fahmy farid p.

ketika refleksi terbentur realitas
slalu saja ada sisa tanya
ketegangan bersalin rupa
entah bagaimana menembus batas asa

***

ketika kata tak mampu lagi bicara dunia
metafora menjelma bak kereta kuda
imaji liar tertata dalam kardus dogma
menjadi sesembahan tuk sang pandita

***

ketika sadar cumbui si gila
takan pernah pintas itu ada
satu terbuang lainnya mengembara
dia titik aku koma



fahmy farid p.

“Sejarah merupakan sekelumit potret tertutup yang ‘tak satu’. Ke-aku-an yang tertanam dalam bongkahan jiwa manusia, menyeruak sebagai `pedati` yang terus mengikuti laju seruang pekat-geliat gerobak sejarah peradaban. Sisi kemelut dialektika-materi-falsafi ini disajikan sesosok Adonis dalam ‘menelanjangi’ puing-puing pembentuk sejarah peradaban Arab-Islam yang tercecer. Bangsa yang telah mengalami transformasi paradigma, dari logika waktu (keniscayaan sejarah-empirik) menjadi logika wahyu (keniscayaan iman). Itulah oase pembuka sekaligus rangsangan presentator, Khozin Dipo, disela dahaga kawan-kawan LAKPESDAM untuk segera merajut sepihan ‘imaji-kontemplatif’ yang terekam dalam tiap baris kata buku al-Tsâbit wa al-Mutahawwil, sebuah disertasi yang dia selesaikan saat mengenyam pendidikan di fakultas sastra, Beirut. Diskusi pergulatan lintas ide ini diadakan di Sekertasriat PCINU Mesir; 7 Mret 2010, yang dimulai pada pukul 17.30 WIK. dengan rekan Fahmy Farid el-Sundani sebagai moderator.


Dialektika al-Tsâbit dan al-Mutahawwil

Dengan ucap mula yang mengalir begitu lirih nan apik tersaji, Rekan Khozin mencoba mengurai benang kusut pembacaan sejarah dari titik tolak masuknya agama sebagai awal problematika peradaban Arab-Islam atas sebuah percikan ‘kegelisahan tak terkendali’. Islam menyelusup relung tatanan sosial jahiliyah sebagai nilai baru yang memutus trauma Bangsa Arab terhadap masa lalunya nan kelam. Kungkungan realitas dialektika manusia dengan ruang waktu, telah memunculkan ragam noktah pembahasan terhadap rentetan fenomena kesejarahan. Secara garis besar, tipologi fenomena ini terbelah menjadi dua sisi ‘struktur kepribadian’ yang senantiasa berdialektika, antara salafi-konservatif yang memposisikan masa awal Islam sebagai teropong peradaban Arab asli dengan menggandeng turats yang ‘belum tuntas’ untuk mengawal laju dinamika peradaban, dengan kontemporer-modernis yang mengasumsikan turats sebatas sisa-sisa ‘usang nan lapuk’ warisan peradaban.


Pada tahun 1930 M., Ali Ahmad Sa`ad Asbar (yang dikenal dengan nama pena Adonis) dilahirkan di bumi Lattakia-Syiria, sebuah kota terpencil yang jauh dari dunia intelektual. Walaupun kondisi sosial yang ‘buta peradaban’ dan latar belakang keluarga tani, hal ini tak lantas menyurutkan semangat tumbuh-kembangnya. Ia sama sekali tak menyerah pada kenyataan, tanpa salah asuhan. Kepribadiannya terancang apik dalam asuhan sang ayah, sesosok agamawan berlatar belakang Syi`ah dan juga sastrawan. Dari ayahnyalah, Adonis mulai mengenal pujangga-pujangga legendaris bumi para nabi, diantaranya; Abu Tamâm, al-Mutanabbi hingga Syarif Ridla. Disamping itu, sosok Antun Sa`adah turut pula melukis paradigma intelektual Adonis yang mengenalkan pola baru dalam membaca mata rantai sejarah. Dari latar belakang inilah Sosok Adonis digambarkan rekan Khozin sebagai sosok budayawan yang cepat ‘bosan’, dengan menjelma menjadi pribadi berprinsip yang berdiri tegak menantang kenyataan.


Melacak lebih dalam ke jantung pemikiran Adonis, rekan Khozin memaparkan analisa terhadap buah pena Adonis mulai dari Qashâid Ûlâ (dicetak pada tahun 1956 M.) hingga al-Muhith al-Aswad (2005 M.). Antologi rekaman imajinasinya mengalami titik kulminasi pada karya monumentalnya, al-Tsâbit wa al-Mutahawwil (2001 M.) yang merupakan tetralogi analisis bongkahan sejarah Arab-Islam, khususnya satstra. Lain pada itu, rekan Khozin yang ditahbiskan kawan-kawan LAKPESDAM sebagai representasi pujangga Masisir kontemporer juga melakukan penekanan analisis terhadap buku Aghânî Mihyâr al-Dimasyqi, sebagai karya sastra yang mencoba ‘menceraikan diri’ dari belenggu puisi klasik, sekaligus ‘bersenggama’ dalam harmoni semiotik sastra kontemporer. Penekanan juga dilakukan dalam mendedah buku al-Shûfiyah wa al-Sûryâliyah (1992 M.) yang menyoroti persenyawaan antara paradigma sufistik dengan surealistik.


Lebih lanjut, telisik kritis terhadap magnum opus-nya, presentator kita mencoba ‘menelanjangi’ dari sisi analisa historikal-tautologis kemunculan Islam, sebuah kesadaran bersejarah sebagai sesuatu yang ‘pasti’ ada. Bagi Adonis, peradaban Islam, pada dasarnya merupakan substansi potret sosio-kultur sebagai starting poin dalam melukiskan sisi kesejarahannya, walaupun secara sturturalistik-temporal, lebih dahulu masa jahiliyah. Dari sini, ia menjadikan peradaban Islam sebagai sesuatu yang bersifat ibda` (asal-muasal pembentuk peradaban Arab), bukan ittiba` (hasil bentukan masa jahiliyah). Unsur ini diilustrasikan layaknya dinamika proton dan neutron pembentuk atom. Hanya saja, pembacaan kesejarahan Adonis berkutat pada dzawâhir al-tsaqâfah (permukaan peradaban) dan abai terhadap fakta-fakta sejarah mendasar. Hal ini senafas dengan Kritik Rifa`at Salim atas pembacaan Adonis yang sama sekali tidak memperhatikan faktor ekonomi dan sitsem kelas, sehingga terminologi al-tsabit dan al-mutahawwil terkesan ‘ambigu’, karena ada dialektika marxis-strukturalis yang ‘tidak disadari’. Pamungkas, rekan Khozin menilai bahwa Adonis dirasa lemah dalam memahami al-mutahawwil sebagai entitas yang benar-benar mandiri.


