fahmy farid p.

Menjadi fakta tersendiri bahwa perilaku manusia, sebagai bagian dari pola kehidupan sosial, memiliki subjektifitas dan keintiman yang tak bisa terhindarkan. Tak ada jeda pembeda yang tegas untuk membedakaan antara aksi (sebagai proses pendefinisian diri secara sadar), dengan spontanitas lelaku di luar kesadaran. Terdapat semacam kekaburan antara elemen-elemen yang bisa dipahami secara empiris dan yang sama sekali tidak bisa. Namun hal ini bukan berarti logika sosial sama sekali tidak mampu diabstraksi ataupun dibaca secara generalitatif. Pertimbangannya, dalam konteks sosiologi, proses pembacaan arah kepentingan, kesadaran, dan lelaku sosial, tidak bisa terlepas dari penanda-penanda kultural (cultural significance). Penanda semacam ini menjadi pintu analisa untuk mengidentifikasi struktur, aksi, hingga kepribadian manusia; membaca manusia pada titik paling memungkinkan untuk diobjektifikasikan.

Proses objektifikasi logika sosial tentu berkelindan dengan bagaimana setiap fenomena yang hadir mampu diuraikan secara empiris. Untuk itu, membincang arah kesadaran, fenomena, dan lelaku sosial ini berkelindan dari tiga orientasi dasar; masa lalu, saat ini, dan ekspektasi masa depan. Ada nalar sosial yang harus diperhatikan secara serius, karena setiap relasi yang menyimpan kompleksitan muatan makna, motif, maupun lelaku, sama sekali tak terjadi secara langsung ataupun dipahami melalui pembacaan-pembacaan simplifikatif. Setiap pendekatan sosiologis harus harus mampu menalar probabilitas aspek-aspek tersebut. Sehingga fenomena sosial yang terbaca bisa dipertanggungjawabkan—paling tidak—pada level empiris; sebagai sebuah aksi sadar yang dilakukan secara komunal.

Bisa dipahami secara sederhana bahwa realitas sosial terbentuk melalui negosiasi-negosiasi; yaitu tentang bagaimana kesadaran individual mampu dipahami dan diterima secara komunal. Dengan demikian, relasi sosial hanya terjadi ketika terdapat interaksi timbal-balik, baik antar individu maupun komunitas. Dari interaksi tersebut, muncul probabilitas pemaknaan-pemaknaan yang bisa diterima secara komunal, atau katakanlah terjadi kesepahaman dalam memaknai fenomena tertentu. Jika proses negosiasi tersebut gagal, atau tertolak secara populis, maka kesadaran diri tadi berarti tidak menemukan komunitasnya dalam struktur sosial (society without societalisation). Pola relasi semacam ini pada akhirnya akan menjadi akar formulasi nalar sosial yang diistilahkan dengan ‘societalisation’ (vergesellschaftung), bukan lagi sebatas ‘society’ (gesellschaft). Dan yang perlu diperhatikan dalam hal ini bahwa, sebagaimana asumsi Weber, konflik justru merupakan karakteristik paling dasar sebuah relasi sosial, bahkan yang bersifat permanen sekalipun. Akan selalu terjadi interaksi dan pamaknaan yang bersifat dialektis secara berkesinambungan.

Dalam analisa Weber sendiri, terdapat empat macam orientasi perilaku sosial. Pertama, purposively rational, yaitu orientasi suatu tindakan yang—secara rasional—diarahkan pada tujuan-tujuan tertentu. Pelaku mencari probabilitas suatu pemaknaan sosial pada titik yang mampu diabstraksi dan menemukan relevansinya secara nyata. Kedua, value rational, yaitu perilaku sosial yang—pada tataran rasional—lebih mengutamakan nilai-nilai prinsipil dalam struktur sosial; sebagai nilai ideal masyarakat, tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan konteks tertentu terlebih dahulu. Sehingga baik dan benar suatu tindakan lebih didasarkan pada ukuran dan penilaian masyarakat di sekitarnya. Ketiga, affective action. Pola orientasi ini bisa dimaknai sebagai tindakan untuk tindakan itu sendiri, tanpa pertimbangan memiliki nilai atau tidak sama sekali. Tindakan tersebut banyak dilakukan tanpa pertimbangan rasional ataupun apapun melibatkan kesadaran penuh, tapi lebih didorong oleh perasaan atau emosi. Ia hanyalah reaksi spontan atas suatu peristiwa. Keempat, traditional action. Pola orientasi ini lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku yang dilakukan secara terus-menerus, membentuk sistem adat-istiadat. Tindakan sosial tidak memiliki alasan ataupun perencanaan-perencanaan rasional terlebih dahulu, tapi terjadi hanya karena kebiasaan saja. 

