fahmy farid p.

Kajian Islam Nusantara boleh jadi terlantar, terabai bahkan –sengaja- dilupakan. Mungkin ini agak berlebihan, tapi senyatanya hanya sedikit saja –untuk mengatakan tidak semua- intelektual Indonesia menceburkan diri di sini. Hal ini bukan tanpa alasan paradigmatik yang terbilang kompleks, mengingat semenjak di mula, Islam Nusantara lebih banyak di asumsikan sebatas potret khazanah Islam peripheral (pinggiran) saja. Sehingga hanya sedikit saja refrensi primer yang beredar. Kebanyakan lebih pada penuturan sejarah secara oral. Padahal harus diakui bahwa ada semacam transmisi epistema yang menjadi tak teruraikan di sini, yang senyatanya membentuk jaringan-jaringan intelektual kosmopolitik, dengan Nusantara sebagai salah satu bagian integral pemaknaan Islam itu sendiri. Tulisan sederhana ini sendiri bukan hendak membidik titik mula Islam masuk Indonesia, atau sesosok tokoh yang pertama kali menyebarkannya. Tapi lebih pada memetakan proses epistemifikasi dan kaitan doktrinal Islam Nusantara dengan Timur-Tengah, sehingga akhirnya mengerucut pada tipologi Asy`ari-Mathuridi, Al-Syafi`i serta Al-Ghazali. Yang perlu mendapat perhatian di sini, walaupun hadir semacam potret kosmopolitan di Haranain, namun nalar dominan yang berkembang saat tersebut adalah nalar Sunni.


Sejak awal, penetrasi Islam Nusantara terbilang lebih dinamis, mengingat ada semacam akulturasi yang intim antara poros Makah-Madinah dengan lokalitas Indonesia, yang notabene turut serta membentuk simpul-simpul wacana Islam trans-nasional (internasional). Sederhananya, terbangun semacam jaringan epistema dialektis secara sadar, kemudian membentuk karakter Islam Nusantara, dengan Timur Tengah sebagai pijakan paradigmatiknya di sini. Ada semacam kaitan doktrinal di sini, kemudian secara gradual telah memunculkan sintesa baru terkait karakter khas Islam Nusantara sebagai hasil persinggungan kesadaran lokal dengan intervensi budaya dan ajaran luar, dalam hal ini adalah ‘Islam versi Timur-Tengah’.


Lantas jika kita lacak jejak-jejak arkeologis keberislaman Nusantara, tentunya takan terlepas dari proses kesejarahan tumbuhnya persinggungan epistemik antara pegiat Islam Indonesia dengan banyak Ulama Timur-Tengah, khususnya Haramain. Proses pembasisan jaringan epistemik diantara keduanya akan melibatkan relasi kesejarahan yang terbilang rumit dan kompleks. Hal ini bukan tanpa pembenaran yang tegas, mengingat acap kali sketsa hadir dalam perwatakan ambivalen, menipu. Sehingga pemetaaan simetris bisa jadi hanya sebentuk pembenaran-pembenaran yang tersepakati di sini. Padahal, kebermungkinan cara untuk menegaskan identitas menjadi celah terbuka tak berbatas, walaupun --harus kita sadari- semuanya bergumul dalam batas kesadaran identik. Tak pelak lagi, identitas menjadi semacam proses repetitif yang terbentuk dari relasi-relasi yang menegas. Ia bukan lagi teka-teki, namun terkotakan dalam bentuk fantasi simetris yang menegas. Jika identitas adalah relasi yang terulang pun menipu, seharusnya nilai-nilai otentisitasnya mengalami semacam kekaburan pola, semerta selalu ada relasi yang tak teruraikan.


