tapi di sisi lainnya ia tidak berani membuktikannya di luar kelompok yang mengamininya. Tentunya ini menjadi semacam problem tersendiri mengingat jika memang nalar burhâniy adalah metode paling tinggi, tentunya dalam kondisi apapun bisa dibuktikan kebenarannya, sedangkan dengan menyembunyikannnya justru menjadikannya paradoks. Dan pada titik paling akut, akidah semacam ini tidak akan diamini oleh siapapun kecuali oleh sesiapa yang terkumpul dalam ruang-ruang eksklusif.


Padahal diyakini ataupun tidak, ada semacam akumulasi dalam diri manusia antara akal, intuisi dengan spiritual sebagai sebuah potensi fitrah yang manusiawi. Masing-masing ingin mendapatkan pengukuhannya dalam kesadaran seseorang itu. Sehingga ada kalanya seseorang pada saat-saat tertentu muncul sebagai seorang yang rasionalis, di sisi lain sangat sensitif, juga bisa sangat sangat spiritualistis. Keadaan ini tentunya menjadikan manusia memiliki pilihan-pilihan yang sangat beragam untuk menemukan secercah hakikat, atau katakanlah jalan yang beragam untuk menuju Tuhan-nya.


Dengan potret umum ini, maka –paling tidak- Ibn Rusyd mampu dihadirkan rekan-rekan Al-Mizan untuk masuk pada beberapa karyanya, baik yang bersifat ibdâ`ât (karya orisinil) seperti Fasl Al-Maqâl baina Al-Hikmah wa Al-Syarî`ah min Al-Istidlâl, Manâhij Al-Adillah fî `Aqâid Al-Millah dan Tahâfut Al-Tahâfut atau sebatas syarh (komentar) seperti Syarh Shagîr, Syarh Kabîr dan Syarh Mutawashith. Hal ini menjadi penting terkait pendedahan proses perkembangan kesadaran Ibn Rusyd.


Dalam buku Syarh Shagîr, yang dilakukan Ibn Rusyd sebatas al-naql (pemindahan) yaitu memindahkan hal-hal penting yang muncul dari perkataan-perkataan filsuf sebelumnya, baik yang ada di dunia Islam maupun di Yunani. Hal ini dilakukan setidaknya untuk menanamkan kesadaran manusia dalam kerangka berfikir yang benar. Dalam buku ini dia sama sekali belum menunjukan ketakjubannya terhadap Aristoteles, tapi yang patut di cermati di sini bahwa dengan kehati-hatian dan keketatan verifikasi-nya, Ibn Rusyd terbilang berhasil memilah antara perkataan Aristo yang asli dengan perkataan yang sudah bercampur (perkataan neo-Platonis). Baru pada buku selanjutnya (Syarh Mutawashith. Syarh Kabîr) ia mulai melakukan sebuah pilihan, menentukan sikap bahwa nalar Aristoteles merupakan tipologi analisa yang paling unggul dibanding dengan yang lainnya. Hal inilah yang mengantarkan Ibn Rusyd pada dimensi kesadaran baru sebagai seorang rasionalis-Aristotelian Islam.


Adapun dalam buku-buku yang bersifat ibdâ`ât, Ibn Rusyd mulai melakukan semacam domestifikasi epistema. Hal ini terbaca tegas ketika isu-isu filsafat mulai disinggungkan dengan gagasan-gagasan agama. Dalam Fasl Al-Maqâl ia cenderung membincang bagaimana menjustifikasi filsafat menggunakan perangkat syari`ah (teks Wahwu). Terbukti banyak sekali kutipan ayat Al-Qur`an untuk mendukung usahanya. Ada pesan dan penegasan yang hendak disampaikan di sini bahwa bahwa agama dengan filsafat tidak harus dibenturkan, diertentangkan untuk mencapai sebuah hakikat kebenaran, tapi keduanya bisa saling melengkapi. Sedangkan di buku Manâhij Al-Adillah Ibn Rusyd mencoba menjustifikasi syari`ah dengan menggunakan perangkat filsafat. Ia banyak sekali menggunakan penalaran-penalaran logika demonstratif dalam menegaskan eksistensi sang Pencipta. Hanya saja yang harus dicermati di sini bahwa buku tersebut tidak sedang mengukuhkan kesimpulan-kesimpulan teologis. Ia tidak sedang menawarkan hasil teologis menggunakan pendekatan burhâniy, tapi sebatas membahas metode-metode teologi. Seolah-olah ia sedang mengatakan bahwa metode lebih penting dan utama dari sebuah kesimpulan. Ada semacam pembelokan paradigma dari teologi kepada metode teologi di sana. Buku Tahâfut Al-Tahâfut sendiri merupakan kritikan atas filsafat Al-Ghazali, sebuah kritikan yang berkutat pada gugatan-gugatan atas metode yang digunakan Al-Ghazali bukan pada kesimpulan analisanya, mengingat keduanya sama-sama mengadopsi pendekatan-pendakatan filsafat.


Dari sini bisa kita tarik garis tegas kesimpulan secara umum bahwa, Ibn Rusyd menjelma sesosok filsuf yang memperjuangkan filsafat di lingkungan orang yang antipati terhadap filsafat, yang notabene masa itu sangat didominasi penalaran teks Wahyu pada tataran literalis. Sedangkan di luar itu mengalami semacam pemasungan. Yaitu mereka yang cenderung memahami sesuatu pada sesuatu yang indrawi, tidak masuk pada eksistensi yang tak terindra. Hal ini mulai terjembatani ketika Ibn Rusyd mengarang buku Fasl Al-Maqâl. Hanya celakanya, Ibn Rusyd sendiri terjebak dalam pemaknaan filsafat dan syari`at dalam tatanan dzâhir, dengan cenderung mengutip ayat Al-Qur`an yang bersifat Kauniyyah bukan Ilâhiyyah.


