fahmy farid p.

Masisir (sebutan untuk mahasiswa di Mesir), masih dan selalu tentang prilaku keseharian sebuah komunitas, [M]ahasiswa tegasnya. Layaknya sebuah ‘teks’ yang hidup, masisir selalu menyembunyikan misteri yang kadang kurang terbaca secara jeli bagi siapapun yang mencoba mendedahnya. Mengingat sebagai sebuah gerak fenomena sosial, bagaimanapun caranya, pembacaan yang hadir—hampir—selalu tidak utuh. Tulisan ini sendiri—boleh jadi—tidak sedang memotret dinamika masisir secara ‘telanjang’, karena analisa yang dilakukan juga terbilang ‘berjarak’. Walaupun demikian, sebuah fenomena tetaplah hal yang terbuka untuk menerima pembacaan. Sehingga masisir, dalam kapasitasnya sebagai sebuah ‘teks’ hidup, tetap memungkinkan untuk didekati dengan beragam cara.

Memang, perlu kehati-hatian di sini agar tidak menciderai prinsip-prinsip individu. Maka pijakan paling prinsipil ketika melakukan analisa sebuah prilaku ataupun tradisi secara lebih dekat, untuk memangkas jarak tadi, adalah kesiapan seorang pengkaji untuk menerima ‘kelainan’ yang muncul, mengenal diri dalam wujud yang lain. Karena selalu ada nilai-nilai universal yang bergerak, tarik-menarik, antara dimensi 'sofia' (teoritis) dan 'phrones' (aktualita-praksis) pada kesadaran tiap individu. Hanya saja ketika mengejawantah dalam sebuah prilaku, sebagian besar tunduk pada 'sensus communis' (konsensus). Kesepakatan prilaku inilah yang acap kali kurang tepat sasaran, lantas menjelma formal, sebagai arah prilaku yang menemukan ruang pembenarannya secara populis. Ketika itu terjadi, gerak komunitas menjadi tidak memadai. Tapi bagi penulis, gejala sosial yang sakit tersebut terbilang bersifat temporal, bukan metafisikal. Sehingga, laku perubahan merupakan kebermungkinan yang selalu terbuka.

Untuk itu, penulis di sini bukan akan melakukan penghakiman, namun semacam menawarkan wacana saja, agar setiap gerakan yang muncul memiliki arah prilaku yang jelas dan komunikatif. Bukankah untuk mencapai kata bijak membutuhkan komunikasi dua arah, bukan malah justifikasi searah saja? Sehingga ketepatan dalam membidik nilai-nilai kemanusiaan yang paling asali sekalipun muncul dari perspektif bersama.

Baiklah, diakui atau tidak, prilaku merupakan potret paling jujur dari sebuah arah kehendak. Hanya saja, sebuah prilaku tidak selalu hanya didasarkan pada yang benar, tapi sering pula pada yang mungkin. Sehingga hadir semacam potensi yang sangat terbuka bagi setiap individu masisir untuk melakukan penegasan diri, sesuai dengan potret yang mereka imajinasikan. Jika demikian, yang perlu dicermati secara hati-hati di sini tentang arah kehendak tadi. Artinya, jangan sampai terjadi disorientasi terlalu jauh dari dasar realitasnya yang paling prinsipil. Sehingga proyeksi yang hadir mampu mendefinisikan masisir sebagai mahasiswa sekaligus makhluk sosial secara proporsional.

Lantas dari apa yang penulis baca, dinamika masisir saat ini masih ada—untuk tidak mengatakan semua—yang berkutat pada ruang aburd. Potret absurditas dinamika yang paling sederhana bisa terlacak jelas, mulai dari peralihan fungsi, problem etika, pemerkosaan ruang publik, tata nilai yang mulai memudar, dan berjubel lainnya. Akumulasi dari itu semua telah menggiring pada potensi ‘ke-tidak-jujur-an’ ruang dinamika. Bahkan pada titik tertentu muncul semacam prilaku hegemonial, dengan mendudukan masisir sebatas objek untuk meluluskan hajat golongan secara ‘brutal’. Tak ayal, masisir bukan lagi tentang keutuhan dinamika manusia seutuhnya, namun selalu tentang dominasi, sentimen, hingga kuasa. Pada akhirnya, ruang publik telah menjadi ruang kepentingan, politis. Dari sini, gejala sosial yang tidak sehat menjadi konsekuensi yang niscaya, pun ruang publik menjadi semacam komunitas nir-ideal.

