fahmy farid p.

Antara Romansa Heritage dan Pesona Modernitas

Sesungguhnya penilaian yang berkutat pada kandungan umum teks turâts (warisan-tradisi, heritage, patrimoine, legacy) dan sama sekali abai terhadap pendekatan linguistik dan mantiq (logika) yang membentuknya, hanya akan menjerumuskan pada pandangan fragmentaris terhadap turats-Taha Abdurrahman-[1]


Sebuah Cakrawala
Turâts (tradisi) selalu menjadi problematika tersendiri dalam tatanan kehidupan modern. Dan kini, turâts telah menemukan kenyataannya, gelombang hujatan sekaligus arus pembelaan. Para islamolog sendiri memiliki kekhasannya masing-masing dalam membaca turâts. Diantara mereka ada yang menjamah tataran kandungan turâts an sich (qirâah tikrâr), tanpa analisa komprehensif atas ‘jejak-jejak metodologis’ pembentuknya, mengisolasi diri dari modernitas, terjerembab dalam kubangan pesona kegemilangan peradaban Islam klasik, tidak produktif serta hanya melahirkan pola pembacaan regresif. Yang lainnya melakukan pelbagai pendekatan dengan menggunakan perangkat ilmiah kontemporer bentukan peradaban barat (western’s/orientalism’s approach). Sayangnya, pendekatan ini telah mereduksi sisi-sisi asasi jantung substanbsi tradisi Arab-Islam, ataupun hanya berkutat pada sisi objek materiil-empirik. Adapun pembacaan ketiga lebih mengedepankan analisa kandungan turâts dengan bertendensikan instrumen-instrumen metodologis dari akar pembentuknya (manâhij wa adawât mua`shalah), sekaligus memanfaatkan metodologi yang diserap dari peradaban luar Arab-Islam (manâhij wa adawât mankûlah), dengan ‘menjaga jarak’ (melakukan kritik dan filterisasi) terhadapnya. Karena turâts memerankan lakon penting sebagai ruh pemikiran dalam proses pembangunan peradaban.[2]

Ragam cara pandang terhadap posisi turâts ini terdikotomikan pada dua sisi, salafi-konservatif yang masih menganggap relevansinya dalam berdialektika dengan realitas modern, seolah-olah kekinian merupakan representasi an sich masa lalu dan kontemporer-modernis-liberal yang memposisikan turâts sebatas kesadaran dan kesalehan yang telah ‘kadaluarsa’ sebagai sisa-sisa peradaban Islam klasik yang perlu ‘didekonstruksi’, untuk kemudian memulainya lagi dari titik nol. Benturan kedua poros ini kemudian melahirkan poros moderat yang mencoba mendialektikakan turâts dengan piranti-piranti analisis modern tanpa mengesampingkan nilai-nilai normatifnya, dengan tidak melakukan pembacaan pada tataran ‘permukaan’ turâts, deliberalisai. Dalam arti, gelombang masif kritikus turâts telah menghadirkan dialektika antara romansa heritage (tradisi) dan pesona modernitas yang cukup beragam.

Bagi barat, nalar (al-`akal) merupakan instrumen dasar kehidupan. Corak stuktur nalar barat ini kental dipengaruhi relasi ekonomi dan pertentangan kelas. Namun, kegemerlapan peradaban barat -dalam prespektif filsafat moral transendental (al-akhlâqiyah)- telah terjerembab dalam jurang berbahaya, materialistik-empirik serta positivistik. Bahwa sebuah gagasan tanpa melibatkan isu etik hanya akan menggeret pada disintegritas pembacaan realitas. Sedangkan bagi Timur, rahasia alam semesta terletak dalam cinta (`isyqi). Dari titik tolak ini, struktur nalar arab cenderung menjadikan relasi sosio-kultur, kekeluargaan dan etnis sebagai poros pergerakan sosial. Hanya saja, pasungan metafisik-spiritualistik menjadi problematika tersendiri ketika digunakan membaca fenomena-fenomena realitas, dimana pembacaan yang didominasi intuisi hanya akan membentuk nalar mitologi dan takhayul pada masyarakat (mikhyâl al-mujtama`).[3]

Pada awal perkembangannya, corak kebudayaan Arab-Islam terbentuk dalam sikap inklusif. Penaklukan (futûhat) yang dilakukan Dinasti Umayyah mencakup beberapa kawasan yang kental dengan ruh Hellenistik (seperti Mesir, Syam, Irak dan Persia-Iran), sehingga terjadi persenggamaan budaya dan ideologi (cross cultur and ideology) antara keduanya. Disamping itu, penerjemahan wacana filsafat Yunani pada masa Dinasti Abbasiah (750-1258 M.) telah mengubah mindset dunia akademik Arab-Islam.[4] Perbedaan latar belakang struktur sosio-kultur, sejarah peradaban dan pengaruh pemikiran Yunani kuno, berakulturasi dengan nalar Arab-Islam.

