عن أبي عبد الرحميم الكندي, عن زاذان أبي عمر قال:
سمعت عليا في الرحبة وهو ينشد الناس: من شهد رسول الله يوم غدير خم وهو يقول ما
قال؟ فقام ثلاثة عشر رجلا فشهدوا أنهم سمعوا رسول الله وهو يقول: من كنت مولاه
فعلي مولاه
Sejarah manusia tak
pernah lepas dari konflik, terutama kaitannya dengan persinggungan ideologi.
Dan lagi, setiap persinggungan, konflik, sejatinya amat pilu untuk dikisahkan
ulang, bahkan mungkin para sejarawan harus menuliskannya dengan tinta darah. Tapi,
’tak ada realitas paling esensial bagi kesadaran-diri (manusia), selain
sejarah-diri’. Begitu satu waktu Karl Jasper ketika membincang manusia
dalam buku Way to Wisdom. Sepahit apapun, sejarah tetaplah rentetan
peristiwa yang harus dijernihkan, atau paling tidak diungkapkan, sebagai jejak
kesadaran peradaban yang nyata, drama manusia, sekalipun itu terkait peristiwa agama.
Agama sendiri bukan semata menyangkut hal-hal yang terbebas dari ide ruang-waktu
(metafisik). Agama—pada pemaknaan tertentu—juga merupakan sejarah ide, sejarah
ideologi. Agama mempunyai ingatannya, bingar oleh sejarahnya, sejarah yang pada
dimensi tertentu penuh intrik-intrik yang memicu konfrontasi, bahkan pada sesama
pemeluknya.
Memang, agama pada
titik yang tak terjelaskan rasionalitas manusia, tak terabstraksi imajinasi,
tentu merupakan keyakinan yang hadir dalam gerak intuitif manusia, keimanan.
Lalu apa yang bisa terungkapkan dari agama hanyalah lapisan paling luar dari iman
itu sendiri. Ia hanyalah potret pemahaman agama, sejarah pemaknaan agama,
rekaan-rekaan, hingga pengandaian manusia atas nilai tertinggi dari sesegala. Pemahaman
agama sedang digerakan dari keintiman paling diri, terungkapkan, kemudian
direlasikan pada kesadaran komunal. Agama tidak lagi hanya sekedar dorongan perasaan
saja, namun juga tentang ide-ide yang mewajahkan tiap pemaknaannya, atau dalam istilah
lain sebagai cognitive content (muatan kognitif) dalam agama. Pada
lapisan inilah, perwajahan iman terungkapkan dan terjelaskan, memasuki dimensi yang
cukup riuh dan bingar oleh ragam persinggungan ide, gesekan ideologi.
Ide menjadi tenaga agama
yang cukup hegemonial dalam mengartikulasikan nilai-nilai keimanan secara
aktualita. Namun pada tataran tertentu, ide justru kerap memicu konflik berkepanjangan,
terutama kapan kali agama dicitrakan sebagai ideologi yang keras dan tertutup. Wajar
saja, mengingat lapisan paling luar dari keimanan manusia menjadi tempat
muatan-muatan manusia terlibat dalam proses pemaknaannya. Maka, perlu kiranya
memahami terlebih dahulu bahwa iman selalu berwatak ganda, bergerak dari dua
titik sekaligus. Pertama, nilai keimanan yang bersifat—katakanlah—eksistensialis
(al-îmân al-wujûdiy), sebagai relasi manusia dengan Tuhan yang paling
intim, tak terjelaskan apa-apa. Kedua, relasi keimanan yang bersifat
historis (al-îmân al-târikiy), sebagai proyeksi nilai agama yang
bergerak dalam selubung ruang-waktu, terjelaskan melalui ekspresi keberagamaan
manusia. Lantas, kebenaran yang hadir hanyalah bersifat evidensi.
