fahmy farid p.
Sufisme adalah laku, dekonstruksi adalah strategi. Keduanya bukanlah proses objektifikasi, namun lebih pada personifikasi. Kira-kira begitulah gambaran sederhana ketika mulai belajar membincangnya, menuliskan terpahami dari buku Ian Almond.

I

Mari mulai membincang[nya] sebagai yang tak terbincang, yang tak mungkin; semacam kehadiran di luar batas ungkap dan olah-pikir, ketika rasionalitas (`aql/reason) justru menjadi belenggu (i`qâl/fetter) dari ke-tak-terbatas-an pendaran kehadiran[nya] saja. Tentang kehadiran[nya] adalah kebingungan tanpa batas, bahkan menggeret pada totalitas ke-tak-hadir-an, kegelapan primordial. Tentang[nya], ungkapan apapun yang tak membingungkan hanya berhala yang disembah-sembah tanpa sadar. Tak ayal, mengurai kegelapan primordial semacam itu meniscayakan cara lain; metaforikalitas kehadiran, pun historikalitas pendarannya. Kehadiran[nya] harus ditarik ke ruang metafora, dengan waktu sebagai pijakannya; semacam kehadiran yang terungkap, menyisipkan diri dalam jejak ingatan, sejarah, dan imajinasi, walaupun bukan yang sejati, bukan yang paripurna.

Lalu munculah sebuah ironi; bahwa di balik kehadiran yang terungkapkan, terselubung ambiguitas tanpa batas se-dari batas ontologisnya (ontological ambiguity of all things). Kehadiran menjadi tak tercecap dalam potret keutuhan[nya], senantiasa mengelak dari setiap usaha-usaha pemaknaan, tertunda dari setiap ambisi manusia kala menjernihkan dan menandai[nya]. Selalu tersedia ruang-ruang imajiner ketika ketidakmungkinan hanya sebatas cara manusia mengungkap misteri yang belum tersingkap, atau paling tidak, ketika manusia belum siap menerima kejutan-kejutan. Selalu menyeruak penanda-penanda kehadiran yang tak pernah stabil, silih bertegangan, tarik-menarik di-semacam moment tak terpikirkan kapan kali yang ada di pedalaman batin menjadi literal, teks meniscayakan interpretasi, ataupun kata menjelma benda. Kehadiran menjadi manifestasi yang selalu memperbaharui dirinya di setiap penanda masa.

Sepintas membingungkan dan paradoks, sebagaimana membingungkannya dua manusia beda zaman, beda akar peradaban: Ibn Arabi dan Jacques Derrida. Dan bahwa kehadiran Ibn Arabi cukup ‘panas’ dalam lokus-lokus mistisisme diskursif Barat modern. Penulis sendiri akan mencoba mengurai beberapa penggalan dua tokoh tadi melalui buku Sufism and Deconstruction; A comparative study of Derrida and Ibn Arabi karya Ian Almond; sebuah buku yang mencoba mengkomparasikan sufisme dengan dekonstruksi, namun tetap menjaga lokalitasnya masing-masing, dalam fragmennya tersendiri. Ian Almond sendiri bukan sedang membetot paksa diskursus sufistik yang tertandai di abad ke XIII ke ruang diskursus post-strukturaslisme maupun post-modernisme. Juga sebaliknya, bukan melakukan proses islamisasi pemikiran Jacques Derrida, mentransformasi gagasannya ke dalam kerangka mistisisme Islam.

Tak sedikit usaha-usaha mengurai Ibn Arabi maupun Derrida, mengidentifikasi, menarik-paksa ke dalam kerangka logosentris tertentu. Namun kesejatian-hadirnya selalu mengelak, memberontak untuk ditarik ke dalam bentuk pengertian apapun. Tercatat dalam beberapa jurnal ilmiah, perbincangan sosok Ibn Arabi banyak di-tarik-paksa ke dalam ruang mekanika kuantum, taoisme, pemikiran St. Thomas Aquinas, SwedenborgNew Age mysticism, Kant dan Chaos theory. Henry Corbin, misal, menganggap Ibn Arabi punya relasi yang sangat kuat dengan Sekte Syi`ah. Pengabaian atas lokalitas dan watak kesadaran subjektif Ibn Arabi yang memaksakan itu mendorong Mahmoud Al-Ghorab untuk melakukan penjernihan dalam batas tertentu, bahwa Ibn `Arabi adalah seorang muslim otentik, bukanlah Syi`ah, Filsuf, apalagi simpatisan Yahudi ataupun Kristen. William Chittick, missal lainnya, ketika membaca Ibn Arabi cukup berhati-hati untuk menariknya ke dalam satu paradigm bahwa ‘bahasa menentukan dan memutuskan segala bentuk realitas’.

Adapun sosok Derrida adalah sebuah provokasi. Ejekan dan sinisme cukup riuh menyeruak dari banyak tokoh intelektual, terutama yang masih memegang kuat perangkat—yang ia istilahkan dengan—logosentris. Ia menyerang metafisika kehadiran (metaphysics of present) yang memijak pada logosentris yang—bagi mereka—tidak mengandung paradoks, mengandaikan narasi besar yang kokoh dan pusay yang stabil. Bagi Derrida, metafisika kehadiran telah sangat mendominasi pemikiran filsafat Barat yang berakar dari tradisi filsafat Yunani, tanpa pernah ada usaha-usaha untuk melakukan problematisasi. Kontroversi filsafat Derrida yang anti-teori dan anti-metode ini cukup menjadi lelucon dalam tradisi filsafat Barat kontemporer; Derrida sedang mengigau.

Sisi lain dari Derrida, terlepas ateisme yang didakunya, bahwa ketertarikan Derrida terkait ruang-ruang mistisisme cukup kuat. Banyak dari para pembaca Derrida yang mencitrakannya sebagai pemangku teologi negatif yang berkelindan dengan dua tradisi mistisisme kalsik: Mister Eckhart dan Pseudo-Dionysius yang notabene sebagai pendahulu dekonstruksi. Latar mistisisme ini menginspirasi pembacaan John D. Caputo atas mistisisme Derrida, kemudian memanggilnya dengan Jaques ‘El-Biar’ Derrida. Julukan El-Biar diasosiasikan dengan tempat kelahiran Derrida, sebuah wilayah terpencil dari negara Algeria (Aljazair). Walaupun ia hidup di tengah komunitas yang mayoritas beragama Islam, Derrida sendiri terbilang abai terhadap mistisisme Islam.

II

Memang, perbandingan dua tokoh memerlukan adanya penanda relasional yang memungkinkan dibaca secara inter-tekstualitas terlebih dahulu. Terlebih keduanya memijak pada kesadaran yang terkesan silih memunggungi; Ibn Arabi dengan kesadaran religiusitas dan pengakuan Derida sebagai seorang Ateis. Maka yang menjadi atensi Ian Almond paling mula, mencari pijakan dasar bahwa pemikiran Ibn Arabi dan Derrida, pada detail-detail tertentu, bisa diperbandingkan satu sama lain. Sejauh mana kemiripan proses pembacaan dekonstruktif yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Ibn Arabi, tanpa harus membetot-paksa Ibn Arabi sebagai ke dalam ruang post-strukturalis abad pertengahan? Sejauh mana dekonstruksi bisa dijadikan strategi membaca sufisme Ibn Arabi, atau sebaliknya? Mungkinkah!?

Untuk mengurai relasi sufisme dan Dekonstruksi dengan tetap pada lokalitasnya masing-masing, Ian Almond memulainya dari pemikiran Mister Eckhart dan Pseudo-Dionysius terkait ketidakmungkinan untuk membicarakan sesuatu yang hiperesensial (a being beyond Being); bahwa tentang sesegala yang tak terbincangkan (the unspeakable), bukankah lebih baik tetap diam!? Begitulah kira-kira penghormatan dan pemeliharaan Eckhart akan yang Liyan (Tout Autre). Ketidakmungkinan ini merupakan konsekuensi gagasan différance milik DerridaMelaluidifférance, segala bentuk klaim metafisika—sejarah ontologi—yang mengandaikan sebuah pusat yang stabil, universal, dan mengatasi segala bentuk perubahan patut dicurigai kembali. Keyakinan tentang sebuah logos yang utuh dan universal diporak-porandakan, menghancurkan tata logika tertentu, membetotnya keluar dengan paksa, lalu kebingungan di rimba yang sangat liar. Derrida melihat pembelaan terhadap kelainan dan perbedaan menjadi penting.

Mistisisme Ibn Arabi sendiri menaruh ketidakpercayaan dan kecurigaan yang sama terhadap rasionalisme dan klaim metafisika ketika mengandaikan satu titik paripurna. Kesaradan akan adanya kekuatan kreatif bahasa, kepekaannya atas perbedaan identitas, maupun model interpretasi yang ‘tak biasa’ dan—kalau boleh mengistilahkannya—‘liar’ menjadi terma kunci yang mendekatkan Ibn Arabi dengan tradisi literary studies di Barat. Tersebab inilah, pemikiran Mister Eckhart menjadi sosok ‘hantu’ (phantom), penengah, yang menjadikan studi komparatif Ibn Arabi dan Derrida menjadi—dalam batas tertentu—memungkinkan. Dalam penelisikan Ian Almond, figur Eckhart sering diasosiasikan di Barat dengan Ibn Arabi (Meister Eckhart of the Islamic tradition). Eckhart juga sering dikaitkan Derrida melalui gagasan teologi negativnya.

Walaupun Eckhart dan Ibn Arabi mengembangkan gagasannya dari poin yang identik, kemudian memendar dalam istilah yang berbeda, tapi paling tidak, bagi Ian Almond, figur Eckhart ini merupakan opsi terdekat. Lain pada itu, walaupun Derrida tidak mempunyai karya terkait mistisisme, namun ketertarikannya terhadap Mister Eckhart ini telah membuka relasi diskursif dengan mistisisme. Pada tahun 1964, diselipkan pada lembaran Revue de  Métaphysique et de Morale, Derrida menuliskan kekagumannya atas teologi negatif Eckhart dalam karya How to Avoid Speaking: Denials.

Pada prinsipnya, tidak secara otomatis apa yang ditulis Derrida tentang Eckhart valid untuk digunakan membaca karya Ibn Arabi. Tapi paling tidak, ‘hantu’ Eckhart ini bisa dijadikan takaran yang menjadikan studi komparatif sufisme Ibn Arabi dan Dekonstruksi Derrida mungkin; semacam perbincangan teologi negatif dan mistisisme dalam ruang yang lebih luas. Pada latar-latar inilah, Ian Almond memijakan bukunya.

Ian Almond membagi buku Sufism and Deconstruction; A comparative study of Derrida and Ibn Arabi ke dalam beberapa pembahasan. Pertama, terkait bagaimana rasionalitas (`aql/reason) justru termaknai sebagai belenggu(i`qâl/fetter). Dalam hal ini, baik sufisme maupun dekonstruksi mempunyai kecenderungan menegasi, memberontak, setiap upaya rasionalisasi Al-Haq/l’Écriture; membebaskannya dari belenggu logosentris.

Kedua, Ian Almond menjelaskan tentang bagaimana kebingungan (perplexity/hayrah) menjadi pijakan awal dan akhir dalam membincang yang tak terbincangkan; bahwa penolakan atas logos berarti meniscayakan kebingungan. Bukankah menjadi bingung berarti membuat sesegala bergerak bersama, memupus batas dan jarak yang memisah sesegala kedalam bentuk-bentuk dan kategori-kategori. Menjadi bingung berarti membuat sesegala yang tampak akrab, seketika menjadi asing dalam dirinya sendiri. Kebingungan semacam ini hadir saat seseorang sadar bahwa rasionalitas tidak cukup mewakili untuk memahami apa yang sejatinya, mambutakan seseorang atas situasi aktualnya.

Ketiga, tentang bagaimana Derrida melihat teks sebagai proses yang terbuka terhadap segala kemungkinan pemaknaan. Derrida sedang merecoki sekaligus membuka katup strukturalisme yang telah mengunci teks dari ke-tak-berhingga-an-nya; membebaskan teks dari belenggu logosentris, lalu menjadikan setiap ungkapan sebagai makna yang selalu tertunda (defer). Pola yang sama, tentu dengan wilayah berbeda, juga terjadi pada Ibn Arabi. Ia hendak menunjukan bahwa selalu ada makna yang lebih dalam dari apa yang tampak secara literal. Pada titik ini, makna literal ditarik ke dalam ruang yang lebih luas, membuka dunia baru penafsiran Al-Qur’an. Ada semacam ketakterbatasan yang dicitrakan sebagai samudra tanpa tepian (a sea without a shore), ketika inter-tekstualitas menemukan pembenarannya.

Keempat, bahwa secret dan sirr merupakan salah satu istilah kunci Derrida dan Ibn Arabi. Di balik semua sistem tanda (simbol), selalu terkubur rahasia yang sama sekali tidak sedang menunjuki makna apa-apa, kecuali kepada rahasia lainnya. Artinya, rahasia yang terselubung dalam teks telah mensugestikan bahwa dekonstruksi sedang melakukan kerja demistifikasi dan remistifikasi secara simultan atas metafisika kehadiran. Dekonstruksi hendak membebaskan teks dari maksud tunggal; membiarkannya tanpa kemudi lalu bergerak dalam alur yang khaos. Sedangkan sirr telah menggiring pada pemahaman akan gerak simultan antara yang transendentalitas dan immanenitas atas Al-Haq. Pada titk ini, penyingkapan rahasia bukan hanya membawa pada penyingkapan teofanikAl-Haq, tapi juga pada penghancuran-diri (self-annihilation/fanâ). Maka, baik secret maupun sirr sedang mengandaikan kebutaan atas Liyan, juga mengandaikan keimanan yang tak pernah paripurna. Apa yang terungkap hanyalah sebatas tanda ataupun berhala yang tidak menunjuki makna tertentu, tapi justru sedang membawa sesiapa pada tanda ataupun berhala lainnya. Sehingga Al-Haq/l’Écriture selalu menemukan kebaruannya di setiap penanda masa.

Di akhir pembahasan, Ian Almond membubuhkan sedikit kongklusi terkait wacana post-strukturalis yang sedang membincang kematian (pembubaran) subjek, memutus segala relasinya. Ambisi strukturalisme untuk mengontrol dan mendeduksi fenomena ke dalam sistem baku dan logika biner menggunakan bahasa dihujat, dipertanyakan ulang. Sederhananya, setiap teks selalu bersifat inter-tekstul, berkelindan dan menjejaring satu sama lainnya, tak pernah selesai, ad infinitum. Hal ini merupakan konsekuensi teks yang tidak mempunyai poros tunggal, namun menyebar dan menciptakan poros-porosnya masing-masing. Tak ayal, selalu ada penundaan dan pendiferensian kehadirannya secara simultan.

Ada kekacauan atas sesegala yang sering kita anggap dekat, akrab, dan jernih, menjadi sesuatu yang tertunda, belum/tak mungkin menubuh. Sesegala selalu memperbaharui pemaknaannya, melampauin batas horizon antisipasi manusia yang berpangkal dari keterbukaan atas apa yang akan terjadi. Sesegala menjadi sebatas manifestasi tanpa batas, gambaran-gambaran The Wholly Other. Sesiapa sedang ditarik pada kesadaran bahwa apa yang kita panggil [t]uhan tidak selalu berarti [T]uhan, apa yang kita yakini sebagai [k]ebenaran tidak selalu merupakan [K]ebenaran.

Pada kesempatan kali ini, penulis akan mengurai dua bab pertama dari buku tersebut. Adapun catatan penting sebelum masuk ke dalam ruang-ruang yang lebih diskursif, bahwa posisi keduanya terbebas total (al-tafarrud al-muthlaq) dari ikatan sekte atau tradisi pemikiran apapun. Memang hal ini terkesan ‘arogan’, namun kenyataannya, membaca Ibn Arabi dan Derrida memang berarti sedang membaca kesunyian, totalitas kesendirian (absolute singularity). Baik Muktazilah, `Asya`irah, maupun Bathiniyyah tak lepas dari kritik Ibn Arabi. Posisi Derrida juga tak jauh berbeda. Gagasannya sering menyerang konsepsi fenomenologi, strukturalisme, bahkan existentialisme.

III

Belenggu nalar meniscayakan pembalikan paradigma. Ada semacam ketidaksepakatan Ibn Arabi terhadap `ilm al-kalâm yang memijak pada penalaran murni. Penampikan ini memang terkesan ‘arogan’, tapi sejatinya Ibn Arabi justru telah membuka jalan baru atas pemaknaan Al-Haq. Ibn Arabi hendak menghindari dua kemungkinan terradikal perbincangan teologis menggunakan pendekatan teologi dialektis; kemungkinan ta`thil (pelepasan total setiap atribut Tuhan) dan tasybîh (penyerupaan total setiap atribut Tuhan). Pemalingan diri dari dua kutub tendensius dalam tradisi teologi dialekstis ini merupakan usaha Ibn Arabi dalam membincang Al-Haq secara tak biasa. Ibn Arabi memasuki satu pemahaman akan adanya gerak simultan antara transendentalitas dan immanenitas Tuhan yang tidak dipahami oleh para teolog. Gerak simultan semacam ini telah memporak-porandakan setiap usaha pendefinisian Al-Haq; bahwa tak akan pernah ada seorang pemikir-pun yang mampu mendefinisikan-Nya secara total.