Pada masa itu, Islam tidak diposisikan sebagai agama eksklusif bangsa Arab, juga tidak menutup diri terhadap segala dinamika peradaban lain (inklusif). Hal ini sebagaimana Islam di Jawa yang berakulturasi dengan budaya lokal melalui media wayang Purwa (wayang kulit bercorak Islam) atas kepiawaian Sunan Kalijaga, Sunan Drajat menggubah tembang Pengkur, Sunan Kudus dengan gending Maskumambang dan Mijil, bahkan Sunan Kalijaga mengajarkan Islam melalui media seni wayang Golek. Eksesnya, terjadi pengaburan orsinilitas diskursus Islam klasik disatu sisi, akan tetapi semakin memperkaya alat bedah serta optik pembacaan Islam itu sendiri pada sisi lainnya (efek ganda). Maka, perlu adanya analisa ketat dalam mengidentifikasi ajaran agama yang bersifat universal dan lokal (produk budaya).

Namun, Pasca runtuhnya Dinasti Baghdad dibawah kepemimpinan Hulagu, geliat ini mencapai titik stagnasi (sekitar abad ke-10 H.). Sikap taqlid dan jumud merajalela dalam dinamika akademik Islam yang muncul dari stigma buruk pada –sebagian- kalangan umat Islam sendiri dalam memandang moderenitas -terutama peradaban Amerika dan Eropa. Hal ini menjerumuskan mereka pada sikap arogansi, fanatisme kesukuan serta chauvinistik (sifat patriotik yang berlebih-lebihan). Mereka lebih senang mengisolasi diri dari segala dinamika moderenitas dan hanya bangga akan sejarah kegemilangan wacana Islam klasik (turâts). Padahal, pembentukan identitas kemasyarakatan tidaklah kaku dan paripurna, akan tetapi selalu mengalami proses dialektika-akulturatif yang memungkinkan terjadinya penarikan dan pembentukan ulang kondisi sosial kemasyarakatan melalui proses cross cultur.[5]

Tragedi keterpurukan diatas puing-puing stagnasi konstruk nalar Arab-Islam, telah menimbulkan gejolak dan riak-riak gelombang amukan pembaharuan. Pemberontakan terhadap gurita hegemonial-otoritatif dan kekuatan dogmatik turats yang terselubung, perlahan-lahan menyeruak ke permukaan sebagai respon atas perlakuan represif terhadap kuasa pengetahuan. Proyek kebangkitan Islam (al-nahdloh) ini mengalami lompatan cukup signifikan dan turut mempengaruhi paradigma berfikir para intelektual yang concern terhadap diskursus keagamaan, sekalipun masih dalam skala kecil. Perluasan wacana ini diikuti dengan mulai bermunculannya berbagai corak pemikiran akibat persenyawaan rasional, realitas sosio-politik, ragam budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam tatanan kemasyarakatan.

Maka, pola interpretasi terhadap turâts yang tepat, sangat urgen dalam mengawal polemik rivalitas pemikiran Islam klasik dan kontemporer. Turâts yang awalnya –seolah-olah- terang benderang nan tenang, didobrak untuk kemudian dilakukan ‘pembacaan kedua’ (baca; rekonstruksi) agar terwujud nuansa harmoni antara rasionalitas (`aqlâniah) dengan moralitas-etik (akhlâqiyah), tanpa terjerumus dalam sikap rasisme, fragmensial (tajzîiy) serta preferensial (tafâdluliy) pemikiran. Pembacaan ini akan terwujud dengan melakukan problematisasi-kritik pembacaan turâts secara ilmiah dan objektif tanpa menjaga jarak (distanciation) dari akar tradisi sebagai instrumen dan karakter dasar pembentuk peradaban Arab-Islam. Dari sini, pendekatan rasoinalitas mempunyai peranan penting dalam usaha melenyapkan unsur mitologi agama. Sedangkan pendekatan moral-etika akan menjaga dari pembacaan rasialis, fragmensial serta preferensial.

Potret Umum Taha Abdurrahman
Pada tahun 1944, bumi Maroko (Prov. al-Jadid tepatnya) kembali melahirkan seorang calon intelektual Islam, Taha Abdurrahman. Perkembangan dunia intelektual Arab-Islam kontemporer di tanah yang pernah terkungkung kolonialisme Prancis memang acapkali memunculkan pemikir-pemikir progresif, sebut saja Salim Yafut pada diskursus epistemologi, Abdul Majid al-Sugair di relasi kekuasaan vis a vis pengetahuan, Muhammad Sabila dalam konstruk modernitas, Abdussalam Benabdelali pada diskursus filsafat kontemporer, Abdullah al-Arawi pada sejarah, Ali Omleil di sosiologi, hingga Abid al-Jabiri di kritik nalar. Adapun Taha Abdurrahman sendiri consern di bidang logika (mantiq), filsafat linguistik (falsafah al-lughah) serta filsafat etik (falsafah al-akhlâq/philosophy of morality), melalui pendekatan humanistik-etik (akhlâqiyah insâniyah) serta nilai-nilai agama Islam. Ia adalah salah satu ahli logika yang cukup menonjol dalam pemikiran Arab kontemporer.