Mari kita analisa beberapa fenomena tadi—setidaknya—secara sederhana. Kenyataan yang tidak bisa terelakan dari sebuah komunitas adalah munculnya berbagai forum komunikasi antar individu maupun kecenderungan. Dalam hal ini, aktivitas masisir di media internet (facebook-misal) yang akan coba penulis dedah. Salah satu forum komunikasi mahasiswa yang tersedia adalah forum PPMI Mesir. Namun jika kita telisik, di dalamnya cenderung didominasi oleh iklan komersil yang sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai aktivitas kemahasiswaan. Ada semacam prilaku ‘brutal’ yang melabrak—bahkan sedari pengertian—batas-batas normatifnya, mulai dari fungsi, etika, bahkan prilaku pemerkosaan ruang publik yang disadari. Padahal, semestinya ada garis tegas yang bisa menjadi pembeda antara forum pendidikan dan—contohkanlah—forum ekonomi, sehingga tidak terjadi tumpang-tindih dan peralihan fungsi sebuah forum. Dan parahnya, komersialisasi mahasiswa semacam itu cenderung dibiarkan otoritas terkait, bahkan pada titik tertentu—bisa jadi—menemukan/mendapatkan ruang pembenarannya. Menyedihkan bukan?

Lain dari itu, jika menilik realitas sosial di lapangan, gejala komersialisasi juga terbilang cukup marak. Namun anehnya, menjamurnya komersialisasi mahasiswa ternyata berbanding terbalik dengan kuantitas kedatangan mahasiswa itu sendiri (terkait kualitas, itu tidak usah-lah kita pertanyakan di sini, toh semuanya sudah ‘menyadari’ hal itu). Artinya, jumlah pegiat ekonomi yang semakin menjamur tidak seimbang dengan jumlah kedatangan mahasiswa. Terlebih prilaku ini ditampilkan secara vulgar, kemudian dicari pembenarannya secara sepihak dalam ruang publik, tanpa komunikasi. Akhirnya, komunitas menjadi pincang. Tak ayal, gejala komersialisasi yang cenderung membabi-buta semacam ini—otomatis—akan mematikan dinamika yang berorientasi pada kemahasiswaan itu sendiri.

Mungkin itu semua tidak bisa mewakili dari sekian banyak sengkarut dinamika masisir. Tapi sebagai potret permisalan, hal ini bisa dijadikan pintu masuk untuk—setidaknya—melakukan usaha bersama dalam membenahi keropos yang menganga. Pendekatan komunikatif menjadi penting di sini, karena dinamika yang sehat terpotret melalui pemunculan perspektif dari ruang kesadaran bersama. Mengingat gejala-gejala tadi semakin menegaskan adanya pergeseran (pencerabutan) nilai secara sadar. Dan pantas jika muncul pembahasaan bahwa seminar, kajian keilmuan, diskusi, atau apapun yang berkelindan dengan prilaku mahasiswa, sedang ‘menggali kuburannya sendiri’. Jikapun ada aktivitas yang menunjang dunia akademis, cenderung instan dengan menggunakan propaganda-propaganda hiperbolik. Bukankah prilaku tidak bisa dibentuk hanya dalam hitungan hari? Lantas, dari mana sengkarut dinamika masisir ini harus dibenahi?

Dalam hal ini harus ada kesepakatan bersama terlebih dahulu bahwa, [m]ahasiswa tetap harus didudukan sebagai [M]ahasiswa secara utuh, bukan peranan yang lain. Ia adalah identitas yang paling asali dari sebuah komunitas masisir, identitas yang lebih dekat dengan dunia keilmuan, dunia baca-tulis. Di luar itu, seharusnya sebatas prilaku ataupun nilai pelengkap (tersier) saja, atau paling tidak sebatas kebutuhan sekunder, bukan malah menjadi prioritas utama (primer). Jika hal ini bisa dipahami sebagai dasar sebuah kesadaran sosial, tentu prilaku yang muncul tidak akan mengalami disorientasi yang terlalu jauh. Maka bagi penulis, hal pertama yang perlu dibenahi itu terkait pembenahan kesadaran berdinamika dalam ruang publik. Artinya harus ada pengakuan bersama terlebih dahulu bahwa setiap individu masisir perlu memiliki kemampuan abstraksi. Sehingga setiap peranan, secara tidak langsung, akan menemukan cara bagaimana membatasi diri. Dalam hal ini, otokritik memainkan peranan yang sangat penting agar prilaku yang hadir memiliki pendasaran moral yang kuat dan tata nilai yang tepat. Setelah itu, prilaku apapun, baik aktivitas kemahasiswaan ataupun laku sosial kemasyarakatan, dengan sendirinya menjadi proporsional. [ ]