Di penanda masa lain, Derida gencar mengugat tradisi filsafat Barat yang bermimpi akan adanya logos yang menampik paradoks. Terkesan ‘arogan’ juga memang, namun Derrida justru telah menyibak keniscayaan cacat-cacat internal dalam filsafat yang tersamar. Ia berusaha memangkas suatu jarak tertentu antara strategi pembacaan teks pembaca dan tulisan; semacam proses isolasi moment-moment kehadiran-diri (self-presence) dari tulisan mereka yang akan menggeret kembali kepada tradisi metafisika-logosentris. Derrida berusaha menggugat setiap bentuk impian dan nostalgia atas muasal yang menjadi poros tak terggugat dalam metafisika logosentris. Derrida melihat adanya pengabaian atas kenyataan bahwa tanda (sign) tidak membawa seseorang kepada makna(meaning), tapi justru kepada tanda lainnya (other sign). Teks hanyalah sebuah permainan, hanya bermain-main.

Hal yang sama ia perlakukan terhadap teologi negatif yang digagas St Augustine, Pseudo-Dionysius, maupun Eckhart. Di satu sisi, Derrida berusaha keras untuk menunjukkan kekagumannya terhadap teologi negatif; semacam korpus yang membuka sekaligus menutup pada saat yang bersamaan, kemudian ditulis dalam bahasa yang senantias diuji hingga tapal batas akhirnya, ujung  bahasa. Di sisi lain, bahwa semua pertanyaan radikal atas metafisika masih terkungkung dalam gagasan onto-teologis. Pola sirkular ini menunjukan ada semacam pengakuan atas batas bahasa dalam membincang The Other; ketika sesiapa sadar bahwa bahasa mampu memotret dunia, tapi tidak bisa memotret dirinya sendiri. Namun pada saat bersamaan terjadi penerimaan utuh atas kehadiran[nya]. Pada titik ini Derrida sedang menegaskan bahwa semua pembicaraan tentangnya sirna seketika. Tidak ada seorang pemikir-pun yang mampu melepaskan diri dari belenggu metafisika yang menyejarah.

Kedua gambaran umum ini dijadikan pitnu masuk Ian Almond untuk melacak motif penolakan Ibn Arabi dan Derrida atas rasionalisme/logosentris. Ketidakpercayaan keduanya atas metafisika logosentris tentu menggiring pada ruang diskursif yang lebih kompleks yang akan melibatkan analisa atas terma Al-Haq (Tuhan) and l’Écriture(teks tanpa kendali). Keduanya, tentu dalam konteksnya masing-masing, sedang membincang tentang ‘belenggu’ dan ‘kebebasan’; semacam proses pembebasan Al-Haq and l’Écriture dari belenggu rasionalitas. Dalam wilayah Derrida, pembebasan ini tercecap murni dalam konteks semantik (makna kalimat), sedangkan dalam konteks Ibn Arabi tertuju pada spiritualitasnya. Meski berbeda, keduanya sedang melakukan afirmasi ulang terhadap sesuatu yang khaos, tak tentu, dan sukar dipahami; sesuatu yang membuat perbincangan tentangnya membingungkan, menjadi tak mungkin, tertudan dari segala perbincangan dan klaim manusia.

IV

Penolakan Ibn Arabi atas usaha rasionalisasi Al-Haq bermula dari bagaimana ia memahami reason (al-`aql).Baginya, al-`aql (reason) memiliki akar kata yang sama dengan al-`iqâl (fetter). Cirta belenggu yang memendar dari kata al-`aql menemukan pembenarannya ketika melihat kenyataan bahwa dengan akalnya, para teolog maupun filsuf justru malah membatasi keluasan tanpa batas gambaran Al-Haq (Divine Vastness). Rasionalisasi Tuhan malah mengaburkan kenyataan bahwa setiap kelompok meyakini Tuhan dalam citranya masing-masing, bahkan tiap per-satu individu. Gejala yang ditimbulkan sebab usaha rasionalisasi Tuhan adalah munculnya dua posisi paling tendensius dalam teologi. Konsep teolog Asya`irah telah mengafirmasi bahwa Tuhan bisa diungkapkan melalui berbagai atribut-Nya (al-lâhût al-ijâbiy/cataphatic). Sedangkan konsep teologi Muktazilah lebih menekankan pada sisi negativitasnya; bahwa Tuhan hanya bisa diungkapkan dengan apa yang bukan diri-Nya (al-lâhût al-salbiy/apopatic). Yang menjadi tanda Tanya besar, sejauh apa validitas keyakinan dan gambaran manusia atas Tuhannya? 

Pada titik ini, Ibn Arabi mencoba melepaskan diri dari logika biner yang diniscayakan upaya rasionalisasi Al-HaqtadiCara mengelak dari upaya rasionalisasi semacam itu, Ibn Arabi tidak lagi memijakan diri pada akal (reason)dalam memahami pertautannya dengan Al-Haq, namun masuk dalam ruang-ruang intuitif; merasakan (al-dzauq)kehadiran-Nya secara utuh melalui segala penyingkapan (al-kasyf). Ibn Arabi masuk ke dalam ruang ketika transendentalitas dan immanenitas lebur pada diri manusia di saat yang bersamaan; menarik Tuhan dalam watak negativitasnya (apopatic), namun pada saat yang sama terjadi penegasan watak positivitasnya (cataphatic).Apopatic di sini sebagai totalitas ke-tidak-hadir-an (al-ghiyâb al-muthlaq) dalam setiap pikiran dan imajinasi manusia, penundaan totalitas klaim kehadiran. Sedangkan cataphatic sebagai kehadiran manifestasial (teofani) yang tercecap intuisi manusia.

Kritik Ibn Arabi atas konsepsi rasional para teolog maupun filsuf bermula pada satu kenyataan penting bahwa ‘Dia bukanlah Dia (Huwa lâ Huwa)’. Artinya, semua ide dan konsepsi yang dibangun manusia untuk menunjukan Al-Haq bagi pembenaran diri, sejatinya terselubung kenyataan yang sepenuhnya tak terbincang, tak terpikir; ketika semua pembicaraan tentangnya menguap dalam sekejap. Konsepsi apapun tentang Al-Haq, sebagai yang tak ada bandingannya (incomparability) itu, pada akhirnya, hanya perbincangan teologis yang memijak pada konstruksi ilusif. ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia’.

Situasi aktual menjadi menarik dalam hal ini. Ada satu cara pandang tersendiri dalam kitab Fushûs Al-Hikâm yang dikutip Ian Almond, bahwa kapan kali memikirkan Al-Haq, justru manusia sedang mereka-reka citra yang ia ciptakan sendiri, bukan sebagai yang benar-benar Al-Haq. Maka selama manusia memahami citra itu dalam konteks situasi aktual yang sesuai dengan kesiapan hamba menerima nafas teofanik-Nya, sebagai citra manifestasial dari Al-Haq, tentu gambaran tersebut selalu memperbaharui dirinya di setiap penanda waktu. Al-Haq yang terungkapkan di moment tertentu bukan sebagai Al-Haq di penanda waktu lainnya.

Bagi Ian Almond, ada—dalam batas tertentu—kemiripan antara situasi aktual dengan ilusi moment kehadiran-diri(self-presence) milik Derrida; semacam poros yang sejatinya tidak pernah benar-benar menjadi poros. Sehingga subjek menghilang, mengandaikan kematiannya. Bagi Derrida penandaan hanya membawa sesiapa pada penandaan lainnya. Pada titik ini, perlu ada penguraian lanjutan terkait situasi aktual yang menandai ke-tak-terbatas-an (infinity) citra teofanik. Ataupun self-presence yang menandai signifikasi teks.

V

Sejatinmya, rasionalitas memiliki peranan positif selama tidak dipahami sebagai yang stabil, utuh, total, dan universal. Namun, rasionalitas tanpa memahami situasi aktual seorang hamba dalam mencecap setiap citra teofanikAl-Haq yang selalu memperbaharuai, berpotensi menjadi cara pemberhalaan Al-Haq itu sendiri. Ada ke-tak-terbatas-an citra teofanik yang malah dibatasi; membuat kendali atas apa yang sebenarnya tak pernah terkendali, memikirkan apa yang sejatinya tak terpikirkan. Pemikiran reflektif atas Al-Haq tidak pernah bisa memadai, utuh, dan tuntas, tersebab citra yang terpikirkan selalu terbentur dengan kegamangan-kegamangan manusia ketika mengafirmasi ke-tak-terbatas-an Al-Haq. Upaya-upaya teolog dan filsuf yang membatasi, merantai, citra teofanikAl-Haq hanyalah untuk kepuasan ego akal budi mereka sendiri, lantas mendaku bahwa gambaran liyan tentang-Nya merupakan laku-laku heretis (klenik). Tak ayal, teologi—selama tidak menyadari adanya kebermungkinan citra teofanik Al-Haq yang tak terbatashanya akan mengantarkan pada pemberhalaan dan syirik.

Dalam konteks yang berbeda, Derrida melihat adanya signifikasi teks yang tak terbatas; semacam kemelimpahan posibilitas makna kata (infinite semantic possibilities of a text). Baginya, ambisi untuk membatasi kemungkinan makna teks merupakan usaha naïf dalam memfosilkan kemungkinan tanpa batas tersebut di permukaan (literal). Pemaknaan yang terhenti, menubuh dalam bentuk literal itu, sedang mengandaikan belenggu, lalu merantai teks dari pendaran ke-tak-terbatas-an makna, ke-kini-an tanpa batas.

