Masisir (sebutan untuk mahasiswa di Mesir), masih dan selalu tentang prilaku keseharian sebuah komunitas, [M]ahasiswa tegasnya. Layaknya sebuah ‘teks’ yang hidup, masisir selalu menyembunyikan misteri yang kadang kurang terbaca secara jeli bagi siapapun yang mencoba mendedahnya. Mengingat sebagai sebuah gerak fenomena sosial, bagaimanapun caranya, pembacaan yang hadir—hampir—selalu tidak utuh. Tulisan ini sendiri—boleh jadi—tidak sedang memotret dinamika masisir secara ‘telanjang’, karena analisa yang dilakukan juga terbilang ‘berjarak’. Walaupun demikian, sebuah fenomena tetaplah hal yang terbuka untuk menerima pembacaan. Sehingga masisir, dalam kapasitasnya sebagai sebuah ‘teks’ hidup, tetap memungkinkan untuk didekati dengan beragam cara.
Memang, perlu kehati-hatian di sini agar tidak menciderai prinsip-prinsip individu. Maka pijakan paling prinsipil ketika melakukan analisa sebuah prilaku ataupun tradisi secara lebih dekat, untuk memangkas jarak tadi, adalah kesiapan seorang pengkaji untuk menerima ‘kelainan’ yang muncul, mengenal diri dalam wujud yang lain. Karena selalu ada nilai-nilai universal yang bergerak, tarik-menarik, antara dimensi 'sofia' (teoritis) dan 'phrones' (aktualita-praksis) pada kesadaran tiap individu. Hanya saja ketika mengejawantah dalam sebuah prilaku, sebagian besar tunduk pada 'sensus communis' (konsensus). Kesepakatan prilaku inilah yang acap kali kurang tepat sasaran, lantas menjelma formal, sebagai arah prilaku yang menemukan ruang pembenarannya secara populis. Ketika itu terjadi, gerak komunitas menjadi tidak memadai. Tapi bagi penulis, gejala sosial yang sakit tersebut terbilang bersifat temporal, bukan metafisikal. Sehingga, laku perubahan merupakan kebermungkinan yang selalu terbuka.
Untuk itu, penulis di sini bukan akan melakukan penghakiman, namun semacam menawarkan wacana saja, agar setiap gerakan yang muncul memiliki arah prilaku yang jelas dan komunikatif. Bukankah untuk mencapai kata bijak membutuhkan komunikasi dua arah, bukan malah justifikasi searah saja? Sehingga ketepatan dalam membidik nilai-nilai kemanusiaan yang paling asali sekalipun muncul dari perspektif bersama.
Baiklah, diakui atau tidak, prilaku merupakan potret paling jujur dari sebuah arah kehendak. Hanya saja, sebuah prilaku tidak selalu hanya didasarkan pada yang benar, tapi sering pula pada yang mungkin. Sehingga hadir semacam potensi yang sangat terbuka bagi setiap individu masisir untuk melakukan penegasan diri, sesuai dengan potret yang mereka imajinasikan. Jika demikian, yang perlu dicermati secara hati-hati di sini tentang arah kehendak tadi. Artinya, jangan sampai terjadi disorientasi terlalu jauh dari dasar realitasnya yang paling prinsipil. Sehingga proyeksi yang hadir mampu mendefinisikan masisir sebagai mahasiswa sekaligus makhluk sosial secara proporsional.
Lantas dari apa yang penulis baca, dinamika masisir saat ini masih ada—untuk tidak mengatakan semua—yang berkutat pada ruang aburd. Potret absurditas dinamika yang paling sederhana bisa terlacak jelas, mulai dari peralihan fungsi, problem etika, pemerkosaan ruang publik, tata nilai yang mulai memudar, dan berjubel lainnya. Akumulasi dari itu semua telah menggiring pada potensi ‘ke-tidak-jujur-an’ ruang dinamika. Bahkan pada titik tertentu muncul semacam prilaku hegemonial, dengan mendudukan masisir sebatas objek untuk meluluskan hajat golongan secara ‘brutal’. Tak ayal, masisir bukan lagi tentang keutuhan dinamika manusia seutuhnya, namun selalu tentang dominasi, sentimen, hingga kuasa. Pada akhirnya, ruang publik telah menjadi ruang kepentingan, politis. Dari sini, gejala sosial yang tidak sehat menjadi konsekuensi yang niscaya, pun ruang publik menjadi semacam komunitas nir-ideal.