Dengan meminjam analisa Foucault, keterbukaan peleburan antar relasi menjadi sedemikian penting terkait proses identifikasi jaringan epistema ini, paling tidak untuk menguraikan relasi dan pola kebiasaan (inter-behaviour) antara Timur-Tengah dengan Nusantara. Katakanlah standar paradigmatik di sini terpetakan ke dalam proses empat proses esensial; convenientia, aemulatio, analogy dan sympathies. Convenientia menegaskan tentang bagaimana penjajaran identitas mampu menghadirkan potret relasinya yang berkesinambungan. Lantas ia sendiri adalah pergerakan, keterpengaruhan, hasrat yang dikomunikasikan satu dengan lainnya, layaknya relasi jasad dengan jiwanya. Jaringan keduanya menghadirkan sebentuk kenyamanan melalui relasi-relasi harmoni. Jika relasi convenientia berantakan, maka disana juga ada aemulatio. Hal ini tentang bagaimana sesuatu dimunculkan tanpa ada sebuah ikatan tegas. Ia pada akhirnya menjelma imitasi dengan me-replika diri untuk menghilangkan jarak yang memisahkan, kemudian memberikan identitasnya masing-masing. Lantas convenientia dan aemulatio bisa jadi konsep yang terikat tegas analogy. Prinsip ketiga ini memendam daya yang teramat besar untuk menghadirkan semacam perumpamaan sesegala yang ‘limunan’, menggali substansi terdalam dari dua identitas yang identik. Adapun sympathies lebih menekankan pada semacam dunia yang terbebas dari ikatan apapun, layaknya melukis apa yang nampak hanya dalam fantasi. Keempat prinsip ini tentunya mengajarkan kita terkait bagaimana identitas mewujud, bersalin rupa, berefleksi untuk kemudian mengikatkan diri pada jejaring epistema yang luas, tak berhingga.


Untuk itu, sejauh ini terdapat tiga pendekatan untuk melacak proses persinggungan Nusantara dengan Timur-Tengah itu sendiri; teori perdagangan, teori batu nisan dan teori sufi. Tapi di sini penulis tidak akan memjabarkannya secara mendetail. Hanya saja dalam pengertian yang lebih sederhana, hubungan antara kaum muslim di mula bisa dikatakan terjalin lewat proses perdagangan. Mereka menjadikan kepulauan Nusantara tidak hanya medan berdagang, tapi dalam batasan abstraksi tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat, dengan menggunakan pendekatan-pendekatan kultural. Namun, proses ini tidak sampai pada proses epistemifikasi, domestifikasi hingga normalisasi. Adapun penetrasi Islam di masa lebih belakangan justru menjadi pijakan pemetaan proses-proses tersebut. Dan nampaknya di mana tersebutterjadi semacam pergeseran paradigmatik yang luar biasa, di mana prosesnya lebih banyak melibatkan para pengemmbara guru sufi. Maka bisa dipastikan, proses pembasisan Islam Nusantara lebih banyak bersinggungan dengan Islam sufistik sebagai titik pijak pembasisannya.


Kemudian jika meminjam analisa Azyumardi Azra, proses persenggamaan Timur-Tengah dengan Nusantara menempuh beberapa fase dan juga mengambil beberapa bentuk. Fase pertama, hubungan yang terjadi lebih berkenaan dengan perdagangan. Persinggungan semacam ini kebanyakan diprakarsai muslim Timur-Tengah, khususnya Arab dan Persia. Fase kedua, hubungan antara keduanya mengalami pelebaran jaringan menjadi lebih luas dan kompleks. Para penyebar ajaran Islam di Nusantara, baik itu pedagang, pengembara sufi atau profesional di bidangnya mulai mengambil jalan yang lebih intim, namun masih dalam batas abstraksi kulturalnya. Pada tahap ini, pembasisan nilai-nilai keagamaan dan kultural terjalin lebih erat. Fase ketiga, hubungan yang terjalin menjadi lebih bersifat politik-kekuasaan, di samping keagamaan tadi tentunya. Hal ini –salah satunya- dilatar-belakangi semakin menegangnya gesekan-gesekan yang terjadi diantara kekuatan Portugis dengan Dinasti `Utsmani di kawasan lautan India. Dari sini, hubungan yang muncul kembali mengalami penggelembungan jaringan, utamanya dengan Haramain. Sehingga muslim Nusantara semakin banyak datang ke Tanah Suci, yang pada gilirannya mendorong terciptanya jalinan keilmuan antara Timur-Tengah dengan Indonesia.