Bentuk relasi linguistikalitas yang hanya dipahami dalam batas formal justru telah membetot teks pada penandaan simbolik, diperlakukan secara deskriptif. Padahal, selalu banyak pendaran-pendaran makna yang belum terafirmasi bahasa; semacam ruang terbuka, kebermungkinan, yang belum tertandai, namun selalu siap untuk ditandai, dipermainkan lewat bahasa. Bukankah potensialitas teks ini bertahan tersebab keterbukaannya, ke-serba-tak-pastian-nya; semacam permainan semantik tanpa kendali yang bergerak di dalam teks, membuka ruang-ruang kejut bagi pembaca. Derrida sedang merayakan ke-tak-terbatas-an pendaran-pendaran l’Écriture. Pendarannya adalah sebuah momen aktual yang yang mempertautkan berbagai sistem penandaan sekaligus menegaskan bahwa setiap penandaan selalu menemukan ruang kebaruannya.

VI

Repetisi adalah pembatasan, sedangkan Setiap waktu adalah penciptaan (Setiap waktu Dia dalam kesibukan). Repetisi mengandaikan satu pola yang sama dan terus berulang, sedangkan setiap sekejap-saat adalah cirta teofanik yang baru, memperbaharui-diri bagi yang awas. Citra teofanik bukan pengulangan yang sama persis (identik), namun selalu mengalami kebaruan yang memijak pada ke-tak-terbatas-an Al-Haq. Kebaruan ini erat berkelindan dengan situasi aktual seseorang, sesuai dengan kesiapannya menerima teofani Al-Haq di sekejap penanda waktu tertentu. Maka, kapan waktu dan dimana saja (omnipresently), manusia yang awas selalu mendapati potongan citra Al-Haq.

Pada titik ini, Ibn Arabi membuka dan mencabik ulang setiap tindakan signifikasi Al-Haq, mengingat apa yang tertandai itu hanya cecapan sekejap-saat dari keluasan teofanik tanpa batas. Kebaruan yang simultan ini(unrepeatability) tentu akan menghindarkan manusia pada laku-laku pemberhalaan. Artinya, mendeskripsikan Al-Haq, tanpa kesadaran atas situasi aktual, merupakan cara memfosilkan-Nya. Deskripsi manusia telah memaksa citraAl-Haq mengalami pengulangan teofanik yang sama, juga membetot-Nya pada ruang-ruang oposisi biner yang sama sekali bukan cirta diri-Nya. Terjadi proses pendedasan Al-Haq yang sejatinya dinamis, teofani tanpa kendali. Bahkan pada tapal batas paling tendensiusnya, fosil-fosil citra malah sering Al-Haq dijadikan pembenaran bagi nafsu duniawi yang terselubung.

Kebaruan yang simultan (unrepeatability) pada Ibn Arabi lebih pada gaung religiusitas, sedangkan Derrida mengaitkan hal tersebut pada permainan kehadiran (presences) dan ketiadaan (absences) dalam teks. Struktur-dalam semantik teks menjadi tidak pernah stabil, namun sebatas tanda yang timbul-tenggelam secara simultan. Lain pada itu, kebaruan juga dipicu oleh perubahan-perubahan konteks di luar teks yang meniscarayakan cara baca atas teks menjadi tidak stabil pula. Artinya, selalu ada yang tertunda (defer) dari setiap upaya pemaknaan teks. Pada titik ini, teks menjadi tidak punya pusat, tanpa jangkar, namun tertenun antara satu teks dengan teks lainnya(intertextuality). Teks mengembara dari satu pembaca ke pembaca lainnya; mengulang-ulang dirinya sendiri secara baru dihadapan pendengar, lalu berubah sejalan dengan perubahan konteks pendengar. Teks mengelak untuk ditunggalkan.

Konsekuensi yang tak terelak dari citra Al-Haq/l’Écriture yang tanpa kendali itu, bahwa Dia adalah sumber sesegala yang silih bertegangan; baik-buruk, imanen-transenden, bijaksana-murka, dan pola-pola lain yang saling memungungi. Hal inilah yang menghantarkan pada satu keadaan ketika manusia benar-benar merasa kebingungan(a state of perplexity). Kebingungan menghapus batas-batas yang memisahkan hal-hal ke dalam beberapa kategori yang bersifat dimensional itu (lack of integrity). Dalam kebingungan primordial semacam ini sesegala mengalir(flow) bersama-sama seperti air. Batas pemisah ataupun belenggu yang dibentuk oleh usaha manusia untuk merasionalkan citra Al-Haq menjadi kabur, paling tidak tertunda.

Jika Ibn Arabi menggunakan metafora air, Derrida mengistilahkannya dengan déborder dalam menggambarkan bagaimana teks mengalir kesana-kemari tanpa kendali; semacam alternatif pemaknaan yang menerobos batas-batas teks, lalu membawanya ke ruang pristiwa, teks yang hidup. ‘si le jeu du sens peut déborder la signification...ce débord est le moment du vouloir écrire’, begitulah kira-kira Derrida menggambarkan permainan signifikasi teks yang mengalir kesana-kemari tanpa kendali tadi. Moment kemelimpahan makna yang telah membuka ruang untuk tulisan. Dalam hal ini, Derrida mencoba menganalisa setiap moment yang sulit dipahami saat menulis, moment ketika tanda muncul ke dalam tulisan, kelimpahan makna sesaat-seketika langsung ‘membanjiri’, lalu membuka ruang penafsirang yang sama sekali baru. Teks menjadi khaos, tanpa kekang.

Pada akhirnya, Ibn Arabi dan Derrida sama-sama menolak segala bentuk oposisi biner yang kaku. Perbedaannya, Ibn Arabi dihadapkan pada usaha-usaha para teolog maupun filsuf dalam merasionalkan Al-Haq yang paripurna. Mereka menciptakan konsepsi dulistik yang justru menabir kehadiran teofanik Tuhan dalam banyak citra(al-hudlûr al-lâ mutanâhiy). Sedangkan bagi Derrida, oposisi biner tersebut sedang menabir ketiadaan tanpa batas (al-ghiyâb al-lâ mutanâhiy). Hal ini tidak lepas dari persingungannya dengan para pemikir strukturalis yang telah menghilangkan kekuatan kata yang terselubung dan tersamar dalam teks, dimanipulsi sedemikian rupa oleh logika formal. Mereka cenderung lebih memperhatikan bentuk (forme), lalu lupa pada kekuatan (force/energy)tersembunyi yang menolak segala upaya penunggalan. Ada permainan khaos dalam teks yang terabai oleh ambisi untuk menstabilkan teks; semacam teks tanpa kontradiksi, tanpa paradoks. Strukturalisme ini merupakan bentuk logosentrisme terdekat yang dikritik Derrida.

VII

‘The text is never present’ . Begitulah kira-kira pandangan Derrida atas teks. Tidak peduli seberapa koheren dan teliti struktur yang dibuat untuk menjelaskanya, teks tidak pernah benar-benar hadir. Teks selalu menggiring kepada teks lain, sehingga penafsiran teks tidak pernah paripurna. Hal ini dipicu oleh ketidakmungkinan teks yang benar-benar hadir dan menemukan totalitasnya, namun sebuah proses simultan yang terbuka terhadap segala kemungkinan. Pada titik ini, istilah différance menjadi penanda penting dalam gagasan dekonstruksi Derrida.Différance sedang mengandaikan penundaan, permainan tanda, hingga menyodorkan paradoks yang tersamar di balik teks.

Memang menampilkan ironi tersendiri bahwa différance bukanlah kata-kata, bukan pula sebuah konsep (à la lettre, ni un mot, ni un concept). Semakin ironi, beberapa kritikus mengasosiasikan différance dengan ‘god’; semacam echo teologis yang muncul dari istilah tersebut. Brice Parain merupakan pemikir pertama yang mendeklarasikandifférance sebagai ‘Tuhan bagi teologi negatif’. Tapi bagi John Caputo, différance sama sekali tidak memiliki kelindan dengan ‘god’. Tapi terlepas dari itu semua, Derrida sendiri sejatinya berusaha mengelak dari upaya membetot différance ke dalam bias-bias teologis (theological contamination). Imbasnya, dekonstruksi tidak dimaknai dengan proses pemunculan makna, namun lebih pada strategi pembacaan, sebuah permainan tanda baca. Sehingga différance—sebagai inti dari perbincangan dekonstruksi—tetap dalam selubung kemisteriusan primordialnya, tanpa tanda-tinanda apa-apa.