Maka sejatinya ada yang menganga di sini. Ada kelemahan-kelemahan yang jarang terbaca bahwa sejatinya Ibn Rusyd tidak menyadari sebuah kenyataan penting terkait pencarian hakikat. Ia tak sadar kalaulah akal itu merupakan perangkat yang tidak mampu menguraikan hakikat secara utuh dan paripurna karena sifatnya yang lemah. Sehingga penalaran atas sebuah hakikat akan berhenti pada entitas yang terbatas atau dalam pemaknaan lain bahwa al-`aql `âjiz lâ ya`rif illa al-`âjiz. Sebagai permisalan, kritik-kritik yang dilakukan Ibn Rusyd terhadap metode yang digunakan Islam di Timur justru telah mereduksi konteks, karena ia sama sekali tidak menghargai bagaimana proses pencarian itu terjadi. Ada yang coba ditundukan, diberangus kebebasannya disini, yaitu hak manusia memilih cara untuk menuju Tuhan-nya.

fahmy farid p.

‘Inna al-haqqa lam yushibhu al-nâs­ fî kulli wujûhihi wa lâ akhthaûhu fî kulli wujûhihi, bal ashâba kullu insânin jihhatan’

[ Plato ]


Diskursus sejarah boleh dibilang diskursus paling ‘ambigu’. Penekanan pada tataran paling objektif sekalipun, ditengarai berada di ambang batas ‘utopis’. Karena, ‘sejarah’ –dalam tataran paling ‘lugu’- adalah tentang asumsi-asumsi subjektif. Walhasil, kita tidak akan pernah menemukan nilai-nilai objektifitasnya secara utuh. Nilai subjektifitas sejarah hanya bisa ditekan pada bentuk paling bebas ketika sejarawan mampu menghadirkan data dan fakta secara seimbang. Dalam arti, ‘pembacaan sejarah’ harus dimulai dengan pendekatan yang se-‘lugu’ mungkin, agar hadir dalam bentuk yang bebas nilai, tanpa terbelenggu stigma alam bawah sadar. Namun itu semua –pada tataran paling logis sekalipun- tetap saja nihil.


Pemaknaan ambiguitas ini tentu tak sekedar sikap justifikatif, tapi mempertimbangkan bahwa seorang sejarawan tentu takan telepas dari ‘ragam prespektif tak sadar’ ketika menghadirkan catatan sejarah. Hal ini sangat erat kaitannya dengan dinamika kondisi sosio-kultur, geografis, politik, strata sosial, kecenderungan, hingga agama, sebagai pembentuk ke-aku-an seorang sejarawan. Sehingga, ketika melakukan pembacaan sejarah, data-fakta yang ada tentu akan mengalami (sedikit-banyak) reduktifikasi ataupun disparitas.


Frame global ini selayaknya dikedepankan terlebih dahulu, agar pembacaan sejarah (paling tidak) mampu dihadirkan se-objektif mungkin, untuk kemudian mampu mengedepankan paradigma berfikir yang bijak, bukan justifikatif. Karena, dalam mendeskripsikan sejarah, ada tanggung jawab objektifitas yang harus diemban seorang pengkaji. Pembacaan sejarah secara proporsional akan melahirkan prespektif yang tepat, pembacaan secara rigid-kaku dan tendensius-justifikatif hanya menjadikan sejarah sebatas ‘bualan kisah’ dan coretan kertas sampah! Pada kesempatan kali ini; 23 September 2010, Hadlîqah al-Dauliyyah dipilih Mizânis untuk berdiskusi, dengan rekan Ronny el-Zahro sebagai presentator dan Fahmy el-Sundawiy sebagai moderator.


I


Jazîrah Arab pra-Islam bisa dikategorikan potret peradaban ‘tanpa identitas’. Komunitas masyarakat dengan letak geografisnya yang berada di belahan padang pasir, dengan pola hidup yang cenderung nomaden, sangat jauh sekali dikatakan peradaban maju, jika memang yang menjadi parameter abash saat itu adalah peradaban sekitar Arab; Romawi, Sasania dan lainnya. Potret ini sangat berbanding terbalik ketika perlahan-lahan Islam mulai menghegemoni nalar peradaban Arab (baik etnik Arab, ataupun etnik yang mengalami proses Arabisasi). Tepatnya sekitar abad ke-8 M. (saat tampuk kekuasaan Islam dalam genggaman dinasti Abbassiyah), nalar Arab mengalami lompatan-lompatan progresifitas yang cukup signifikan. Eksistensi Islam menjadi hegemonik, baik dalam kaitannya dengan budaya, keilmuan, hingga peta wilayah kuasa. Peradaban Arab-Islam saat itu turut mewarnai sejarah peradaban manusia. Namun masa kegemilangan ini tidaklah berangkat dari ruang hampa ataupun semesta ilusi, tapi ada dialektika intim yang tidak akan pernah lepas dari konflik dan intrik, terlebih politik. Itulah prakata awal rekan Ronny yang hendak mendedah metodologi pembacaan sejarah dengan konflik Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyyah ibn Abi Sufyan sebagai sampel.


Bagaimanapun juga, pembacaannya sejarah akan selalu hadir dalam bentuk yang tidak utuh lagi. Walhasil, perlu pisau analisa dalam mendekatinya untuk menekan nilai-nilai reduktifikasi dan disparitas fenomena kesejarahan pada bentuk yang (dirasa) paling objektif. Maka, sebelum melakukan analisa sampel, rekan Ronny lebih dahulu memaparkan metodologi pendekatan yang akan digunakan dalam membongkar dan membangun lokus sejarah, yaitu dialektika historis-materialistis, dengan marxis sebagai tendensi model. Mayoritas penganut paham marxisme memahami terma ‘dialektika’ sebagai sebentuk teori mengenai proses perubahan secaracontinue yang terjadi melalui pergumulan dua hal kontradiktif. Sedangkan ‘materi’ bisa diartikulasikan sebagai fakta-fakta empiris. Pendekatan ini diasumsikan sebagai perangkat verifikasi dan falsifikasi data-fakta sejarah, sehingga ‘yang hadir’ bisa terlihat –paling tidak- identik dengan yang sesungguhnya, sebagai sebuah kontekstualisasi kesadaran dan keshalihan dalam proses pembacaan sejarah manusia modern. Bagi rekan Ronny, pendekatan dialektika historis-materialistis merupakan antithesis dari pendekatan tradisional (al-fahm al-turâts li al- turâts), yaitu sebuah pola pendekatan yang cenderung bergerak mundur, regresif.


