fahmy farid p.


Identitas, bagaimanapun juga selalu problematis. Ia bagai topeng tanpa kerutan tegas-menegas, apalagi relief yang jelas, tapi juga peran yang menjadikan sesiapa itu dikenal, walaupun nyatanya tak pernah tuntas. Mula-mula ia adalah potret yang teramat lugu, lalu sesaat kemudian bisa jadi menjelma konyol. Tak heran, catatan sejarah menjadi saksi bisu hadirnya juta angkara atas nama itu, pun akhirnya nyawa hanya seharga ‘AKU’ saja, tidak lebih.


Jelas, identitas di sini bisa jadi hanya menghadirkan ambivalensi. Tanpanya, ke-aku-an takan pernah dikenal, tapi ketika itu mulai menancap tegas, disadari ataupun tidak, ia justru ‘telah’ memproklamirkan diri sebagai eksistensi yang berbeda. Kemudian yang beda itu sermerta harus tersingkir, bahkan tanpa hormat. Lantas slogan ‘SATU’ menemukan momentum wacananya saat itu juga. Tapi naïf, cita-cita ‘SATU’ lebih sering terdengar tanpa bergandeng mesra dengan slogan ‘BHINEKA’, sehingga itu lebih terdengar penanda dengan rongga yang teramat menganga, tak padat. Keanekaragaman –seolah- menjadi tidak penting, namun kepentingan yang justru memainkan peran sentral.


Pada titik paling radikal, nilai paradoksial ini telah menjadikan identitas manusia terjebak dalam dimensi ‘limbo’. Ia tak tahu, tanpa sadar, kenyataan apa yang didepannya. Ada satu keadaan yang –sengaja- dilupakan, dihilangkan, karena ia telah menafikan satu kenyataan penting; ‘SATU’ tak selamanya baik buat manusia. Bilangan itu terlampau berbatas untuk didaku seluruh umat manusia, seutuhnya.


Yang pasti, bagiku, cita-cita identitas manunggal itu lebih terdengar ungkapan emosional dari para uthopianis. Mereka membangun sebuah manifesto yang jauh dari kata ‘bias realitas’, baik muncul akibat imajinasi uthopis itu sendiri, atau hanya dengan meraba-raba masa silam, lalu dihadirkanlah kepingan kesadaran nostaligik belaka, tanpa sadar bahwa kenyataan tak selamanya manis, namun acap kali pahit. Lantas?


Ya, rongga-rongga kesadaran yang tak tuntas akibat keterjebakan manusia pada laju khayal tentang ‘SATU’ sejatinya bisa terpadatkan oleh sebuah sikap bijak yang mampu menerima kenyataan tentang keanekaragaman, bahkan –meminjam istilah Pram- sejak dalam pikiran. Karena rongga itu senantiasa siap untuk dimasuki ‘BHINEKA’, kapan saja dan tanpa pamrih. Sederhananya, jalan manusia memang –akan selalu- beda, tapi akan ada masa dimana ‘sesegala’ akan kembali di titik yang sama.


Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment