Showing posts with label Ushul al-Fiqh. Show all posts
Showing posts with label Ushul al-Fiqh. Show all posts
fahmy farid p.

Sebelum bergumul dengan diskursus ilmu Ushûl al-Fiqh, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memberikan makna kata tersebut secara definitif.

Ushûl al-Fiqh adalah rangkaian dua kata dasar. Dalam gramatika arab, susunan kata Ushûl al-Fiqh dinamakan dengan tarkib idlôfy (kata majemuk), yaitu susunan dua kata yang saling berkaitan satu sama lain. Kata pertama (ushûl) dinamakan dengan mudlôf (yang dijadikan sandaran) dan kata kedua (fiqh) dinamakan dengan mudlôf ilaih (yang bersandar). Kemudian kata ini digunakan oleh pakar-pakar ilmu ushûl dan fuqâha untuk sebuah istilah (`alam laqab) disiplin ilmu tertentu, sehingga mengalami metamorfosa (peralihan makna).

Dua kata yang dirangkai menjadi satu kalimat (tarkib idlôfy) terkadang mempunyai korelasi makna dengan bentuknya setelah bermetamorfosa menjadi sebuah nama (`alam), seperti kata `Abdullah yang dijadikan sebuah nama -`alam isim-. Terkadang pula tidak mempunyai korelasi makna diantara keduanya, seperti `anfu an-naqâh (nama panggilan -`alam laqab- untuk Ja`far ibn Qarî`. Dikisahkan bahwa suatu hari ayahnya membagi-bagikan daging unta betina kepada istri-istrinya, kemudian Ja`far ibn Qarî` mendatangi ayahnya untuk mendapatkan jatah bagi ibunya, namun yang tersisa hanya tinggal kepalanya saja. Dalam perjalanan pulang dia menyeret kepala unta tersebut dengan memegang hidungnya). Kata Ushûl al-Fiqh sendiri termasuk dalam rangkaian kata yang mempunyai korelasi makna dalam beberapa sudut pandang.

Perbedaan dalam mendefinisikan Ushûl al-Fiqh antara `alam laqab dengan idlôfah itu sendiri dari dua sudut pandang:

- `Alam laqab merupakan sebuah nama -istilah- untuk sesuatu, sedangkan idlôfah adalah rangkaian kata yang bisa bermetamorfosa menjadi `alam (baik `alam isim, kunyah ataupun laqab)

- Setelah Ushûl al-Fiqh dijadikan `alam laqb, maka akan mengakomodir tiga aspek, yaitu pengetahuan tentang dalil-dalil hukum syara`, metodologi penetapan hukum dan kapasitas seseorang yang mempunyai kompetensi dalam menginterpretasikan dalil-dalil. Adapun bentuk idlofy hanya mengakomodir tentang pengetahuan dalil-dalil.

Dari sini, dalam mendefinisikan Ilmu Ushûl al-Fiqh seyogyanya ditinjau dari dua aspek:

1. Tinjauan kata Ushûl al-Fiqh sebelum dijadikan nama untuk sebuah disiplin ilmu.

a. Ushul

Secara etimologi (bahasa) Usul merupakan bentuk Jamak dari kata Aslu, yaitu sesuatu yang mempunyai cabang. Seperti aslu al-walad (anak) adalah orang tua dan aslu asy-syajaroh (pohon) adalah akar. Allah swt. berfirman: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit” (QS. Ibrahim : 24)

Menurut Abu al-Husain al-Bashry, Ashlu yaitu sesuatu yang dibangun diatasnya sesuatu yang lain.

Secara terminologi, pengertian Ushûl adalah sesuatu yang memiliki cabang. Para ulama sendiri memutlakannya kedalam beberapa pengertian:

- ad-Dalil (petunjuk)

Seperti al-ashlu (ad-dalîl) dalam setiap permasalahan adalah al-kitâb wa as-Sunnah. Makna ini adalah pengertian yang dipakai dalam disiplin ilmu ushûl.

- ar-Rajhân (yang utama)

Seperti al-ashlu (ar-râjih) dalam setiap perkataan bagi pendengar adalah makna hakikat bukan makna majaz.

- al-Qa`idah al-Mustamirrah (kaidah-asas)

Seperti diperbolehkannya memakan bangkai dalam kondisi tertentu tidak sesuai dengan al-ashlu (al-Qa`idah al-Mustamirrah).