Menelisik lebih intim, mendedah terminologi sejarah merupakan sebuah keniscaraan logis, agar pemetaannya teratur dan tidak terjebak dalam problematika istilah. Dalam konteks bahasa Indonesia, sejarah diidentifikasi sebagai bahasa serapan yang diambil dari bahasa Arabsyajarah: pohon. Sejarah sendiri bisa didefinisikan sebagai: recovered (ditemukan kembali), remembered (dikenang), invented (diciptakan). Beberapa pemaknaan etimologis ini sangat dekat dengan sesuatu yang acap kali raib, seolah sejarah memang sebentuk fenomena yang hilang (lost history).


Meminjam analisa al-Jabiri, rekan Ronny mulai merangsek masuk pada tataran konstruk diskursus, dimana sejarah akan selalu bersifat universal dan cenderung generalisir. Untuk menekan sifat dasar ini ke dalam bentuk paling orisinil, lalu menjembataninya menuju nilai yang lebih objektif, langkah awal adalah melakukan diferensiasi antara sejarah dengan legenda, antara fakta dengan fiksi, hingga antara realitas dan mitos. Disamping itu, perlu pula mengidentifikasi simbol-simbol tokoh pada tiap babak sejarah. Melalui pendekatan dialektika historis-materialistis, rekan Ronny memetakan beberapa titik poin penting ketika hendak membaca sejarah, yaitu substansi turâts, ideology, historisitas dan waktu. Dengan menggunakan analisa Tayeb Tizini, relasi antar poin pijakan ini merupakan faktor-faktor penting yang saling berkelindan satu sama lain. Disamping itu, sejarah selalu memuat dimensi dua, istimrâriyyah(kontinuitas) dan al-lâ istirâriyah (diskontinuitas) sebagai sebuah perpaduan antara sejarah danturâts, juga sebagai titik pijak konsep dialektika-histo-turâtsiy. Pendekatan ini berbeda dengan konsep yang ditawarkan Mahmud Ismail, dimana cenderung menggunakan analisa marxis secara total. Walhasil, pembacaannya cenderung didominasi aspek ekonomi.


***


Setelah memaparkan metode pembacaan yang akan digunakan mendedah sejarah peradaban Islam, rekan Ronny masuk pada tatanan aplikasi metode. Tinta pena telah mencatat ragam liku peradaban Islam, mulai dari al-Thabari, Ibn Khaldun hingga Ahmad Amin. Hanya saja, nomenklatur-nomenklatur sejarah peradaban Islam telah menyisakan tanya yang cukup mendalam, tentang realitas seperti apa yang terjadi pada masa Arab-Islam? Apa sudut-sudut menarik yang mampu dihadirkan sebuah sejarah?


Bagi rekan Ronny, mendekati sejarah merupakan kegiatan menafsir yang tak berhenti. Pembenahan cara pandang merupakan pijakan awal pembacaan sejarah yang progresif dan revolusioner, sehingga tidak cenderung ‘kelelahan’ ketika dihadapkan pada ribuan data-fakta sejarah. Misal, pendekatan transmisional (riwâyah) yang diusung Ibn Jarir al-Thabari dalam karyanya; Târikh al-Thabari, terbilag cukup komprehensip (pada masanya) dalam menyajikan data-fakta tentang peristiwa tsaqîfah. Dalam analisanya, motif penunjukan Abu Bakar sebagai suksesor Nabi saw. bukanlah berdasarkan suaka politik, chauvinisme Qurais ataupun legalitasnya, tapi lebih pada keshalihan dan strata sosial yang dia miliki. Dari sini, ada asumsi kuat bahwa bangsa Arab telah mengenal dan menerapkan hirarki sosial dalam tatanan sosialnya. Adanya sistem hirarki strata sosial inilah, ditengarai sebagai akar sistem monarki kekuasaan Arab-Islam pada periode selanjutnya, dimana sistem genealogikal politik ini dianut dinasti Umayyah, Abbasiyyah dan Utsmaniyyah.


Pendekatan tendensius marxis ini telah membongkar sisi-sisi pembentuk peradaban Arab; (1) Genealogikal, (2) suhbah (rentang waktu bersahabat dengan Nabi saw.), (3) status sosial, dan (4) religiuitas –pada tataran yang paling subjektif dalama analisa pemakalah. Keempat aspek ini diasumsikan sangat dominan dalam mempengaruhi nalar Bangsa Arab, kemudian bertransformasi menjadi sebentuk kesadaran Umat Islam saat itu. Di akhir presentasi yang memakan waktu kurang-lebig satu jam, rekan Ronny menjelaskan bahwa, meskipun pembacaan sejarah cenderung repetitif, namun itulah sebentuk proses hadirnya sebuah kesadaran bersejarah.


II


Seusai presentasi, diskusi dilanjutkan pada sesi editorial. Sudah menjadi karakter Mizan, diskusi selalu dimulai dengan kritik editing. Hal ini dirasa sangat penting dalam proses pembelajaran penulisan karya ilmiah.


***


Dengan lugas, rekanita Lailatu Zakiyah (Tz) membuka prakata analitisnya dengan menyadari bahwa, data-fakta sejarah sangat memungkinkan hadir dalam bentuknya yang kontradiktif, antara satu dengan yang lainnya. Hal ini cukup banyak ditemukan dalam berbagai literature sejarah Arab-Islam, dimana pada tahapan awal penulisan sejarah masih berkutat dalam bentuk periwayatan cerita, tanpa studi analitis. Bagi Tz, al-Thabari bisa disebut sebagai sejarawan aliran transmisional tersebut. Banyak data-fakta sejarah yang dimunculkan al-Thabari secara ‘lugu’, sehingga sangat potensial disusupi isrâiliyat. Hal ini tidaklah aneh, mengingat kondisi saat itu memungkinkan tumbuh-kembang isrâiliyat dalam bentuk yang paling ‘radikal’.