Dalam konteks sosial, iman
yang terungkapkan dalam selubung ruang-waktu, baik melalui ritual ataupun proyeksi
tata-nilai, selalu bergerak untuk menemukan legitimasi historis dan otoritas
yang membenarkannya. Tak pelak, gambaran realitas sosial—yang salah satu
elemennya terkait bagaimana nalar sosial memahami agama itu sendiri—terbentuk
melalui proses negosiasi yang berkesinambungan. Pemaknaan agama, baik bersifat nilai ataupun
ritual, memiliki dimensi historis dan manusiawi, atau dalam pemaknaan lain
ketika agama bisa dipahami dan
direlasikan secara komunal. Relasi iman semacam ini terjadi ketika terdapat
interaksi timbal-balik, baik antar individu maupun komunitas, yang mendapatkan
pembenaran otoritas tertentu. Jika proses negosiasi tersebut gagal, atau katakanlah
tertolak secara populis dan aklamatis (unacceptable), keyakinan paling
diri tadi menjadi tidak menemukan komunitasnya dalam sosial, teralienasi dari struktur
masyarakat yang paling dominan, atau katakanlah society without
societalisation. Walau demikian, alienasi tidak serta-merta melenyapkan
kehadirannya. Ia tetap ada dalam ketersembunyian eksistensialnya.
Menurut Max Weber, pola
relasi semacam ini merupakan akar formulasi nalar sosial yang diistilahkan
dengan ‘societalisation’ (vergesellschaftung), bukan lagi sebatas
‘society’ (gesellschaft). Selalu terjadi tarik-ulur yang riuh ketika
melakukan proses sosialisasi iman tadi. Tak ayal, konflik justru merupakan karakteristik
paling dasar sebuah relasi, bahkan yang bersifat permanen sekalipun, seperti
halnya relasi agama (iman). Akan selalu terjadi interaksi dan pamaknaan yang
bersifat dialektis secara berkesinambungan. Karena—meminjam analisa
Durkheim—agama tidak hanya sebatas totalitas iman saja, namun juga melibatkan
praktek ritual dan institusi (otoritas) yang melindungi dan membenarkan setiap
prilaku keberagamaan.
Berkaca dari
prinsip-prinsip semacam ini, persinggungan Sunni-Syi`ah bukanlah sesuatu yang mengherankan.
Justru yang malah membingungkan, ketika persinggungan semacam ini tidak
dicarikan titik relasionalnya. Bukankan proyeksi keimanan tidak semata untuk
dijelaskan, namun kejernihan pemaknaannya terjadi ketika itu dipahami, baik
dengan jalan memutar melalui ingatan-ingatan nostalgik yang mendekatkan umat
Islam kepada citra awal paling asali dari setiap fenomena agama, ataupun
interpretasi historis yang proporsional dan terbebas dari bias ideologis
apapun, ‘lugu’. Sehingga, persinggungan pemaknaan agama dan cara beragama
dicarikan nilai esensialnya yang tertabir oleh selubung waktu itu.
Penulis sendiri hendak
membidik wilayah polemik Sunni-Syi`ah yang—setidaknya—memerlukan pemaknaan
baru, terutama gagasan Imam Mahdi (Al-Mahdi Al-Muntadzar) dan kaitannya
dengan prinsip-prinsip teologis. Mengingat, terma ini menjadi pembeda tegas
antara keduanya, pelambang ideologi. Ada proses epistemifikasi yang memerlukan
penjernihan, dalam batas yang memungkinkan. Paling tidak, menghadirkan semacam
kesadaran, wacana, atau malah gerakan ke arah rekonsiliasi Sunni-Syi`ah sedari
pijakan penanda prinsipilnya.
Pada Muktamar Ilmiah
yang membincang sejarah panjang sekte Syi`ah di Istambul-Turki (1993), Dr. Ali
Auzak menjelaskan bahwa pembeda tegas paling prinsipil antara Sunni-Syi`ah, khususnya
Syi`ah Itsna ‘Asyariyyah yang notabene menjadi sekte Islam-Syi`ah
terbesar saat ini, hanyalah terkait gagasan Imamologi. Bangunan ideologi sekte
Syi`ah berkelindan kuat dengan bagaimana mereka mengartikulasikan keyakinan dan
akidah yang memijak pada konsep Imamologi. Bahkan lebih dari itu, bias
Imamologi turut serta menjadikan pemaknaan nabi dan imam memiliki kesamaan
fungsi, baik sebagai penerima wahyu, penyampai pesan Tuhan, penafsir ayat (syâri`),
hingga dicitrakan sebagai pribadi yang terjaga dari perbuatan dosa (`ishmah).
Imam dihadapan Nabi Muhammad saw. dianalogikan seperti Nabi Harun dihadapan
Musa. Imam juga menjadi otoritas tunggal yang bertanggung jawab atas urusan
politik, hukum, ekonomi, sosial, dan urusan duniawi lainnya. Pada titik ini,
benturan ideologi menjadi sebuah keniscayaan, terutama kaitannya dengan konsep
nabi pamungkas (khtimiyyat al-nubuwwah). Selain terma itu, akar
paradigmatik ulûhiyah (teologi), nubuwwah (apostleship), maunpun
ma`âd (kosmologi) cenderung memiliki ‘kesamaan’.
Menurut menelusuran
Ahmad Al-Katib dalam buku Al-Tasyayyu` Al-Siyâsiy wa Al-Tasyayyu` Al-Dîniy,
istilah Imamologi (Al-Imâmiyyah) yang merujuk pada ide kehadiran juru
selamat yang dijanjikan Tuhan (Al-Imâmah Al-Ilâhiyah/The Devine Guidance), baru
muncul akhir Abad ke-3. Pemaknaannyapun mengalami kembang-kempis paradigma,
terutama ketika memasuki masa ketiadaan imam (`ashr al-ghâibah). Pemaknaan
Imamologi menjadi tak tampil serupa di tiap masa, memiliki banyak wajah. Ia dipahami
sebagai salah satu pilar akidah Islam yang menegaskan keislaman seseorang pada
awal kemunculan ideologi Syi`ah. Pada tahun 1991 Ayatullah Makarim Syairaziy pernah
membuat pernyataan, paling tidak mewacanakan, bahwa Imamologi hanya sebatas
syarat pengakuan (sumpah setia) pengikut Syi`ah saja, atau semacam kesadaran politik-sektarian.
Pada titik ini, problem mendasar lebih mengacu pada pertanyaan, apakah
Imamologi merupakan kenyataan sejarah ataukah sebatas imajinasi sosial (ilusi),
sebagai pelambang sektarian? Lantas, bagaimana dinamika pergeseran makna
Imamologi sepanjang sejarah dogmanya?
Layaknya sebuah benih
yang menjadi cikal-bakal tetumbuhan, gerakan Syi`ah berawal dari keyakinan yang
teramat sederhana; bahwa tampuk kepemimpinan Islam adalah hak bagi sahabat Ali
dan keturunannya. Belum terbesit adanya perampasan hak kepemimpinan pasca
wafatnya Nabi saw. oleh sahabat Abu bakar, Umar, ataupun Utsman. Peristiwa suksesi
kepemimpinan pasca wafat Nabi saw. hanya sebatas problem prioritas dan nilai
keutamaan belaka. Pada abad ke-1 H. hingga awal abad ke-2 H., Syi`ah sendiri hanya
sebatas gerakan-gerakan politik para loyalis sahabat Ali yang berkonfrontasi
langsung dengan Muawiyyah dan Dinasti Umawiyyah terkait khilafah, tidak lebih. Sekalipun
ketika sekte Syi`ah berada di bawah tampuk kepemimpinan Imam Muhammad Al-Baqir
ataupun Imam Ja`far Al-Shadiq, pemaknaannya tak pernah bergeser dari konteks
politik-kekuasaan. Yang terjadi hanya sebatas pendakuan atas keutamaan diri,
bahkan Imam Al-Shadiq menolak bentuk pengkultusan sekte Syi`ah Kufah
terhadapnya. Tidak ada, bahkan tidak pernah dicari, justifikasi apapun yang
secara langsung mengarah pada konsep Imamologi, dengan memijakan diri pada teks,
`ishmah, ataupun wasiat Nabi saw secara tersurat. Konsep kepemimpinan
masih menggunakan cara-cara pemilihan melalui musyawarah.
