fahmy farid p.
--ليس الحرية هي ظواهرها ولكن الحرية هي بواطنها--

Dengan ragam kesadarannya, manusia, sebagai sebuah fenomena, selalu saja menjadi misteri. Kadang kesadaran itu bisa diuraikan ‘secara tidak lugu’ ketika apa yang dipahami menemukan ruang intimnya secara populis, mendapati apa yang sering disebut komunitas dialektis. Tidak jarang kompleksitas pelbagai imajinasi yang bergumul dalam ruang kesendirian menjadi terpinggirkan, bisa jadi karena ia tidak cakap membahasakannya, atau memang itu menjadi sebuah pilihan untuk mengasingkan diri dari sosial. Dualisme semacam ini tentu berkelindan dengan bagaimana manusia memandang ‘realitas’.

‘Realitas’ di sini boleh jadi struktur paling intim dengan manusia sebagai diri. Ia bisa menjadi sedemikian berjarak semerta menemukan ‘kesenangan yang tidak memihak’. Tapi sangat memungkinkan pula untuk menyatu, walaupun dalam kapasitasnya sebagai entitas yang memang selalu, akan, berbeda, dan pasti ada yang terkorbankan. Kenyataan semacam ini tentunya semakin menegaskan bahwa manusia dan realitas adalah wajah sebuah pilihan, dengan aspek ‘keberuntungan’ yang sangat kental, bukan lagi sebatas potret paling lugu yang bisa diabstraksi. Pilihan mengingat keduanya selalu merupakan potensi tak berhingga. Keberuntungan mengingat di-terima-tidak-nya sebuah sikap menjadi sangat enigmatik. Pada titik ini, bagaimana memahami manusia menjadi sedemikian kompleks, bahkan terkadang paradoks.

Bagi saya, ‘realitas’ pada akhirnya dibentuk oleh bagaimana ruang kesendirian manusia mampu diterima secara populis. Ada semacam usaha terus-menerus terkait bagaimana imajinasi diri bisa di-cirta-kan secara bersama, sekaligus bagian dari proses pembentukan ingatan komunal. Hal ini mendapatkan pembenarannya ketika sesiapa menyadari bahwa ‘kebenaran tergantung bagaimana kesadaran membenarkannya’, se-‘naif’ apapun itu. Jika demikian, sikap sebuah komunitas sosial menjadi penanda penting di sini, atau tentang bagaimana menghadirkan cara pandang dari ragam dialektika yang terjadi.

Ketika itu membincang cara pandang, sebagai sebuah kesadaran diskursif, tentu bisa saja dikaitkan dengan terma-terma ‘moralitas’, baik itu menyangkut moralitas kaum pinggiran, yang terpinggirkan, sebagai pemahaman diri yang tidak menemukan komunitas, ataupun moralitas populis. Jika sepakat bahwa manusia bisa didefinisikan sebagai binatang yang ber-moral (hexis), maka manusia –setidaknya- mampu dihadirkan dalam pemaknaan yang lebih humanis, bukan logis dan eksakta. Dalam hal ini, moralitas bisa saja dipahami sebagai sistem tata nilai (etos) yang berkembang dalam tatanan sosial. Moralitas selalu saja menyangkut kesadaran manusia, dalam kerangka baik dan benar, buruk dan salah. Tak ayal, penanda ini telah menjadi saksi sejarah panjang riak-riak fenomena sosial. Bukankah munculnya sejarah peradaban manusia seiring dengan terbentuknya tata nilai. Bukankah masa lalu selalu hadir dengan berbagai alasan, pun mengajarkan banyak hal.

Dengan menyederhanakan kompleksitas yang terjadi dalam liku perjalanannya, moralitas dapat dipahami dalam dua pemaknaan, yaitu etika sebagai cara pandang an sich (al-akhlaq al-nadzhariy), dan etika sebagai laku keseharian (al-akhlaq al-`amaliy). Keduanya mampu terejawantahkan melalui ikatan-ikatan manusia dengan realitas dalam beberapa ikatan tegas, menegas. Pertama, ikatan historis (`alâqah târikhiyyah) yang memandang bahwa agama dan moralitas terbentuk sebagai saksi sejarah peradaban manusia. Kedua, ikatan diri (`alâqah nafsiyyah) yang memandang bahwa keduanya membentuk ke-aku-an (eksistensi) manusia dengan segala tujuan tertentu dan menghasilkan corak prespektif apriori bagi ‘sang aku’. Ketiga, ikatan sosial (`alâqah ijtimâ`iyah), dalam arti keduanya memunculkan sistem aturan untuk memperoleh kebaikan bersama. Keempat, ikatan kognitif (`alâqah mantîqiyyah), yang memandang bahwa keduanya memiliki ketentuan-ketentuan logika formal yang memunculkan pola pikir tertentu. Kelima, ikatan epistemik (`alâqah ma`rîfiyyah), yang memandang bahwa keduanya mencakup premis-premis yang –bisa- diajdikan pijakan dasar pembentuk diskursus dan kesadaran lain. Keenam, ikatan ontologis (`alâqah kiyâniyyah) yang memandang bahwa alasan eksistensi keduanya merupakan kehendak ‘Sang Ada’.

Moralitas, walaupun sering dituduhkan sebagai judisium tanpa refleksi (nir-argumentatif), mengingat pertimbangan (judgment) moral cenderung lebih dekat dengan sentimen ataupun selera, tapi ia tidak bisa dilepaskan dari akal budi. Sehingga, pertimbangan reflektif harus dipahami sebagai pertimbangan yang sejalan dengan kecocokan real dan formal dalam ruang kesadaran bersama, ingatan bersama. Pada akhirnya, kesepakatanlah yang menjadikan moralitas reflektif itu menemukan ruang pembenarannya, tanpa harus melacurkan apa yang sering disebut ruang ideal subjektif

______________________________

Hanya sebuah catatan, atau lebih tepatnya curhat, atas indahnya kebersamaan kawan-kawan sekre NU kemarin malam, mencipta ingatan bersama, mencita idealisme bersama. Suasana itu akan selalu dirindukan, setidaknya bagi penulis pribadi.

-Kamis, 8 Desember 2011-