fahmy farid p.

Muhammad saw. of Arabia ascended the highest Heaven and returned. I swear by God that if I had reached that point, I should never have returned.

[Abdul Quddus]

[ I ]

“Muhammad saw. telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, seadnainya aku telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi”. Menarik apa yang dikutip Muhammad Iqbal dari pernyataan Abdul Quddus (seorang sufi dari Ganggah) dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Bagi dia, satu kalimat ini mengandung perspektif sekaligus konsekuensi yang sangat tajam. Ada semacam dualisme yang hendak dimunculkan terkait perbedaan psikologis antara kesadaran profetik/kenabian (prophetic consciousness) dengan kesadaran mistik (mystic consciousness). Manusia yang menapaki lorong-lorong mistisisme pastilah enggan kembali lagi dari suasana syahdu, ketentraman jiwa yang ia peroleh dari ‘pengalaman tunggal’ (unitary experience) itu. Tapi kembalinya seorang nabi mengandung nilai lebih bagi tatanan sosial dan kebudayaan manusia. Ia menyisipkan diri dalam ruang-waktu untuk menjaga laku sejarah manusia, sekaligus menciptakan satu dunia ideal yang baru. Kembalinya nabi ke bumi selalu memberi arti kreatif. Jika memang kenyataannya demikian, maka harus ada pembacaan yang sangat jeli di sini, atau melakukan pembedaan tegas terlebih dahulu, sebelum masuk pada analisa dogma agama Islam terkait gagasan ‘Muhammad saw. sebagai nabi pamungkas’ (khâtam al-nabiyyîn), hingga dogma kesempurnaan agama. Karena, pencampuran dualisme di atas justru hanya akan menjerumuskan sesiapa pada kekaburan gagasan.

Jika menilik dalam tradisi sufistik, jeda pembeda ini mengarah pada dualisme al-nubuwwah dan al-wilayâh. Sehingga selain dicitrakan sebagai seorang nabi, pribadi Muhammad saw. juga harus merupakan seorang wali. Namun jika ditelisik dari tradisi filsafat, jeda pembedanya lebih pada gagasan al-nubuwwah dengan al-falsafah. Tak ayal, dengan berpijak pada tradisi filsafat ini, pribadi Muhammad saw. akan dicitrakan sebagai nabi sekaligus filsuf. Adanya perbedaan istilah yang terjadi dalam tradisi sufistik dengan filsafat ini tidak lepas dari pijakan konseptual terkait—meminjam istilah Al-Jabiri—struktur nalar Arab (Islam) yang ia bagi ke dalam tiga bentuk; al-`aql irfâniy (mistisisme), al-`aql al-bayâniy (nalar eksplikasi), dan al-`aql al-burhâniy (nalar demonstratif). Perbedaan semacam ini tentunya memiliki konsekuensi-konsekuensi diskursif yang cukup pelik, juga membutuhkan pembacaan yang sangat serius dan hati-hati. Pijakan paradigmatik lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah masalah entitas yang silih berpasangan. Misal, dalam tradisi bayâniy kita akan dihadapkan pada gagasan kata dan makna (al-lafdz wa al-ma`na) atau gagasan asal dan cabang (al-ashl wa al-far`). Sedangkan dalam tradisi mistisisme, entitas yang silih berpasangan ini tertuju pada gagasan lahir dan batin (al-dzâhir wa al-bâthin) ataupun nubuat dan perwalian (al-nubuwwah wa al-wilâyah).