Di Prov. al-Jadid-lah, Taha Abdurrahman mengawali karir intelektualnya, untuk kemudian melanjutkan sekolah menengah di Casablangca. Proses kematangannya mulai terbentuk di Universitas Muhammad V Rabat-Maroko,[6] dimana ia mendapatkan lisensi awal dalam bidang filsafat. Gelar doktoralnya ia peroleh di Universitas Sorbonne, Paris-Prancis pada tahun 1972 M., dengan tesis yang berjudul al-Lughah wa al-Falsafah; Risâlah fî al-Binyât al-Lughawiyah li Mabhats al-Wujûd (Language and philosophy: a study of the linguistic structures of ontology). Pada tahun 1985 M. ia menyelesaikan tesis keduanya di universitas yang sama dengan judul Risâlah fî Mantiq al-Istidlâl al-Hijâjiy wa al-Thabî`iy wa Namâdzujihi (study of argumentation and its methods) dan mendapatkan gelar Pd.H-nya.

Karir dunia akademik Taha Abdurrahman dihabiskan mengajar Filsafat Bahasa dan Logika di Universitas Mohammed V dari tahun 1970 M. hingga pensiun di tahun 2005 M. selain itu, ia mewakili Maroko sebagai anggota International Society For the Study of Argumentation (al-Jam`iyah al-`Âlamiyah li al-Dirâsât al-Hijâjiyah), juga mewakili Gesellschaft für Interkulturelle Philosophie / Society of Intercultural Philosophy (al-Markaz al-Aurûbi li al-Hijâj). Disamping itu ia menjadi direktur Wisdom Circle for Thinkers and Researchers (Muntadi al-Hikmah li al-Mufakkirîn wa al-Bâhitsîn). Doktor Taha Abdurrahman dua kali menerima penghargaan nobel dari Maroko, seta pada tahun 2006 M. dianugrahi nobel Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization (INESCO) yang berpusat ti kota Rabath-Maroko.[7]

Secara umum, pendekatan filsafat Taha Abdurrahman terbagi menjadi tiga elemen penting. Pertama, mengidentifikasi dugaan hubungan antara filsafat -secara umum- dan modernisme –khususnya- dengan pemikiran barat. Pendekatan ini memungkinkan setiap entitas peradaban menelusuri akar filsafat dan titik tolak modernitas sebagai instrumen esensial pembentuk sosio-kultur khas yang membedakan satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Kedua, reinterpretasi hubungan antara etika-moralitas sebagai sebuah pengalaman hidup, bukan pemikiran, dengan pemikiran teoritis -secara umum- dan konsep medernisme –khususnya. Melalui pendekatan ini, entitas pemikiran teoritis dan pengalaman etis (ethical living experience) diletakan terpisah, tapi dalam satu wadah yang sama layaknya dua sisi mata uang. Ketiga, konseptualisasi pengalaman etik (al-`amal al-akhlâqiy) di atas konstruk dasar dan nilai-nilai agama Islam serta pendekatan baru terhadap teks Al-Qur`an, karena mempertimbangkan titik mula pesan Islam yang mengusung semangat humanistik.

Dalam pespektif Taha Abdurrahman, memisahkan elemen pemikiran teoritis (theoretical thought/al-falsafah al-nadzriyah) dari aktifitas etik (al-akhlâq al-`amaliy/ethical activity) merupakan pendekatan yang absurd. Hal ini menjadi kritik tajamnya terhadap perkembangan konstruk dasar pemikiran modernisme barat yang abai –kurang perduli- dengan pendekatan aktifitas etik, sehingga mereka menjelma menjadi sebuah entitas manusia yang maju (modern) namun terlihat ‘kering’. Begitu juga kecamannya pada konstruk pemikiran Islam, baik klasik maupun kontemporer, karena tidak menggandeng teori-teori filsafat etik secara memadai. Atas dasar kegamangan dan kegelisahan ini, Taha Abdurrahman mencoba mendialektikakan kedua unsur tersebut dalam satu wadah, membangun konstruk baru modernisme-etik (hadatsiy-akhlâqiy) untuk menyempurnakan kekurangan dua pendekatan tersebut. Puncaknya, dia mencoba membangun teori Islam etis (ethical Islamic theory) untuk memenghadapi teori-teori peradaban barat yang dibangun tanpa menggandeng teori-teori etik (un-ethical position), ataupun kecacatan dan kegagalan teoritisasi etik non-Islam.