Kala senja mula mencumbu kerontang Kairo, rekan Khozin Dipo mempresentasikan makalah –dalam bahasa kawan-kawan lainnya adalah prosa pemikiran, cukup memberikan potret umum pemikiran Adonis, dalam tempo kurang-lebih tiga puluh menit. Moderator kemudian mengalokasikan waktu sekitar 20 menit untuk melaksanakan Sholat Magrib.


Hiruk-Pikuk Dialektika Diskusian

Dengan pemilihan diksi makalah ‘beraroma’ prosa yang cukup menggugah sekaligus menggelitik ‘gairah’ kawan-kawan diskusian, rekan Nur Fadlan mencoba menelusuri jejak-jejak pemikiran Adonis. Rekan kita yang notabene ber-gerne syari`ah secara akademik, mencoba menelisik terma al-Tsâbit wa al-Mutahawwil dari sisi hukum. Dengan menggunakan majas alegori, ia menlukiskan bahwa terminologi al-Tsâbit wa al-Mutahawwil laiknya sebuah kulkas yang diisi dengan ragam pangan. Seiring perjalanan dinamika waktu, pada akhirnya pangan tersebut akan mengalami pembusukan, sehingga perlu ‘dikebumikan’ (al-mutahawwil), dan pangan yang awet (al-tsâbit) tetap dijaga dan dirawat sebagai akar tradisi. Dari sini, perlu adanya ‘pembacaan kedua’ terhadap hukum-hukum yang usang ditelan perkembangan zaman. Karena, tuntutan perbedaan tempat entitas masyarakat akan melahirkan pemikiran dan kongklusi hukum yang berbeda pula. Dalam kritiknya terhadap Adonis, ia menyayangkan sikap Adonis yang melakukan simplifikasi terhadap fakta-fakta kesejarahan dengan terlalu tergesa-gesa memutus masa jahiliyah dalam dinamika peradaban Arab-Islam, mengingat ranah sejarah yang terlampau luas. Di akhir orasinya, ia berasumsi bahwa kehadiran agama yang dipahami secara rigid telah ‘mematikan’ filsafat logika arab, terjajah oleh teks-teks keagamaan.


Sementara Rekan Fadlan mengimajinasikan al-Tsâbit wa al-Mutahawwil pada logika kulkas, rekanita Mei Rahmawati mengilustrasikannya dengan logika ‘cicak’. Perangkat self defence (sistem pertahanan diri) pada cicak dengan memotongkan ekornya akar mampu bertahan dalam lingkungan se-ekstrim apapun, sepatutnya diterapkan pula pada lokus syari`ah agar adaptif terhadap dinamika sosioal masyarakat (shâlih li kulli zamân wa makân). Sehingga, sekira tidak cocok –bahkan mengancam- dengan nilai substansial Islam, maka perlu –harus- ‘disingkirkan’. Ia juga menilai bahwa Adonis menggunakan pendekatan sastra untuk menceburkan diri pada realitas, dimana karya-karyanya kental sekali dengan nuansa estetika-imajinatif-kontemplatif.


Selanjutnya, rekan Ahmad Muhammad mencoba ‘menggerayangi’ Adonis dari sisi lingkungan sosial-kultur pembentuk pribadinya. Pemikiran-pemikiran Adonis yang tertuang dalam magnum opus-nya sangat dipengaruhi oleh ma`rifah shûfiyah, dimana terjadi dialektika ‘intim’ antara `âlam khayâliy (nalar imajinatif) dengan `âlam mitsâliy (nalar realitas). Menurutnya, Adonis ingin melepaskan diri dari belenggu teks yang tidak membebaskan. Hanya saja, para pemikir dengan latar belakang penyair (dalam hal ini Adonis) acap kali terkungkung dalam kubangan wacana, tanpa menggandeng tindak nyata. Dari sini, karya sastra Adonis diposisikan sebagai pembaca peradaban (lahir dari dinamika kenyataan) belaka.


Hal berbeda coba ditawarkan rekan Subhan Ashari. Ia menganggap terminologi al-Tsâbit wa al-Mutahawwil pada prinsipnya merupakan kritik terhadap kelompok-kelompok literalis teks, seperti Ibn Hazm dan Ibn Taimiyah. Pioner-pioner literalis ini memandang segala fenomena sosial dengan kacamata teks statis. Disamping itu, rekan Subhan mengklasifikasikan metode pembacaan teks (analisa teks) ke dalam dua bentuk; Metode dakwah dan metode ilmiah. Metode dakwah acap kali berenang dalam samudra irasional, karena titik kulminasi dari metode ini hanyalah bagaimana tujuan tercapai, ideologisasi. Maka, ia menggolongkan buku al-Tsâbit wa al-Mutahawwil –bahkan lebih jauh al-Qur`an, sebagai teks dakwah, karena cita rasa yang ditawarkan lebih bersifat pembacaan ‘hiperbolik’ sejarah, irasional. Adapun metodologi ilmiah lebih mengedepankan validitas data-data sejarah, rasional dan data-data empirik. Penelusuran akar sejarah dengan metode kedua ini dirasa mampu menggiring nalar-kontemplatif pada ranah yang riil, sehingga pemahaman agama akan mampu mengawal laju-kembang fenomena sosial-kemasyarakatan.