Dalam tradisi keberagamaan, gagasan nubuat sendiri termasuk bagian dogma agama yang prinsipil. Ia adalah bagian dari sikap ketundukan, sikap keimanan. Gagasan ini akan mengarahkan siapapun pada ruang-ruang diskursif yang teramat luas. Tak ayal, sifat kenabian ini perlu dibaca secara perlahan dan hati-hati jika dikaitkan dengan beragam dimensi yang mencitrakannya. Seperti apakah sifat kenabian bisa didapatkan melalui laku penempaan jiwa, warisan, olah pikir, ataupun ibadah yang berkesinambungan? Sehingga setiap manusia memiliki kebermungkinan yang sangat luas dan terbuka untuk menjadi seorang nabi! Ataukah justru sebuah anugerah yang diberikan Allah swt. kepada manusia terpilih, tanpa bisa diusahakan sama sekali? Sehingga harus ada jeda pembeda antara pengalaman-kesadaran profetik dengan pengalaman-kesadaran mistik ataupun lelaku pematangan rasionalitas manusia! Akhirnya, tulisan ini hanyalah sedikit usaha penulis untuk menelisik persoalan-persoalan di atas, dengan mencoba melakukan pembacaan dari titik yang paling mungkin diabstraksi.

[ II ]

Gagasan nubuat dalam dogma agama Islam tersematkan pada Muhammad saw. sebagai sosok nabi (rasul), bahkan pamungkas. Untuk masuk pada gagasan nubuat ini, penulis sendiri akan memulai dari logika sederhana terlebih dahulu, definisi. Nabi, dalam perspektif paling primordial, bisa diartikan sebagai manusia yang diberi wahyu oleh Allah swt., baik diperintahkan untuk menyampaikannya ataupun tidak. Jika memang diperintahkan untuk menyampaikannya, ia disebut rasul. Walaupun sejatinya terdapat perbedaan definitif yang cukup beragam terkait nabi dan rasul ini, sebagaimana disinggung oleh—misal—Al-Mawardiy dalam kitab A`lâm Al-Nubuwwah, namun penulis tidak akan menaruh perhatian terlalu jauh dalam tarik-ulur definisi nabi dan rasul. Yang menjadi titik fokus penulis di sini bahwa bahwa, selain sebagai manusia dengan segala sifat manusiawinya, sosok Muhammad saw. juga selalu merupakan perpanjangan dan wicara Tuhan di muka bumi. Artinya, ada dimensi lain yang menjadikan Muhammad saw. bukan sebatas citra manusia biasa. Ia adalah manusia pilihan Tuhan untuk menyampaikan semua risalah-Nya.

Fakta bahwa Muhammad saw. tidak bisa disebut—secara dogmatik—manusia sebagaimana umumnya, tentu menggiring pada—setidaknya yang penulis amini—fakta penting lain bahwa dalam dirinya terdapat dua model pengalaman; al-tajribah al-bâthiniyyah dan al-tajribah al-khârijiyyah. Dua corak pengalaman ini merupakan pembentuk identitas paling asali dari pribadi Nabi saw. Abdul Karim Soroush menggunakan kedua istilah ini untuk memotret dua sisi kesadaran Muhammad saw. yang berbeda. Model pengalaman pertama (al-tajribah al-bâthiniyyah) merupakan potret pengalaman internal. Muhammad saw. dicitrakan sebagai manusia penerima wahyu. Pada titik ini ia tidak sedang berelasi dengan realitas, namun justru sedang menerobos dinding-dinding keterbatasan realitas indrawi, untuk kemudian menyelusup dalam ketakterbatasan segala hakikat yang masih tersembunyi. Ia menjadi wujud batin dari sebuah pengalaman religius, menembus terus sampai pada wujud diri yang paling intim dari manusia.

Memang, pengalaman profetik tidak mungkin bisa terwakili oleh untaian kata, sebagai pengalaman yang terbahasakan secara lugas. Artinya, ketika sebuah pengalaman religius terejawantahkan, tentunya akan bersifat dangkal serta lahiriah. Sedangkan pengalaman batin selalu menjadi potret yang intim dan dalam. Kenyataan ini telah menjadikan pengalaman kesadaran sebagai sesuatu yang istimewa. Namun sebuah pengalaman religius—dalam pemaknaan yang sangat luas—harus menjadi materi ketika ingin berelasi dengan dunia luar. Kesadaran batin yang bergerak ke luar perlu simbol. Hal ini kemudian terejawantahkan dalam bentuk syari`at, sebagai keniscayaan pemeliharaan suatu ide ataupun kesadaran batin. Maka Muhammad saw. bukan lagi sebatas nabi, tapi ia juga adalah rasul.