Fanatisme terhadap
Ahlul Bait mulai menyeruak semenjak hegemoni Dinasti Umayyah semakin mengakar. Pada
tahun 122 H., gerakan revolusi di Kuffah membuncah atas komando Imam Zaid ibn
Ali. Kemudian terjadi kembali pada tahun 125 H. atas komando Yahya ibn Zaid.
Puncak badai revolusi meletus pada tahun 128 H. yang dikomandoi oleh Abdullah
ibn Muawiyah ibn Abdullah ibn Ja`far Al-Thayyar. Semua loyalis Syi`ah yang
tersebar di beberapa kawasan, seperti Irak, Ray, Ishfahan, Persia (Iran), dan
kawasan lainnya, bersatu-padu. Gerakan revolusi yang berpusat di darah Isfahan ini
sendiri merupakan bentuk resistensi terhadap Dinasti Umayyah, sekaligus
mengajak semua simpatisan Syi`ah menegaskan keutamaan Ahlul Bait untuk menjadi
pemimpin umat Islam.
Di tengah gejolak
revolusi tersebut, sekelompok teolog Syi`ah Kuffah, seperti Hisyam ibn Salim
Al-Jawaliqiy, Muhammad ibn Ali Al-Nu`man, dan Abu Bashir Al-Muradiy, melakukan
proses epistemifikasi gagasan Imamologi. Pada titik ini, gerakan Syi`ah
mengalami semacam pijakan yang berbeda. Syi`ah tidak lagi sebatas representasi
gerakan politik Ahlul Bait, namun lebih jauh, menjadi gerakan ideologis dalam
mendapatkan otoritas dan dominasinya di kalangan umat Islam. Maka, sejarah perkembangan
sekte Syi`ah, selain pada otoritas politik (al-sulthah al-siyâsiyah), gagasan
Imamologi mulai memijakan diri pada otoritas ilmu (al-sulthah
al-ma`rifiyyah). Pembenarannya tidak lagi sekedar keyakinan atas hak
khalifah yang diberangus, namun juga terkait bagaimana proses epistemifikasi
ideologi tersebut. Pada titik inilah, pelacakan akar paradigmatik Imamologi,
baik pembacaan menalui pendekatan teologis maupun teks keagamaan, menjadi
penting dalam memahami sekte Syi`ah. Mengingat kesadaran Imamologi tanpa
mejernihkan kandungan motif-motif historis yang tertabir di baliknya, pada
tahapan tertentu, justru malah mengaburkan batas mitos dengan agama itu
sendiri, batas ilusi dengan kenyataan sejarah. Dinamika Imamologi menjadi tidak
sesederhana mitologi.
Proses epistemifikasi Imamologi
memijak pada gerakan revolusi iman (al-tsaurah al-îmâniyyah), bukan
revolusi syariat (al-tsaurah al-syar`iyyah) sebagaimana dilakukan Sunni
yang notabene memiliki ‘keintiman’ tersendiri dengan Dinasti Umayyah. Sederhananya,
sekte Sunni mendapatkan suaka ideologis dari otoritas politik-kekuasaan, menjadikan
mereka tak banyak tersibuki oleh permasalahan teologis, kecuali hanya proses
normalisasi ataupun domestifikasi gagasana sebagai sebuah ilmu, atau malah
ideologi!?.
Walaupun bergerak ke
arah pengkultusan sosok Imam semenjak gerakan teolog Kuffah tadi, sejarah
Imamologi yang mengakar dalam tradisi Syi`ah sendiri pada dasarnya memiliki
banyak wajah. Namun di sini penulis akan membidik Imamologi yang berkembang
pada sekte Syi`ah Itsna `Asyariyyah, mengingat sebagai sekte yang masih eksis hingga
saat ini, bangunan epistemologi Imamologi mengalami titik kulminasinya pada
sekte tersebut. Imajinasi sosial menggiring kesadaran mereka pada sosok
Muhammad ibn Al-Hasan Al-`Askariy sebagai imam ke-12 yang mereka juluki sebagai
Al-Mahdiy Al-Muntadzar, atau dalam mitologi Jawa, sosok semacam itu biasanya
dicitrakan sebagai Satria Piningit.