Bagi rekan Fahim Khasani, menulis sejarah secara objektif adalah satu hal yang sulit dihadirkan. Pembacaannya sangat kental dipengaruhi berjubel faktor eksternal, ditambah pula dengan pembacaan yang dipengaruhi problem internal. Penulisannya kuat dipengaruhi keyakinan/nalar terberi (al-`aql al-mukawwan). Misal, sejarawan Sunni cenderung mendedah sejarah Syi`ah dalam bentuk yang telah mengalami reduksi teologis. Bahkan dalam bidang keilmuan sekalipun, arogansi etnik tersebut masih kental seperti terbaca dalam sy`ir Ibn Malik yang notabene dari kelompok Sunni;

Tarfa` kâna mumtada isman wa al-khabar # Thansibuhu ka kâna sayidan Umar

Ketika dipelajari intelektual Syi`ah, syair tersebut disadur ulang menjadi;

Tarfa` kâna mumtada isman wa yaliy # Thansibuhu ka kâna sayidan Aly

Dari fakta ini, dapat dipastikan bahwa penulisan sejarah sangat terpengaruh polemik etnik ini, selain tentunya menyeruak adagium yang dirasa cukup absurd bahwa ‘setiap sahabat tentunya adil’.


Kesempatan selanjutnya diberikan pada rekan M. Masykur Abdillah. Dia memandang bahwa sejarah selalu memendam problematika. Dengan memposisikan diri sebagai seorang skeptisisme dalam diskusi kali ini, rekan masykur memulai orasinnya dengan aneka tanya; Kapan sebenarnya sejarah terbentuk, kemarinkah, sekarangkah, atau esokkah? Meskipun stressing point ketiga terminologi ini berbeda, namun sejatinya manusia bergerak ke depan, sehingga hari esok berada pada tataran nilai tertinggi! Lalu, apa yang menjadi latar belakang sjarah? Apa standarisasi sejarah (Islam)? Dalam beberapa literatur, dikatakan bahwa sejarah bermula semenjak adanya tulisan. Tapi analisa ini diasumsikan sangat subjektif, karena akan mereduksi nilai-nilai historisitas sebelum masa tulisan, seperti dongeng yang tidak mendapatkan porsi yang proporsional dalam bingkai sejarah. Jikapun kita sepakat bahwa sejarah ada, bagaimana kita harus memahaminya?


Lebih lanjut, rekan Masykur mencoba mendedah tipologi pebacaan sejarah. Dalam analisanya, pembacaan sejarah bisa diklasifikasikan pada dua tipologi: secara terberi (al-mu`thâ al-tamtsîliy) dan secara representatir-interpretatif (al-mu`thâ al-al-mufassar). Keduanya mempunyai titik pijak yang berbeda, dimana metode al-mu`thâ al-tamtsîliy yang dikembangkan al-Thabari, cenderung menggeret konstruk sejarah pada bagaimana sesuatu yang terjadi pada masa lalu –sebatas- diposisikan sebagai cermin (pantulan/proyeksi) untuk masa kini. Pembacaan ini lebih menekankan pada bagaimana data-fakta sejarah (baik berupa riwayat, isrâiliyat, dongeng ataupun syair) dihadirkan dalam bentuk yang paling ‘telanjang’, daripada analisa atas validitas. Sedangkan metode al-mu`thâ al-al-mufassar yang dikembangkan Ibn Khaldun, lebih berkutat pada bagaimana memaknai sejarah sebagai sesuatu yang kita tafsirkan melalui pendekatan analitis. Karena bagaimanapun juga, pergerakan sejarah tidaklah diam, tapi bisa dibidik dari arah manapun. Maka, bentuk pendekatan ini merupakan sebentuk kesadaran dan keshalehan masyarakat modern.


Sebelum masuk pada analisa kesejarahan, rekan Subhan Azhari terlebih dahulu mengkritik pemaparan presentator terkait pendefinisian sejarah yang mengkomparasikannya dengan istilah dalam bahasa Indonesia. Bagi rekan Subhan, membandingkan istilah sejarah dengan syajarahdinilai terlalu ambisius dan jauh dari substansi istilah. Karena, dalam literature bahasa Arab, pengistilahannya menggunakan kata târikh. Jadi, sama sekali tidak ada ikatan simbolis antara sejarah dengan syajarah.


Selanjutnya, rekan Subhan menelisik sejarah Arab-Islam melalui sisi objektifitas dan fungsinya. Tidak sedikit sejarawan sangat kental dengan aroma tendensius. Analisa data-fakta cenderung terabaikan. Maka, kedua sisi tersebut harus dipahami terlebih dahulu sebelum bergumul pada ‘lahan basah’ sejarah. Dan yang terpenting, bagaimana memposisikan sejarah tersebut secara proporsional. Disamping itu, perlu mendedah tipologi antara agama dengan sejarah, dimana karakter agama pada dasarnya tetap, sedangkan sejarah diasumsikan selalu bergerak, tidak tetap. Walhasil, interpretasi sejarah sangat berpotensi untuk benar ataupun salah.


Bagi rekan Ahmad Syafiuddin, sejarah peradaban terbentuk dari faktor-faktor yang melingkupinya; ideologi, keilmuan, politik dan kekuasaan. Keempat faktor ini sangat kental terbaca dalam tiap entitas peradaban. Hanya saja, sejarah telah mengaburkan kebenaran. Kebenaran acap kali dipahami dengan pola tendensius, yang justru dapat mereduksi nilai-nilai objektifitas data-fakta sejarah sekaligus mengaburkan nilai-nilai relativitas kebenaran.


Sebagai koordinator sementara Mizân, rekan Andi Luqmanul Qasim menganalogikan sejarah dengan sebuah pohon yang memiliki ‘berjuta’ ranting, akan tetapi senantiasa bergerak ke satu titik, titik identitas. Dalam hal ini, sejarah (Arab-Islam) merupakan semesta fenomena manusia yang dibentuk dialektika, bergerak menuju identifikasi Islam secara utuh. Menganalisa sejarah Arab-Islam, berarti menelanjangi polemik yang hadir sepanjang catatannya. Rekan Andi menyayangkan lebam-kelamnya sejarah peradaban Islam paska wafat Nabi SAW. Seolah, nooktah perebutan kekuasaan menjadi sisi hitam dari apa yang hadir saat itu. Padahal, –dengannada sedikit menyayangkan dan raut yang cukup emosional, kekuasaan selalu diakhiri dengan terbunuhnya sang pemimpin.