Fakta dogmatis yang menyatakan bahwa Muhammad saw. merupakan perpanjangan dan wicara Tuhan di muka bumi untuk menyampaikan semua ajaran-Nya, telah menjadikannya sebagai pribadi kreatif yang membentuk kebudayaan dunia. Ia menciptakan tata-nilai yang dimunculkan dari jiwa kerasulan yang ia peroleh dari Tuhan, bukan hasil olah pikir akal budi ataupun bisikan-bisikan gaib setan semata. Mempertimbangkan hal ini, model pengalaman kedua menjadi menarik untuk diperbincangkan, yaitu al-tajribah al-khârijiyyah (pengalaman eksternal). Muhammad saw. dicitrakan sebagai sosok pengatur tata-nilai (syari`at). Ia menjadi wujud lahiriah dari pengejawantahan pengalaman religius, menembus terus sampai pada wujud fenomena paling partikular di masanya.

Kembalinya Muhammad saw. dari langit tertinggi ke muka bumi inilah yang kemudian bisa dianggap sebagai pembuktian pragmatis dari proses mematerikan suatu pengalaman religius. Pada titik ini, Muhammad saw. sudah masuk dalam dimensi spatio-tempora (ruang-waktu). Sehingga hukum (syari`at) tidak lagi hanya sebatas dogma teologis yang bersifat metafisis, tapi juga bisa dilihat dari pengaruh penyelamatannya secara total. Ia menjadi wujud lahiriah yang berkesadaran di depan mata sejarah, berelasi dengan wujud indrawi. Sehingga, menyelidiki pengalaman religius Muhammad saw. bisa dilakukan dengan penyelidikan pola sifat manusia yang ia citrakan, serta kebudayaan dunia yang ia munculkan dari jiwa kerasulannya tadi. Tapi harus dipahami pula bahwa apa yang tersimbolkan dalam realitas bukanlah wujud paling intim dari wujud batin kesadaran Nabi saw.

[ III ]

Jika gagasan di atas—setidaknya—menemukan ruang pembenaran secara diskursif, maka permasalahan selanjutnya adalah apa yang tersisa bagi umat manusia ketika Muhammad saw. sudah wafat? Pertanyaan semacam ini bukan hendak menihilkan nilai-nilai dogmatis agama yang sudah ditegaskan kesempurnaannya melalui wahyu itu sendiri (Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu-Al-Maidah: 3). Tapi justru melacak arah lelaku agama ke depan. Bukankah satu masa, ketika para sahabat bersuka-cita atas ‘berita kesempurnaan’ agama, sesuatu yang selama ini mereka perjuangkan itu, sahabat Umar justru malah murung di sudut kenyataan seraya berkata: “Tidak ada yang tersisa setelah kesempurnaan kecuali kekurangan”. Selain sebagai isyarat bahwa ajal Muhammad saw. semakin dekat, hal ini tentu bisa dipahami sebagai penanda tegas kalaulah agama, pada titik tertentu, masih memiliki rongga yang cukup menganga dan memerlukan pemadatan. Keadaan realitas yang selalu berubah-ubah memaksa manusia untuk selalu memperbaharui sikap. Bahkan ditegaskan ulama semisal Ibn Miskawaih dalam Al-Hawâmil wa Al-Syawâmil hingga Al-Ghazali dalam Fadlâih Al-Bâthiniyyah, bahwa teks Wahyu tidak bisa meng-cover ragam fenomena keseharian manusia hingga bentuknya yang paling partikular dan unik, sesuai dengan kesadaran masanya.

Namun jangan dipahami bahwa keterbatasan teks Wahyu ini semerta menciutkan atau bahkan menghilangkan sifat dasarnya yang sakral itu. Karena jika kita pinjam analisa filsafat linguistika, keterbatasan bahasa dalam mengartikulasikan ragam fenomena manusia mempertimbangkan pengalaman nyata selalu lebih luas, lebih dalam, dan lebih rumit dari sekedar apa yang terbahasakan. Bahasa sepenuhnya kesulitan memotret keragaman itu dalam bentuk yang paling utuh, atau bahkan memang tidak bisa! Artinya, kesadaran religius Muhammad saw. yang terbahasakan justru sedang mengalami semacam penciutan makna. Sehingga ia membutuhkan gagasan lain untuk merelasikan kesadaran profetik itu agar berelasi dengan realitas dunia setelah beliau wafat. Tak ayal, dalam gagasan Iqbal, segala sesuatu itu menjadi karena memang harus selalu tak lagi seperti semula. Ia adalah [G]erak.