Kemunculan Imamologi tentu
memiliki konsekuensi logis tersendiri, atau paling tidak mensyaratkan bangunan
teologis yang mapan. Dalam hal ini, mereka bergerak dari dua arah; legitimasi menggunakan
penalaran ilmu kalâm (spekulasi filosofis) dan interpretasi teks. Kenyataan
bahwa bangunan teologi Sunni cukup mendapatkan dukungan otoritas kekuasaan
Dinasti Umayyah—tanpa mempertimbangkan siapa mempengaruhi siapa, ternyata cukup ‘mengganggu’ kesadaran
sekelompok teolog Syi`ah. Semtimen politik-sektarian tergeret pada lahan-lahan
ideologis, dengan melakukan epistemifikasi teologis yang memijak pada gagasan
Imamologi. Tiap interpretasi teks
ataupun arah rasionalitas selalu mengalami bias Imamologi, semacam keterlibatan
sedari nilai paling prinsipil dalam mengartikulasikan agama. Prinsip teologi Syi`ah sendiri memiliki banyak
kemiripan dengan sekte Muktazilah, walaupun dalam corak rasionalitas yang berbeda; model interpretasi
Sekte Syi`ah lebih mengarah pada pendekatan rasionalitas gnostik (al-`aql
irfâniy/mysticism).
Akar logika Imamologi
mengandaikan keniscayaan adanya imam (pemimpin) di muka bumi; sebagai pribadi
yang terjaga dari perbuatan dosa (`ishmah), layaknya nabi. Imam merupakan
rantai keturunan yang bermula dari sahabat Ali. Setelah peristiwa Karbala,
pewarisan imam tidak bisa turun kepada kerabat, namun terbatas pada keturunan
Husain. Terakhir, harus meyakini kematian Imam Al-Hasan Al-`Askariy dan
tertabirnya Imam Muhammad Al-Hasan Al-`Askariy di mata sejarah.
Elemen-elemen inilah
yang kemudian diteoritisasikan menjadi semacam dogma oleh para teolog, semisal Al-Shuduq
(381 H.) dalam kitab Al-Tanbîh dan Ikmâl Al-Dîn, Al-Mufid (413
H.) dalam kitab Al-Irsyâd, dan Al-Thusi (460 H.) dalam kitab Talkhîs
Al-Syâfiy. Hal ini tentunya tidak semata spekulasi filosofis saja, namun
memijak juga pada legitimasi teks wahyu yang mengalami proses interpreasi sedemikian
rupa. Dalam riwayat hadits Gadîr Kham yang penulis kutip dimuka,
misalkan, perawi hadits tersebut, oleh Ali Ahmad Salus dalam ensiklopedi yang
berjudul Ma`a Al-Itsna `Asyariyyah fî Al-Ushûl wa Al-Furû`, terbilang
lemah (dla`if), walaupun secara matan terkategorikan hadits shahih.
Hal ini tentu sedikit-banyak mempengaruhi cara menginterpretasikannya. Pada
titik ini, problemnya mengarah pada sosok imam sendiri yang justru mengalami kekaburan antara
ilusi ataukah kenyataan sejarah yang sama-sama memijak pada totalitas keimanan,
beserta wajah-wajah interpretasinya.
Untuk memotret hal
tersebut, penulis meminjam analisa Weber yang mengatakan bahwa, otoritas
mempunyai tiga bentuk dasar: tradisional, rasional-legal, dan karismatik. Bentuk
tradisional cenderung memijak pada nilai-nilai sakral leluhur yang dipercayai
suatu komunitas. Bentuk legal merupakan potret rasionalisasi dan
kontekstualisasi prilaku sosial, sesuai dengan negosiasi, kesepakatan, ataupun
kontrak sosial di dalamnya, sebagai sebuah kebenaran kolektif yang
terlembagakan. Adapun bentuk karisma lebih pada kualitas kepribadian seseorang
tertentu yang dianggap luar biasa, berbeda dari manusia biasanya. Ia
membutuhkan totalitas kepercayaan sedari alam bawah sadarnya. Hanya saja permasalahan dan justru menjadi akar instabilitas
sosial dari otoritas karismatik ini terletak pada proses suksesi sosok
karismatik, baik tersebab meninggal, tertabir, atau katakanlah terkucilkan dari
ruang-ruang sosial populis (dominan).