Suasana hangat nan damai ruang diskusi, dibumbui keanggunan diksi kata yang dicomot rekanita Bangun Prastiwi Zahra melarutkan kawan-kawan LAKPESDAM ditengah hening-pekatnya malam itu. Di awal orasinya, ia mengurai terminologi al-Tsâbit wa al-Mutahawwil pada pemilihan istilah ‘keabadian atas perubahan’ (al-Tsâbit) dan ‘perubahan atas keabadian’ (al-Mutahawwil). Melacak jejak ke-jumud-an Bangsa Arab dapat ditelusuri dari konstruk pemikiran yang memposisikan agama sebagai identitas Bangsa Arab. Paradigma ini menggeret pada paradigma ‘penguncian’ wacana diskursus keilmuan produk peradaban lainnya. Padahal, Islam adalah ‘sesuatu’ (syaiun) dan peradaban Arab adalah sesuatu lainnya (syaiun âkhar). Sedangkan kemunculan Islam di tanah Arab hanyalah sebatas starting poin, tidak lebih!. Pembacaan Adonis oleh rekanita Bangun tidak hanya berkutat pada tatanan teoritis belaka. Ia mencoba mengaplikasikannya dalam bentuk nyata, dengan mencontohkan kondisi perfilman Indonesia pra-Petualangan Sherina, dimana masa itu terjadi kemandegan ruh-ruh berkarya. Namun pasca film tersebut, ruh itu kembali muncul dalam bingkai kebebasan berekspresi. Dari sini, rekanita Bangun memposisikan teks (al-tsâbit) sebagai kontrol terhadap kebebasan (al-al-mutahawwil). Karena, kebebasan tanpa kontrol hanya akan memunculkan masalah-masalah yang kurang –bahkan tidak- substansial.


Senada-seirama dengan rekanita Bangun, rekan Nova Burhanudin berasumsi bahwa manusia selayaknya diberikan kebebasan sepenuhnya, karena ada sisi lain yang akan menghentikan itu semua, yaitu sifat lemah manusia yang berperan sebagai kontrol itu sendiri. Setelah itu, rekan Nova membaca Adonis melalui prespektif Goenawan Mohamad yang menilainya sebagai sosok progresif dan memiliki semangat berubah. Begitu pula, penerapan al-Mutahawwil (kebebasab berubah) harus digandeng dengan pendekatan spiritual (logika agama-wahyu) agar tidak tercerabut dari akar tradisi dan ruh peradaban. Rekan Nova mengkomparasikan pemikiran Adonis dengan Ibn `Arabi dimana tidak ada yang absoulut (al-tsâbit) kecuali Allah swt. Terminologi al-Tsâbit wa al-Mutahawwil hanyalah sebatas permainan kata, karena masih bisa dikompromikan secara evolutif, dimana keduanya saling membentuk. Dalam bukunya, ia hanya memaparkan ‘kegentingan’ yang akan terjadi jika berpijak sebatas pada wacana klasik (turats-sejarah), sehingga teks akan bertransformasi ke dalam bentuk ‘sesembahan’ belaka.


Adapun rekan Ronny El Zahro, sosok pengagum marxis ini, menelisik potret Adonis dari dialektika materialis-evolutif. Menurutnya, ada titik kesamaan antara sesosok Adonis dengan Hasan al-Banna. Lingkungan pembentuk keduanya sama-sama lingkungan tak berperadaban secara intelektual. Keduanya merupakan representasi produk pendidikan lokal, dimana Hasal al-Banna tidak pernah mengenyam ‘cita rasa’ pendidikan diluar peradaban arab. Dia hanya mencicipi pendidikan di universitas Dar al-`Ulûm. Tidak jauh berbeda, kematangan Adonis-pun terbentuk di lingkungan Syi`ah-Arab, walaupun sedikit lebih beruntung dari al-Banna, karena ia pernah menjamah diskursus epistemologi barat saat mengais ilmu di Prancis. Lebih jauh, rekan Ronny mencoba memetakan kensep al-Tsâbit wa al-Mutahawwil dengan menyitir ungkapan Soroush bahwa bahwa titik tolak konsep al-tsâbit berakar dari teks al-Qur`an, dimana teks keagamaan ini ‘mengkungkung’ ragam sastra Arab. Sedangkan al-Mutahawwil merupakan konteks yang selalu berubah. Sayangnya, dalam bukunya, Adonis sama sekali abai terhadap pembacaan strukturalis-materialistik. Terlalu banyak friksi-friksi sejarah yang serta-merta dibiarkan menggeletak. Kenyataan kontras dengan analisa yang dikembangkan Khalil Abdul Karim ataupun ‘dedengkot-dedengkot’ marxis lainnya.


Ditengah suasana yang nampak lelah, rekan Nora Burhanudin hardir untuk menyegarkan kembali wacana Adonis. Berbeda dengan rekan Ronny, ia membandingkan Adonis dengan sesosok Nietzsche ditilik dari pendekatan keduannya yang menggunakan perangkart sastra dalam membaca ragam fenomena. Kegagalan Adonis dalam melukiskan sejarah peradaban Arab-Islam terletak pada tidak ditemukannya ‘aroma’ konstruk pemikiran utuh. Disaming itu, pendekatan fenomenologis yang digunakan untuk ‘mengobok-obok’ sangat reduktif. Apalagi buku al-Tsâbit wa al-Mutahawwil kehilangan logika bahasanya ketika dianalisa menggunakan teropong Jack Derrida. Rekan Nora mencurigai bahwa latar belakang penyair itulah yang menjadikan pemikiran Adonis tidak ditemukan seutuhnya sama sekali, sehingga perlu alat bedah sosio-kultur dalam memahami ontologi pemikiran Adonis secara utuh.


Gayung bersambut, partisipan baru LAKPESDAM, rekan Hakim menganjurkan pendekatan sastra yang sejatinya mampu mendedah Adonis. dia mencontohkan adagium Adonis bahwa; ‘Jika kita tidak menciptakan tuhan, kita akan mati. Jika kita tidak membunuh tuhan, kita akan mati’. Diksi ini akan mengalami reduksi bahkan justifikasi yang melenceng dari jantung substansi makna yang dimaksud, ketika didedah dengan pendekatan luar korpus sastrawawn.