Seperti halnya Al-Haq, différance tidak punya tempat dalam struktur bahasa apapun (n’a aucune nom dans notre langue), bahkan dengan nama différance itu sendiriPosisi différance merupakan kemisteriusan primordial tanpa atribut-atribut yang ditunjuki kata-kata atau konsep apapun. Différance bermain di ujung batas bahasa. Tersebab itu, différance harus dipahami sebatas strategi Derrida untuk membedakan (to differ) sekaligus menunda (to defer)setiap permainan tanda dalam l’Écriture yang dipicu oleh ambivalensi huruf [a]. Totalitas kehadiran dalam teks mengalami keretakan, menjadi sangat tak terkendali; membelah untuk membeda sekaligus menunda, lalu pada saat bersamaan mengandaikan ulang différance. Kehadiran menjadi sebatas jejak (trace) yang pernah tertandai dalam teks, sebatas permainan inter-tekstual yang simultan.

Bagi Derrida, différance bisa dianalogikan dengan cermin yang meniscayakan ‘ruang kematian’ (non-space), ‘spasi imajiner’ di belakangnya. ‘Ruang kematian’ ini menjeda ungkapan dengan tulisan, lalu menjadikan keduanya berjarak namun tetap silih bersentuhan; semacam moment tak terujar kapan kali yang ada di pedalaman menjadi literal, teks meniscayakan interpretasi, ataupun kata menjelma benda. Différance yang mengizinkan identitas memproduksi perbedaan (memutasi) dan sebaliknya, ad infinitum, lalu meninggalkan residu, jejak kehadiran tanpa poros, paradoks, ambigu; sisa-sisa kehadiran yang pernah ada namun sekejap sirna.

Pada akhirnya, différance merupakan ‘permainan bisu’ yang membebaskan teks dari belenggu logosentris. Begitu juga Al-Haq yang berusaha dibebaskan dari jeratan sejarah metafisika. Pada titik ini, kebingungan(perplexity/hayyrah) menjadi penting untuk diperbincangkan, menghindarkannya upaya-upaya membetotdifférance ke dalam bias-bias teologis, ataupun menggeret Al-Haq ke dalam konsepsi rasionalitas tertentu.

VIII

Membingungkan! Sejatinya itulah ungkapan yang—katakanlah—paling mewakili manusia ketika manusia membincang apa yang sejatinya ‘tak mungkin terbincang’ (Al-Haq/l’Écriture). Bermula dari kebingungan manusia, selalu saja ada makna tertunda dari setiap perbincangan, tak utuh, dan tidak pernah menemukan totalitasnya. Kondisi bingung (perplexity/hayyrah) menjadi penting; sebagai kondisi primordial manusia memahami relasinya dengan yang tak terbincang tadi. Dalam hal ini, kebingungan manusia akan menghantarkannya pada suatu perspektif bahwa sesegala mengalir bersama-sama, tanpa ada batas pemisah ataupun belenggu yang dibentuk oleh usaha manusia untuk merasionalkan citra Al-Haq/l’Écriture. Kebingungan manusialah yang justru menghapus batas-batas yang memisahkan hal-hal ke dalam beberapa kategori yang bersifat dimensional itu (lack of integrity). Dalam ungkapan lain, menolak segala bentuk klaim manusia atas-Nya. Kebingungan ini telah menggiring manusia pada sesegala yang tak pernah bisa terpahami secara paripurna, kemisteriusan tanpa pelambang. Kebingungan menjadi puncak perbincangan Al-Haq.
Baik dalam Al-Qur’an maupun dalam tradisi filsafat Barat, kata bingung mempunyai konoasi negatif. Bingung dicitrakan secagai kesalahan, dosa, maupun dusta. Walau demikian, bagi Ibn Arabi, tersembunyi pemaknaan positif dari hayrah; sebagai anugrah Tuhan. Mengutip ungkapan William Chittick, untuk menemukan Tuhan berarti untuk jatuh dalam kebingungan yang hebat. Sebegitu pentingnya aspek hayrah memunculkan tanya: seperti apa yang paripurna tentang Tuhan, kebingungan (confusion) ataukan kejernihan (clarity)?

Maksud hayrah, bahwa kebingungan memiliki tiga tahap. Pertama, kebingungan para pemula (bewilderment of the beginners); semacam kecemasan sesiapa yang mencari makna Al-Haq, tapi tidak tahu arah mana yang harus dilalui. Kebingungan semacam ini cenderung terhapuskan oleh kebulatan tekad seorang hamba untuk senantiasa mencari Al-HaqKedua, bingung karena melihat kenyataan bahwa manusia terpecah ke dalam sekte-sekte, tanpa tahu keyakinan semacam apa yang paling benar dalam realitas. Kebingungan semacam ini terhapus saat seorang hamba melepaskan segala hasrat menghadirkan Tuhan dalam citra maupun pikiran tertentu. Ketiga, puncak kebingungan seorang hamba yang tersesat di gurun tak bertuan. Ia senantiasa bergerak naik untuk menggapai Al-Haq tanpa pernah menemukan jalan menujunya; bahwa kebingungan hamba tersebut dari, melalui, dan di dalam-Nya. Artinya, kebingungan pada tahapan ini lebih pada sikap penerimaan seorang hamba atas hayrah; penerimaan atas situasi aktual seorang hamba, bahkan perayaan moment tersebut.

Adapun perplexity dalam konteks Derrida merupakan dampak dari proses peledakan tatanan semantik teks melaluidifférance dan disseminationDifférance telah membuat teks kebingungan dan tertunda (to defer) sekaligus menstrukturasi dan membedakan (to differ) satu teks dengan lainnya dalam satu waktu yang bersamaan. Teks bingung dalam dirinya sendiri dan khaos; kebingungan untuk menemukan poros stabil dan terkendali yang sejatinya tidak pernah ada (ilusi). Cara kerja teks menjadi diseminatif, menyebar dan berhubungan dengan tek-teks lainnya (intertextuality). Akibatnya, poros menyebar ke segala arah tanpa kendali, memproduksi tanda-tanda lalu membuat bangunan teksnya tersendiri.

Pada akhirnya, baik Ibn Arabi maupun Derrida menekankan pentingnya perplexity. Kebingungan merupakan kondisi a priori l’Écriture, begitu pula Al-Haq. Teks harus ditarik pada moment-moment kehadiran-diri (self-presence), sedangkan Al-Haq pada situasi aktual. Dalam kebingungan, justru ada perayaan ke-tak-terbatas-an citra teofanik maupun pendaran makna kata di setiap penanda tertentu, sekaligus penolakan terhadap segala bentuk stabilitas yang tak memijak pada situasi aktual ataupun moment kehadiran-diri. Adapun yang total merupakan hal misterius dan akan tetap dalam selubung kemisteriusannya.

IX

Pada akhirnya, tanpa harus menjadi yang benar-benar akhir, mari senyumi setiap keganjilan, ketidakmungkinan, kelainan. Mari pula merayakan kebingungan. Karena tentang Al-Haq/l’Écriture, kita semua adalah orang awam. Toh, relasi manusia dengan Tuhan merupakan sesuatu yang misterius, dan akan tetap dalam selubung kemisteriusannya. Meminjam ungkapan Derrida, ‘The relation with the Other is a relation with a ‘Mystery’. Relasi tersebut harus termaknai sebagai ‘momen etis’. Maka, masihkah ada pembenaran kekerasan yang memijak pada perbincangan-perbincangan ilusif, kekerasan teologis, kekerasan metrafisika!?

من قال أن الله خالقه ولم يحر كان برهانا بأن جهلا
[Ibn Arabi]

--||--

فإن قلت بالتنزيه كنت مقيدا - فإن قلت بالتشبيه كنت محددا
فإن قلت بالأمرين كنت مسددا - وكنت إماما في المعارف سيدا

[Ibn Arabi]
fahmy farid p.
Membincang kebenaran, terutama kaitannya dengan bagaimana nilai/klaim kebenaran (truth claim) dipahami dalam bentuk interpretasi manusia atas—dalam hal ini—agama (pemahaman agama), selalu tidak pernah stabil, paradoksial, enigmatik, bahkan cenderung ‘aneh’. Upaya-upaya manusia memburu kebenaran tak terguat selalu tertampik dengan sendirinya oleh kenyataan-kenyataan historis yang senantiasa menampik narasi besar yang usai dan tunggal. Mengingat pada titik tertentu, nilai/klaim kebenaran tidak pernah terlepas dari injeksi subjektif ataupun pahatan ideologis ke dalam bangunannya. Maka, kebenaran agama yang telah mengalami persingungan dengan interpretasi manusia telah kehilangan makna transendentalnya, atau paling tidak tereduksi ke dalam watak yang parsial. Nilai/klaim kebenaran akan selalu mengalami gugatan-gugatan, terutama sering dipicu oleh potongan ataupun jarak waktu.