- ash-Shurah al-Muqayyas `alaiha

Yaitu bentuk negasi dari furû` dalam bab al-Qiyâs.

b. Fiqh

Pengertian fiqih secara etimologi adalah mutlaq al-fahmu (pemahaman). Alloh swt. berfirman dalam surat an-Nisâ ayat 78:

فَمَا لِهَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا

Artinya: Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) Hampir-hampir tidak memahami pembicaraan [pelajaran dan nasehat-nasehat yang diberikan] sedikitpun?

Pengertian al-fahmu itu sendiri adalah pengetahuan yang mendalam tentang akar-pangkal makna suatu kalimat (ilmu-red).

Menurut sebagian pendapat, al-fiqh itu sendiri diartikan sebagai al-`ilm (pengetahuan) dan al-fithnah (kecerdasan). Dikatakan pula bahwa al-fiqh adalah pemahaman terhadap sesuatu yang sulit untuk difahami (samar). Menurut Imam al-Jurjâny dan Abu al-Husain al-Bishry, al-fiqh adalah pengetahuan tentang sesuatu yang dikehendaki (diucapkan) oleh pembicara.

Sedangan pengertian fiqih ditinjau dari sudut pandang terminologi adalah ilmu yang membahas tentang hukum-hukum syara` yang bersifat amaliyyah (perbuatan) yang digali dari uraian dalil-dalil terperinci dengan jalan ijtihad.

Sebagian ulama mendefinisikannya dengan pengetahuan seorang mujtahid akan seluruh hukum-hukum syara` yang bersifat furu`iyyah-juziyyâh (partikular), baik dengan metodologi istidlâl (mengutip langsung dari sumber asal) ataupun tahayyu bi al-istidlâl (menggunakan perangkat-perangkat lain), seperti metode qiyas, istihsân, al-`adat al-muhkamât dan lainnya.

Dari pemaparan diatas, dapat ditarik sebuah garis kesimpulan bahwa makna Ushûl al-Fiqh ditinjau dari sudut pandang ini adalah dalil-dalil yang berkaitan dengan hukum-hukum syara` yang bersifat amaliyyah (perbuatan).

2. Tinjauan kata Ushûl al-Fiqh setelah dijadikan nama untuk sebuah disiplin ilmu.

Ushûl al-Fiqh adalah disiplin ilmu yang membahas tentang dalil-dalil dan kaidah-kaidah fiqh secara general (mujmal), pakar-pakar ilmu ushûl yang mempunyai pengetahuan tentang kaidah-kaidah tersebut, metodologi perumusan dan penetapan hukum partikular (juziyyât) dan kapasitas seseorang yang mempunyai kompetensi dalam menginterpretasikan dalil-dalil (mujtahid). Sebagian ulama ushûl mendefinisikannya dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah hukum fiqh.

Secara implisit, definisi ini memuat tiga aspek:

a. Kaidah-kaidah general fiqh

Yaitu kaidah-kaidah umum yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum syara`, baik yang disepakati ataupun tidak. Seperti muthlaq al-amr li al-wujûb (bentuk perintah mutlak menunjukan hukum wajib), ijmâ`, qiyâs, istishâb dan kaidah lainnya.

b. Metodologi penetapan hukum partikular

Yaitu metodologi perumusan dan perincian hukum syara` ketika ditemukan kontradiksi (ta`ârudl) dalam dalil-dalil asumtif (dzanny), seperti mendahulukan dalil yang khâsh (khusus) dari dalil yang `âm (umum).

c. Kapasitas mujtahid

Yaitu pembahasan tentang syarat-syarat seseorang yang mempunyai kapasitas dalam merumuskan hukum.

Dengan demikian, disiplin ilmu Ushûl al-Fiqh merupakan cabang ilmu yang membahas sumber-sumber pembahasan diskursus Fiqh, metodologi sistematika (tharîqah manhâjiyyah) penggalian hukum syar`i sebagai landasan teoritis yang bersifat global (ijmâliyyah) dan syarat-syarat mujtahid. Hal ini berbeda dengan Fiqh yang menitikberatkan pada tataran praktis-aplikatif.

fahmy farid p.