Walaupun dari awal hingga menjelang akhir, moderator merupakan sesosok yang ‘paling banyak cuap-cuap nggak jelas’, tapi mutlak ‘waktu ada dalam kuasanya’. Rekan el-Sundani mencoba ‘mendagangkan’ pembacaan lain terhadap Adonis. Ketidaksepahaman dengan rekan Ahmad yang menganggap bahwa kesusastraan hanyalah pembaca peradaban (lahir dari dinamika kenyataan). Dengan menyerap konsep linguistika George Orwel bahwa jika saja pemikiran-kebudayaan bisa membentuk bahasa (kesusastraan hanyalah produk budaya), maka bahasa-kesusastraan mampu pula membentuk komunitas sosial. Dari sini karya Adonis tidak bisa disederhanakan sebatas perangkat sosial untuk membaca realiras-budaya, tetapi berfungsi pula sebagai pembentuk kultural, karena pada dasarnya bahasa-kesusastraan mempunyai ‘nilai penggerak’. Disamping itu, bagi rekan moderator, Adonis mempunyai sisi keterpengaruhan yang cukup kental dengan pemikiran politik Syi`ah sebagai unsur yang ‘tak sadar’. Hal ini terlihat ‘latah’ ketika mendedah pergolakan politik Islam pasca Wafatnya Nabi saw.


Menjelang akhir diskusi, waktu sepenuhnya milik koordinator, rekan Hadidul Fahmi sebagai tokoh muda kharismatik LAKPESDAM. Petuah awal yang terlontar adalah ketidaksepakatan dengan rekan Nora yang mengasumsikan bahwa Adonis menggunakan perangkat fenomenologi. Hal ini bisa dilacak ketika dikomparasikan dengan fenomenologi ala Hasan Hanafi, dimana ada diferensiasi akut antara keduanya. Rekan Fahmi lebih cenderung menggolongkan Adonis sebagai sosok yang cenderung menggunakan nalar-imajinatif-kontemplatif (khayâly) dalam pendekatan kesejarahannya. Menurutnya, pembacaan Adonis ketika merefleksikan stagnasi peradaban Islam karena kecenderungan itba`, bukan ibda`. Stagnasi ini berakar pada pembacaan statis wahyu, sehingga perlu adanya hadm al-dîn (dekonstruksi agama) dari bentuk statis menuju bentuk transformatif, dari teologi pengekangan menuju teologi pembebasan. Maka tak heran jika Adonis dituduh sebagai orang atheis dan diusir dari tanah kelahirannya. Dari sini, rekan Fahmi berasumsi bahwa ketika ingin maju, maka perlu –bahkan harus- membunuh sejarahnya, karena pada dasarnya al-rujû` haruslah kedepan untuk menemukan identitas, bukan al-rujû` ilâ al-mâdli (menoleh ke belakang untuk mengais sisa-sisa usang peradaban gemilang).

***

Hampir lima jam eksplorasi Adonis ini berlangsung. Pendekatan yang cukup beragam membuat suasana diskusi lebih hidup. Nuansa yang akan selalu tertanam dan mengkarat dalam alam bawah sadar kita sebagai penggalan cerita yang akan terkenang nan terindukan, romansa masisir.

fahmy farid p.

Setiap entitas peradaban selalu memendam ragam imaji. Dalam ruang khayal ini, sastra menemukan keorisinilitasan bongkahan jiwa manusia, jiwa yang senantiasa berdialektika dengan realitas dalam mengungkap kejeniusan mereka yang berjuang untuk hidup dan kebebasan melalui banyak generasi. Disamping sebagai perangkat untuk memotret konteks kesadaran lokal (al-wa`yu al-mahaliy) suatu masa, kesadaran mentalitas sastrawi ini juga merupakan perangkat intelektual yang unik dalam menyembunyikan suatu gagasan. Sehingga, sastra memendam daya penggerak peradaban dalam mengembangkan kekuatan nalar imajinatif-kontemplatif manusia. Sayangnya, diskursus sastra acap kali terabaikan di dunia Islam. Lika-liku diskursus kesusastraan di bumi Arab cenderung fluktuatif dan tidak semulus diskursus ke-Islam-an lainnya, semisal Fikih ataupun Tafsir. Begitulah rekan Andi Lukmanul Qasim memulai presentasinya saat mendedah konstruk nalar sastra Arab-Islam. Panggung diskusi Mizan kali ini diadakan di kediaman rekan Fahmy el-Sundawy; 19 April 2010, yang dimulai pada pukul 14.00 WIK. yang sekaligus didapuk sebagai moderator.


Cakrawala

Dengan menyitir Adonis, bahwa; ‘Sebaik-baknya penyair adalah syairnya tidak disandarkan pada pendapat pribadi, melainkan disandarkan pada naluri Syi`ir Jahiliy (kesusastraan pra-Islam), rekan Andi menegaskan pentingnya mengurai syair-syair yang berkembang pada masa pra-Islam (al-syi`r al-jâhiliy) sebagai titik tolak memahami nalar imajinatif Arab-Islam. Dalam arti, kesusastraan –selain dujadikan perangkat untuk membaca realitas- mempunyai pengaruh signifikan terhadap konteks sosio-kultur Arab pra-Islam. Maka, mendedah kesusastraan adalah seni melucuti pakaian peradaban suatu bangsa.


Menelisik lebih intim perkembangan kesusastraan pra-Islam, kesadaran bersejarah dalam konteks sosio-kultur Arab cukup memendam ragam polemik. Mulai dari permusuhan kabilah (polemic tribe) hingga fanatisme dan patriotisme golongan yang berlebihan (chauvinism). Dari sini, sastrawan memerankan lakon penting dalam jantung polemik tersebut, dimana para penyair kabilah menduduki posisi sentral dalam strata sosial masyarakat. Tak heran jika produk sastra yang berkembang, cenderung mengunggulkan kabilah tertentu. Maka, keterkaitan sastra dengan politik kabilah (al-`alâqah al-qabîlah) Arab sangat berpengaruh terhadap periwayatan syi`ir yang sering digiring pada ranah ambisi-ambisi pribadi dan kelompok tertentu. Kondisi sosio-kultur ini terekam jelas oleh jejak-jejak realitas kesadaran imajinatif masyarakat Arab pra-Islam sebagai sebuah fenomena kesejarahan.


Pada sisi lainnya, nalar kontemplatif (al-`aql al-khayâliy) yang berkembang, justru melemahkan daya nalar demonstratif (al-`aql al-burhâniy) Arab pra-Islam. Kekumuhan peradaban Arab pra-Islam ini merupakan panorama naif jika mempertimbangkan letak geografis Jazirah Arab yang dikelilingi peradaban megah, seperti Mesir, Persia, Romawi dan Yunani. Analisa Ahmad Amin dalam buku Fajr al-Islâm menguraikan bahwa; ‘Kelemahan dalam berargumen (Bangsa Arab) ini meletakan kita dalam sebuah paradigma, bahwa teks-teks sastra yang dibuat hanya berisi hal-hal yang bersifat takhayul dan berbau dongeng’.


Dari pemaparan tersebut, rekan Andi kemudian mencoba mengurai pergeseran epistemik terhadap geliat kesusastraan Arab pasca Islam. Agama Islam muncul ditengah budaya retoris-oral yang cukup kental bergumul dengan kultur Arab. Hal ini terbaca ketika menganalisa paradigma kesusastaan jahîliyah, kemudian terbentur dengan kekuatan dogmatik agama. Masa pergeseran paradigmatik ini sangat mempengaruhi konstruk nalar dan kesadaran Bangsa Arab dalam struktur kesusastraannya. Corak sastra yang sebelumnya lekat dengan polemik kekuasaan tribe (al-`alâqah al-qabîlah), menjelma dalam bentuk yang lebih dogmatis setelah nilai-nilai Islam bercumbu dengan kultur Arab. Masa itu, Al-Qur`an dijadikan tendensi dalam pembentukan Bahasa Fusha (gramatical language), serta kandungan dan uahlûb-nya sangat mempengaruhi nalar syair yang berkembang. Maka, kemunculan Islam (Al-Qur`an) merupakan titik tolak peradaban –khususnya kesusastraan- Bangsa Arab (al-marhalah al-ashâlah/al-marhalah al-ibdâ`iyah).


Pada wangsa kenabian, kesusastraan memainkan peranan yang cukup penting. Fungsi syair sebagai pembaca realitas sekaligus penggerak peradaban yang terpendam dibalik lekukan bahasa sama sekali tidak berubah. Sebagai fenomena kebudayaan, syair dibiarkan (tidak menjadi problem) ketika selaras dengan nilai-nilai Islam. Sehingga, syair bertransformasi menjadi sarana etik-moralitas, hikmah dan media keagamaan. Syair sebagai sebuah kesadaran lokal (al-wa`yu al-mahaliy) berakulturasi harmonis dengan kesadaran beragama (al-wa`yu al-dîniy/al-Islâmiy). Walaupun demikian, kesusastraan Arab belum menemukan jati diri yang mapan dan utuh pada dua masa tersebut (pra dan pasca Islam).


Pasca era kenabian, kesusastraan mengalami dinamika yang cukup fluktuatif. Dengan menggunaakan teropong pemetaan Syauqi Dlaif, rekan Andi mengklasifikasikan periode kesusastraan Arab dalam beberapa masa, yaitu masa pembentukan yang terjadi pada era jahîliyah yang didominasi oleh penyair kabilah. Kemudian dilanjutkan dengan wangsa kenabian dan Dinasti umayah sebagai cerminan periode stagnasi kesusastraan, hingga akhirnya mengalami masa kebangkitan ditangan Dinasti Abbasian dengan bermunculannya pujangga-pujangga eksentrik seperti Abu Nawas, al-Mutanabbi dan lainnya.


Dalam mengidentifikasi terma al-ashâlah dan al-dâkhil pada diskursus kesusastraan, rekan Andi membandingkan perangkat analisis al-Jabiri yang memvonis bahwa nalar Arab dibentuk oleh syair, dengan Adonis yang lebih condong pada analisa perubahan struktur naluri (nalar-kontemplatif) sang penyair. Bagi presentator, analisa Adonis dirasa lebih tepat dalam mendedah konstruk epistemik kesusastraan, karena aspek yang digunakan dalam pembentukan syair adalah ketidaksadaran (al-lâ syu`ûri) dan imajinasi (al-`âlam al-khayâli).


Pamungkas, rekan Andi menilai bahwa keorisinilitasan diskursus sastra yang berkembang pada kultur Arab dapat ditelisik dari sisi awal kemunculannya.

* * *

Setelah presentasi, diskusi dilanjutkan pada termin editorial. Sudah menjadi ciriwanci Mizan, diskusi selalu dimulai dengan kritik editing. Hal ini dirasa sangat penting dalam proses pembelajaran penulisan karya ilmiah. Termin ini selalu saja memunculkan sisi menarik. Salah satunya ketika rekan Abdul Rouf yang notabene sebagai koordinator, menekankan betapa pentingnnya menjadi diri sendiri, seraya berujar; Sebaik-baiknya manusia adalah bagaimana menjadi diri sendiri, sebaik-baiknya tulisan adalah tulisan karya pribadi (bukan plagiat ataupun copy-paste –red).


Dialektika Diskusi

Bagi rekanita Lailatu Zakiyah (yang akrab dipanggil tZ), membaca syair adalah tentang bagaimana memahami kedalaman makna. Dengan mencontohkan ketika rekan Yunus yang berjalan dengan rekan Syifa bagaikan korek api, bisa diartikan sebagai ungkapan imajinatif bahwa; Wajahmu bercahaya karena ada wanita disampingmu’. Maka, pada dasarnya sejarah peradaban (tarikh al-hadlârah) sangat berkelindan dengan bahasa (sosiolinguistik), dimana struktur kesusastraan bisa dijadika sebagai salah satu perangkat dalam menyajikan keotentikan data sejarah.


Kultur Arab sendiri sangat identik dengan budaya Sastra. Hal ini tercermin dalam karakteristik tiap periode perkembangannya. Syi`ir jâhiliy lebih menonjolkan sisi yang cukup ‘berdarah-darah’ sebagai konsekwensi logis pelemik kabilah. Sedangkan periode Daulah Umayah dan Abbasiyah cenderung tumpang-tindih dengan polemik kekuasaan, karena syair selain dijadikan media dakwah, juga menjelma menjadi perangkat untuk mendapatkan kekuasaan, kehormatan dan harta. Walaupun demikian, peranan syair dalam perkembangan peradaban Islam cukup signifikan. Dari titik tolak inilah, rekan Tz meyakini bahwa al-ashâlah (keorisinilitasan) sastra adalah apa-apa yang menyeruak dari nalar-imajinatif sang penyair. Dan terma al-dâkhilah (penyusupan) justru ketika nuansa keterpengaruhan pada nilai-nilai diluar diri berdialektika dengan ‘cita rasa’ berbahasa seorang pujangga.