Tersebab adanya distansi spatio-tempora, nilai/klaim kebenaran cenderung—katakanlah—‘melompat-lompat’ untuk menemukan satu pijakan paradigmatik di tiap penanda masa, senada dengan upaya manusia menemukan pijakan eksistensialnya. Tak ayal, kebenaran itu ibarat gerak melingkar,  semacam putaran tanpa tepi, atau seperti samudra tanpa pantai (shoreless ocean). Saat ia menemukan pemaknaannya dalam ingatan kolektif suatu komunitas sosial, kebenaran selalu mencoba melepaskan diri dari belenggu tersebut untuk menemukan pemaknaan baru secara kontinu. Tak ayal, selalu muncul kelainan-kelainan dari pemaknaan kebenaran yang notabene terpengaruh juga oleh konteks sosio-kultur tumbuh-kembangnya suatu ajaran agama yang ter-institusikan oleh dogma, sejarah, ataupun tradisi. Untuk itu, bagaimana memahami ‘agama’ beserta atribut kebenarannya yang juga mausiawi itu, harus mengurai relasi manusia dengan Tuhan terlebih dahulu. Paling tidak, hal ini menjadi penting untuk menghindari segala bentuk kekerasan teologis, kekerasan atas nama agama.

Membingungkan! Sejatinya itulah ungkapan yang—katakanlah—paling mewakili manusia ketika manusia membincang Tuhan. Selalu saja ada makna tertunda dari setiap perbincangan teologis, tak utuh, dan tidak pernah menemukan totalitasnya. Menarik apa yang dikatakan Ibn ‘Arabi:

من قال يعلم أن الله خالقه ولم يحر كان برهانا بأن جهلا

‘Siapa saja yang mendaku bahwa Allah-lah yang menciptakan dirinya tanpa sedikitpun mengalami kebingungan, itulah bukti kedunguannya.

Ataupun ungkapan Ian Almond:

To confuse, etymologically, is to make things flow together. To remove the  boundaries/borders/distinctions  which  separate  things  into  categories..,

Dari apa yang penulis pahami atas ungkapan tersebut bahwa kebingungan merupakan ‘pra-kondisi’ manusia memahami relasinya dengan Tuhan. Dalam hal ini, kebingungan manusia akan menghantarkannya pada suatu perspektif bahwa pada titik tertentu, sesegala mengalir bersama-sama, tanpa ada batas pemisah ataupun belenggu yang dibentuk oleh usaha manusia untuk merasionalkan citra Tuhan. Kebingungan manusialah yang justru menghapus batas-batas yang memisahkan hal-hal ke dalam beberapa kategori yang bersifat dimensional itu (lack of integrity), atau dalam ungkapan lain menolak segala bentuk klaim manusia atas-Nya. Kebingungan atas Tuhan-nya ini telah menggiring manusia pada sesegala yang tak pernah bisa terpahami, kemisteriusan tanpa pelambang.

Relasi manusia dengan Tuhan merupakan sesuatu yang misterius, dan akan tetap dalam selubung kemisteriusannya. Meminjam ungkapan Derrida, ‘The relation with the Other is a relation with a 'Mystery'. Tak ayal, relasi tersebut harus termaknai sebagai ‘momen etis’, bukan relasi inter-subjektivitas. Adanya relasi misterius semacam itu tentu menuntut suatu pemaknaan yang berbeda terkait hakikat kebenaran serta nilai historisitas dan manusiawi yang turut menginjeksinya. Kebenaran harus juga dipahami dalam bentuk negativitasnya.

Negativitas di sini tidak dipahami dalam kerangka tidak adanya suatu kebenaran yang bersifat transenden. Negativitas tidak dimaknai sebagai totalitas ketiadaan ataupun penolakan atas metafisika kebenaran. Namun lebih pada tertundanya totalitas kebenaran. Artinya, selalu ada yang tak ter-ujar-kan, atau semacam ke-tidak-mungkin-an untuk membicarakan kebenaran secara utuh, menemukan totalitasnya.

Hal ini menjadi penting untuk—sebagaimana disinggung sebelumnya—menghindari klaim sekarian ataupun kekerasan teologis atas kehadiran liyan. Dalam ungkapan lain, negativitas muncul sebagai penghormatan terhadap ‘yang lain’, atas ‘kelainan’. Negativitas telah menunda makna kebenaran secara utuh, menjadi hanya tertangkap dalam eksterioritasnya yang historis dan manusiawi, bukan dalam bentuk klaim.

Memijak pada perspektif negativitas semacam ini, manusia justru akan memijak pada keawamannya ketika mendengarkan yang ‘liyan’, ataupun saat ‘liyan’ memperdengarkan dirinya. Dalam ungkapan lain, bagaimana (ber)agama secara ‘awam’. Pada titik inilah, agama akan menemukan momentumnya sebagai rahmat bagi alam semesta, bagi manusia dan kemanusiaan.


#igauan
fahmy farid p.
عن أبي عبد الرحميم الكندي, عن زاذان أبي عمر قال: سمعت عليا في الرحبة وهو ينشد الناس: من شهد رسول الله يوم غدير خم وهو يقول ما قال؟ فقام ثلاثة عشر رجلا فشهدوا أنهم سمعوا رسول الله وهو يقول: من كنت مولاه فعلي مولاه


Sejarah manusia tak pernah lepas dari konflik, terutama kaitannya dengan persinggungan ideologi. Dan lagi, setiap persinggungan, konflik, sejatinya amat pilu untuk dikisahkan ulang, bahkan mungkin para sejarawan harus menuliskannya dengan tinta darah. Tapi, ’tak ada realitas paling esensial bagi kesadaran-diri (manusia), selain sejarah-diri’. Begitu satu waktu Karl Jasper ketika membincang manusia dalam buku Way to Wisdom. Sepahit apapun, sejarah tetaplah rentetan peristiwa yang harus dijernihkan, atau paling tidak diungkapkan, sebagai jejak kesadaran peradaban yang nyata, drama manusia, sekalipun itu terkait peristiwa agama. Agama sendiri bukan semata menyangkut hal-hal yang terbebas dari ide ruang-waktu (metafisik). Agama—pada pemaknaan tertentu—juga merupakan sejarah ide, sejarah ideologi. Agama mempunyai ingatannya, bingar oleh sejarahnya, sejarah yang pada dimensi tertentu penuh intrik-intrik yang memicu konfrontasi, bahkan pada sesama pemeluknya.

Memang, agama pada titik yang tak terjelaskan rasionalitas manusia, tak terabstraksi imajinasi, tentu merupakan keyakinan yang hadir dalam gerak intuitif manusia, keimanan. Lalu apa yang bisa terungkapkan dari agama hanyalah lapisan paling luar dari iman itu sendiri. Ia hanyalah potret pemahaman agama, sejarah pemaknaan agama, rekaan-rekaan, hingga pengandaian manusia atas nilai tertinggi dari sesegala. Pemahaman agama sedang digerakan dari keintiman paling diri, terungkapkan, kemudian direlasikan pada kesadaran komunal. Agama tidak lagi hanya sekedar dorongan perasaan saja, namun juga tentang ide-ide yang mewajahkan tiap pemaknaannya, atau dalam istilah lain sebagai cognitive content (muatan kognitif) dalam agama. Pada lapisan inilah, perwajahan iman terungkapkan dan terjelaskan, memasuki dimensi yang cukup riuh dan bingar oleh ragam persinggungan ide, gesekan ideologi.

Ide menjadi tenaga agama yang cukup hegemonial dalam mengartikulasikan nilai-nilai keimanan secara aktualita. Namun pada tataran tertentu, ide justru kerap memicu konflik berkepanjangan, terutama kapan kali agama dicitrakan sebagai ideologi yang keras dan tertutup. Wajar saja, mengingat lapisan paling luar dari keimanan manusia menjadi tempat muatan-muatan manusia terlibat dalam proses pemaknaannya. Maka, perlu kiranya memahami terlebih dahulu bahwa iman selalu berwatak ganda, bergerak dari dua titik sekaligus. Pertama, nilai keimanan yang bersifat—katakanlah—eksistensialis (al-îmân al-wujûdiy), sebagai relasi manusia dengan Tuhan yang paling intim, tak terjelaskan apa-apa. Kedua, relasi keimanan yang bersifat historis (al-îmân al-târikiy), sebagai proyeksi nilai agama yang bergerak dalam selubung ruang-waktu, terjelaskan melalui ekspresi keberagamaan manusia. Lantas, kebenaran yang hadir hanyalah bersifat evidensi.

Dalam konteks sosial, iman yang terungkapkan dalam selubung ruang-waktu, baik melalui ritual ataupun proyeksi tata-nilai, selalu bergerak untuk menemukan legitimasi historis dan otoritas yang membenarkannya. Tak pelak, gambaran realitas sosial—yang salah satu elemennya terkait bagaimana nalar sosial memahami agama itu sendiri—terbentuk melalui proses negosiasi yang berkesinambungan. Pemaknaan agama, baik bersifat nilai ataupun ritual, memiliki dimensi historis dan manusiawi, atau dalam pemaknaan lain ketika agama bisa dipahami dan direlasikan secara komunal. Relasi iman semacam ini terjadi ketika terdapat interaksi timbal-balik, baik antar individu maupun komunitas, yang mendapatkan pembenaran otoritas tertentu. Jika proses negosiasi tersebut gagal, atau katakanlah tertolak secara populis dan aklamatis (unacceptable), keyakinan paling diri tadi menjadi tidak menemukan komunitasnya dalam sosial, teralienasi dari struktur masyarakat yang paling dominan, atau katakanlah society without societalisation. Walau demikian, alienasi tidak serta-merta melenyapkan kehadirannya. Ia tetap ada dalam ketersembunyian eksistensialnya.