Melalui keempat tipologi dasar semacam ini, orientasi perilaku sosial menjadi mungkin untuk diobjektifikasikan. Pelaku, baik individual maupun komunal, senantiasa mengarahkan aksi mereka pada nilai tetua, aktualita dan ekspektasi tertentu, pun dengan cara tertentu pula. Sehingga interpretasi dan prediksi tindakan sosial bisa dilacak sedemikian rupa, karena setiap hubungan sosial didasarkan pada probabilitas suatu tindakan tadi. Dengan memperkirakan pola semacam apa yang terjadi di lingkungan sosial, setiap kompleksitan muatan makna, motif, maupun arah perilaku bisa diuraikan pada level-level empiris. Dan bahwa kebiasaan dan aksi manusia ‘sama sekali’ tidak bisa diprediksi, menjadi tidak menemukan pembenarannya.

Bentuk paling stabil dari tatanan sosial sendiri adalah relasi yang dituntun oleh kepercayaannya pada legalitas suatu perintah, tentu dengan ragam pemaknaannya. Ada semacam pola relasional yang membentuk mata rantai kesepahaman komunal ketika praktik-praktik sosial menemukan legalitasnya. Hanya saja, hal ini tidak cukup untuk dijadikan pembenaran suatu prilaku. Legalitas memerlukan kekuatan penggerak dan pencegah; sebuah mekanisme kontrol sosial. Pada titik ini, proses pembentukan kekuatan sosial bisa diarahkan pada gagasan dominasi (herrschaft). Dengan adanya dominasi ini, yang tentunya harus berpijak pada pada penanda-penanda kultural (cultural significance) agar terjadi kesepahaman komunal, pelaku sosial memungkinkan untuk senantiasa menuruti isu-isu yang dimunculkan otoritas terkait. 

Dalam konteks relasi sosial, dominasi ini berkelindan dengan tiga tipe mendasar: tradisional, legal, dan karismatik. Ketiganya mempunyai identitas (ciri khas) sekaligus konsekuensi tersendiri, baik pada tataran diskursif maupun praktik-praktik nyata. Dominasi dan otoritas tradisional cenderung berpijak pada nilai-nilai sakral leluhur yang dipercayai suatu komunitas. Tetua memiliki otoritas penuh atas kebijakan-kebijakan untuk melestarikan nilai-nilai tersebut. Sedangkan dominasi dan otoritas legal tidak lagi hanya dibentuk oleh praktik-praktik sosial yang dilakukan secara turun-temurun, namun ada semacam proses kontekstualisasi secara rasional, baik bersifat purposively rational maupun value rational. Maka perubahan menjadi mungkin untuk dinalar, sesuai dengan negosiasi-negosiasi dan kesepakatan-kesepakatan sosial, sebagai sebuah kebenaran kolektif. 

Jika dicermati secara seksama, baik dominasi tradisional maupun legal ini terbilang bersifat permanen. Keduanya bersinggungan langsung dengan praktik-praktik keseharian. Sedangkan dominasi dan otoritas karismatik terbilang mekanisme yang ‘tak biasa’. Dalam pemaknaan Weber, karisma merupakan kualitas kepribadian seseorang tertentu yang dianggap luar biasa. Ia dipisahkan dari manusia biasa, seolah memiliki kualitas supranatural, supermanusia, atau paling tidak memiliki kekuatan yang tak biasa. Tipe dominasi karismatik ini bisa muncul dalam konteks sejarah sosial apapun, tanpa terikat oleh rutinitas praktik-praktik sosial. Permasalahan dan justru menjadi akar instabilitas sosial dari otoritas karismatik ini, justru terletak pada proses suksesi sosok karismatik ketika ia meninggal, atau katakanlah terkucilkan dari ruang-ruang sosial. 

Lalu…