fahmy farid p.
عن أبي عبد الرحميم الكندي, عن زاذان أبي عمر قال: سمعت عليا في الرحبة وهو ينشد الناس: من شهد رسول الله يوم غدير خم وهو يقول ما قال؟ فقام ثلاثة عشر رجلا فشهدوا أنهم سمعوا رسول الله وهو يقول: من كنت مولاه فعلي مولاه


Sejarah manusia tak pernah lepas dari konflik, terutama kaitannya dengan persinggungan ideologi. Dan lagi, setiap persinggungan, konflik, sejatinya amat pilu untuk dikisahkan ulang, bahkan mungkin para sejarawan harus menuliskannya dengan tinta darah. Tapi, ’tak ada realitas paling esensial bagi kesadaran-diri (manusia), selain sejarah-diri’. Begitu satu waktu Karl Jasper ketika membincang manusia dalam buku Way to Wisdom. Sepahit apapun, sejarah tetaplah rentetan peristiwa yang harus dijernihkan, atau paling tidak diungkapkan, sebagai jejak kesadaran peradaban yang nyata, drama manusia, sekalipun itu terkait peristiwa agama. Agama sendiri bukan semata menyangkut hal-hal yang terbebas dari ide ruang-waktu (metafisik). Agama—pada pemaknaan tertentu—juga merupakan sejarah ide, sejarah ideologi. Agama mempunyai ingatannya, bingar oleh sejarahnya, sejarah yang pada dimensi tertentu penuh intrik-intrik yang memicu konfrontasi, bahkan pada sesama pemeluknya.

Memang, agama pada titik yang tak terjelaskan rasionalitas manusia, tak terabstraksi imajinasi, tentu merupakan keyakinan yang hadir dalam gerak intuitif manusia, keimanan. Lalu apa yang bisa terungkapkan dari agama hanyalah lapisan paling luar dari iman itu sendiri. Ia hanyalah potret pemahaman agama, sejarah pemaknaan agama, rekaan-rekaan, hingga pengandaian manusia atas nilai tertinggi dari sesegala. Pemahaman agama sedang digerakan dari keintiman paling diri, terungkapkan, kemudian direlasikan pada kesadaran komunal. Agama tidak lagi hanya sekedar dorongan perasaan saja, namun juga tentang ide-ide yang mewajahkan tiap pemaknaannya, atau dalam istilah lain sebagai cognitive content (muatan kognitif) dalam agama. Pada lapisan inilah, perwajahan iman terungkapkan dan terjelaskan, memasuki dimensi yang cukup riuh dan bingar oleh ragam persinggungan ide, gesekan ideologi.

Ide menjadi tenaga agama yang cukup hegemonial dalam mengartikulasikan nilai-nilai keimanan secara aktualita. Namun pada tataran tertentu, ide justru kerap memicu konflik berkepanjangan, terutama kapan kali agama dicitrakan sebagai ideologi yang keras dan tertutup. Wajar saja, mengingat lapisan paling luar dari keimanan manusia menjadi tempat muatan-muatan manusia terlibat dalam proses pemaknaannya. Maka, perlu kiranya memahami terlebih dahulu bahwa iman selalu berwatak ganda, bergerak dari dua titik sekaligus. Pertama, nilai keimanan yang bersifat—katakanlah—eksistensialis (al-îmân al-wujûdiy), sebagai relasi manusia dengan Tuhan yang paling intim, tak terjelaskan apa-apa. Kedua, relasi keimanan yang bersifat historis (al-îmân al-târikiy), sebagai proyeksi nilai agama yang bergerak dalam selubung ruang-waktu, terjelaskan melalui ekspresi keberagamaan manusia. Lantas, kebenaran yang hadir hanyalah bersifat evidensi.

Dalam konteks sosial, iman yang terungkapkan dalam selubung ruang-waktu, baik melalui ritual ataupun proyeksi tata-nilai, selalu bergerak untuk menemukan legitimasi historis dan otoritas yang membenarkannya. Tak pelak, gambaran realitas sosial—yang salah satu elemennya terkait bagaimana nalar sosial memahami agama itu sendiri—terbentuk melalui proses negosiasi yang berkesinambungan. Pemaknaan agama, baik bersifat nilai ataupun ritual, memiliki dimensi historis dan manusiawi, atau dalam pemaknaan lain ketika agama bisa dipahami dan direlasikan secara komunal. Relasi iman semacam ini terjadi ketika terdapat interaksi timbal-balik, baik antar individu maupun komunitas, yang mendapatkan pembenaran otoritas tertentu. Jika proses negosiasi tersebut gagal, atau katakanlah tertolak secara populis dan aklamatis (unacceptable), keyakinan paling diri tadi menjadi tidak menemukan komunitasnya dalam sosial, teralienasi dari struktur masyarakat yang paling dominan, atau katakanlah society without societalisation. Walau demikian, alienasi tidak serta-merta melenyapkan kehadirannya. Ia tetap ada dalam ketersembunyian eksistensialnya.

Menurut Max Weber, pola relasi semacam ini merupakan akar formulasi nalar sosial yang diistilahkan dengan ‘societalisation’ (vergesellschaftung), bukan lagi sebatas ‘society’ (gesellschaft). Selalu terjadi tarik-ulur yang riuh ketika melakukan proses sosialisasi iman tadi. Tak ayal, konflik justru merupakan karakteristik paling dasar sebuah relasi, bahkan yang bersifat permanen sekalipun, seperti halnya relasi agama (iman). Akan selalu terjadi interaksi dan pamaknaan yang bersifat dialektis secara berkesinambungan. Karena—meminjam analisa Durkheim—agama tidak hanya sebatas totalitas iman saja, namun juga melibatkan praktek ritual dan institusi (otoritas) yang melindungi dan membenarkan setiap prilaku keberagamaan.

Berkaca dari prinsip-prinsip semacam ini, persinggungan Sunni-Syi`ah bukanlah sesuatu yang mengherankan. Justru yang malah membingungkan, ketika persinggungan semacam ini tidak dicarikan titik relasionalnya. Bukankan proyeksi keimanan tidak semata untuk dijelaskan, namun kejernihan pemaknaannya terjadi ketika itu dipahami, baik dengan jalan memutar melalui ingatan-ingatan nostalgik yang mendekatkan umat Islam kepada citra awal paling asali dari setiap fenomena agama, ataupun interpretasi historis yang proporsional dan terbebas dari bias ideologis apapun, ‘lugu’. Sehingga, persinggungan pemaknaan agama dan cara beragama dicarikan nilai esensialnya yang tertabir oleh selubung waktu itu.

Penulis sendiri hendak membidik wilayah polemik Sunni-Syi`ah yang—setidaknya—memerlukan pemaknaan baru, terutama gagasan Imam Mahdi (Al-Mahdi Al-Muntadzar) dan kaitannya dengan prinsip-prinsip teologis. Mengingat, terma ini menjadi pembeda tegas antara keduanya, pelambang ideologi. Ada proses epistemifikasi yang memerlukan penjernihan, dalam batas yang memungkinkan. Paling tidak, menghadirkan semacam kesadaran, wacana, atau malah gerakan ke arah rekonsiliasi Sunni-Syi`ah sedari pijakan penanda prinsipilnya.

Pada Muktamar Ilmiah yang membincang sejarah panjang sekte Syi`ah di Istambul-Turki (1993), Dr. Ali Auzak menjelaskan bahwa pembeda tegas paling prinsipil antara Sunni-Syi`ah, khususnya Syi`ah Itsna ‘Asyariyyah yang notabene menjadi sekte Islam-Syi`ah terbesar saat ini, hanyalah terkait gagasan Imamologi. Bangunan ideologi sekte Syi`ah berkelindan kuat dengan bagaimana mereka mengartikulasikan keyakinan dan akidah yang memijak pada konsep Imamologi. Bahkan lebih dari itu, bias Imamologi turut serta menjadikan pemaknaan nabi dan imam memiliki kesamaan fungsi, baik sebagai penerima wahyu, penyampai pesan Tuhan, penafsir ayat (syâri`), hingga dicitrakan sebagai pribadi yang terjaga dari perbuatan dosa (`ishmah). Imam dihadapan Nabi Muhammad saw. dianalogikan seperti Nabi Harun dihadapan Musa. Imam juga menjadi otoritas tunggal yang bertanggung jawab atas urusan politik, hukum, ekonomi, sosial, dan urusan duniawi lainnya. Pada titik ini, benturan ideologi menjadi sebuah keniscayaan, terutama kaitannya dengan konsep nabi pamungkas (khtimiyyat al-nubuwwah). Selain terma itu, akar paradigmatik ulûhiyah (teologi), nubuwwah (apostleship), maunpun ma`âd (kosmologi) cenderung memiliki ‘kesamaan’.

Menurut menelusuran Ahmad Al-Katib dalam buku Al-Tasyayyu` Al-Siyâsiy wa Al-Tasyayyu` Al-Dîniy, istilah Imamologi (Al-Imâmiyyah) yang merujuk pada ide kehadiran juru selamat yang dijanjikan Tuhan (Al-Imâmah Al-Ilâhiyah/The Devine Guidance), baru muncul akhir Abad ke-3. Pemaknaannyapun mengalami kembang-kempis paradigma, terutama ketika memasuki masa ketiadaan imam (`ashr al-ghâibah). Pemaknaan Imamologi menjadi tak tampil serupa di tiap masa, memiliki banyak wajah. Ia dipahami sebagai salah satu pilar akidah Islam yang menegaskan keislaman seseorang pada awal kemunculan ideologi Syi`ah. Pada tahun 1991 Ayatullah Makarim Syairaziy pernah membuat pernyataan, paling tidak mewacanakan, bahwa Imamologi hanya sebatas syarat pengakuan (sumpah setia) pengikut Syi`ah saja, atau semacam kesadaran politik-sektarian. Pada titik ini, problem mendasar lebih mengacu pada pertanyaan, apakah Imamologi merupakan kenyataan sejarah ataukah sebatas imajinasi sosial (ilusi), sebagai pelambang sektarian? Lantas, bagaimana dinamika pergeseran makna Imamologi sepanjang sejarah dogmanya?

Layaknya sebuah benih yang menjadi cikal-bakal tetumbuhan, gerakan Syi`ah berawal dari keyakinan yang teramat sederhana; bahwa tampuk kepemimpinan Islam adalah hak bagi sahabat Ali dan keturunannya. Belum terbesit adanya perampasan hak kepemimpinan pasca wafatnya Nabi saw. oleh sahabat Abu bakar, Umar, ataupun Utsman. Peristiwa suksesi kepemimpinan pasca wafat Nabi saw. hanya sebatas problem prioritas dan nilai keutamaan belaka. Pada abad ke-1 H. hingga awal abad ke-2 H., Syi`ah sendiri hanya sebatas gerakan-gerakan politik para loyalis sahabat Ali yang berkonfrontasi langsung dengan Muawiyyah dan Dinasti Umawiyyah terkait khilafah, tidak lebih. Sekalipun ketika sekte Syi`ah berada di bawah tampuk kepemimpinan Imam Muhammad Al-Baqir ataupun Imam Ja`far Al-Shadiq, pemaknaannya tak pernah bergeser dari konteks politik-kekuasaan. Yang terjadi hanya sebatas pendakuan atas keutamaan diri, bahkan Imam Al-Shadiq menolak bentuk pengkultusan sekte Syi`ah Kufah terhadapnya. Tidak ada, bahkan tidak pernah dicari, justifikasi apapun yang secara langsung mengarah pada konsep Imamologi, dengan memijakan diri pada teks, `ishmah, ataupun wasiat Nabi saw secara tersurat. Konsep kepemimpinan masih menggunakan cara-cara pemilihan melalui musyawarah.

Fanatisme terhadap Ahlul Bait mulai menyeruak semenjak hegemoni Dinasti Umayyah semakin mengakar. Pada tahun 122 H., gerakan revolusi di Kuffah membuncah atas komando Imam Zaid ibn Ali. Kemudian terjadi kembali pada tahun 125 H. atas komando Yahya ibn Zaid. Puncak badai revolusi meletus pada tahun 128 H. yang dikomandoi oleh Abdullah ibn Muawiyah ibn Abdullah ibn Ja`far Al-Thayyar. Semua loyalis Syi`ah yang tersebar di beberapa kawasan, seperti Irak, Ray, Ishfahan, Persia (Iran), dan kawasan lainnya, bersatu-padu. Gerakan revolusi yang berpusat di darah Isfahan ini sendiri merupakan bentuk resistensi terhadap Dinasti Umayyah, sekaligus mengajak semua simpatisan Syi`ah menegaskan keutamaan Ahlul Bait untuk menjadi pemimpin umat Islam.

Di tengah gejolak revolusi tersebut, sekelompok teolog Syi`ah Kuffah, seperti Hisyam ibn Salim Al-Jawaliqiy, Muhammad ibn Ali Al-Nu`man, dan Abu Bashir Al-Muradiy, melakukan proses epistemifikasi gagasan Imamologi. Pada titik ini, gerakan Syi`ah mengalami semacam pijakan yang berbeda. Syi`ah tidak lagi sebatas representasi gerakan politik Ahlul Bait, namun lebih jauh, menjadi gerakan ideologis dalam mendapatkan otoritas dan dominasinya di kalangan umat Islam. Maka, sejarah perkembangan sekte Syi`ah, selain pada otoritas politik (al-sulthah al-siyâsiyah), gagasan Imamologi mulai memijakan diri pada otoritas ilmu (al-sulthah al-ma`rifiyyah). Pembenarannya tidak lagi sekedar keyakinan atas hak khalifah yang diberangus, namun juga terkait bagaimana proses epistemifikasi ideologi tersebut. Pada titik inilah, pelacakan akar paradigmatik Imamologi, baik pembacaan menalui pendekatan teologis maupun teks keagamaan, menjadi penting dalam memahami sekte Syi`ah. Mengingat kesadaran Imamologi tanpa mejernihkan kandungan motif-motif historis yang tertabir di baliknya, pada tahapan tertentu, justru malah mengaburkan batas mitos dengan agama itu sendiri, batas ilusi dengan kenyataan sejarah. Dinamika Imamologi menjadi tidak sesederhana mitologi.

Proses epistemifikasi Imamologi memijak pada gerakan revolusi iman (al-tsaurah al-îmâniyyah), bukan revolusi syariat (al-tsaurah al-syar`iyyah) sebagaimana dilakukan Sunni yang notabene memiliki ‘keintiman’ tersendiri dengan Dinasti Umayyah. Sederhananya, sekte Sunni mendapatkan suaka ideologis dari otoritas politik-kekuasaan, menjadikan mereka tak banyak tersibuki oleh permasalahan teologis, kecuali hanya proses normalisasi ataupun domestifikasi gagasana sebagai sebuah ilmu, atau malah ideologi!?.

Walaupun bergerak ke arah pengkultusan sosok Imam semenjak gerakan teolog Kuffah tadi, sejarah Imamologi yang mengakar dalam tradisi Syi`ah sendiri pada dasarnya memiliki banyak wajah. Namun di sini penulis akan membidik Imamologi yang berkembang pada sekte Syi`ah Itsna `Asyariyyah, mengingat sebagai sekte yang masih eksis hingga saat ini, bangunan epistemologi Imamologi mengalami titik kulminasinya pada sekte tersebut. Imajinasi sosial menggiring kesadaran mereka pada sosok Muhammad ibn Al-Hasan Al-`Askariy sebagai imam ke-12 yang mereka juluki sebagai Al-Mahdiy Al-Muntadzar, atau dalam mitologi Jawa, sosok semacam itu biasanya dicitrakan sebagai Satria Piningit.

Kemunculan Imamologi tentu memiliki konsekuensi logis tersendiri, atau paling tidak mensyaratkan bangunan teologis yang mapan. Dalam hal ini, mereka bergerak dari dua arah; legitimasi menggunakan penalaran ilmu kalâm (spekulasi filosofis) dan interpretasi teks. Kenyataan bahwa bangunan teologi Sunni cukup mendapatkan dukungan otoritas kekuasaan Dinasti Umayyah—tanpa mempertimbangkan siapa mempengaruhi siapa, ternyata cukup ‘mengganggu’ kesadaran sekelompok teolog Syi`ah. Semtimen politik-sektarian tergeret pada lahan-lahan ideologis, dengan melakukan epistemifikasi teologis yang memijak pada gagasan Imamologi. Tiap interpretasi teks ataupun arah rasionalitas selalu mengalami bias Imamologi, semacam keterlibatan sedari nilai paling prinsipil dalam mengartikulasikan agama. Prinsip teologi Syi`ah sendiri memiliki banyak kemiripan dengan sekte Muktazilah, walaupun dalam corak rasionalitas yang berbeda; model interpretasi Sekte Syi`ah lebih mengarah pada pendekatan rasionalitas gnostik (al-`aql irfâniy/mysticism).

Akar logika Imamologi mengandaikan keniscayaan adanya imam (pemimpin) di muka bumi; sebagai pribadi yang terjaga dari perbuatan dosa (`ishmah), layaknya nabi. Imam merupakan rantai keturunan yang bermula dari sahabat Ali. Setelah peristiwa Karbala, pewarisan imam tidak bisa turun kepada kerabat, namun terbatas pada keturunan Husain. Terakhir, harus meyakini kematian Imam Al-Hasan Al-`Askariy dan tertabirnya Imam Muhammad Al-Hasan Al-`Askariy di mata sejarah.

Elemen-elemen inilah yang kemudian diteoritisasikan menjadi semacam dogma oleh para teolog, semisal Al-Shuduq (381 H.) dalam kitab Al-Tanbîh dan Ikmâl Al-Dîn, Al-Mufid (413 H.) dalam kitab Al-Irsyâd, dan Al-Thusi (460 H.) dalam kitab Talkhîs Al-Syâfiy. Hal ini tentunya tidak semata spekulasi filosofis saja, namun memijak juga pada legitimasi teks wahyu yang mengalami proses interpreasi sedemikian rupa. Dalam riwayat hadits Gadîr Kham yang penulis kutip dimuka, misalkan, perawi hadits tersebut, oleh Ali Ahmad Salus dalam ensiklopedi yang berjudul Ma`a Al-Itsna `Asyariyyah fî Al-Ushûl wa Al-Furû`, terbilang lemah (dla`if), walaupun secara matan terkategorikan hadits shahih. Hal ini tentu sedikit-banyak mempengaruhi cara menginterpretasikannya. Pada titik ini, problemnya mengarah pada sosok imam sendiri yang justru mengalami kekaburan antara ilusi ataukah kenyataan sejarah yang sama-sama memijak pada totalitas keimanan, beserta wajah-wajah interpretasinya.

Untuk memotret hal tersebut, penulis meminjam analisa Weber yang mengatakan bahwa, otoritas mempunyai tiga bentuk dasar: tradisional, rasional-legal, dan karismatik. Bentuk tradisional cenderung memijak pada nilai-nilai sakral leluhur yang dipercayai suatu komunitas. Bentuk legal merupakan potret rasionalisasi dan kontekstualisasi prilaku sosial, sesuai dengan negosiasi, kesepakatan, ataupun kontrak sosial di dalamnya, sebagai sebuah kebenaran kolektif yang terlembagakan. Adapun bentuk karisma lebih pada kualitas kepribadian seseorang tertentu yang dianggap luar biasa, berbeda dari manusia biasanya. Ia membutuhkan totalitas kepercayaan sedari alam bawah sadarnya. Hanya saja permasalahan dan justru menjadi akar instabilitas sosial dari otoritas karismatik ini terletak pada proses suksesi sosok karismatik, baik tersebab meninggal, tertabir, atau katakanlah terkucilkan dari ruang-ruang sosial populis (dominan).

Legitimasi teks dan spekulasi filosofis (ilmu kalâm) yang berperan besar dalam proses mitologisasi sosok imam, dalam perjalanan sejarahnya, cukup menghegemoni kesadaran sekte Syi`ah. Hal ini tentu memicu pergeseran nalar sosial masyarakat Syi`ah ke dalam bentuk otoritas karismatik. Sosok imam serta-merta terkultuskan, menjadi mitos sosial. Namun karena gagasannya memijak pada pembenaran teks wahyu dengan corak interpretasi menggunakan rasionalitas khasnya, kemudian mengendap dalam rentetan peristiwa sejarah, Imamologi berubah menjadi nilai etos; sebagai kenyataan diri dan mendapatkan akseptabilitas secara ‘komunal’.

Adapun pada masa ketiadaan imam, gagasan Imamologi cenderung hadir dalam potret negativitasnya; sebagai potret kemurungan sekte Syi`ah. Keemunculan Imam Al-Khumaini (1963) seolah menjadi penanda tokoh yang membawa serta angin perubahan yang cukup bingar dan ‘radikal’. Terjadi ledakan sosial, setelah sebelumnya mengambil jalan pengganti imam (nâib al-imâm) ataupun gagasan wilayâh al-faqîh yang dikomandoi Syah Nashiruddin (1896). Suara-suara revolusi menyeruak sebagai jawaban negarivitas perspektif Al-Mahdiy Al-Muntadzar. Kemurungan yang mengerak cukup lama di dinding kesadaran sekte Syi`ah menjadi titik balik arus perubahan dalam memaknai Imamologi. Bias Imamologi memang tetap ada dalam revolusi sekte Syi`ah, namun berproyeksi secara positif dan produktif.


Pada akhirnya, sejarah panjang sekte Syi`ah tentu tidak bisa digeneralisasa secara simplifikatif, alih-alih menjernihkan kekaburan antara imajinasi sosial dengan kenyataan sejarah. Terlalu banyak peristiwa yang tertabir oleh selubung waktu. Mengingat logika kebenaran sejarah, pada akhirnya, hanya memijak pada eviden. Terlalu banyak ‘kelainan-kelainan sosial’ tak terungkapkan yang harus dipendarkan, sebagai kenyataan yang tak terbaca. Ia memperdengarkan kehadirannya untuk sekedar dipahami, walaupun kenyataannya sering teracuhkan. Dan sudah menjadi tugas umat Islam bersama itu, lebih pada upaya rekonsiliasi, mendekatkan benggang yang menganga, mengakrabi kembali ikatan persaudaraan. Toh, ideologi juga selalu mengalami pergeseran makna, tidak sekeras apa yang terbayangkan. [Coffee Freak]