Jalinan ini semerta telah membuka peluang kepada segmen-segmen tertentu dalam masyarakat muslim Indonesia untuk melakukan pengkajian Islam langsung ke pusat-pusat keilmuan di Timur-Tengah, terutama melalui jalur perjalanan haji. Semakin membludaknya orang-orang Indonesia di Timur-Tengah mendorong kemunculan komunitas masyarakat muslim Nusantara di Haramain. Mereka biasa disebut Ashâb Al-Jawiyyîn (saudara kita orang Nusantara). Maka sejauh ini bisa dipastikan bahwa murid-murid ‘Jawi’ di Haramain merupakan inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam Nusantara. Karena dari sinilah diskursus keilmuan Islam Nusantara mengalami semacam proses epistemifikasi, domestifikasi hingga normalisasi.


Lebih jauh lagi, disamping terdapat nilai keutamaan yang disematkan pada Makah dan Madinah, dengan datang dan perginya jama’ah haji telah menjadikan kedua kota tersebut sebagai pusat intelektual terbesar kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia. Persinggungan berbagai kecenderungan pembacaan Islam, mulai dari ulama, sufi, filsuf, penyair, pengusaha dan bermacam latar belakang intelektual lainnya menjadikan kedua kota tersebut sebagai tempat bertukar informasi. Inilah salah satu sebab mengapa ulama dan penuntut ilmu yang mengajar dan belajar di sana pada umumnya memiliki pandangan keagamaan lebih kosmopolitan dibandingkan mereka yang berada di kota-kota muslim lainnya. Bisa dikatakan, Haramain merupakan tempat untuk melakukan formulasi Islam yang lebih menyeluruh dengan berbagai konteks sosial yang dihadapi.


Dalam pengertian lain, kembali meminjam analisa Azyumardi, Haramain ibarat ‘panci pelebur’ (melting pot) di mana berbagai tradisi ‘kecil’ Islam sama-sama lebur untuk membentuk suatu sintesis baru yang condong pada ‘tradisi besar’ (great tradition). Budaya mistisisme, rasionalisme hingga muatan paradigma ilmu-ilmu hadits melebur menampilkan wajah Islam dalam pemaknaan yang beragam. Hadir semacam upaya sadar oleh para ulama yang terhimpun dalam jarinmgan intelektual di Haramain untuk mendamaikan berbagai corak keberagamaan yang berbeda-beda.


Fakta menarik lainnya, sebagaimana disinggung Martin Van Bruinessen, selain bahwa Haramain di sini berfungsi sebagai tempat pengkajian Islam itu sendiri, perjalanan haji mulai mengalami penggelembungan fungsi yang mulai menjalar pada aspek kebangsaan. Bermula dari tanah ini justru muncul semacam kesadaran nasionalisme tinggi diantara mereka, yang kedepannya hadir menjadi alat pemersatu Nusantara juga perangsang anti kolonialisme. Bahkan di Mekah, jauh sebelum Sumpah Pemuda sendiri, Bahasa Melayu sudah berfungsi sebagai alat pemersatu. Snouck Hurgronje mencatat bagaimana orang dari Nusantara ikut membicarakan perlawanan Aceh terhadap Belanda, juga bagaimana mata mereka dibuka mengenai mengenai penjajahan Belanda maupun Inggris dan Prancis atas bangsa-bangsa Islam. Dalam pemaknaan lain, para haji hidup beberapa bulan dalam semangat anti-kolonial.