Proyek persenyawaan ini dipicu oleh kerancuan-kerancuan hasil analisanya, dimana peradaban logos (hadlârah al-qaul/disambiguation) telah membentuk tiga kecacatan yang menghantam peradaban manusia dari sisi filsafat etik. Pertama, pengungkungan yang membatasi tindakan etis (al-tahdîd). Kedua, pembekuan yang mengisolasi tindakan etis
(al-taqthî`). Ketiga, redustifikasi yang menolak tindakan etis (al-tanmîdz). Kecacatan hasil bentukan peradaban logos ini merupakan bentuk ketidakadilan yang meluluh-lantakkan peradaban manusia ketika menyadari bahwa esensi kemanusiaan hanya bisa didefinisikan melalui pendekatan etik.[8] Di sisi lain, gerakan-gerakan kebangkitan agama Islam pada dua dekade terakhir telah memunculkan reaksi yang cukup beragam. Hanya saja, proyek ini tidak memiliki dasar teoritis memadai yang memenuhi standar metodologi ilmiah kontemporer.[9]

Revisi Turâts Model Taha Abdurrahman
Secara umum, turâts merupakan romansa ragam produk budaya dan intelektual peradaban masa lampau (warisan, tradisi, heritage, patrimoine, legacy). Khazanah ini terkungkung dalam bingkai sejarah manusia layaknya gandum dalam sekam. Sehingga, posisi turâts memuat unsur kemapanan sekaligus kecacatan. Dari titik tolak ini, islamolog gencar melakukan penilaian ulang (assessing/taqwîm) terhadap sisi dogmatis-otoritatifnya.

Dalam prespektif Abed al-Jabiri, mengaktualisasikan proses kebangkitan (renaissance) hanya bisa ditempuh dengan sistematisasi turâts. Namun, proses ini tidak hanya berkutat pada tataran permukaan turâts dan larut dalam dinamika pemahaman klasik (al-fahm al-turâtsiy li al-turâts), tapi harus menggunakan pendekatan-pendekatan sistemik dan ilmiah secara integral. Yaitu pendekatan yang mengedepankan nalar demonstratif (burhâniy) dalam kritisasi turâts. Karena, pada prinsipnya konteks sosio-kultur pembentuknya telah mengalami pergeseran yang cukup radikal, sehingga fenomena-fenomena sosial yang terekam apik di masa lalu, acap kali tidak ditemukan padanannya kini.[10] Jadi, al-Jabiri mencoba meletakan turâts diantara dua kutub dikotomik, dengan menolak pengadopsian secara menyeluruh, pun enggan ‘menguburnya’ bersama romansa sejarah peradaban Arab-Islam klasik. Perlu adanya pembacaan kritis terhadap turâts yang mampu ‘berdamai’ dengan realitas kontemporer melalui pendekatan rasionalitas secara ilmiah dan objektif (al-qirâah al-naqdiyah al-`aqlâniyah al-istimlâkiyah).[11]

Ketika al-Jabiri mendapatkan hantaman dari berberapa pemikir kontemporer lainnnya, semisal George Tarabisyi, Ali Harb hingga Yahya Muhammad, yang menilai ada kecacatan mendasar nan akut dalam tetralogi proyek Kritik Nalar Arab (Naqd al-`Aql al-`Arab),[12] muncul nama Taha Abdurahman, tokoh post-tradisionalis sekaligus post-strukturalis, dari belahan tanah Maroko lainnya. Dia merupakan tokoh yang menggandeng turâts sebagai titik tolak revisi kontemporer, serta memanfaatkan diskursus luar Islam secara proporsional. Dalam arti, ada persenyawaan antara pendekatan kultural (seperti diskursus nalar Tashawuf dan nalar Ilmu Kalâm yang dituding sebagai biang kemunduran Islam oleh beberapa pemikir kontemporer dan orientalis), dengan pendekatan logika formal (al-mantiq al-shûriy) dalam menganalisa objek kajiannya. Taha Abdurahman melakukan ‘pengirisan’ epistemik untuk menganalisa turâts ke dalam tiga struktur. Pertama, analisa problematika terminologi (muaskilah al-mushthalahât) dengan menggunakan pendekatan filsafat linguistik. Disini, peran diskursus sosiolinguistik sangat penting dalam mengurai istilah-istilah suatu peradaban untuk menjaga jarak (distanciation) denga istilah peradaban lainnya.[13] Kedua, premis umum tentang batas-batas pengetahuan (hudûd al-ma`rifah). Ketiga, analisa ulang terhadap pembagian struktur ‘subjek-objek’ melalui kacamata logika formal (al-mantiq al-shûriy), kemudian merekonstruksi pembagian tersebut dengan mempertimbangkan adanya hubungan erat antara rasionalitas (`aqlâniyah) dengan moralitas (akhlâqiyah).[14] Analisa ulang terhadap pembagian subjek-objek yang ‘tidak lengkap’ ini penting dilakukan karena ditemukannya cacat epistemologi pada framework barat sejak permulaan abad ke-17. Efek mendasar dari pembagian ini menghantarkan pada logika akut bahwa tidak ada etika dalam ilmu pengetahuan (lâ akhlâq fî al-`ilmi), juga tidak ada pengetahuan transendental dalam pikiran (lâ ghaib fî al-`aqli). Maka, dimensi etik menjadi unsur esensial pada pendekatan rasional-ilmiah.[15]