1. Tharîqah al-Mutakallimîn

Studi komprehensif terhadap diskursus ilmu Ushûl al-Fiqh yang dilakukan aliran ini menggunakan metodologi Ilmu Kalâm (teologi-filsafat), yaitu dengan merumuskan sistematika kaidah-kaidah ushûliyyah yang ditopang oleh bukti-bukti autentik dan alasan-alasan teoritis secara naqly (naskah-wahyu) dan `aqly (logis-filosofis). Pendekatan yang dilakukan mereka bersifat analisis-filosofis, dalam arti, secara substansial aliran ini tidak terikat dengan hukum-hukum furû` fi`qhiyyah yang telah ditetapkan para imam mujtahid sebelumnya sehingga tidak terjerumus pada fanatisme madzhab tertentu.

Dalam menetapkan suatu kaidah ushûliyyah, mereka tidak mengharuskan adanya kesesuaian dengan rumusan para imam mujtahid. Hal ini bukan sebagai bentuk penolakan dan penghapusan terhadap ketetapan hukum-hukum far`iyyah, akan tetapi kaidah tersebut digunakan sebagai neraca atas hasil ijtihad juga menjadi pedoman dasar penetapan hukum.

Yang tergolong aliran ini adalah al-Mu`tazilah, asy-Syâfi`iyyah, Jumhûr al-Mâlikiyyah dan al-Hanâbilah, sehingga dinamakan pula dengan Tharîqah asy-Syâfi`iyyah, Tharîqah ghair al-Hanafiyyah dan Tharîqah al-Jumhûr.

Diantara karya-karya para ulama dari aliran ini adalah:

- al-Mu`tamad, karangan Abu al-Hasan al-Bishry al-Mu`tazily (413 H.). Kitab ini merupakan ringkasan asy-Syarhu karangan Abu al-Husain sebagai pemaparan dari kitab al-`Umdah (al-`Ahdu) yang disusun oleh abdu al-Jabbar al-Mu`tazily.

- al-Burhân, karangan `Abdu al-Mulki ibn `Abdullah al-Juwainy an-Naisaburiy asy-Syâfi`y (478 H.) yang masyhur dengan sebutan Imam al-haramain.

- al-Mustasyfa, karangan Abu Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâli asy-Syafi`y (505 H.).

- al-Mahsûl, karangan Fakhru ar-Râzi (606 H.). Kitab ini merupakan ringkasan al-Mu`tamad, al-Burhân dan al-Mustasyfa. Kitab al-Mahsûl ini kemudian diringkas oleh Sirâjuddin al-Armawi (672 H.) yang tertuang dalam karyanya at-Tahshîl, juga oleh Tâjuddin Muhammad ibn Hasan al-Armawi (656 H.) dalam karyanya al-Hâshil.

Kitab al-Hâshil itu sendiri diringkas kembali oleh Abdullah bin Umar al-Baidlôwi (675 H.) dalam Minhâj al-Wushûl ilâ `Ilmi al-Ushûl. Kitab ini sendiri dipaparkan lebih mendalam dan komprehensif oleh beberapa ulama, diantaranya oleh Jamâluddin al-Asnawi yang tertuang dalam karyanya Nihâyah as-Suûl Syarh Minhâj al-Wushûl juga oleh syaikh as-Subki dalam karyanya al-Ibhâj.

- al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, karangan Saifuddîn al-Âmidi asy-Syâfi`y (631 H.). Kitab ini juga merupakan ringkasan dari al-Mu`tamad, al-Burhân dan al-Mustasyfa. Kitab ini sendiri kemudian diringkas kembali oleh Abu `Umar ibn al-Hâjib al-Maliky (646 H.) dalam karangannya yang berjudul Muntaha as-Suûl wa al-Amal fî `Ilmi al-Ushûl wa al-Jidal. Beliau kemudian meringkas karangannya dalam Mukhtashar al-Muntahâ. Namun karena bentuknya yang dianggap terlalu ringkas dan sulit dipahami, maka kemudian para ulama menjelaskannya kembali, diantaranya oleh `Adldluddîn `Abdu ar-Rahman ibn Ahmad al-`Ajjiy (756 H.)

2. Tharîqah al-Fuqahâ

Aliran ini kebanyakan muncul dari golongan pakar ilmu fiqh Madzhab Hanafi, sehingga dinamakan pula dengan Tharîqah al-Hanafiyyah.

Metodologi yang digunakan dalam menyusun kaidah-kaidah ushûliyyah oleh aliran ini tidak berangkat dari penjelasan teoritis-filosofis (al-burhân an-nadzhary), akan tetapi dari studi aplikatif (`amaliyyah tathbîqiyyah istiqrâiyyah) hukum-hukum fiqhiyyah furû`iyah (partikular) yang telah dirumuskan oleh para imam madzhab untuk kemudian dibuat suatu kaidah ushûliyyah sebagai justifikasi benar-tidaknya rumusan tersebut. Maka pendekatan yang dilakukan aliran ini lebih bersifat praksis dimana rumusannya lebih banyak bersentuhan dengan hukum figh daripada retorika perdebatan filosofis-metodologis.

Pola pikir aliran ini disebabkan para Imam Madzhab Hanafiyyah tidak meletakan kerangka dasar yang terkodifikasikan secara komprehensif sebagaimana yang dilakukan Imam asy-Syâfi`i. Mereka hanya mewariskan hukum-hukum fiqh partikular dan kaidah-kaidah ushûliyyah yang terselip berceceran diantaranya.

Metodologi yang ditawarkan ini melahirkan suatu kaidah yang menjaga persesuaian antara teks hukum dengan konteks kekinian (wqî`iyyah). Hanya saja kemudian terjerumus pada fanatisme madzhab tertentu (Hanafiyyah-red).

Beberapa karya monumental dari aliran ini adalah:

- Ushûl Abi Bakr al-Jashâshi, karangan Abu Bakr Ahmad ibn `Aly al-Jashâsi (380 H.)

- Tasîs an-Nadzri, karangan Abu Zaid `Ubaidillâh ibn `Umar al-Qâdly ad-Dabûsy (430 H.)

- Ushûl al-Bazdawi, karangan asy-syaikh al-Bazdawi (730 H.). Kitab ini kemudian diberi penjelasan (syarah) oleh `Abdu al-Azîz al-Bukhâri (730 H.) dalam karyanya Kasyfu al-Asrâr.

- Ushûl as-Sarkhasi, karangan asy-syaikh asy-Syarkhasi (483 H.)

- Al-Manâr, karangan al-Hafidz an-Nasafi (710 H.)

3. Tharîqah al-Jâmi`ah (al-Mazdûjah)

Studi komparatif yang dilakukan para ulama diakhir abad ke 7 H. memunculkan sebuah aliran yang merkonstuksi kedua aliran sebelumnya dengan memadukan teori al-burhân an-nadzhary yang diusung oleh aliran al-Mutakallimîn dan teori amaliyyah tathbîqiyyah istiqrâiyyah yang diusung oleh aliran al-Fuqahâ. Mereka meletakan rumusan kaidah ushûliyyah ditopang dengan argumentasi logis sekaligus menjaga persesuaiannya dengan fiqh praksis. Jadi, dalam pembahasannya aliran ini sama sekali tidak mengusung madzhab tertentu, akan tetapi mereka melakukan perbandingan dari sejumlah madzhab sekaligus mengakomodir pola pikirnya. Mereka tidak terlalu berdebat dalam tataran filosofis-metodologis, namun juga tidak terlalu terpaku dengan persoalan furû`iyyah.

Pada abad ini lahir beberapa karya diantaranya:

- Tankîh al-Ushûl, karangan `Ubaidillah ibn Mas`ûd al-Hanafiy (747 H.). Kemudian beliau memberi penjelasan (syarah) kitab ini dalam karyanya at-Taudlîh fî Hilli Ghawâmidl at-Tankîh.

- Jam`u al-Jawâmi`, karangan Tâjuddin `Abdu al-Wahhâb as-Subki asy-Syâfi`iy (771 H.). Kitab ini kemudian diberi penjelasan oleh Syamsuddin Muhammad al-Mahalli dalam karyanya Hâsyiat al-Bannâniy `alâ Syarh al-Jalâl.

- at-Tahrîr, karangan Kamâluddin Muhammad `Abdu al-Wâhid (861 H.) yang dikenal ibn al-Humâm al-Hanafiy. Kitab ini kemudian diberi penjelasan oleh beberapa ulama setelahnya, diantaranya kitab at-Taqrîr wa at-Tahbîr karya ibn Amîr (879) dan Taisîr at-Tahrîr karya Amir Bâdisyâh.

- Muslim ats-Tsubût, karangan Muhibbullah ibn `Abdi asy-Syukûr (1119 H.). Kitab ini kemudian diberi penjelasan oleh Muhammad ibn Nidzâm ad-Dîn al-Anshâriy ah-Hindiy (1225 H.) dalam karyanya Fawâtih ar-Rahmawât.