Pendekatan historis coba ditawarkan rekan Fahim Khasani. Dia mencoba menelusuri kesusastraan dari akar pembentuknya. Pada mulanya diskursus kesusastraan kurang mendapatkan perhatian di dunia Islam, karena al-Qur`an dan hadits diposisikan sebagai pijakan dasar gramatika Arab fusha. Namun, futuhât yang terjadi pada masa-masa setelah wafatnya Nabi saw., telah membuka ruang peleburan budaya. Konsekuensi logis ketika konstruk gramatika Arab berakulturasi dengan struktur linguistika lokal (`azâm) adalah kerusakan pola bahasa kesusastraan Arab. Orang-orang `ajâm (asing) masuk Islam yang mempelajari Bahasa Arab (kesusastraan) cenderung kurang memahami ‘cita rasa’ pembentuk sastra Arab (dzauq al-`arabiy). Mereka menganalisa syair terbatas pada tataran permukaannya saja, dengan mengedepankan cita rasa lokal (dzauq al-`ajâmiy). Ditengah pergeseran ini, banyak pakar linguistika klasik yang mempelajari bahasa-sastra Arab dari orang-orang badui (pelosok) dalam membangun kembali kerangka utuh gramatika Arab. Maka, bagi rekan Fahim, pergeseran dari (dzauq al-`arabiy) menjadi (dzauq al-`ajâmiy) sejatinya merupakan terma al-dakhîlah itu sendiri.


Selanjutnya, rekan Ahmad Syafiuddin memandang bahwa kedudukan sastra (syair) mempunyai kekuatan yang bisa dijadikan hujjah, sebagaimana posisi hadits dimata umat Islam. Selain itu, syair juga selalu dipengaruhi ideologi tertentu layaknya gerobak dogma. Dengan mengambil sampel al-Qur`an, dia meyakini bahwa ‘Tuhan merupakan pujangga sejati yang tak terduga’. Al-Qur`an disini diposisikan sebagai media ideologisasi-dogmatisasi agama. Akan tetapi, rekan Syafi menyangsikan keorisinilitasan sastra Arab-Islam. Syair Islam dicurigai hanyalah sebatas copy-paste peradaban lain, semisal Basrah dan Kuffah. Diakhir orasinya, dia mempertanyakan apakah syair Islam itu ada?


Sebagai ratu Mizanis, rekanita Syifa Fauziah membaca bahwa kesusastraan pada masa jahîliyah adalah pantulan realitas tiap-tiap kabilah. Mereka mempunyai maestro pujangga masing-masing sebagai panglima penggerak spiritual. Adapun karakteristik sastra wangsa itu cenderung tendensius terhadap fenomena keseharian. Corak yang berkembang lebih mengedepankan panorama alam, kekuatan kuda dan lainnya. Dalam arti, kesusastraan Arab pra-Islam terbungkus dalam lekukan-lekukan keindahan (jamâliyah). Sedangkan pasca Islam lebih mengedepankan nilai-nilai sosial dan moralitas-etik (ijtimâ`iyah wa akhlâqiyah). Hal senada juga disampaikan Miszanis baru, rekanita Dewi. Tidak hanya itu, rekan Syifa melakukan analisa kenapa teks keagamaan umat Islam tidak dinamakan al-kitâb, tetapi al-Qur`an? Hal ini ditengarai karena budaya oral sangat kental melekat pada kultur Arab jahîliyah.


Dengan kalemnya, rekan Abdul Rouf menekankan pentingnya fungsi syi`ir jâhiliy sebagai salah satu representasi absah struktur gramatika Arab. Adapun kemunculan Islam merupakan titik tolak sebuah paradigma baru, dimana Islam datang sebagai pembatas peradaban antara masa jahîliyah dengan era paencerahan. Keberadaan Al-Qur`an ditengah para penyair Arab jâhiliy telah merubah alur kesusastraan mereka, karena kemunculannya bukan sebatas nilai dogmatis-agamis, tapi sekaligus membawa nilai estetis-sastrawi. Jadi, selain sebagai fungsi sosial, wahyu menjelma sebagai standar baku gramatika Arab fusha, karena pada dasarnya al-Qur`an bisa ditelaah dengan pendekatan apapun, termasuk linguistika (sastra).


Lebih lanjut, rekan Rouf menyangsikan rumusan awal ulama klasik banyak yang melihat aspek bangunan i`jâz al-Qur`an pada konsep linguistikanya. Padahal, pemetaan al-Qur`an sama sekali tidak membutuhkan analisa ekternal sebagai pembanding syi`ir jâhiliy. Pendekatan internal justru akan menempatkan al-Qur`an pada ranahnya. Karena keduanya mempunyai sumber imajinasi berbeda, dimana al-Qur`an sebagai kalam Tuhan dan sastra sebatas bahasa manusia. Dari sini, harus ada pemilahan terlebih dahulu antara sastra Islam sebagai representasi nilai-nilai dan ushlûb al-Qur`an dengan sastra Arab sebagai representasi nilai-nilai lokal. Perlu kiranya penetralan sastra Islam dari unsur-unsur luar, sehingga bisa ditemukan unsur-unsur keorisinalitasannya.


Ditengah raut lelah Mizanis seiring malam yang semakin larut, rekan Subhan Azhari muncul bak pahlawan bertopeng yang menyegarkan kembali wacana diskusi. Dia melihat adanya simbiosis mulualisme ketika syair melebur dengan agama, dimana Islam menggunakan sastra sebagai perangkat dakwah. Bisa dipahami bahwa terjadi saling keterpengaruhan (al-tatsîr wa al-taatsûr) antara syair dengan realitas dan terbentuk dialektika antara subjek (penyair) dengan objek (kultur). Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan fenomenologi, rekan Subhan melihat adanya pergeseran paradigmatik antara sastra Arab klasik dengan sastra modern. Dalam arti, ketika modernitas muncul, akan selalu diiringi krisis dan ketimpangan lainnya, semisal sisi humaniora dan lainnya. Begitu pula yang terjadi pada syair, banyak sisi-sisi kesusastraan yang tercerabut dari akar budayanya.