***

Dalam buku Tajdîd al-Manhaj fî Taqwîm al-Turâts, Taha Abdurrahman melakukan ‘persenggamaan langsung’ dengan turâts. Turâts sebagai mozaik khazanah Islam klasik menyimpan gairah dan potensi begitu besar yang mampu menjelma menjadi ruh pemikiran Islam. Dari hasil dialektikanya dengan beberapa tokoh turâts kontemporer, terutama Abed al-Jabiri, dia merealisasikannya dengan menawarkan pembacaan baru terhadap turâts, yaitu pembacaan rekonstruktif (al-hadm bi al-bina). Baginya, pendekatan dekonstruktif turâts (al-hadm bi al-hadm) yang acap kali ditawarkan pemikir-pemikir kontemporer -dengan memulai pembacaan fenomena peradaban dari titik nol, memendam problematika tersendiri.

Buku ini menawarkan pendekatan yang –mungkin- tidak pernah digunakan -bahkan terbesit- oleh pemikir-pemikir lain sebelumnya. Taha Abdurahman melakukan lompatan pembacaan progresif dengan menggunakan pendekatan integratif
(takâmuliy) disaat islamolog lain menggunakan pembacaan preferensial (tafâdluliy). Dia juga menggunakan perangkat hasil bentukan tradisi lokal (ma`shûlah) sebagai titik mula pembacaan turâts, ketika islamolog lainnya sibuk dengan perangkat peradaban non-lokal (manqûlah) sebagai gerbang cakrawala. [16]

Secara umum, buku ini terbagi ke dalam tiga terma pembahasan. Bab I merupakan analisa terhadap model pendekatan Abed al-Jabiri terhadap turâts.[17] Walaupun Abed al-Jabiri dan Taha Abdurahman memposisikan dirinnya di tengah pusat pergolakan kedua kubu, dengan menggandeng turâts Arab-Islam sekaligus mengapresiasi metodologi kontemporer, untuk kemudian melakukan harmonisasi antara keduanya. Mereka menolak pembacaan tradisi dari kacamata tradisional (al-isytighâl al-turâtsiy bi al-turâts/al-fahm al-turâtsiy li al-turâts). Namun ada titik konsistensi dari sesosok Taha Abdurrahman, yang membedakan dirinya dengan al-Jabiri. Dia melakukan analisa terhadap akar tradisi melalui pendekatan linguistik dan mantiq (logika) yang membentuknya (dalam pengertian lain, al-ta`shîl aulâ min al-taqlîd). Sedangkan al-jabiri cenderung gegabah dan tergesa-gesa dalam memilah nalar Arab-Islam. Dalam beberapa kasus, dia juga acap kali terlihat inkonsistensi.

Menelisik lebih jauh, al-Jabiri ‘mengiris-iris’ kandungan turâts ke dalam bentuk pecahan-pecahan epistemik serta melakukan filterisasi-preferensifikasi (membuang unsur-unsur tradisi yang kontradiktif dengan modernitas dan mengambil unsur yang mendukungnya). Singkatnya, dia hendak memutus hubungan konstruk epistemologi filsafat gnostisisme yang berakar dari filasafat Platonis dalam bentuk illuminatif, seperti yang dianut Ibn Sina (Avicenna), kemudian mengadosi filsafat Aristotelian yang bertendensikan rasionalitas yang tergambar dalam konstruk pemikiran Ibn Rusyd (Averoes). Sehingga turâts-turâts yang tidak sesuai dengan nilai-nilai rasional, harus ‘dikebumikan’. Tapi, dimata Taha Abdurahman, analisa al-Jabiri hanya berkutat pada tataran kandungan turâts dan cenderung menggunakan pendekatan fragmentaris (al-nadhrah al-tajzîiyah), serta abai terhadap pendekatan linguistik dan mantiq (logika). Simplifikasi serta sikap rasialis yang dilakukan al-Jabiri (dengan seenaknya mengambil dan membuang khazanah turâts serta sikapnya yang memandang sebelah mata diskursus yang berkembang di kalangan pemikir Masyriq dalam konsep ‘retakan epistemologi-nya’, dengan menuduh nalar-intuitif, seperti tashawuf, sebagai akar kejumudan dan stagnasi Arab-Islam), juga akan memunculkan ‘problema kedua’, yaitu pembacaan turâts dengan corak metodologis yang telah berubah, karena akar kaidah-kaidah dan karakteristik turâts bentukan peradaban lain tentu berbeda dengan apa yang dihasilkan peradaban Arab-Islam.[18]