Menurut Max Weber, pola relasi semacam ini merupakan akar formulasi nalar sosial yang diistilahkan dengan ‘societalisation’ (vergesellschaftung), bukan lagi sebatas ‘society’ (gesellschaft). Selalu terjadi tarik-ulur yang riuh ketika melakukan proses sosialisasi iman tadi. Tak ayal, konflik justru merupakan karakteristik paling dasar sebuah relasi, bahkan yang bersifat permanen sekalipun, seperti halnya relasi agama (iman). Akan selalu terjadi interaksi dan pamaknaan yang bersifat dialektis secara berkesinambungan. Karena—meminjam analisa Durkheim—agama tidak hanya sebatas totalitas iman saja, namun juga melibatkan praktek ritual dan institusi (otoritas) yang melindungi dan membenarkan setiap prilaku keberagamaan.

Berkaca dari prinsip-prinsip semacam ini, persinggungan Sunni-Syi`ah bukanlah sesuatu yang mengherankan. Justru yang malah membingungkan, ketika persinggungan semacam ini tidak dicarikan titik relasionalnya. Bukankan proyeksi keimanan tidak semata untuk dijelaskan, namun kejernihan pemaknaannya terjadi ketika itu dipahami, baik dengan jalan memutar melalui ingatan-ingatan nostalgik yang mendekatkan umat Islam kepada citra awal paling asali dari setiap fenomena agama, ataupun interpretasi historis yang proporsional dan terbebas dari bias ideologis apapun, ‘lugu’. Sehingga, persinggungan pemaknaan agama dan cara beragama dicarikan nilai esensialnya yang tertabir oleh selubung waktu itu.

Penulis sendiri hendak membidik wilayah polemik Sunni-Syi`ah yang—setidaknya—memerlukan pemaknaan baru, terutama gagasan Imam Mahdi (Al-Mahdi Al-Muntadzar) dan kaitannya dengan prinsip-prinsip teologis. Mengingat, terma ini menjadi pembeda tegas antara keduanya, pelambang ideologi. Ada proses epistemifikasi yang memerlukan penjernihan, dalam batas yang memungkinkan. Paling tidak, menghadirkan semacam kesadaran, wacana, atau malah gerakan ke arah rekonsiliasi Sunni-Syi`ah sedari pijakan penanda prinsipilnya.

Pada Muktamar Ilmiah yang membincang sejarah panjang sekte Syi`ah di Istambul-Turki (1993), Dr. Ali Auzak menjelaskan bahwa pembeda tegas paling prinsipil antara Sunni-Syi`ah, khususnya Syi`ah Itsna ‘Asyariyyah yang notabene menjadi sekte Islam-Syi`ah terbesar saat ini, hanyalah terkait gagasan Imamologi. Bangunan ideologi sekte Syi`ah berkelindan kuat dengan bagaimana mereka mengartikulasikan keyakinan dan akidah yang memijak pada konsep Imamologi. Bahkan lebih dari itu, bias Imamologi turut serta menjadikan pemaknaan nabi dan imam memiliki kesamaan fungsi, baik sebagai penerima wahyu, penyampai pesan Tuhan, penafsir ayat (syâri`), hingga dicitrakan sebagai pribadi yang terjaga dari perbuatan dosa (`ishmah). Imam dihadapan Nabi Muhammad saw. dianalogikan seperti Nabi Harun dihadapan Musa. Imam juga menjadi otoritas tunggal yang bertanggung jawab atas urusan politik, hukum, ekonomi, sosial, dan urusan duniawi lainnya. Pada titik ini, benturan ideologi menjadi sebuah keniscayaan, terutama kaitannya dengan konsep nabi pamungkas (khtimiyyat al-nubuwwah). Selain terma itu, akar paradigmatik ulûhiyah (teologi), nubuwwah (apostleship), maunpun ma`âd (kosmologi) cenderung memiliki ‘kesamaan’.

Menurut menelusuran Ahmad Al-Katib dalam buku Al-Tasyayyu` Al-Siyâsiy wa Al-Tasyayyu` Al-Dîniy, istilah Imamologi (Al-Imâmiyyah) yang merujuk pada ide kehadiran juru selamat yang dijanjikan Tuhan (Al-Imâmah Al-Ilâhiyah/The Devine Guidance), baru muncul akhir Abad ke-3. Pemaknaannyapun mengalami kembang-kempis paradigma, terutama ketika memasuki masa ketiadaan imam (`ashr al-ghâibah). Pemaknaan Imamologi menjadi tak tampil serupa di tiap masa, memiliki banyak wajah. Ia dipahami sebagai salah satu pilar akidah Islam yang menegaskan keislaman seseorang pada awal kemunculan ideologi Syi`ah. Pada tahun 1991 Ayatullah Makarim Syairaziy pernah membuat pernyataan, paling tidak mewacanakan, bahwa Imamologi hanya sebatas syarat pengakuan (sumpah setia) pengikut Syi`ah saja, atau semacam kesadaran politik-sektarian. Pada titik ini, problem mendasar lebih mengacu pada pertanyaan, apakah Imamologi merupakan kenyataan sejarah ataukah sebatas imajinasi sosial (ilusi), sebagai pelambang sektarian? Lantas, bagaimana dinamika pergeseran makna Imamologi sepanjang sejarah dogmanya?

Layaknya sebuah benih yang menjadi cikal-bakal tetumbuhan, gerakan Syi`ah berawal dari keyakinan yang teramat sederhana; bahwa tampuk kepemimpinan Islam adalah hak bagi sahabat Ali dan keturunannya. Belum terbesit adanya perampasan hak kepemimpinan pasca wafatnya Nabi saw. oleh sahabat Abu bakar, Umar, ataupun Utsman. Peristiwa suksesi kepemimpinan pasca wafat Nabi saw. hanya sebatas problem prioritas dan nilai keutamaan belaka. Pada abad ke-1 H. hingga awal abad ke-2 H., Syi`ah sendiri hanya sebatas gerakan-gerakan politik para loyalis sahabat Ali yang berkonfrontasi langsung dengan Muawiyyah dan Dinasti Umawiyyah terkait khilafah, tidak lebih. Sekalipun ketika sekte Syi`ah berada di bawah tampuk kepemimpinan Imam Muhammad Al-Baqir ataupun Imam Ja`far Al-Shadiq, pemaknaannya tak pernah bergeser dari konteks politik-kekuasaan. Yang terjadi hanya sebatas pendakuan atas keutamaan diri, bahkan Imam Al-Shadiq menolak bentuk pengkultusan sekte Syi`ah Kufah terhadapnya. Tidak ada, bahkan tidak pernah dicari, justifikasi apapun yang secara langsung mengarah pada konsep Imamologi, dengan memijakan diri pada teks, `ishmah, ataupun wasiat Nabi saw secara tersurat. Konsep kepemimpinan masih menggunakan cara-cara pemilihan melalui musyawarah.

Fanatisme terhadap Ahlul Bait mulai menyeruak semenjak hegemoni Dinasti Umayyah semakin mengakar. Pada tahun 122 H., gerakan revolusi di Kuffah membuncah atas komando Imam Zaid ibn Ali. Kemudian terjadi kembali pada tahun 125 H. atas komando Yahya ibn Zaid. Puncak badai revolusi meletus pada tahun 128 H. yang dikomandoi oleh Abdullah ibn Muawiyah ibn Abdullah ibn Ja`far Al-Thayyar. Semua loyalis Syi`ah yang tersebar di beberapa kawasan, seperti Irak, Ray, Ishfahan, Persia (Iran), dan kawasan lainnya, bersatu-padu. Gerakan revolusi yang berpusat di darah Isfahan ini sendiri merupakan bentuk resistensi terhadap Dinasti Umayyah, sekaligus mengajak semua simpatisan Syi`ah menegaskan keutamaan Ahlul Bait untuk menjadi pemimpin umat Islam.

Di tengah gejolak revolusi tersebut, sekelompok teolog Syi`ah Kuffah, seperti Hisyam ibn Salim Al-Jawaliqiy, Muhammad ibn Ali Al-Nu`man, dan Abu Bashir Al-Muradiy, melakukan proses epistemifikasi gagasan Imamologi. Pada titik ini, gerakan Syi`ah mengalami semacam pijakan yang berbeda. Syi`ah tidak lagi sebatas representasi gerakan politik Ahlul Bait, namun lebih jauh, menjadi gerakan ideologis dalam mendapatkan otoritas dan dominasinya di kalangan umat Islam. Maka, sejarah perkembangan sekte Syi`ah, selain pada otoritas politik (al-sulthah al-siyâsiyah), gagasan Imamologi mulai memijakan diri pada otoritas ilmu (al-sulthah al-ma`rifiyyah). Pembenarannya tidak lagi sekedar keyakinan atas hak khalifah yang diberangus, namun juga terkait bagaimana proses epistemifikasi ideologi tersebut. Pada titik inilah, pelacakan akar paradigmatik Imamologi, baik pembacaan menalui pendekatan teologis maupun teks keagamaan, menjadi penting dalam memahami sekte Syi`ah. Mengingat kesadaran Imamologi tanpa mejernihkan kandungan motif-motif historis yang tertabir di baliknya, pada tahapan tertentu, justru malah mengaburkan batas mitos dengan agama itu sendiri, batas ilusi dengan kenyataan sejarah. Dinamika Imamologi menjadi tidak sesederhana mitologi.