Aspek kesejarahan juga ditawarkan rekanita Arlie Nurdiani. Sebagai prakata awal, dia melihat kultur sastrawi Arab (diwân al-`arab), sejatinya representasi dan refleksi kesadaran masyarakat lokal setempat. Mengingat peradaban Arab jahîliyyah sama sekali melum mengenal budaya tulisan, banyak sekali syair yang musnah bersama sang penyair. Hal ini telah mereduksi berbagai aspek historikal, sehingga pembacaan sejarah cenderung tidak utuh dan menjadikan kesulitan tersendiri ketika mengidentifikasi terma al-ashâlah dalam sastra Arab. Babak baru kesusastraan justru lahir ditengah peradaban Islam (al-Qur`an). Melalui prespektif Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islâm dan Imam Suyuthi, rekanita Arlie melihat banyaknya pengistilahan baru yang tidak ditemukan dalam syi`ir jâhily, misal kata munâfiq dan jahîliyah. Sedangkan stagnasi sastra terjadi pada masa Daulah Umayyah yang dilakukan kelompok opurtunis dalam mendukung komunitasnya sekaligus menjatuhkan kelompok lainnya. Adapun era kebangkitan sastra terekam jelas saat Dinasti Abbasiah, di bawah kepemimpinan Abu Ja`far al-Mansyur, sebagai ekses gerakan kodifikasi (harakah al-tashnîf/harakâh al-tarjamâh).


Diawali senyuman khasnya, rekan Suhardiansyah menelisik pergeseran terma adâb. Dari kaca mata budaya Islam, adâb tidak hanya dipahami sebatas sastra (syi`ir jâhiliy), akan tetapi mencakup aspek tahdzîb dan tarbiyyah, sebagaimana pada wangsa kenabian. Saat masa Umayyah, adâb dipahami pula sebagai bentuk ta`lîm, kemudian mengerucut pada diskursus Nahwu dan Sharaf di era Abbasiah. Setelah itu, rekan Suhe melompat pada pembahasan kesusastraan, dimana melalui pelacakan akar pembentuknya, kultur Arab jahîliyah cenderung miskin kreatifitas. Syair yang berkembang hanya berkutat pada permasalahan konflik kabilah. Maka, sangat pantas jika salah satu aspek i`jâz al-Qur`an adalah unsur bilâghah-nya. Para penyair tidak mampu membuat padanan al-Qur`an, lalu menyerah dan tidak mambuat tandingannya lagi. Namun, kesusastraan Islam sendiri sejatinya tidak menemukan bentuk utuhnya, sehingga konsepsi al-dakhîl sendiri menjadi kabur-bias.


Sebagai seorang intelektual masisir yang cukup nyentrik dengan rambut terurai nan panjang, rekan Ronny el-Zahro melakukan pendekatan dialektika materialistis terhadap kesusastraan Arab. Sebagai prakata pembuka, dia mengajak rekan diskusian untuk merenungkan sejenak perkataan Pramodya Antara Noer, ketika karya-karyanya dibakar penguasa bahwa‘Begitulah bangsa yang tidak mau menghargai karya anak bangsanya’. Dalam arti, kemunculan karya sastra akan selalu mempertemukan dua kepentingan, yaitu dzaûq dan pandita. Dalam prespektif Syauqi Dlaif, kesusastraan mengalami masa paceklik paling akut, karena terjadi penjiplakan (plagiatisme) dengan corak yang sangat ekslusif. Kesusastraan pada masa suram itu hanya bisa dinikmati kalangan kerajaan, tanpa melibatkan rakyat jelata.


Selain itu, rekan Ronny melakukan pembacaan pada konstruk psikologi Bangsa Arab, dimana para penyair merupakan simbol kedigdayaan suatu kabilah yang bertanggung jawab atas nilai-nilai spiritual mereka. Dalam konteks ini, sastrawan mempunyai strata tinggi dalam peradaban arab pra-Islam. Ditengah sikap chauvinistik pada perkembangan kesusastraan mereka, al-Qur`an muncul menjadi anti-tesis syi`ir jâhiliy. Terjadi dialektika intim antara dzaûq religi (cita rasa agama) sebagai sesuatu yang benar-benar baru dengan dzaûq mahalliy (cita rasa lokal) yang usang. Hanya saja, sesuatu yang baik selalu memunculkan pengaruh yang baik. Itulah unsur-unsur yang ada dalam al-Qur`an yang penuh muatan rekonstuktif sosial, politik setra ekonomi yang tidak bisa dilakukan syi`îr jâhiliy.


Diawali dengan menyitir Karl Marx bahwa kebenara harus ditopang ideologi tertentu, Mizanis paling lugu (rekan Masykur Abdillah) melakukan pemetaan epistemik atas perkembangan nalar yang berkembang di dunia Arab-Islam dan Barat. Nalar Arab-Islam lebih bersifat ideologis-politis, dimana semakin dekat dengan masa awal kemunculannya, maka peradaban suatu bangsa dinilai maju (saleh). Sedangkan nalar Barat lebih mengedepankan pembacaan visioner. Dalam arti, semakin menjauh dari masa lalu, semakin gemilang suatu peradaban.


Bagi rekan Masykur, kemunculan syair merupakan refleksi alam bawah sadar seseorang ketika berujar. Maka seseorang mencapai derajat sastrawan-pujangga, layaknya nabi mencapai derajat wahyu, karena disanalah batas nalar-kontemplatif bermain (intelectual of taste and passionate). Dari sini, terma al-ashâlah menjelma ketika nalar-imajinatif (al-`aql al-khayâliy) menjadi baju kesadaran, sedangkan al-dâkhil sendiri ketika nalar tersebut terlepas dari pakaian kesadarannya, menjelma ditopang kepentingan ideologis tertentu.


Jika kita mengenal Adonis sebagai maestro pujangga Arab kontemporer, maka di bumi Kinanah ini semua masisir pasti mengenal maestro intelektual masisir, rekan H. M. Yunus Masrukhin Lc. Dia meyakini bahwa konsep adalah tentang bagaimana logika mengkonsepkan dan kebenaran adalah bagaimana logika membenarkan. Diluar itu, hanya Tuhan yang tahu.