Kerancuan lainnya, proyek revisi turâts model al-Jabiri mengalami problematik mendasar, yaitu: (1) Bentuk kontradiktif antara ajakan menggunakan pembacaan integral-komprehensif (al-qaul bi al-nadzrah al-syumûliyah), namun dalam tataran praksis-aplikatif, menggunakan kaca mata yang fragmentaris (al-`amal bi al-nadzrah al-tajzîiyah). Secara teoretis, al-Jabiri memformulasikan nalar Arab pada tiga konstruk epistem, bayâni, burhâni dan irfâni hasil proses nalar-apriori (al-`aqlâniyah al-mujarradah) ataupun abstraksi bentukan sosio-politik (al-fikrâniyah al-musayyasah). Ketiganya memiliki mekanisme yang berbeda dan tidak berkelindan satu sama lain, kecuali pada tataran harmonisasi dan rekonsiliasi, serta hasilnya bersifat preferensial (mutafâdlilah). Dalam arti, terdapat hierarki epistemik antara ketiganya. Irfâni (nalar intuitif) tidak akan pernah mencapai level bayâni (nalar kognitif). Bayâni tidak akan pernah sederajat dengan burhâni (nalar demonstratif). Dan derajat tertinggi struktur nalar manusia adalah nalar Rusydian (al-fikr al-Rusydiy). Dari sini, terlihat jelas kerancuan revisi (taqwîm) model al-Jabiri, dimana klaim pembacaan integral-komprehensif yang dia tawarkan terbentur dengan penerapan teorinya yang fragmentatif, dengan hanya mengunggulkan nalar burhâni-Rusydian dari lainnya.

(2) ajakan penggunaan ragam mekanisme multi-disipliner (tanpa bersikap rasialis), tapi dalam tataran praksis-aplikatif cenderung berkutat pada kandungan teks turâts. Dalam arti, ketika al-Jabiri memproklamirkan diri sebagai penganalisa mekanisme-mekansme nalar Arab-Islam, dia terjerembab dalam pembacaan parsial. Fanatismenya terhadap sekte Sunni telah mengsampingkan nalar epistemik –misal- Syi`ah yang terekam dalam jejak-jejak turâts mereka, dengan hanya menganalisa –misal- manuskrip al-Syâfi`i dalam diskursus Fikih dan Usul Fikih, al-Jurjani dan al-Sakaki dalam ilmu Balaghah, Khalil al-Farahidi dalam cakrawala sastra (syi`ir), serta al-Qusyairi dalam masalah tashawuf.[19]

Lain pada itu, banyak sisi-sisi rasial dan kerancuan al-Jabiri terpertakan secara apik pada bab ini. Sebagaimana al-Jabiri sama sekali tidak melakukan analisa mendalam (kritis-objektif) terlebih dahulu terhadap mekanisme-mekanisme terapan (al-âliyât al-mankûlah), yang justru semakin menjerumuskannya pada pembacaan fragmentatif dan preferensial.[20] Taha Abdurahman juga membuat batasan-batasan tersendiri dalam memanfaatkan berbagai mekanisme terapan tersebut.

Pada bab II, kita akan menemukan konstruk utuh revisi turâts model Taha Abdurahman. Dia mengajak untuk menerapkan konsep pembacaan integratif-komplementer (al-takâmuliy), sekaligus mendekonstuksi proyek al-Jabiri, karena ditemukannya berbagai kegagalan epistemik di dalamnya. Secara umum, konsep tersebut tercakup dalam dua prinsip dasar, yaitu peleburan pengetahuan-pengetahuan turâts (tadâkhul al-ma`ârif al-turâtsiyah) terhadap apa-apa yang ada disekitarnya dan kedekatan ilmu-ilmu terapan terhadap wilayah normalitatif Arab-Islam (taqrîb al-`ulûm al-manqûlah ilâ majâl al-tadâwul al-Islâmiy al-`Arabiy). Melalui kedua prinsip ini, segala aspek dianalisa seketat mungkin sampai menemukan konsepsi yang tepat. Dalam arti, diskursus-diskursus terapan (manqûl) –pada tataran awal- diposisikan sebagai mediator dalam memahami turâts asli bentukan Arab-Islam (ja`lu al-manqûl maushûlan). Setelah di analisa melalui proses filterisasi agar sesuai dengan nilai-nilai normalitatif kemasyarakatan, terjadi proses pembentukan, normalisasi akar keilmuan Arab-Islam (ja`lu al-manqûl ma`shûlan). Sebagai contoh, ilmu mantiq yang merupakan produk pemikiran Yunani melebur dengan akar diskursus keilmuann Arab-Islam. Di tangan al-Ghazali (dalam kitabnya al-Mustashfa), mantiq -pada mulanya- diposisikan sebagai mediator (maushûl) dalam merumuskan kerangka logika Usul Fikih. Pada akhirnya terjadi proses ta`shîl (proses pembentukan ilmu mantiq sebagai sebuah cabang keilmuan asali untuk memahami logika Usul Fikih). Jadi, walaupun pada akhirnya terjadi pemihakan ataupun bersikap preferensial, namun hal ini diambil melalui analisa yang ketat. Karena baginya, sebuah revisi dengan mengeksplorasi berbagai mekanisme metodologis yang membentuk turâts (mekanisme yang berakar dari jantung budaya dan tradisi Arab-Islam), kemudian digunakan dalam kritisasi kandungannya, tentunya akan mengarah pada pola pendekatan integratif pada tradisi (al-ru`yah al-takâmuliyah li al-turâts). Hal ini dikedepankan untuk mengimbangi –melawan- nalar-rasional (al-`aqlâniyah al-mujarradah) ataupun abstraksi bentukan sosio-politik (al-fikrâniyah al-musayyasah) model al-Jabiri.