Mari kita analisa beberapa fenomena tadi—setidaknya—secara sederhana. Kenyataan yang tidak bisa terelakan dari sebuah komunitas adalah munculnya berbagai forum komunikasi antar individu maupun kecenderungan. Dalam hal ini, aktivitas masisir di media internet (facebook-misal) yang akan coba penulis dedah. Salah satu forum komunikasi mahasiswa yang tersedia adalah forum PPMI Mesir. Namun jika kita telisik, di dalamnya cenderung didominasi oleh iklan komersil yang sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai aktivitas kemahasiswaan. Ada semacam prilaku ‘brutal’ yang melabrak—bahkan sedari pengertian—batas-batas normatifnya, mulai dari fungsi, etika, bahkan prilaku pemerkosaan ruang publik yang disadari. Padahal, semestinya ada garis tegas yang bisa menjadi pembeda antara forum pendidikan dan—contohkanlah—forum ekonomi, sehingga tidak terjadi tumpang-tindih dan peralihan fungsi sebuah forum. Dan parahnya, komersialisasi mahasiswa semacam itu cenderung dibiarkan otoritas terkait, bahkan pada titik tertentu—bisa jadi—menemukan/mendapatkan ruang pembenarannya. Menyedihkan bukan?
Lain dari itu, jika menilik realitas sosial di lapangan, gejala komersialisasi juga terbilang cukup marak. Namun anehnya, menjamurnya komersialisasi mahasiswa ternyata berbanding terbalik dengan kuantitas kedatangan mahasiswa itu sendiri (terkait kualitas, itu tidak usah-lah kita pertanyakan di sini, toh semuanya sudah ‘menyadari’ hal itu). Artinya, jumlah pegiat ekonomi yang semakin menjamur tidak seimbang dengan jumlah kedatangan mahasiswa. Terlebih prilaku ini ditampilkan secara vulgar, kemudian dicari pembenarannya secara sepihak dalam ruang publik, tanpa komunikasi. Akhirnya, komunitas menjadi pincang. Tak ayal, gejala komersialisasi yang cenderung membabi-buta semacam ini—otomatis—akan mematikan dinamika yang berorientasi pada kemahasiswaan itu sendiri.
Mungkin itu semua tidak bisa mewakili dari sekian banyak sengkarut dinamika masisir. Tapi sebagai potret permisalan, hal ini bisa dijadikan pintu masuk untuk—setidaknya—melakukan usaha bersama dalam membenahi keropos yang menganga. Pendekatan komunikatif menjadi penting di sini, karena dinamika yang sehat terpotret melalui pemunculan perspektif dari ruang kesadaran bersama. Mengingat gejala-gejala tadi semakin menegaskan adanya pergeseran (pencerabutan) nilai secara sadar. Dan pantas jika muncul pembahasaan bahwa seminar, kajian keilmuan, diskusi, atau apapun yang berkelindan dengan prilaku mahasiswa, sedang ‘menggali kuburannya sendiri’. Jikapun ada aktivitas yang menunjang dunia akademis, cenderung instan dengan menggunakan propaganda-propaganda hiperbolik. Bukankah prilaku tidak bisa dibentuk hanya dalam hitungan hari? Lantas, dari mana sengkarut dinamika masisir ini harus dibenahi?
Dalam hal ini harus ada kesepakatan bersama terlebih dahulu bahwa, [m]ahasiswa tetap harus didudukan sebagai [M]ahasiswa secara utuh, bukan peranan yang lain. Ia adalah identitas yang paling asali dari sebuah komunitas masisir, identitas yang lebih dekat dengan dunia keilmuan, dunia baca-tulis. Di luar itu, seharusnya sebatas prilaku ataupun nilai pelengkap (tersier) saja, atau paling tidak sebatas kebutuhan sekunder, bukan malah menjadi prioritas utama (primer). Jika hal ini bisa dipahami sebagai dasar sebuah kesadaran sosial, tentu prilaku yang muncul tidak akan mengalami disorientasi yang terlalu jauh. Maka bagi penulis, hal pertama yang perlu dibenahi itu terkait pembenahan kesadaran berdinamika dalam ruang publik. Artinya harus ada pengakuan bersama terlebih dahulu bahwa setiap individu masisir perlu memiliki kemampuan abstraksi. Sehingga setiap peranan, secara tidak langsung, akan menemukan cara bagaimana membatasi diri. Dalam hal ini, otokritik memainkan peranan yang sangat penting agar prilaku yang hadir memiliki pendasaran moral yang kuat dan tata nilai yang tepat. Setelah itu, prilaku apapun, baik aktivitas kemahasiswaan ataupun laku sosial kemasyarakatan, dengan sendirinya menjadi proporsional. [ ]
Post a Comment