Pada titik ini, menjadi logis bahwa, selain menjadi nabi pamungkas, Muhammad saw. harus juga dicitrakan sebagai filsuf ataupun wali. Pertimbangannya, sifat kenabian tidak bisa didapatkan melalui laku penempaan jiwa ataupun olah pikir (bi al-iktisâb), tapi merupakan—berpijak pada perspektif `Ali Al-Shabuniy—anugerah Tuhan kepada manusia terpilih. Tentunya ini akan berbeda jika menelisik gagasan besar potret filsuf ataupun wali. Keduanya bisa diusahakan, sehingga setiap manusia memiliki kebermungkinan yang sangat luas dan terbuka di dalamnya. Gagasan inilah yang kedepannya menjadi pengikat risalah Tuhan agar tidak hilang dibunuh masa setelah wafatnya Muhammad saw. Tapi tentunya tidak bisa sesederhana demikian. Maka gagasan ini memerlukan penelusuran lebih lanjut, setidaknya dalam batas abstraksi yang penulis mampu hadirkan.

[ IV ]

Merujuk pada tradisi filsafat Islam, seorang nabi harus merupakan akumulasi potensi dasar manusia dalam bentuk yang paling sempurna dibandingkan manusia lainnya. Disinggung Al-Razi dalam buku Al-Mabâhits Al-Masyriqiyyah, seorang nabi harus memiliki tiga potensi; potensi akal budi (al-quwwah al-`âqliyyah), potensi imajinasi (al-quwwah al-khayâliyyah), dan potensi panca indra (al-quwwah al-hisiyyah). Ketiga potensi ini tentunya memiliki fungsinya masing-masing. Kesempurnaan akal budi pada diri nabi akan menghindarkannya dari kesalahan. Kesempurnaan daya imajinasi kreatif (creative imagination) menjadikan kondisi kejiwaan seorang nabi bisa melihat malaikat kemudian mendengar atau memahami sesuatu (wahyu) darinya. Sedangkan kesempurnaan indrawi menjadikan seorang nabi mempunyai kemampuan mengacak-acak tabiat kausalitas hukum alam (materi). Perspektif semacam ini juga diamini ‘sebagian’ tradisi sufistik.

Dalam tradisi filsafat, ketiga potensi manusia ini mungkin terjadi dalam diri seorang filsuf, bahkan dalam bentuknya yang juga sempurna. Sedangkan dalam tradisi sufistik yang berpijak pada gagasan ini, ia berakumulasi dalam diri seorang al-`ârif. Hanya saja, hal ini justru akan mengaburkan perbedaan mendasar antara seorang nabi dengan filsuf ataupun sufi, sehingga harus ada pembeda tegas di sini terlebih dahulu.

Menurut Ibn Sina, kesempurnaan potensi manusia dalam diri nabi merupakan sebuah fitrah, sedangkan dalam diri filsuf lebih pada usaha secara terus-menerus (bi al-kasb). Sedangkan jika ditelisik dari hakikat nubuat dan filsafat, keduanya jelas berbeda, mengingat pijakan paradigmatik yang berbeda pula. Hakikat nubuat merupakan potensi imajinasi kreatif, sedangkan filsafat lebih pada akal budi. Kedua potensi ini memiliki pertautan epistema yang terejawantahkan dalam sebuah aktivitas mimetik (al-muhâkât). Akal budi menyingkap segala hakikat dalam bentuk idealnya, sedangkan imajinasi kreatif menguraikannya menggunakan bahasa simbol. Dengan demikian, seorang nabi—jika berpijak pada perspektif filsafat—pastilah seorang filsuf. Karena seorang nabi harus bersinggungan langsung dengan al-`aql al-fa`âl (active intellect) yang dicitrakan dengan sosok Jibril dalam perspektif agama. Al-`aql al-fa`âl inilah yang merelasikan manusia dengan Tuhan. Hal ini pula yang menjadikan derajat Muhammad saw. lebih tinggi dari sebatas filsuf. Karena beliau memuat kesempurnaan nalar demonstratif dan imajinasi kreatif sekaligus di dalam dirinya. Pemetaan semacam itu juga digunakan dalam sebagian tradisi sufistik, namun menggunakan pengistilahan yang berbeda. Artinya, pengetahuan seorang nabi selalu menggunakan medium cerita ataupun bentuk lainnya. Sedangkan wali melakukan penyingkapan dengan al-tajarrud, atau dalam istilah filsafat dikenal dengan akal budi (pure reason). Pada titik ini, seorang nabi niscaya seorang wali, sehingga derajat Muhammad saw. pasti lebih tinggi dari sebatas wali.