Untuk mendukung konsepnya, Taha Abdurahman membentuk tiga premis. Pertama, premis terbentuknya struktur teks ganda (muqaddamah al-tarkîb al-muzdawij li al-nash) yang terfokus pada mekanisme dekonstruksi (al-âliyât al-istihlâkiyah) yang dijelaskan pada bab I. Yaitu: (1) Nalar-apriori (al-`aqlâniyah al-mujarradah) yang membentuk corak pembacaan fragmentatif dan selektif turâts. Efeknya, terjadi keterputusan epistemik diantara turâts-turâts tersebut. (2) Abstraksi/nalar polititatif (al-fikrâniyah al-musayyasah) yang mengakomodir ragam epistemologi sesuai logika politik (kebutuhan dan keuntungan politik). Kesalahan yang dilakukan islamolog kontemporer adalah memposisikan turâts sebagai produk ‘nalar politik’. Padahal, analisa dari titik tolak ini –walaupun disepakati adanya intervensi politik dalam pembentukan tuârts, akan berdampak pembacaan friktif dalam menentukan bentuknya. Kelompok salafi-konservatif cenderung menjadikan turâts sebagai konstruk dasar (al-syakl al-ta`sîsiy) peradaban. Kelompok modernis-liberal akan menggeret pada bentuk revolutif turâts (al-syakl al-tsauriy) dengan mengedepankan analisa ilmiyah dan demokratisasi. Sedangkan kalangan moderat lebih memilih bentuk rekonsiliasi turâts (al-syakl al-ishlâhiy). Bagi Taha Abdurahman, turâts lebih tepat diletakan dalam bingkai humaniora (al-tanîs), yaitu pendedahan struktur nalar menggunakan pendekatan etik-normatif, moralisas dan intuitif, karena teks turâts sejatinya merupakan kesatuan entitas manusia (wahdah tanînisiah), bukan kesatuan entitas politik (wahdah tasyîsiah) ataupun materi
(mâdiyah) belaka.[21] Terdapat kesadaran manusiawi yang membentuk berbagai khazanah tûrats sebagai sebuah keshalehan yang dipilihnya.

Kedua, premis terbentuknya produk pemikiran yang bersifat terapan (muqaddamah tanaqqul al-âliyât al-intâjiyah). Bahwa produk pemikiran sejatinya memanfaatkan corak pemikiran diluar tradisi. Terjadi proses akulturasi yang akan menimbulkan pergeseran dari satu bentuk pemikiran ke bentuk lainnya. Disamping itu produk pemikiran senantiasa mengembara pada samudra pengetahuan. Akan ada sisi universalitas pemikiran selama didekati melalui kacamata multi-disipliner.

Ketiga, premis terbentuknya penggelembungan produk pemikiran; bahwa suatu produk pemikiran memiliki corak dan kedalaman makna tertentu. Hal ini mengakar kuat dalam kandungan teks turâts, yang menunjukan kompetensi pengarangnya ketika mengakomodir ragam mekanisme pemikiran.[22]

Berangkat dari ketiga premis ini, Taha abdurrahman mencoba membangun alternatif lain dalam proyek revisi turâts. Dia mengganti pembacaan preferensial dan fragmentatif dengan pendekatan integral-komprehensif serta multi-disipliner, sebagaimana tergambar jelas dalam bab II.

Adapun pembahasan bab III merupakan analisa lapangan turâts serta aplikasi teori terhadap konsepi yang dibangun Taha Abdurahman pada dua bab sebelumnya. Me-refer pada sejarah peradaban manusia pra-Islam, Yunani merupakan salah satu kawasan yang memiliki peradaban gemilag (peradaban nalar). Pengadopsian diskursus filsafat Helenistik kuno memainkan peranan sangat penting terhadap perkembangan Islam hingga mencapai titik kulminasi pada masa Dinasti Abbasiah, dimana corak Islam yang berkembang saat itu sangat ingklusif serta berpengaruh besar terhadap kemunculan ragam optik pmbacaan Islam. Sebagaimana diskursus Ushul Fikih menggandeng Ilmu Logika Formal (al-mantiq al-shûriy) dan ilmu Kalam (teologi) dengan filsafat transendental Yunani (transenden-theosofi), sebagai hasil proses peleburan (ja`lu al-manqûl maushûlan) dan pembentukan/normalisasi (ja`lu al-manqûl ma`shûlan).[23]