Dalam kaitannya dengan diskursus Ilmu Ushûl al-Fiqh ini, Imam Abu Ishâq Ibrâhîm ibn Mûsa asy-Syâthibiy (780 H.) melakukan sebuah terobosan baru. Metodologi yang diusung sama sekali berbeda dengan mainstream para pakar ilmu ushul sejak abad ke-5 H, dimana corak pembahasannya hanya berkutat pada rumusan pedoman penetapan hukum dalam bentuk ringkasan (talkhis) dan penjelasan (syarah). Hal ini tergambar jelas dalam kitab karangannya al-Muwâfaqât, dimana selain membahas kaidah-kaidah ushûliyyah, dibahas juga tujuan-tujuan syara` (maqâshid asy-syarî`ah) dalam menetapkan hukum. Pembahasan yang dia tawarkan melengkapi khazanah ilmu Ushûl al-Fiqh.

Beberapa kitab penunjang yang penting dipelajari bagi para pengkaji disiplin ilmu Ushûl al-Fiqh diantaranya:

- Irsyad al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haq, karangan Muhammad ibn `Ali asy-Syaukâni (1255 H.)

- Tashîl al-Wushûl, karangan Muhammad `Abdu ar-Rahman al-Mahlâwiy (1920 H.)

- Ushûl al-Fiqh, karangan Muhammad al-Khudlari Bak (1345 H.)

- Ushûl al-Fiqh, karangan `Abdu al-Wahhâb Khalâf

- Ushûl at-Tasyrî` al-Islâm, karangan `Ali Hasbullah

fahmy farid p.

Perkembangan disiplin ilmu Ushul al-Fiqh terbentuk dalam tiga periode:


1. Periode pertama

Periode pertama, yaitu periode kemunculan ilmu Ushul al-Fiqh. Adalah Muhammad bin Idris asy-Syafi`i sebagai ulama yang pertama kali mengkodifikasikan sebuah disiplin ilmu yang memberi batasan tentang istnbath (penetapan) hukum sekaligus menyusun sistematika penetapannya dengan kaidah-kaidah umum yang bersifat menyeluruh. Beliau adalah peletak dasar ilmu Ushul al-Fiqh yang tertuang dalam karyanya ar-Risalah, meskipun setelahnya banyak bermunculan ulama-ulama yang mengembangkan disiplin ilmu ini, termasuk definisi-definisinya. Periode ini berakhir sekitar akhir abad ke-4 H.

Pada masa itu terdapat dua lembaga pendidikan yang menjadi rujukan para pengkaji literatur Islam, yaitu lembaga pendidikan yang menjadi pusat penelitian hadits-hadits yang terdapat di kota Madinah yang dipimpin oleh Imam Mâlik ibn Annas (179 H.). Lembaga ini menjadi basis dalam ilmu hadits karena Madinah merupakan tanah kelahiran para sahabat dan juga tempat turunnya wahyu. Yang kedua adalah lembaga pendidikan yang berada di daratan Iraq yang lebih banyak bergumul dengan ilmu filsafat, terutama filsafat Yunani. Hal ini bisa dimaklumi sebagai sebuah konsekuensi dari sedikitnya mereka mendapatkan informasi tentang sebab-sebab periwayatan suatu hadits. Maka munculnya beragam perbedaan pendapat, riwayat-riwayat palsu dan fitnah menjadi sebuah keniscayaan. Lembaga ini dipimpin oleh ashab (generasi) Imam Abu Hanîfah yaitu an-Nu`mân ibn Tsâbit. Walaupun kedua lembaga pendidikan ini mempunyai spesialisasi yang berbeda, akan tetapi keduanya sepakat bahwa dalam meng-istinbath suatu hukum, harus diambil dari al-Kitab (al-Qurân) dan as-Sunnah, juga mengedepankan nahs dari sebuah asumsi teoritis belaka.

Kedua lembaga tersebut menjadi pusat pengembangan diskursus berbagai khazanah Islam, akan tetapi sedikit sekali para fuqâha yang menimba ilmu di kedua lembaga pendidikan tersebut. Adalah Imam asy-Syafi`i yang mampu menguasai kedua manhaj ini sekaligus menggabungkan keduanya. Beliau menguasai Fiqh Imam Mâlik saat menuntut ilmu di Hijaz-Madinah. Beliau juga menguasai Fiqh Imam Abu Hanîfah (150 H.) ketika menimba ilmu di Iraq kepada Muhammad ibn Hasan (189 H.) yang mempunyai keterkaitan (hubungan/sandaran) dengan Fiqh ahli Syam dan Mesir. Disamping itu, Imam asy-Syafi`i juga mempelajari beberapa disiplin ilmu lainnya di lembaga pendidikan yang berlokasi di Makah, yaitu sebuah lembaga yang memelihara sekaligus menjadi sentral ilmu tafsir, Asbab an-Nuzul, lugaht juga ilmu antropologi. Beliau juga mempelajari literatur Bahasa Arab di daerah-daerah pedalaman untuk kemudian menetap di sebuah desa bernama Hudzailah. Beliau menetap disana karena bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Arab yang paling fasihat.

Pada periode ini perkembangan Fiqh Islam begitu cepat dan mulai bermunculannya kumpulan-kumpulan fiqh para mujtahid serta mulai terbentuknya mazhab-mazhab. Selain itu banyak perdebatan-perdebatan dikalangan para mujtahid dan pengikut mazhab-mazhab yang mengambil peran aspek-aspek yang beragam dan berbeda-bedanya dalam fiqh dan dalil. Kenyataan-kenyataan inilah yang mendorong beliau memasuki kancah perdebatan bersama-sama dengan orang-orang yang menyelaminya. Dengan kapasitas yang dimiliki oleh Imam asy-Syafi`i, beliau mulai menyusun suatu kaidah ushul untuk meng-istinbath hukum, kaidah-kaidah istidlâl juga batasan-batasan seorang mujtahid, sehingga Fiqh tidak lagi didasarkan pada fatwa-fatwa dan ketetapan-ketetapan suatu golongan, akan tetapi didasarkan pada suatu kaidah ushuliyyah yang bersifat menyeluruh.

2. Periode kedua

Periode kedua dimulai sekitar awal abad ke-5 H. yang terus mengalami dinamikanya hingga akhir abad ke-7 H. Periode ini merupakan masa keemasan dalam perkembangan ilmu Ushul al-Fiqh yang bertendensikan hadits-hadits Nabawiyyah dan atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat dan tâbi`în. Masa ini ditandai dengan munculnya dua sosok ulama, yaitu Imam Khatib al-Baghdady (pengarang kitab Tarikh Baghdad) dan Abu `Amr ibn `Abdu al-Birri (pengarang kitab at-Tamhîd).

Dalam disiplin Ilmu Ushul, Imam Khatib (Imam dari Timur/Baghdad) mengarang kitab al-Faqîh wa al-Mutafaqqih. Kitab ini merujuk kepada kitab ar-Risâlah. Didalamnya memuat tentang nasihat-nasihat bagi ahulu al-hadits. Selain itu terdapat juga ilmu metodologi diskusi dan pembahasan tentang tata krama dalam meng-istinbath hukum fiqh.

Adapaun Imam Abu `Amr (Imam dari Barat/Andalusia, 463 H.) mengarang kitab Jâmi` Bayan al-`Ilm wa Fadlihi. Kitab ini ditulis sebagai respon atas pertanyaan orang-orang tentang esensi ilmu juga cara-cara penetapan suatu hujjah yang bertendensikan ilmu pengetahuan, data dan fakta yang ada, bukan asumsi teoritis-filosofis belaka. Dalam periwayatan-periwayatan hadits dan atsar sahabat, beliau banyak merujuk kepada imam-imam yang berafiliasi dengan madzhab Mâlikiyah dan ulama-ulama Shalaf ash-Shâlih. Beliau juga menjadikan kitab karangan Imam asy-Syafi`i dan Imam Muhammad ibn al-Hasan sebagai refrensi dalam beberapa permasalahan.

Pada periode ini lahir pula beberapa buah karya dalam disiplin ilmu ushul. Kitab-kitab dari kalangan madzhab Hanâfi diantaranya kitab Taqwim al-Adillah karya Abu Zaid ad-Dabûsy (430 H.) dan kitab mustau`ab karya al-Bazdawy. Kitab al-Mustashfa karya Imam al-Ghazâli (505 H.) dari kalangan madzhab Syafi`i dan kitab al-`Ahdu karya `Abdu al-Jabbar dan syarahnya al-Mu`tamad karya Abu al-Husain al-Bishry. Keduanya dari golongan Mu`tazilah.