Jika dalam pemaparan sebelumnya ada semacam gagasan yang cenderung identik antara tradisi filsafat dengan sufi, maka tradisi sufistik lainnya mempunyai perspektif yang—katakanlah—berbeda. Nubuat dalam perspektif—misal—Haidar Al-Amuliy yang ia kutip dari Al-Ghazali merupakan potret seorang manusia yang menerima setiap penyingkapan hakikat informasi dan ajaran yang diterima dari Allah, baik melalui perantara al`aql al-awwal (Jibril) ataupun secara langsung. Sedangkan risalah merupakan aktivitas penyampaian hakikat tersebut. Pada titik tertentu, tradisi ini menggiring pada pemunculan gagasan al-nubuwwah dan al-wilâyah. Keduanya merupakan satu hakikat dengan dua wajah; lahir dan batin. Al-nubuwwah merupakan wujud lahiriah, sedangkan al-wilâyah adalah wujud batin. Gagasan al-wilâyah ini pada akhirnya menjadi sebuah keniscayaan tersendiri untuk menjaga keberlangsungan umat manusia dan juga ajaran agama setelah Muhammad saw. wafat.

[ V ]

Menilik kandungan surat Al-Ahzab: 40 (Muhammad saw. itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu), ada semacam pembenaran dogmatis terkait Muhammad saw. sebagai nabi terakhir. Namun dari ayat ini pula gagasan tentang nabi baru menyeruak. Jika menilik analisa Al-Maududiy dalam kitab Khatam Al-Nubuwwah, sejatinya fitnah nabi baru muncul dari penafsiran surat Al-Ahzab tadi. Sebagian kelompok memaknai khâtam al-nabiyyîn dengan thâbi` al-nabiyîn (stempel para nabi). Artinya, setiap nabi yang muncul setelah Muhammad saw. merupakan manusia yang mendapat stempel kenabian darinya. Kelompok lainnya memaknai kata tersebut dengan afdlal al-nabiyîn (nabi yang paling utama). Artinya, pintu kenabian tidak akan pernah tertutup. Sehingga usainya silsilah kenabian hanya mengarah pada sifat keutamaan nabi yang berhenti pada sosok Muhammad saw.. Maka yang menarik dalam hal ini adalah penelusuran yang dilakukan oleh Soroush.

Dalam buku Basth Tajribah Al-Nabawiyyah, ia mengungkapkan bahwa pembenaran dogma nabi pamungkas muncul dari dalam agama itu sendiri, bukan dari luar. Selain justifikasi surat Al-Ahzab: 40 tadi, pembenaran muncul dari pengakuan Muhammad saw. sendiri. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan baik oleh sekte Sunni maupun Syi`ah yang berbunyi “Engkau (Ali) di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi sesudahku”. Di samping itu, ijmâ` sahabat juga bisa menjadi pembenaran tersendiri. Bukankah pendakuan kenabian setelah Muhammad saw. yang terpotret dalam sejarah Islam, seperti halnya Musailammah Al-Kadzab, mendapat kecaman sangat keras dari para sahabat, bahkan memeranginya. Tapi jika kembali pada gagasan yang dipaparkan sebelumnya bahwa agama masih memiliki rongga yang cukup menganga dan memerlukan pemadatan, juga fakta adanya dualisme pengalaman dalam diri Muhammad saw., maka yang perlu pendedahan lanjutan terkait arah lelaku agama ke depan setelah adanya dogma khâtam al-nubuwwah itu sendiri.