Senjakala
Sejatinya, penawaran konsep yang cukup banyak nan beragam, justru akan dihadapkan pada sebuah polemik substansial, dimana proyek kebangkitan Islam terbentur dengan sulitnya menentukan pilihan konsepsi dan orientasi tepat-guna bagi peradaban manusia yang heterogen (majemuk). tapi bagaimanapun juga, proses kebangkitan selalu memunculkan percikan-percikan ‘api’ dan geserkan-gesekan pemikiran. Pada akhirnya -secara subjektif, penulis merasa buku ini cukup representatif dalam menghadirkan wacana revisi turâts pasca proyek al-Jabiri dan pemikir lainnya. Pemikiran Taha Abdurahman cukup akomodatif terhadap mozaik khazanah turâts Arab-Islam, yang menjadikannya pantas menyandang gelar pemikir post-tradisional. Walaupun demikian, sebuah resensi yang berusaha diletakan dalam bungkai objektif-ilmiah, selalu terbentur dengan pembacaan reduktif penulis. Maka, alangkah baiknya pembaca merujuk langsung terhadap bukunya. []

___________________
[1] Taha Abdurrahman, Tajdîd al-Manhaj fî taqwîm al-Turâts, Maroko: al-Markaz al-Tsaqâfiy fî al-`Arabiy; al-Dâr al-Baidlâ, cet. III, 2007, hlm. 23
[2] Ibid., hlm. 9-10. Lihat juga tipologi pembacaan turâts menurut al-Jabiri dalam kitabnya; Nahnu wa al-Turâts.
[3] Perlu adanya harmonisasi kedua poros ini, poros rasionalitas(`aqlâniah) dengan poros moralitas-etik (akhlâqiyah), agar tidak terjadi ketimpangan peradaban, sebagaimana pandangan Muhammad Iqbal dalam bukunya The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
[4] Banyak sekali proyek penterjemahan yang dilakukan pada masa itu, seperti buku Organon (kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika), Categoriae (Terms/Qâthîgâriâs), de Interpretatione (Propositions/Bârî Arminiyâs), Analytica Priora (Syllogisms/Anâlûthîqâ al-Ûlâ), juga Eisagoge (pengantar buku Categoriae) karya Porohyus. Selengkapnya baca; Ali Sami Nasyar, Manâhij al-Bahts, Kairo: Dâr al-Salâm, cet. I, 2008, hlm.9-11
[5] Nasr Hamid Abu Zaid, Naqd al-Khitâb al-Dîniy, Maroko: al-Markaz al-Tsaqâfiy fî al-`Arabiy; al-Dâr al-Baidlâ, hlm. 8
[6] Di Universitas inilah Taha Abdurrahman berdialektika secara ‘intim’ dengan pemikiran Mohammed Abed al-Jabiri. Dia menemukan kecacatan epistem akut. Kritik ini tergambar apik dalam bukunya, Tajdîd al-Manhaj fî taqwîm al-Turâts.
[7] http://ar.wikipedia.org
[8] Taha Abdurrahman, Suâl al-Akhlâq; Musâhimah fî Naqd al-Akhlâqiy li al-Hadâtsah al-Gharbiyah,Maroko: al-Markaz al-Tsaqâfiy fî al-`Arabiy; al-Dâr al-Baidlâ, cet. I, 2000, hlm. 79-80
[9] Taha Abdurrahman, al-`Amal al-Dîniy wa tajdîd al-`Aqliy, Maroko: al-Markaz al-Tsaqâfiy fî al-`Arabiy, al-Dâr al-Baidlâ, cet. II 1997, hlm. 9
[10] Mohamad Abed al-Jabiri, al-Turâts wa al-Hadâtsah; Dirâsât wa Munâqasyât, Beirut: Markaz Dirâsât al-Wahdah al`Arabiah, cet. I, 1991, hlm. 37
[11] Ibid, hlm. 47
[12] Kritik selengkapnya bisa diakses dalam: http://irwanmasduqi83.blogspot.com/
[13] Selengkapnya, baca; Taha Abdurrahman, Suâl al-Akhlâq; Musâhimah fî Naqd al-Akhlâqiy li al-Hadâtsah al-Gharbiyah, Op. Cit., hlm. 30
[14] Ibid., hlm. 47
[15] Ibid.,hlm. 92
[16] Taha Abdurrahman, Tajdîd al-Manhaj fî taqwîm al-Turâts, Op. Cit., hlm. 12
[17] Taha Abdurahman memilih untuk melakukan analisa terhadap model pendekatan al-Jabiri, karena ada ikatan emosiaonal dan kultural daintara keduanya. Dia adalah murid al-Jabiri.
[18] Taha Abdurrahman, Tajdîd al-Manhaj fî taqwîm al-Turâts, Op. Cit., hlm. 23-24
[19] Ibid., hlm. 29-33
[20] Ibid., hlm. 42 [21] Ibid., hlm. 25-27
[22] Ibid., hlm. 81-82
[23] Ibid., hlm. 237

Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment