fahmy farid p.

‘History is neither a prison nor a museum, nor is it a set of materials for self-congratulation’

[Alasdair Maclntyre]


Filsafat etik (moral philosophy) lebih sering ditulis layaknya sejarah subjek belaka, tak lebih. Tragisnya, semerta ia diposisikan bak ‘anak bawang’ atau dalam pemaknaan lain hanya tentang sekelumit potret-potret sekunder dan insidental. Paradigma dasar ini tentu bukan tanpa alasan, tapi justru muncul dari sebuah keyakinan bahwa konsep moralitas dapat mudah dilacak dan dipahami dengan jernih melalui sejarah si-subjek itu. Bahkan, beberapa filsuf menganggap moralitas merupakan entitas yang abadi, statis, sekaligus berbatas. Tapi faktanya, semenjak di mula, nilai-nilai moralitas terus saja berubah sebagaimana kehidupan sosial itu sendiri.


Misal, coba kita munculkan sebuah asumsi ‘liar’; kehidupan sosial adalah satu entitas dan moralitas merupakan entitas yang lain. Tidak ada pembenaran tegas bahwa jaringan yang terbangun antara keduanya merupakan ruang intim yang saling bersenggama satu sama lain. Artinya, se-radikal apapun kehidupan sosial berubah, moralitas akan tetap sama sebagaimana ia dipahami di mula. Asumsi ini tentunya tidak bisa dengan lugunya dibenarkan begitu saja. Nilai-nilai moralitas justru harus dipahami sebagai bagian integral dari bentuk kehidupan sosial itu sendiri. Tak ayal, kebermungkinan pergeseran tata nilai menemukan pembenarannya di sini. Sehingga, kunci penting terkait proses identifikasi nilai-nilai moralitas terletak pada sensibilitas seseorang ketika mampu memetakan tiap corak tata etik. Perbedaan konsep moralitas yang muncul pada tiap per-satu konstruk sosial tentu tidak muncul –katakanlah- dari ruang ilusi, tapi justru menjadi garis tegas tentang pembuktian eksperimental adanya ragam aturan yang berbeda untuk dimainkan di dalamnya.


Walaupun demikian harus diakui bahwa tata nilai, pada beberapa kasus, tentunya lebih bersifat stabil dan statis dalam waktu yang terbilang lama, karena beberapa latar alasan yang mematikan kebermungkinan perubahannya itu. Hanya, jika saja terjebak pada paradigma ini, dengan melakukan generalisasi pada tiap kompleksitas kandungan tata sosial yang hadir, justru saat itulah kesalahan fatal sebuah pembacaan moralitas bermula. Lantas?


Sejatinya ada yang harus diwaspadai di sini terkait potensi kemunculan bahaya laten, lalu tersesat di belantara kesadaran aneh, ruang limbo. Dalam arti hadir semacam ilusi metafisikal yang menggeret pada pendekatan moralitas klasik tanpa sebuah prasangka, dogmatis. Tapi di sisi lain justru hadir semacam prespektif arogan bahwa sesegala yang muncul dari tata nilai klasik harus berujung pada kesadaran realitas hari ini, liberalistis. Akhirnya, mungkin apa yang dikatakan Maclntyre menemukan momentum pembenarannya disini bahwa ‘history is neither a prison nor a museum, nor is it a set of materials for self-congratulation’.


Tagamu` Awwal, 25 Juli 2011 (02:22 am)

fahmy farid p.


Identitas, bagaimanapun juga selalu problematis. Ia bagai topeng tanpa kerutan tegas-menegas, apalagi relief yang jelas, tapi juga peran yang menjadikan sesiapa itu dikenal, walaupun nyatanya tak pernah tuntas. Mula-mula ia adalah potret yang teramat lugu, lalu sesaat kemudian bisa jadi menjelma konyol. Tak heran, catatan sejarah menjadi saksi bisu hadirnya juta angkara atas nama itu, pun akhirnya nyawa hanya seharga ‘AKU’ saja, tidak lebih.


Jelas, identitas di sini bisa jadi hanya menghadirkan ambivalensi. Tanpanya, ke-aku-an takan pernah dikenal, tapi ketika itu mulai menancap tegas, disadari ataupun tidak, ia justru ‘telah’ memproklamirkan diri sebagai eksistensi yang berbeda. Kemudian yang beda itu sermerta harus tersingkir, bahkan tanpa hormat. Lantas slogan ‘SATU’ menemukan momentum wacananya saat itu juga. Tapi naïf, cita-cita ‘SATU’ lebih sering terdengar tanpa bergandeng mesra dengan slogan ‘BHINEKA’, sehingga itu lebih terdengar penanda dengan rongga yang teramat menganga, tak padat. Keanekaragaman –seolah- menjadi tidak penting, namun kepentingan yang justru memainkan peran sentral.


Pada titik paling radikal, nilai paradoksial ini telah menjadikan identitas manusia terjebak dalam dimensi ‘limbo’. Ia tak tahu, tanpa sadar, kenyataan apa yang didepannya. Ada satu keadaan yang –sengaja- dilupakan, dihilangkan, karena ia telah menafikan satu kenyataan penting; ‘SATU’ tak selamanya baik buat manusia. Bilangan itu terlampau berbatas untuk didaku seluruh umat manusia, seutuhnya.


Yang pasti, bagiku, cita-cita identitas manunggal itu lebih terdengar ungkapan emosional dari para uthopianis. Mereka membangun sebuah manifesto yang jauh dari kata ‘bias realitas’, baik muncul akibat imajinasi uthopis itu sendiri, atau hanya dengan meraba-raba masa silam, lalu dihadirkanlah kepingan kesadaran nostaligik belaka, tanpa sadar bahwa kenyataan tak selamanya manis, namun acap kali pahit. Lantas?


Ya, rongga-rongga kesadaran yang tak tuntas akibat keterjebakan manusia pada laju khayal tentang ‘SATU’ sejatinya bisa terpadatkan oleh sebuah sikap bijak yang mampu menerima kenyataan tentang keanekaragaman, bahkan –meminjam istilah Pram- sejak dalam pikiran. Karena rongga itu senantiasa siap untuk dimasuki ‘BHINEKA’, kapan saja dan tanpa pamrih. Sederhananya, jalan manusia memang –akan selalu- beda, tapi akan ada masa dimana ‘sesegala’ akan kembali di titik yang sama.