Tak ayal, masyarakat ‘Jawa’ yang bedomisili di tanah Haramain memerankan lakon penting sebagai perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama maupun politik di belahan dunia Islam lainnya. Dari proses inilah ulama seperti Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Mahfudz Termas dan Syeikh Ahmad Katib Al-Minangkabaui banyak mengilhami berbagai pergerakan di Indonesia, baik isu agama maupun isu anti-kolonialisme, dan mendidik banyak ulama yang kemudian berperan penting di tanah air.


Bisa dibilang, potret tradisi keberagamaan Nusantara cenderung kosmopolitan, mengingat orientasi yang terbentuk bercorak internasional dengan Haramain sebagai pusat paradigmatiknya. Karena orientasi asing inilah, tradisi keberislaman Nusantara tidak bisa semerta dianggap terisolir dari peradaban dunia luar. Adapun analisa yang dilakukan Snouch Hurgronje tentang pendidikan Islam di Timur tengah (Makah khususnya) bisa dikatakan salah satu karya terpenting dalam mengidentifikasi laku tradisi keberislaman Nusantara.


Untuk melacak tradisi ini, dengan melihat ke belakang, tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram pada saat tersebut mempunyai pengaruh besar di kalangan sesama orang Nusantara dan mempengaruhi generasi berikutnya melalui pengikut-pengikut dan tulisan-tulisannya. Ketiganya adalah Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Katib Al-Minangkabaui dan Syeikh Mahfuzh Termas. Di ketiga tokoh inilah, pembasisan Islam Nusantara menemukan momentumnya.


***


Penulis sendiri akan membatadsi cakupan analisa yang kemudian dipersempit pada sesosok ulama asal Banten, Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi. Beliau terlahir pada tahun 1230 H. dengan nama Abu Abdul Mu`ti Muhammad Nawawi bin `Umar bin `Arabi. Perjalanannya ke tanah Haramain sudah bermula semenjak kecil, sehingga paradigma keberislamannya banyak dipengaruhi ulama-ulama Timur-Tengah, utamanya Syaikh Ahmad Al-Nahrawiy, dan Syaikh Ahmad Al-Dimyatiy. Selain dari dua tokoh ini, beliau juga banyak terpengaruh oleh Syeikh Muhammad Khatib Al-Hambaliy di Medinah. Beliau juga sempat melakukan perjalanan ke Mesir dan menggali khazanah Islam di sana.


Tidak sedikit para pengkaji Islam Nusantara yang memuji syeikh Nawawi Al-Bantani. Salah satunya Snouch Hurgronje yang mengatakan bahwa syeikh Nawawi sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati. Beliau bisa dibilang pengarang paling produktif. Dia hampir menulis setiap disiplin ilmu yang dipelajarinya dalam Bahasa Arab. Beberapa karyanya merupakan penjelas (syarh) atas kitab-kitab yang telah digunakan dalam tradisi keberislaman Nusantara. Beliau banyak menjelaskan, melengkapi atau terkadang mengkoreksi matan yang di-syarh-i. Adapun kemunculan syeikh Nawawi boleh dikatakan berdiri pada titik peralihan tradisi keberislaman Indonesia, dari yang bercorak sufistik falsafi di mula bergeser pada harmonisasi tashawuf dengan syari`ah.


Pertimbangannya, kalau melakukan pelacakan kilas balik paradigmatik Islam Nusantara, pada mulanya sangat berorientasi kepada tshawuf. Tapi kemudian secara bertahap berangsur menjadi lebih berorientasi kepada syari`at. Sehingga potret Islam Nusantara pada akhirnya mengerucut pada tipologi Asy`ari-Mathuridi dalam hal teologi, Syafi`i dalam permasalahan fikih serta tashawuf ala Ghazali (dalam pemaknaan tashawuf ‘amali, di mana embriologinya berakar dari prespektif asketisme (zuhûd) yang memandang bahwa, manusia hendaknya menekan segala nafsu duniawi agar mencapai tingkat moral yang paling luhur, sebagai proses purifikasi jiwa agar mampu ‘menyentuh’ eksistensi-Nya. Sedangkan tipologi tashawuf falsafi, terlebih corak Ibn ‘Arabi, cenderung berpendar dalam ruang yang lebih eksklusif). Tak ayal, corak keberislaman yang paling mencolok di Nusantara merupakan potret harmonisasi syari`at dengan tashawuf, lebih tepatnya corak Islam yang telah mengalami proses domestifikasi epistema sehingga lebih sesuai dengan konteks ke-Indonesia-an. Sebagai permisalan, peleburan berbagai tipologi pembacaan Islam ini terpotret jelas ketika Syeikh Nawawi mengarang kitab Bahjât Al-Wasâil, penjelasan dari kitab Al-Risâlah Al-Jâmi`ah bayna Ushûl Al-Dîn wa Al-Fiqh wa Al-Tashawwuf karya Ahmad ibn Zain Al-Habsyi. Di sana ia mencoba mengharmonikan unsur teologi, syari`ah dan tashawuf.


Mencuatnya pembasisan syari`at (harmonisasi mungkin lebih tepatnya di sini) mempertimbangkan terjalinnya hubungan intelektual yang intim antara tanah Haramain dengan Mesir yang banyak pula dipengaruhi semangat gerakan modernisme Muhammad Abduh. Perubahan orientasi ini, antara lain, sebagai akibat sebuah proses pembaharuan atau pemurnian (purifikasi agama dari unsur-unsur mitologi) yang mulai muncul ke permukaan. Tapi jangan disangka bahwa hanya kaum reformis saja yang memperkuat kedudukan ilmu fikih di indonesia. Ulama tradisional besar seperti Daud Al-Fathani dan Nawawi Al-Bantani telah memberi sumbangan sangat penting kepada perkembangan ilmu fikih di Indonesia.


Walaupun demikian, kaitan doktrinal Islam Nusantara dengan Timur-Tengah juga, mau tidak mau, disadari ataupun tidak, telah mengubah mindset kebudayaan lokal, semerta terpengaruh paradigma dan budaya Arab itu sendiri. Semisal, tidak sedikit muatan kitab-kitab kuning yang telah dikarang oleh ulama laki-laki prihal sikap terhadap perempuan masih bersifat patriarkis. Itu dapat di lihat, misalnya, pada kitab-kitab mengenai hubungan suami-istri. Uraian kitab terkait hal tersebut masih dominan dari sudut pandang laki-laki saja; dialah yang subjek sedangkan perempuan hanya sebagai objek. Dalam diskursus dominan, perempuan dibahas seolah-olah ia makhluk yang hanya berguna untuk melayani laki-laki dalam segala hal. Demikian misalnya kitab `Uqud Al-Lujjain karangan syeikh Nawawi Al-Bantani. Kewajiban utama perempuan, menurut kitab ini, adalah melayani sang suami. Menolak tuntutan seksual sang suami adalah dosa besar bagi seorang perempuan. Dalam hal ini, beliau boleh jadi tidak sendirian. Hampir semua kitab sejenis mewakili sikap yang sama.


Tapi pada akhirnya, yang paling penting kita cermati di sini bahwa syeikh Nawawi Al-Bantani dan ulama-ulama lainnya telah berperan aktif dalam proses epistemifikasi Islam Nusantara, sebagai sebuah identitas, corak keberislaman. Dari sini bisa di tarik garis kesimpulan seberhana, bagaimanapun juga, peradaban tentunya jejak tegas kebermungkinan yang sangat terbuka. Ia adalah potret yang tidak akan pernah tuntas. Seandainya harus ditegaskan bahwa peradaban adalah sesuatu yang usai, maka bersiaplah untuk ditertawakan sejarah.


Tagamu` Awwal, 10 Agustus 2011 (00:00 am)

Labels: 0 comments | edit post