Sebagai embrio baru intelektual Massiair, rekanita Neli Mulyati –dengan lugu menduga bahwa, sejarah adalah sebuah peradaban. Hal ini terbaca dibalik dinamika yang terjadi pada masa lalu, selalu hadir potensi penggerak, yaitu penggerak roda peradaban. Fungsi ini tentu akan muncul ketika sejarah mampu diposisikan se-proporsional mungkin dalam dinamika manusia seutuhnya.


Untuk kesempatan terakhir, waktu diberikan pada rekan Fahmy Farid Purnama. Baginya, bagaimanapun juga, relasi tatanan sosial peradaban Arab-Islam –dalam dimensi yang tidak kasat mata (al-dhawâhir al-thabî`iyyah), selalu terbentuk dalam kerangka-kerangka emosipredictable dan logika yang sistematis. Dalam hal ini, peradaban Arab-Islam –asumsinya- memuat dua unsur yang berbeda, namun saling melengkapi: tatanan fisik dan metafisik. Tatanan pertama adalah bentuk yang selalu berdialektika, sedangkan unsur kedua cenderung kokoh dan mapan. Dari titik tolak inilah, pendekatan marxime akan kehilangan satu sisi, metafisik, dan lebih didominasi faktor-faktor yang ‘tersentuh’, nalar materialistis. Justru analisa Ibn Khaldun bisa dikatakan pembacaan yang paling tepat dan mapan saat mendedah Arab-Islam. Karena, selain mendedah dialektika historis-matrerialistis, analisanya mampu menyentuh konstruk sosial yang ‘tak tersentuh’, nalar religiuitas.


Lebih lanjut, rekan Fahmy menjelaskan bahwa dalam prespektif Ibn Khaldun, agama sama sekali tidak berpotensi memunculkan konflik. Tapi, sengketa sosial lebih banyak ditimbulkan oleh konflik etnik ataupun tribe chauvinism, dimana penekanan konflik yang ada lebih pada pembentukan semesta dominasi ideologis, politis, ekonomi hingga psikologis. Misal, bagaimana langkah awal Nabi saw. ketika hijrah ke Madinah bukanlah tentang mempersatukan semua golongan dalam satu panji agama, tapi lebih pada mengikat persaudaraan diantara golongan Anshar dan Muhajirin, sebagai langkah antisipatif untuk mereduksi kecenderungan ethnic conflict. Sebagaimana analisa Bernard Lewis, problematika etnik-chauvinistik ini kemudian menyeruak kembali paska wafatnya Nabi saw. Terjadi transformasi karakter kepemimpinan dari yang berbentuk caliphate (khilâfah) menjadi kingship (mulk). Maka, konstruk sosial Arab-Islam bergerak kembali pada nilai-nilai masa pra-Islam, dengan unsur agama sebatas perangkat legitimasi dan kendaraan jusifikatif saja. Terakhir, rekan Fahmy menyitir asumsi Faocault bahwa, kekuasaan –pada dasarnya- mempunyai korelasi yang cukup erat dengan berbagai fenomena sosial-kemasyarakatan. Semuanya berada di dalam relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran dan menjaga kebenaran itu. Karena itu, ‘kebenaran tidak ada dengan sendirinya. Kebenaran tidak berada di luar kekuasaan, ia berada di dalam kekuasaan’. Dengan demikian, ‘kekuasaan adalah kebenaran’.


***


Begitulah sekelumit potret dialektika diskusi Mizân dengan pekat malam sebagai saksi. Dari diskusi ini, dapat diasumsikan bagwa dialektika perbedaan dalam mendedah sejarah, merupakan sebuah keniscayaan logis ketika memahami lika-liku peradabannya. Perlu pembacaan kritis dalam mengurai puing-puing sejarah pergumulan manusia. [el-sundawiy]

fahmy farid p.

“Sejarah merupakan sekelumit potret tertutup yang ‘tak satu’. Ke-aku-an yang tertanam dalam bongkahan jiwa manusia, menyeruak sebagai `pedati` yang terus mengikuti laju seruang pekat-geliat gerobak sejarah peradaban. Sisi kemelut dialektika-materi-falsafi ini disajikan sesosok Adonis dalam ‘menelanjangi’ puing-puing pembentuk sejarah peradaban Arab-Islam yang tercecer. Bangsa yang telah mengalami transformasi paradigma, dari logika waktu (keniscayaan sejarah-empirik) menjadi logika wahyu (keniscayaan iman). Itulah oase pembuka sekaligus rangsangan presentator, Khozin Dipo, disela dahaga kawan-kawan LAKPESDAM untuk segera merajut sepihan ‘imaji-kontemplatif’ yang terekam dalam tiap baris kata buku al-Tsâbit wa al-Mutahawwil, sebuah disertasi yang dia selesaikan saat mengenyam pendidikan di fakultas sastra, Beirut. Diskusi pergulatan lintas ide ini diadakan di Sekertasriat PCINU Mesir; 7 Mret 2010, yang dimulai pada pukul 17.30 WIK. dengan rekan Fahmy Farid el-Sundani sebagai moderator.


Dialektika al-Tsâbit dan al-Mutahawwil

Dengan ucap mula yang mengalir begitu lirih nan apik tersaji, Rekan Khozin mencoba mengurai benang kusut pembacaan sejarah dari titik tolak masuknya agama sebagai awal problematika peradaban Arab-Islam atas sebuah percikan ‘kegelisahan tak terkendali’. Islam menyelusup relung tatanan sosial jahiliyah sebagai nilai baru yang memutus trauma Bangsa Arab terhadap masa lalunya nan kelam. Kungkungan realitas dialektika manusia dengan ruang waktu, telah memunculkan ragam noktah pembahasan terhadap rentetan fenomena kesejarahan. Secara garis besar, tipologi fenomena ini terbelah menjadi dua sisi ‘struktur kepribadian’ yang senantiasa berdialektika, antara salafi-konservatif yang memposisikan masa awal Islam sebagai teropong peradaban Arab asli dengan menggandeng turats yang ‘belum tuntas’ untuk mengawal laju dinamika peradaban, dengan kontemporer-modernis yang mengasumsikan turats sebatas sisa-sisa ‘usang nan lapuk’ warisan peradaban.