Legitimasi teks dan
spekulasi filosofis (ilmu kalâm) yang berperan besar dalam proses
mitologisasi sosok imam, dalam perjalanan sejarahnya, cukup menghegemoni
kesadaran sekte Syi`ah. Hal ini tentu memicu pergeseran
nalar sosial masyarakat Syi`ah ke dalam bentuk otoritas karismatik. Sosok imam
serta-merta terkultuskan, menjadi mitos sosial. Namun karena gagasannya memijak
pada pembenaran teks wahyu dengan corak interpretasi menggunakan rasionalitas
khasnya, kemudian mengendap dalam rentetan peristiwa sejarah, Imamologi berubah
menjadi nilai etos; sebagai kenyataan diri dan mendapatkan akseptabilitas
secara ‘komunal’.
Adapun pada masa
ketiadaan imam, gagasan Imamologi cenderung hadir dalam potret negativitasnya;
sebagai potret kemurungan sekte Syi`ah. Keemunculan Imam Al-Khumaini (1963) seolah
menjadi penanda tokoh yang membawa serta angin perubahan yang cukup bingar dan
‘radikal’. Terjadi ledakan sosial, setelah sebelumnya mengambil jalan pengganti
imam (nâib al-imâm) ataupun gagasan wilayâh al-faqîh yang dikomandoi
Syah Nashiruddin (1896). Suara-suara revolusi menyeruak sebagai jawaban
negarivitas perspektif Al-Mahdiy Al-Muntadzar. Kemurungan yang mengerak
cukup lama di dinding kesadaran sekte Syi`ah menjadi titik balik arus perubahan
dalam memaknai Imamologi. Bias Imamologi memang tetap ada dalam revolusi sekte
Syi`ah, namun berproyeksi secara positif dan produktif.
Pada akhirnya, sejarah
panjang sekte Syi`ah tentu tidak bisa digeneralisasa secara simplifikatif,
alih-alih menjernihkan kekaburan antara imajinasi sosial dengan kenyataan
sejarah. Terlalu banyak peristiwa yang tertabir oleh selubung waktu. Mengingat logika
kebenaran sejarah, pada akhirnya, hanya memijak pada eviden. Terlalu banyak ‘kelainan-kelainan
sosial’ tak terungkapkan yang harus dipendarkan, sebagai kenyataan yang tak
terbaca. Ia memperdengarkan kehadirannya untuk sekedar dipahami, walaupun
kenyataannya sering teracuhkan. Dan sudah menjadi tugas umat Islam bersama itu,
lebih pada upaya rekonsiliasi, mendekatkan benggang yang menganga, mengakrabi
kembali ikatan persaudaraan. Toh, ideologi juga selalu mengalami pergeseran makna, tidak sekeras apa yang
terbayangkan. [Coffee Freak]
IMAM MAHDI MENYERU:
BENTUKLAH PASUKAN FI SABILILLAH DISETIAP DESA
SAMBUTLAH UNDANGAN GUBERNUR MILITER ISLAM
Untuk para Rijalus Shaleh dimana saja kalian
berada,
bukankah waktu subuh sudah dekat? keluarlah
dan hunuslah senjata kalian.
Firman Allah: at-Taubah 38, 39
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
jika dikatakan orang kepadamu: “Berperanglah
kamu pada jalan Allah”, lalu kamu berlambat-
lambat (duduk) ditanah? Adakah kamu suka
dengan kehidupan didunia ini daripada akhirat?
Maka tak adalah kesukaan hidup di dunia,
diperbandingkan dengan akhirat, melainkan
sedikit
sekali. Jika kamu tiada mahu berperang,
nescaya Allah menyiksamu dengan azab yang
pedih dan Dia akan menukar kamu dengan kaum
yang lain, sedang kamu tiada melarat kepada
Allah sedikit pun. Allah Maha kuasa atas
tiap-tiap sesuatu.
Firman Allah: al-Anfal 39
Dan perangilah mereka sehingga tidak ada
fitnah lagi, dan jadilah agama untuk Allah.
Peraturan dan undang-undang ciptaan manusia
itu adalah kekufuran, dan setiap kekufuran itu
disifatkan Allah sebagai penindasan,
kezaliman, ancaman, kejahatan dan kerusakan
kepada manusia di bumi.
Allah Memerintahkan Kami untuk menghancurkan
dan memerangi Pemerintahan dan kedaulatan
Sekular-Nasionalis-Demokratik-Kapitalis yang
mengabdikan manusia kepada sesama manusia
karena itu adalah FITNAH
Firman Allah: al-Hajj 39, 40
Telah diizinkan (berperang) kepada orang-orang
yang diperangi, disebabkan mereka dizalimi.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untuk menolong
mereka itu. Iaitu
orang-orang yang diusir dari negerinya, tanpa
kebenaran, melainkan karena mengatakan: Tuhan
kami ialah Allah
Firman Allah: an-Nisa 75
Mengapakah kamu tidak berperang di jalan Allah
untuk (membantu) orang-orang tertindas. yang
terdiri daripada lelaki, perempuan-perempuan
dan kanak-kanak .
Dan penindasan itu lebih besar dosanya
daripada pembunuhan(al-Baqarah 217)
Firman Allah: at-Taubah 36, 73
Perangilah orang-orang musyrik semuanya
sebagai mana mereka memerangi kamu semuanya.
Ketahuilah bahawa Allah bersama orang-orang
yang taqwa. Wahai Nabi! Berperanglah terhadap
orang-orang kafir dan munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka.
Firman Allah: at-Taubah 29,
Perangilah orang-orang yang tidak beriman,
mereka tiada mengharamkan apa yang diharamkan
Allah dan Rasul-Nya dan tiada pula beragama
dengan agama yang benar, (iaitu) diantara
ahli-ahli kitab, kecuali jika mereka membayar
jizyah dengan tangannya sendiri sedang mereka
orang yang tunduk..
Bentuklah secara rahasia Pasukan Jihad Perang
setiap Regu minimal dengan 3 Anggota maksimal
12 anggota per desa / kampung.
Siapkan Pimpinan intelijen Pasukan Komando
Panji Hitam secara matang terencana, lakukan
analisis lingkungan terpadu.
Apabila sudah terbentuk kemudian Daftarkan
Regu Mujahid
ke Markas Besar Angkatan Perang Pasukan
Komando Bendera Hitam
Negara Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah
Melayu
Mari Bertempur dan Berjihad dalam Naungan
Pemerintah Khilafah Islam, berpalinglah dari
Nasionalisme (kemusyrikan)
Masukan Kode yang sesuai dengan Bakat Karunia
Allah yang Antum miliki.
301. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Pembunuh Thogut / Tokoh-tokoh Politik
Musuh Islam
302. Pasukan Bendera Hitam Batalion Serbu
- ahli segala macam pertempuran
- ahli Membunuh secara cepat
- ahli Bela diri jarak dekat
- Ahli Perang Geriliya Kota dan Pegunungan
303. Pasukan Bendera Hitam Batalion Misi
Pasukan Rahasia
- Ahli Pelakukan pengintaian Jarak Dekat /
Jauh
- Ahli Pembuat BOM / Racun
- Ahli Sandera
- Ahli Sabotase
304. Pasukan Bendera Hitam
Batalion Elit Garda Tentara Khilafah Islam
305. Pasukan Bendera Hitam Batalion Pasukan
Rahasia Cyber Death
- ahli linux kernel, bahasa C, Javascript
- Ahli Gelombang Mikro / Spektrum
- Ahli enkripsi cryptographi
- Ahli Satelit / Nuklir
- Ahli Pembuat infra merah / Radar
- Ahli Membuat Virus Death
- Ahli infiltrasi Sistem Pakar
email : seleksidim@yandex.com atau
email : angsahitam@inbox.com
DEKLARASI PERANG PENEGAKKAN DINUL ISLAM
DISELURUH DUNIA
Bismillahir Rahmanir Rahiim
Dengan Memohon Perlindungan dan Izin
Kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
Rabb Pemelihara dan Penguasa Manusia,
Raja Manusia yang Berhak Disembah Manusia.