Proses epistemifikasi Imamologi memijak pada gerakan revolusi iman (al-tsaurah al-îmâniyyah), bukan revolusi syariat (al-tsaurah al-syar`iyyah) sebagaimana dilakukan Sunni yang notabene memiliki ‘keintiman’ tersendiri dengan Dinasti Umayyah. Sederhananya, sekte Sunni mendapatkan suaka ideologis dari otoritas politik-kekuasaan, menjadikan mereka tak banyak tersibuki oleh permasalahan teologis, kecuali hanya proses normalisasi ataupun domestifikasi gagasana sebagai sebuah ilmu, atau malah ideologi!?.

Walaupun bergerak ke arah pengkultusan sosok Imam semenjak gerakan teolog Kuffah tadi, sejarah Imamologi yang mengakar dalam tradisi Syi`ah sendiri pada dasarnya memiliki banyak wajah. Namun di sini penulis akan membidik Imamologi yang berkembang pada sekte Syi`ah Itsna `Asyariyyah, mengingat sebagai sekte yang masih eksis hingga saat ini, bangunan epistemologi Imamologi mengalami titik kulminasinya pada sekte tersebut. Imajinasi sosial menggiring kesadaran mereka pada sosok Muhammad ibn Al-Hasan Al-`Askariy sebagai imam ke-12 yang mereka juluki sebagai Al-Mahdiy Al-Muntadzar, atau dalam mitologi Jawa, sosok semacam itu biasanya dicitrakan sebagai Satria Piningit.

Kemunculan Imamologi tentu memiliki konsekuensi logis tersendiri, atau paling tidak mensyaratkan bangunan teologis yang mapan. Dalam hal ini, mereka bergerak dari dua arah; legitimasi menggunakan penalaran ilmu kalâm (spekulasi filosofis) dan interpretasi teks. Kenyataan bahwa bangunan teologi Sunni cukup mendapatkan dukungan otoritas kekuasaan Dinasti Umayyah—tanpa mempertimbangkan siapa mempengaruhi siapa, ternyata cukup ‘mengganggu’ kesadaran sekelompok teolog Syi`ah. Semtimen politik-sektarian tergeret pada lahan-lahan ideologis, dengan melakukan epistemifikasi teologis yang memijak pada gagasan Imamologi. Tiap interpretasi teks ataupun arah rasionalitas selalu mengalami bias Imamologi, semacam keterlibatan sedari nilai paling prinsipil dalam mengartikulasikan agama. Prinsip teologi Syi`ah sendiri memiliki banyak kemiripan dengan sekte Muktazilah, walaupun dalam corak rasionalitas yang berbeda; model interpretasi Sekte Syi`ah lebih mengarah pada pendekatan rasionalitas gnostik (al-`aql irfâniy/mysticism).

Akar logika Imamologi mengandaikan keniscayaan adanya imam (pemimpin) di muka bumi; sebagai pribadi yang terjaga dari perbuatan dosa (`ishmah), layaknya nabi. Imam merupakan rantai keturunan yang bermula dari sahabat Ali. Setelah peristiwa Karbala, pewarisan imam tidak bisa turun kepada kerabat, namun terbatas pada keturunan Husain. Terakhir, harus meyakini kematian Imam Al-Hasan Al-`Askariy dan tertabirnya Imam Muhammad Al-Hasan Al-`Askariy di mata sejarah.

Elemen-elemen inilah yang kemudian diteoritisasikan menjadi semacam dogma oleh para teolog, semisal Al-Shuduq (381 H.) dalam kitab Al-Tanbîh dan Ikmâl Al-Dîn, Al-Mufid (413 H.) dalam kitab Al-Irsyâd, dan Al-Thusi (460 H.) dalam kitab Talkhîs Al-Syâfiy. Hal ini tentunya tidak semata spekulasi filosofis saja, namun memijak juga pada legitimasi teks wahyu yang mengalami proses interpreasi sedemikian rupa. Dalam riwayat hadits Gadîr Kham yang penulis kutip dimuka, misalkan, perawi hadits tersebut, oleh Ali Ahmad Salus dalam ensiklopedi yang berjudul Ma`a Al-Itsna `Asyariyyah fî Al-Ushûl wa Al-Furû`, terbilang lemah (dla`if), walaupun secara matan terkategorikan hadits shahih. Hal ini tentu sedikit-banyak mempengaruhi cara menginterpretasikannya. Pada titik ini, problemnya mengarah pada sosok imam sendiri yang justru mengalami kekaburan antara ilusi ataukah kenyataan sejarah yang sama-sama memijak pada totalitas keimanan, beserta wajah-wajah interpretasinya.

Untuk memotret hal tersebut, penulis meminjam analisa Weber yang mengatakan bahwa, otoritas mempunyai tiga bentuk dasar: tradisional, rasional-legal, dan karismatik. Bentuk tradisional cenderung memijak pada nilai-nilai sakral leluhur yang dipercayai suatu komunitas. Bentuk legal merupakan potret rasionalisasi dan kontekstualisasi prilaku sosial, sesuai dengan negosiasi, kesepakatan, ataupun kontrak sosial di dalamnya, sebagai sebuah kebenaran kolektif yang terlembagakan. Adapun bentuk karisma lebih pada kualitas kepribadian seseorang tertentu yang dianggap luar biasa, berbeda dari manusia biasanya. Ia membutuhkan totalitas kepercayaan sedari alam bawah sadarnya. Hanya saja permasalahan dan justru menjadi akar instabilitas sosial dari otoritas karismatik ini terletak pada proses suksesi sosok karismatik, baik tersebab meninggal, tertabir, atau katakanlah terkucilkan dari ruang-ruang sosial populis (dominan).

Legitimasi teks dan spekulasi filosofis (ilmu kalâm) yang berperan besar dalam proses mitologisasi sosok imam, dalam perjalanan sejarahnya, cukup menghegemoni kesadaran sekte Syi`ah. Hal ini tentu memicu pergeseran nalar sosial masyarakat Syi`ah ke dalam bentuk otoritas karismatik. Sosok imam serta-merta terkultuskan, menjadi mitos sosial. Namun karena gagasannya memijak pada pembenaran teks wahyu dengan corak interpretasi menggunakan rasionalitas khasnya, kemudian mengendap dalam rentetan peristiwa sejarah, Imamologi berubah menjadi nilai etos; sebagai kenyataan diri dan mendapatkan akseptabilitas secara ‘komunal’.

Adapun pada masa ketiadaan imam, gagasan Imamologi cenderung hadir dalam potret negativitasnya; sebagai potret kemurungan sekte Syi`ah. Keemunculan Imam Al-Khumaini (1963) seolah menjadi penanda tokoh yang membawa serta angin perubahan yang cukup bingar dan ‘radikal’. Terjadi ledakan sosial, setelah sebelumnya mengambil jalan pengganti imam (nâib al-imâm) ataupun gagasan wilayâh al-faqîh yang dikomandoi Syah Nashiruddin (1896). Suara-suara revolusi menyeruak sebagai jawaban negarivitas perspektif Al-Mahdiy Al-Muntadzar. Kemurungan yang mengerak cukup lama di dinding kesadaran sekte Syi`ah menjadi titik balik arus perubahan dalam memaknai Imamologi. Bias Imamologi memang tetap ada dalam revolusi sekte Syi`ah, namun berproyeksi secara positif dan produktif.


Pada akhirnya, sejarah panjang sekte Syi`ah tentu tidak bisa digeneralisasa secara simplifikatif, alih-alih menjernihkan kekaburan antara imajinasi sosial dengan kenyataan sejarah. Terlalu banyak peristiwa yang tertabir oleh selubung waktu. Mengingat logika kebenaran sejarah, pada akhirnya, hanya memijak pada eviden. Terlalu banyak ‘kelainan-kelainan sosial’ tak terungkapkan yang harus dipendarkan, sebagai kenyataan yang tak terbaca. Ia memperdengarkan kehadirannya untuk sekedar dipahami, walaupun kenyataannya sering teracuhkan. Dan sudah menjadi tugas umat Islam bersama itu, lebih pada upaya rekonsiliasi, mendekatkan benggang yang menganga, mengakrabi kembali ikatan persaudaraan. Toh, ideologi juga selalu mengalami pergeseran makna, tidak sekeras apa yang terbayangkan. [Coffee Freak]