Malam itu, dengan tutur bahasa yang lirih nan berapi-api, sang romeo Mizan memulai dengan melantunkan puisi Ibn Arabi:


Hatiku telah menerima sebentuk kepercayaan

Kepercayaan penggembala yang menggembala kambingnya

Kepercayaan pendeta dibalik dinding gerejanya

Kepercayaan seorang pagan dalam biaranya

Kepercayaan muslim ketika bertawaf

Kepercayaan yang ada dalam tiap lembar Taurat

Kepercayaan yang ada dalam al-Qur`an

Aku memeluk agama cinta

Kemanapun para karafan itu beranjak pergi

Disitulah cintaku berada

Cinta adalah agama dan cintamu


Pada prinsipnya, tiap entitas syair mewakili sebuah bentuk semiotika yang berbeda. Pada fase pra-Islam, corak natural (al-washf al-thabî`ah) kesusastraan cenderung mencerminkan fenomena dan tabiat keseharian kultur Arab. Selanjutnya, kesusastraan mengalami pergeseran menjadi dogmatik-otoritatif pada wangsa awal kemunculan Islam. Saat itu, syair-syair difungsikan sebagai perangkat dakwah, medium penjelasan isi dan doktrin agama. Sedangkan pasca Islam, syair digunakan sufi untuk menjelaskan gairah (dzauq/passion of love).


Lebih lanjut, rekan Yunus menelisik struktur kata dengan menggunakan pendekatan semiotik. Meminjam metodologi al-Farahindi, yaitu pembolak-balikan suku kata (taqllîb al-hurûf), dia menguraikan kata adâb yang terbentuk dari huruf alif, dâl dan bâ, serta kata syi`ir yang terbentuk dari syin, `ain dan râ. Kemungkinan kata yang muncul dari tiap suku kata pembentuk keduanya sama sekali tidak menunjukan adanya pemaknaan yang bertendensikan logika (`aqliyah). Hal ini merupakan cerminan nalar imajinatif-kontemplatif sebagai kesadaran lokal Arab saat itu. Kata adâb dan syi`îr digunakan untuk menunjukan sekelumit fenomena keseharian yang terbungkus ruang-waktu partikular-temporal dan selalu berubah.


Dengan menggunakan metodologi mimēsis, karakter antropomorforis kesusastraan masa jahîliyah mampu diidentifikasi, dimana proses dialektika realitas yang dipahami penyair dengan nalar imajiner (al-`âlam al-khâyaliy) termanifestasikan dalam imajinasi teratur pada syair. Inilah bentuk al-ashâlah kesusastraan Arab pra-Islam.


Nuansa berbeda hadir ketika Islam datang, dengan ditandai kemunculan sastra yang beraroma surgawi, neraka, teologis dan lainnya. Di sini, doktrin agama berfungsi sebagai sumber otoritatif atas gairah serta modalitas penyair saat mendendangkan karyanya yang bercorak dogmatis. Jadi, syair tidak lagi sebatas fungsi mimetik, tapi sekaligus menjadi perangkat sastra visioner (visioner literacture). Proses akulturatif mimetik jâhiliy dengan wajah visioner Islam terejawantahkan dalam struktur kesusastraan. Dalam arti, sastra bukan hanya diposisikan sebagai cerminan realitas, tapi berusaha membentuk kenyataan baru dari sebuah dogma agama. Maka dapat dikatakan bahwa Islam muncul sebagai sebuah penanda penting menyeruaknya terma sastra Arab-Islam.


Dalam perkembangannya, syair mengalami persinergian positif dengan disiplin keilmuan Islam lainnya yang terkodifikasikan secara mapan pada wangsa Umayyah dan Abbasiah. Kesusastraan tidak dilarang melanjutkan fungsi visionernya, sehingga banyak ditemukan diskursus teologi, fikih, gramatika dan lainnya disyairkan. Walaupun demikian, persinergian ini mengakibatkan pemiskinan dzauq imajiner Arab yang semakin kering, tapi bentuk visi yang hendak dikembangkan Islam menjadi nyata sebagai representasi utuh nalar Arab-Islam. Maka, visioner poetry mengalami titik kulminasinya sebagai bentuk al-ashâlah dalam diskursus kesusastraan Arab-Islam.


Terakhir, rekan Fahmy melakukan pembacaan terma al-ashâlah dan al-dâkilah menggunakan titik tolak Lubaid ibn Rabi`ah yang mengatakan bahwa; ‘Saya tidak akan pernah lagi berbicara syair (syi`ir jâhiliy) setelah Allah swt. mengajariku surat al-Baqarah dan Ali Imran’. Dari sini, terjadi jeda terma al-ashâlah dalam struktur gramatika Arab, dimana al-Qur`an muncul sebagai titik mula orisinilitas linguistika yang menggeser paradigma syi`ir jâhiliy. Yang menjadi permasalahan, apakah syi`ir merupakan entitas instrintik agama/al-Qur`an (dâkhilan fî al-dîn) ataukah entitas ekstintik tersendiri yang digunakan menganalisanya (mustaqillan `anhu).


Disamping itu, rekan Fahmi mencoba menelusuri kata syâ`ir dalam al-Qur`an yang selalu bersanding dengan kata majnûn (orang gila), sâhir (penyihir), kâhin (peramal), bahkan syaitan. Hal ini seolah-olah menunjukan bahwa agama memandang syair sebagai unsur kesesatan yang merujuk pada penyair jahîliyah. Akan tetapi, terdapat peng-istitsna-an dalam hal ini, dimana agama juga cukup memberikan apresiasi terhadap syair-syair yang mengandung nilai-nilai agama. Maka, kesusastraan yang mulanya terbentuk dari keterkaitan nalar penyair dengan keindahan, kabilah dan fenomena kultural (al-`alaqah al-qabîlah wa al-jamâliyah), ditangan Islam berubah menjadi keterkaitan penyair dengan kultur ideologi dan sosial-keagamaan (al-`alâqah al-ideôlojiah wa al-ijtimâ`iyah). Maka titik kulminasi dan keorisinalitasan suatu nilai sastrawi akan selalu berubah ditangan kuasa masa.

* * *

Begitulah sekelumit potret dialektika diskusi Mizan dengan pekat malam sebagai saksi. Acara kali ini berakhir sekitar pukul 23.30 WIK. Untuk kedepannya, diskusi reguler ini diliburkan untuk menghadapi ujian term II. [el-sundawiy]