Rabb Pemilik Tentara Langit dan Tentara Bumi
Pada Hari Ini : Yaumul Jum'ah 6 Jumadil Akhir 1436H
Markas Besar Angkatan Perang
Khilafah Islam Ad Daulatul Islamiyah Melayu
Mengeluarkan Pengumuman kepada
1. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Afrika
2. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Eropa
3. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Asia
4. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Asia Tenggara
5. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Amerika
6. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di benua Australia
7. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di Kutup Utara
8. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) yang hidup di Kutup Selatan
9. Seluruh Ummat Islam (Bangsa Islam) diseluruh Dunia
PENGUMUMAN DEKLARASI PERANG SEMESTA
Terhadap Seluruh Negara yang Tidak
Menggunakan Hukum Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah Rasulullah SAW.
Perang Penegakkan Dinuel Islam ini Berlaku disemua Pelosok Dunia.
MULAI HARI INI
YAUMUL JUM'AH 6 JUMADIL AKHIR 1436H
BERLAKULAH PERANG AGAMA
BERLAKULAH PERANG DINUL ISLAM ATAS DINUL BATHIL
BERLAKULAH HUKUM PERANG ISLAM DISELURUH DUNIA
MEMBUNUH DAN TERBUNUH FISABILILLAH
"Dan BUNUHLAH mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan USIRLAH mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
(Q.S: al-Baqarah: 191-193).
BUNUH SEMUA TENTARA , POLISI, INTELIJEN , MILISI SIPIL ,HAKIM DAN
BUNUH SEMUA PEJABAT SIPIL Pemerintah Negara Yang Memerintah dengan Hukum Buatan Manusia (Negara Kufar).
BUNUH SEMUA MEREKA-MEREKA MENDUKUNG NEGARA-NEGARA KUFAR DAN MELAKUKAN PERMUSUHAN TERHADAP ISLAM.
JANGAN PERNAH RAGU MEMBUNUH MEREKA sebagaimana mereka tidak pernah ragu untuk MEMBUNUH, MENGANIAYA DAN MEMENJARAKAN UMMAT ISLAM YANG HANIF.
INTAI, BUNUH DAN HANCURKAN Mereka ketika mereka sedang ada dirumah mereka jangan diberi kesempatan lagi.
GUNAKAN SEMUA MACAM SENJATA YANG ADA DARI BOM SAMPAI RACUN YANG MEMATIKAN.
JANGAN PERNAH TAKUT KEPADA MEREKA, KARENA MEREKA SUDAH SANGAT KETERLALUAN MENENTANG ALLAH AZZIZUJ JABBAR , MENGHINA RASULULLAH SAW, MENGHINA DAN MEMPERBUDAK UMMAT ISLAM.
BIARKAN MEREKA MATI SEPERTI KELEDAI KARENA MEREKA ADALAH THOGUT DAN PENYEMBAH THOGUT
HANCURKAN LULUHKAN SEMUA PENDUKUNG PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA KUFAR
DARI HULU HINGGA HILIR
HANYA SATU UNTUK KATA UNTUK BERHENTI PERANG,
MEREKA MENYERAH DAN MENJADI KAFIR DZIMNI.
DAN BERDIRINYA KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH.
KHALIFAH IMAM MAHDI.
Kemudian jika mereka berhenti dari memusuhi kamu, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah.
Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
maka tidak ada permusuhan (lagi),
kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Al-Baqarah : 192-193
SAMPAIKAN PESAN INI KESELURUH DUNIA,
KEPADA SEMUA ORANG YANG BELUM TAHU ATAU BELUM MENDENGAR
MARKAS BESAR ANGKATAN PERANG
KHILAFAH ISLAM AD DAULATUL ISLAMIYAH MELAYU
PANGLIMA ANGKATAN PERANG PANJI HITAM
Kolonel Militer Syuaib Bin Sholeh