Harus dipahami terlebih dahulu, kemunculan Muhammad saw—dalam kapasitasnya sebagai wujud lahir dari pengejawantahan pengalaman religius—merupakan penanda adanya suatu ajaran baru, ajaran Islam. Adapun wujud batin agama adalah tauhid, atau disebut dengan hanīf (lurus, jauh dari sikap mempersekutukan Allah dan jauh dari kesesatan). Pada titik ini, Islam menjadi wujud lahir agama yang membenahi pergeseran-pergeseran nilai-nilai teologis dalam Kristen dan Yahudi. Sehingga, dogma khâtam al-nubuwwah, meminjam analisa Soroush, lebih mengarah pada pribadi Muhammad saw., bukan pada agama. Karena sedari awal, wujud batinnya adalah agama hanīf itu tadi. Artinya, sifat pamungkas ini merupakan penegasan bahwa manusia tidak memerlukan ajaran baru dalam bentuk lahiriahnya, menggantikan Islam. Kemudian maksud kembalinya nabi ke bumi selalu memberi arti kreatif adalah pemunculan ‘ajaran baru’. Hanya saja yang menjadi persoalan mendasar kenyataan bahwa Islam memerlukan pemadatan.

Untuk melakukan pemadatan nilai agama sendiri, tentu harus berangkat dari penegasan kesempurnaan agama dalam surat Al-Maidah: 3. Kesempurnaan ini terlebih dahulu harus dipahami sebagai batas minimum yang pasti (al-had al-adnâ al-lâzim), bukan batas maksimum (al-had al-aqshâ). Sehingga perubahan menjadi kebermungkinan yang menemukan pembenaran. Pada titik ini, perubahan dari suatu keadaan tak sempurna ke arah yang secara sempurna bisa dipahami sebagai kesempurnaan nisbi (vice versa). Lantas gagasan apa yang bisa memerankan fungsi pemadatan ini jika memang dogma agama telah menegaskan berakhirnya silsilah kenabian? Ataukah justru gagasan nabi baru itu sendiri?

Bagi Al-Farabi, silsilah kenabian belumlah usai. Artinya siapapun setelah Muhammad saw. bisa mencapai tingkatan nabi ketika ia mampu bersinggungan dengan al-`aql al-fa`âl. Persinggungan dengannya inilah yang menjadi penanda kesempurnaan potensi imajinasi kreatif seseorang. Tapi bagi ibn Rusyd, permasalahan ini berbeda. Manusia tidak mungkin bisa sampai pada tingkatan nabi, karena berpijak pada gagasan bahwa setiap nabi pastilah filsuf, tapi tidak sebaliknya. Maka fusngsi pemadatan ini lebih mengarah pada hal lain diluar sifat kenabian. Untuk itu, gagasan khâtam al-nubuwwah, jika meminjam paradigma Iqbal, merupakan awal mula dari rasionalitas. Sedangkan dalam tradisi sufistik terwakilkan dalam gagasan al-wilâyah. Mengingat ‘misi kenabian’ tidak boleh berhenti sampai akhir zaman.

Pada akhirnya, gagasan besar dari tulisan ini tertuju pada penyadaran bahwa nubuat merupakan dimensi kepribadian Muhammad saw. sebagai potret manusia yang berelasi dengan realitas secara langsung. Ia adalah wujud lahiriah dari pribadi nabi. Sedangkan al-falsafah/al-wilâyah merupakan wujudnya yang berelasi dengan dimensi ketuhanan, atau dalam pemaknaan lain sebagai wujud batin dari nabi. Dengan adanya penegasan agama bahwa silsilah kenabian berhenti setelah wafatnya Muhammad saw, dan tidak adanya syari`at baru setelah itu, maka wilayah batin agama inilah yang akan memadatkan nilai-nilai lahiriah agama Islam. Sehingga gagasan wilâyah/falsafah (wali/filsuf) ini adalah peluang yang tersisa bagi manusia untuk menjaga dan memadatkan ajaran-ajaran Tuhan (ajaran Al-Qur’an) sampai hari ketika bumi gonjang-ganjing, bukan gagasan nabi baru. Sehingga dekonstruksi konsep khâtam al-nubuwwah—setidaknya bagi penulis—tidak pernah menemukan ruang pembenarannya secara dogmatis.