Periode kedua dinamakan dengan masa keemasan karena dalam mengeluarkan suatu hujjah, sudah mulai tidak terbatas pada periwayatan dan tekstual hadits belaka, akan tetapi sudah mulai menggunakan nalar pemahaman kontekstual sebuah hadits dan metodologi istinbath (qiyas). Disamping itu para ulama sudah mulai menggunakan nalar dalam membuat sebuah definisi dalam syara`. Mereka juga tidak tergesa-gesa dalam menetapkan suatu hukum dan berfatwa.

3. Periode ketiga

Permulaan periode ketiga sekitar abad ke-8 H. yang berkembang hingga sekitar akhir abad ke-10 H. Pada awal periode ini, muncul dua imam besar yang didaulat sebagai pembaharu dalam permasalahan-permasalahan agama yang berpijak pada manhaj (pola pikir) Ahlu as-Sunnah wa al-Jamâ`ah. Keduanya adalah Syaikh al-Islam Imam Ibn Taymiyyah (pengarang kitab al-Muswaddah, 728 H.) dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah (pengarang kitab I`lâm al-Mauqi`în, 751 H.). Pada masa kedua pembaharu ini, begitu melimpahnya karya-karya para ulama yang mulai bergumul dengan diskursus ilmu ushuliyyah, baik tertuang dalam kitab-kitab mukhtashar (kitab yang pembahasannya ringkas) ataupun kitab-kitab muthawwalât (kitab yang pembahasannya luas dan mendalam). Karya-karya ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia dan semakin banyak orang-orang yang mempelajari dan menelaahnya.

Manuskrip-manuskrip yang dibuat pada periode ketiga berpolarisasi pada dua sudut pembahasan:

- Pertama, pembuatan kaidah-kaidah ushuliyah yang sesuai dengan konsep Ahlu as-Sunnah wa al-Jamâ`ah, juga membuat asas-asas yang menopang pola pikir as-Salaf ash-Shâlih melalui hujjah yang sesuai dengan apa yang dimaksud dan bukti-bukti yang jelas. Disamping itu, mengembalikan semua permasalahan kepada nash-nash, yaitu al-Kitâb, as-Sunnah, Ijmâ`, nalar yang sehat yang disertai jiwa yang selamat, juga metodologi para shahabat dan tâbi`în (dalam arti tidak terjebak dalam retorika dan pola pikir yang ditawarkan ilmu Mantiq dan nalar para filusuf).

- Kedua, merekonstruksi pemikiran para fuqâha yang mulai terjebak dalam dialektika tidak sehat ketika mengemukakan sebuah hujjah dengan saling melemparkan celaan, bukan dialektika yang ilmiah. Hal ini diwujudkan dengan penolakan terhadap segala bentuk kebatilan dan menyingkap berbagai kepalsuan sekaligus menjelaskan letak kebenarannya. Proses ini dilakukan dengan menggunakan dalil-dalil yang sesuai dengan `aql dan naql.

Bisa disimpulkan bahwa keberadaan manuskrip-manuskrip yang lahir pada abad ini untuk merekonstruksi pola pikir yang mulai rancu sekaligus menjelaskan sebuah metodologi yang sesuai dengan as-Salaf ash-Shâlih.

Diantara karya-karya lang lahir pada abad ini:

- al-Madkhal ilâ Madzhab al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, karangan asy-Syaikh `Adb al-Qadir ibn Badrân ad-Daumy ad-Damasyqi (1346 H.).

- Nazhat al-Khâtir al-`Âthir syarah kitab Raudlat an-Nâdzir wa Jannat al-Manâdzir, karangan asy-Syaikh `Adb al-Qadir ibn Badrân ad-Daumy ad-Damasyqi (1346 H.).

- Risâlah Lathîfah fî Ushul al-Fiqh, karangan asy-Syaikh `Abd ar-Rahmân ibn nâshir as-Sa`udy (1376 H.).

- Wasîlah al-Wushûl ilâ Muhimmât al-Ushûl, karangan asy-Syaikh Hâfidz ibn Ahmad al-Hikamy (1377 H.).

- Mudzakkaroh Ushûl al-Fiqh `alâ Raudlah an-Nâdzir, karangan asy-Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syanqithy (1393 H.)