Pada tahun 1930 M., Ali Ahmad Sa`ad Asbar (yang dikenal dengan nama pena Adonis) dilahirkan di bumi Lattakia-Syiria, sebuah kota terpencil yang jauh dari dunia intelektual. Walaupun kondisi sosial yang ‘buta peradaban’ dan latar belakang keluarga tani, hal ini tak lantas menyurutkan semangat tumbuh-kembangnya. Ia sama sekali tak menyerah pada kenyataan, tanpa salah asuhan. Kepribadiannya terancang apik dalam asuhan sang ayah, sesosok agamawan berlatar belakang Syi`ah dan juga sastrawan. Dari ayahnyalah, Adonis mulai mengenal pujangga-pujangga legendaris bumi para nabi, diantaranya; Abu Tamâm, al-Mutanabbi hingga Syarif Ridla. Disamping itu, sosok Antun Sa`adah turut pula melukis paradigma intelektual Adonis yang mengenalkan pola baru dalam membaca mata rantai sejarah. Dari latar belakang inilah Sosok Adonis digambarkan rekan Khozin sebagai sosok budayawan yang cepat ‘bosan’, dengan menjelma menjadi pribadi berprinsip yang berdiri tegak menantang kenyataan.


Melacak lebih dalam ke jantung pemikiran Adonis, rekan Khozin memaparkan analisa terhadap buah pena Adonis mulai dari Qashâid Ûlâ (dicetak pada tahun 1956 M.) hingga al-Muhith al-Aswad (2005 M.). Antologi rekaman imajinasinya mengalami titik kulminasi pada karya monumentalnya, al-Tsâbit wa al-Mutahawwil (2001 M.) yang merupakan tetralogi analisis bongkahan sejarah Arab-Islam, khususnya satstra. Lain pada itu, rekan Khozin yang ditahbiskan kawan-kawan LAKPESDAM sebagai representasi pujangga Masisir kontemporer juga melakukan penekanan analisis terhadap buku Aghânî Mihyâr al-Dimasyqi, sebagai karya sastra yang mencoba ‘menceraikan diri’ dari belenggu puisi klasik, sekaligus ‘bersenggama’ dalam harmoni semiotik sastra kontemporer. Penekanan juga dilakukan dalam mendedah buku al-Shûfiyah wa al-Sûryâliyah (1992 M.) yang menyoroti persenyawaan antara paradigma sufistik dengan surealistik.


Lebih lanjut, telisik kritis terhadap magnum opus-nya, presentator kita mencoba ‘menelanjangi’ dari sisi analisa historikal-tautologis kemunculan Islam, sebuah kesadaran bersejarah sebagai sesuatu yang ‘pasti’ ada. Bagi Adonis, peradaban Islam, pada dasarnya merupakan substansi potret sosio-kultur sebagai starting poin dalam melukiskan sisi kesejarahannya, walaupun secara sturturalistik-temporal, lebih dahulu masa jahiliyah. Dari sini, ia menjadikan peradaban Islam sebagai sesuatu yang bersifat ibda` (asal-muasal pembentuk peradaban Arab), bukan ittiba` (hasil bentukan masa jahiliyah). Unsur ini diilustrasikan layaknya dinamika proton dan neutron pembentuk atom. Hanya saja, pembacaan kesejarahan Adonis berkutat pada dzawâhir al-tsaqâfah (permukaan peradaban) dan abai terhadap fakta-fakta sejarah mendasar. Hal ini senafas dengan Kritik Rifa`at Salim atas pembacaan Adonis yang sama sekali tidak memperhatikan faktor ekonomi dan sitsem kelas, sehingga terminologi al-tsabit dan al-mutahawwil terkesan ‘ambigu’, karena ada dialektika marxis-strukturalis yang ‘tidak disadari’. Pamungkas, rekan Khozin menilai bahwa Adonis dirasa lemah dalam memahami al-mutahawwil sebagai entitas yang benar-benar mandiri.


Kala senja mula mencumbu kerontang Kairo, rekan Khozin Dipo mempresentasikan makalah –dalam bahasa kawan-kawan lainnya adalah prosa pemikiran, cukup memberikan potret umum pemikiran Adonis, dalam tempo kurang-lebih tiga puluh menit. Moderator kemudian mengalokasikan waktu sekitar 20 menit untuk melaksanakan Sholat Magrib.


Hiruk-Pikuk Dialektika Diskusian

Dengan pemilihan diksi makalah ‘beraroma’ prosa yang cukup menggugah sekaligus menggelitik ‘gairah’ kawan-kawan diskusian, rekan Nur Fadlan mencoba menelusuri jejak-jejak pemikiran Adonis. Rekan kita yang notabene ber-gerne syari`ah secara akademik, mencoba menelisik terma al-Tsâbit wa al-Mutahawwil dari sisi hukum. Dengan menggunakan majas alegori, ia menlukiskan bahwa terminologi al-Tsâbit wa al-Mutahawwil laiknya sebuah kulkas yang diisi dengan ragam pangan. Seiring perjalanan dinamika waktu, pada akhirnya pangan tersebut akan mengalami pembusukan, sehingga perlu ‘dikebumikan’ (al-mutahawwil), dan pangan yang awet (al-tsâbit) tetap dijaga dan dirawat sebagai akar tradisi. Dari sini, perlu adanya ‘pembacaan kedua’ terhadap hukum-hukum yang usang ditelan perkembangan zaman. Karena, tuntutan perbedaan tempat entitas masyarakat akan melahirkan pemikiran dan kongklusi hukum yang berbeda pula. Dalam kritiknya terhadap Adonis, ia menyayangkan sikap Adonis yang melakukan simplifikasi terhadap fakta-fakta kesejarahan dengan terlalu tergesa-gesa memutus masa jahiliyah dalam dinamika peradaban Arab-Islam, mengingat ranah sejarah yang terlampau luas. Di akhir orasinya, ia berasumsi bahwa kehadiran agama yang dipahami secara rigid telah ‘mematikan’ filsafat logika arab, terjajah oleh teks-teks keagamaan.


Sementara Rekan Fadlan mengimajinasikan al-Tsâbit wa al-Mutahawwil pada logika kulkas, rekanita Mei Rahmawati mengilustrasikannya dengan logika ‘cicak’. Perangkat self defence (sistem pertahanan diri) pada cicak dengan memotongkan ekornya akar mampu bertahan dalam lingkungan se-ekstrim apapun, sepatutnya diterapkan pula pada lokus syari`ah agar adaptif terhadap dinamika sosioal masyarakat (shâlih li kulli zamân wa makân). Sehingga, sekira tidak cocok –bahkan mengancam- dengan nilai substansial Islam, maka perlu –harus- ‘disingkirkan’. Ia juga menilai bahwa Adonis menggunakan pendekatan sastra untuk menceburkan diri pada realitas, dimana karya-karyanya kental sekali dengan nuansa estetika-imajinatif-kontemplatif.


Selanjutnya, rekan Ahmad Muhammad mencoba ‘menggerayangi’ Adonis dari sisi lingkungan sosial-kultur pembentuk pribadinya. Pemikiran-pemikiran Adonis yang tertuang dalam magnum opus-nya sangat dipengaruhi oleh ma`rifah shûfiyah, dimana terjadi dialektika ‘intim’ antara `âlam khayâliy (nalar imajinatif) dengan `âlam mitsâliy (nalar realitas). Menurutnya, Adonis ingin melepaskan diri dari belenggu teks yang tidak membebaskan. Hanya saja, para pemikir dengan latar belakang penyair (dalam hal ini Adonis) acap kali terkungkung dalam kubangan wacana, tanpa menggandeng tindak nyata. Dari sini, karya sastra Adonis diposisikan sebagai pembaca peradaban (lahir dari dinamika kenyataan) belaka.


Hal berbeda coba ditawarkan rekan Subhan Ashari. Ia menganggap terminologi al-Tsâbit wa al-Mutahawwil pada prinsipnya merupakan kritik terhadap kelompok-kelompok literalis teks, seperti Ibn Hazm dan Ibn Taimiyah. Pioner-pioner literalis ini memandang segala fenomena sosial dengan kacamata teks statis. Disamping itu, rekan Subhan mengklasifikasikan metode pembacaan teks (analisa teks) ke dalam dua bentuk; Metode dakwah dan metode ilmiah. Metode dakwah acap kali berenang dalam samudra irasional, karena titik kulminasi dari metode ini hanyalah bagaimana tujuan tercapai, ideologisasi. Maka, ia menggolongkan buku al-Tsâbit wa al-Mutahawwil –bahkan lebih jauh al-Qur`an, sebagai teks dakwah, karena cita rasa yang ditawarkan lebih bersifat pembacaan ‘hiperbolik’ sejarah, irasional. Adapun metodologi ilmiah lebih mengedepankan validitas data-data sejarah, rasional dan data-data empirik. Penelusuran akar sejarah dengan metode kedua ini dirasa mampu menggiring nalar-kontemplatif pada ranah yang riil, sehingga pemahaman agama akan mampu mengawal laju-kembang fenomena sosial-kemasyarakatan.


Suasana hangat nan damai ruang diskusi, dibumbui keanggunan diksi kata yang dicomot rekanita Bangun Prastiwi Zahra melarutkan kawan-kawan LAKPESDAM ditengah hening-pekatnya malam itu. Di awal orasinya, ia mengurai terminologi al-Tsâbit wa al-Mutahawwil pada pemilihan istilah ‘keabadian atas perubahan’ (al-Tsâbit) dan ‘perubahan atas keabadian’ (al-Mutahawwil). Melacak jejak ke-jumud-an Bangsa Arab dapat ditelusuri dari konstruk pemikiran yang memposisikan agama sebagai identitas Bangsa Arab. Paradigma ini menggeret pada paradigma ‘penguncian’ wacana diskursus keilmuan produk peradaban lainnya. Padahal, Islam adalah ‘sesuatu’ (syaiun) dan peradaban Arab adalah sesuatu lainnya (syaiun âkhar). Sedangkan kemunculan Islam di tanah Arab hanyalah sebatas starting poin, tidak lebih!. Pembacaan Adonis oleh rekanita Bangun tidak hanya berkutat pada tatanan teoritis belaka. Ia mencoba mengaplikasikannya dalam bentuk nyata, dengan mencontohkan kondisi perfilman Indonesia pra-Petualangan Sherina, dimana masa itu terjadi kemandegan ruh-ruh berkarya. Namun pasca film tersebut, ruh itu kembali muncul dalam bingkai kebebasan berekspresi. Dari sini, rekanita Bangun memposisikan teks (al-tsâbit) sebagai kontrol terhadap kebebasan (al-al-mutahawwil). Karena, kebebasan tanpa kontrol hanya akan memunculkan masalah-masalah yang kurang –bahkan tidak- substansial.


Senada-seirama dengan rekanita Bangun, rekan Nova Burhanudin berasumsi bahwa manusia selayaknya diberikan kebebasan sepenuhnya, karena ada sisi lain yang akan menghentikan itu semua, yaitu sifat lemah manusia yang berperan sebagai kontrol itu sendiri. Setelah itu, rekan Nova membaca Adonis melalui prespektif Goenawan Mohamad yang menilainya sebagai sosok progresif dan memiliki semangat berubah. Begitu pula, penerapan al-Mutahawwil (kebebasab berubah) harus digandeng dengan pendekatan spiritual (logika agama-wahyu) agar tidak tercerabut dari akar tradisi dan ruh peradaban. Rekan Nova mengkomparasikan pemikiran Adonis dengan Ibn `Arabi dimana tidak ada yang absoulut (al-tsâbit) kecuali Allah swt. Terminologi al-Tsâbit wa al-Mutahawwil hanyalah sebatas permainan kata, karena masih bisa dikompromikan secara evolutif, dimana keduanya saling membentuk. Dalam bukunya, ia hanya memaparkan ‘kegentingan’ yang akan terjadi jika berpijak sebatas pada wacana klasik (turats-sejarah), sehingga teks akan bertransformasi ke dalam bentuk ‘sesembahan’ belaka.


Adapun rekan Ronny El Zahro, sosok pengagum marxis ini, menelisik potret Adonis dari dialektika materialis-evolutif. Menurutnya, ada titik kesamaan antara sesosok Adonis dengan Hasan al-Banna. Lingkungan pembentuk keduanya sama-sama lingkungan tak berperadaban secara intelektual. Keduanya merupakan representasi produk pendidikan lokal, dimana Hasal al-Banna tidak pernah mengenyam ‘cita rasa’ pendidikan diluar peradaban arab. Dia hanya mencicipi pendidikan di universitas Dar al-`Ulûm. Tidak jauh berbeda, kematangan Adonis-pun terbentuk di lingkungan Syi`ah-Arab, walaupun sedikit lebih beruntung dari al-Banna, karena ia pernah menjamah diskursus epistemologi barat saat mengais ilmu di Prancis. Lebih jauh, rekan Ronny mencoba memetakan kensep al-Tsâbit wa al-Mutahawwil dengan menyitir ungkapan Soroush bahwa bahwa titik tolak konsep al-tsâbit berakar dari teks al-Qur`an, dimana teks keagamaan ini ‘mengkungkung’ ragam sastra Arab. Sedangkan al-Mutahawwil merupakan konteks yang selalu berubah. Sayangnya, dalam bukunya, Adonis sama sekali abai terhadap pembacaan strukturalis-materialistik. Terlalu banyak friksi-friksi sejarah yang serta-merta dibiarkan menggeletak. Kenyataan kontras dengan analisa yang dikembangkan Khalil Abdul Karim ataupun ‘dedengkot-dedengkot’ marxis lainnya.


Ditengah suasana yang nampak lelah, rekan Nora Burhanudin hardir untuk menyegarkan kembali wacana Adonis. Berbeda dengan rekan Ronny, ia membandingkan Adonis dengan sesosok Nietzsche ditilik dari pendekatan keduannya yang menggunakan perangkart sastra dalam membaca ragam fenomena. Kegagalan Adonis dalam melukiskan sejarah peradaban Arab-Islam terletak pada tidak ditemukannya ‘aroma’ konstruk pemikiran utuh. Disaming itu, pendekatan fenomenologis yang digunakan untuk ‘mengobok-obok’ sangat reduktif. Apalagi buku al-Tsâbit wa al-Mutahawwil kehilangan logika bahasanya ketika dianalisa menggunakan teropong Jack Derrida. Rekan Nora mencurigai bahwa latar belakang penyair itulah yang menjadikan pemikiran Adonis tidak ditemukan seutuhnya sama sekali, sehingga perlu alat bedah sosio-kultur dalam memahami ontologi pemikiran Adonis secara utuh.


Gayung bersambut, partisipan baru LAKPESDAM, rekan Hakim menganjurkan pendekatan sastra yang sejatinya mampu mendedah Adonis. dia mencontohkan adagium Adonis bahwa; ‘Jika kita tidak menciptakan tuhan, kita akan mati. Jika kita tidak membunuh tuhan, kita akan mati’. Diksi ini akan mengalami reduksi bahkan justifikasi yang melenceng dari jantung substansi makna yang dimaksud, ketika didedah dengan pendekatan luar korpus sastrawawn.


Walaupun dari awal hingga menjelang akhir, moderator merupakan sesosok yang ‘paling banyak cuap-cuap nggak jelas’, tapi mutlak ‘waktu ada dalam kuasanya’. Rekan el-Sundani mencoba ‘mendagangkan’ pembacaan lain terhadap Adonis. Ketidaksepahaman dengan rekan Ahmad yang menganggap bahwa kesusastraan hanyalah pembaca peradaban (lahir dari dinamika kenyataan). Dengan menyerap konsep linguistika George Orwel bahwa jika saja pemikiran-kebudayaan bisa membentuk bahasa (kesusastraan hanyalah produk budaya), maka bahasa-kesusastraan mampu pula membentuk komunitas sosial. Dari sini karya Adonis tidak bisa disederhanakan sebatas perangkat sosial untuk membaca realiras-budaya, tetapi berfungsi pula sebagai pembentuk kultural, karena pada dasarnya bahasa-kesusastraan mempunyai ‘nilai penggerak’. Disamping itu, bagi rekan moderator, Adonis mempunyai sisi keterpengaruhan yang cukup kental dengan pemikiran politik Syi`ah sebagai unsur yang ‘tak sadar’. Hal ini terlihat ‘latah’ ketika mendedah pergolakan politik Islam pasca Wafatnya Nabi saw.


Menjelang akhir diskusi, waktu sepenuhnya milik koordinator, rekan Hadidul Fahmi sebagai tokoh muda kharismatik LAKPESDAM. Petuah awal yang terlontar adalah ketidaksepakatan dengan rekan Nora yang mengasumsikan bahwa Adonis menggunakan perangkat fenomenologi. Hal ini bisa dilacak ketika dikomparasikan dengan fenomenologi ala Hasan Hanafi, dimana ada diferensiasi akut antara keduanya. Rekan Fahmi lebih cenderung menggolongkan Adonis sebagai sosok yang cenderung menggunakan nalar-imajinatif-kontemplatif (khayâly) dalam pendekatan kesejarahannya. Menurutnya, pembacaan Adonis ketika merefleksikan stagnasi peradaban Islam karena kecenderungan itba`, bukan ibda`. Stagnasi ini berakar pada pembacaan statis wahyu, sehingga perlu adanya hadm al-dîn (dekonstruksi agama) dari bentuk statis menuju bentuk transformatif, dari teologi pengekangan menuju teologi pembebasan. Maka tak heran jika Adonis dituduh sebagai orang atheis dan diusir dari tanah kelahirannya. Dari sini, rekan Fahmi berasumsi bahwa ketika ingin maju, maka perlu –bahkan harus- membunuh sejarahnya, karena pada dasarnya al-rujû` haruslah kedepan untuk menemukan identitas, bukan al-rujû` ilâ al-mâdli (menoleh ke belakang untuk mengais sisa-sisa usang peradaban gemilang).

***

Hampir lima jam eksplorasi Adonis ini berlangsung. Pendekatan yang cukup beragam membuat suasana diskusi lebih hidup. Nuansa yang akan selalu tertanam dan mengkarat dalam alam bawah sadar kita sebagai penggalan cerita yang akan terkenang nan terindukan, romansa masisir.