Sufisme adalah laku, dekonstruksi adalah strategi. Keduanya
bukanlah proses objektifikasi, namun lebih pada personifikasi. Kira-kira
begitulah gambaran sederhana ketika mulai belajar membincangnya, menuliskan
terpahami dari buku Ian Almond.
I
Mari mulai membincang[nya] sebagai yang tak terbincang,
yang tak mungkin; semacam kehadiran di luar batas ungkap dan olah-pikir, ketika
rasionalitas (`aql/reason) justru menjadi belenggu (i`qâl/fetter) dari
ke-tak-terbatas-an pendaran kehadiran[nya] saja. Tentang
kehadiran[nya] adalah kebingungan tanpa batas, bahkan menggeret pada totalitas
ke-tak-hadir-an, kegelapan primordial. Tentang[nya], ungkapan apapun yang tak
membingungkan hanya berhala yang disembah-sembah tanpa sadar. Tak ayal,
mengurai kegelapan primordial semacam itu meniscayakan cara lain;
metaforikalitas kehadiran, pun historikalitas pendarannya.
Kehadiran[nya] harus ditarik ke ruang metafora, dengan waktu sebagai
pijakannya; semacam kehadiran yang terungkap, menyisipkan diri dalam jejak
ingatan, sejarah, dan imajinasi, walaupun bukan yang sejati, bukan yang
paripurna.
Lalu munculah sebuah ironi; bahwa di balik kehadiran yang
terungkapkan, terselubung ambiguitas tanpa batas se-dari batas
ontologisnya (ontological ambiguity of all things). Kehadiran menjadi
tak tercecap dalam potret keutuhan[nya], senantiasa mengelak dari setiap
usaha-usaha pemaknaan, tertunda dari setiap ambisi manusia kala menjernihkan
dan menandai[nya]. Selalu tersedia ruang-ruang imajiner ketika ketidakmungkinan
hanya sebatas cara manusia mengungkap misteri yang belum tersingkap, atau
paling tidak, ketika manusia belum siap menerima kejutan-kejutan. Selalu
menyeruak penanda-penanda kehadiran yang tak pernah stabil, silih bertegangan,
tarik-menarik di-semacam moment tak terpikirkan kapan kali yang ada di
pedalaman batin menjadi literal, teks meniscayakan interpretasi, ataupun kata
menjelma benda. Kehadiran menjadi manifestasi yang selalu memperbaharui dirinya
di setiap penanda masa.
Sepintas membingungkan dan paradoks, sebagaimana
membingungkannya dua manusia beda zaman, beda akar peradaban: Ibn Arabi dan
Jacques Derrida. Dan bahwa kehadiran Ibn Arabi cukup ‘panas’ dalam lokus-lokus
mistisisme diskursif Barat modern. Penulis sendiri akan mencoba mengurai
beberapa penggalan dua tokoh tadi melalui buku Sufism and Deconstruction; A
comparative study of Derrida and Ibn Arabi karya Ian Almond;
sebuah buku yang mencoba mengkomparasikan sufisme dengan dekonstruksi, namun
tetap menjaga lokalitasnya masing-masing, dalam fragmennya tersendiri. Ian
Almond sendiri bukan sedang membetot paksa diskursus sufistik yang tertandai di
abad ke XIII ke ruang diskursus post-strukturaslisme maupun post-modernisme.
Juga sebaliknya, bukan melakukan proses islamisasi pemikiran Jacques Derrida,
mentransformasi gagasannya ke dalam kerangka mistisisme Islam.
Tak sedikit usaha-usaha mengurai Ibn Arabi maupun Derrida,
mengidentifikasi, menarik-paksa ke dalam kerangka logosentris tertentu. Namun
kesejatian-hadirnya selalu mengelak, memberontak untuk ditarik ke dalam bentuk
pengertian apapun. Tercatat dalam beberapa jurnal ilmiah, perbincangan sosok
Ibn Arabi banyak di-tarik-paksa ke dalam ruang mekanika kuantum, taoisme,
pemikiran St. Thomas Aquinas, Swedenborg, New Age
mysticism, Kant dan Chaos theory. Henry Corbin, misal,
menganggap Ibn Arabi punya relasi yang sangat kuat dengan Sekte Syi`ah.
Pengabaian atas lokalitas dan watak kesadaran subjektif Ibn Arabi yang
memaksakan itu mendorong Mahmoud Al-Ghorab untuk melakukan penjernihan dalam
batas tertentu, bahwa Ibn `Arabi adalah seorang muslim otentik, bukanlah
Syi`ah, Filsuf, apalagi simpatisan Yahudi ataupun Kristen. William Chittick,
missal lainnya, ketika membaca Ibn Arabi cukup berhati-hati untuk menariknya ke
dalam satu paradigm bahwa ‘bahasa menentukan dan memutuskan segala bentuk
realitas’.
Adapun sosok Derrida adalah sebuah provokasi. Ejekan dan
sinisme cukup riuh menyeruak dari banyak tokoh intelektual, terutama yang masih
memegang kuat perangkat—yang ia istilahkan dengan—logosentris. Ia menyerang
metafisika kehadiran (metaphysics of present) yang
memijak pada logosentris yang—bagi mereka—tidak mengandung paradoks, mengandaikan
narasi besar yang kokoh dan pusay yang stabil. Bagi Derrida, metafisika
kehadiran telah sangat mendominasi pemikiran filsafat Barat yang berakar dari
tradisi filsafat Yunani, tanpa pernah ada usaha-usaha untuk melakukan
problematisasi. Kontroversi filsafat Derrida yang anti-teori dan anti-metode
ini cukup menjadi lelucon dalam tradisi filsafat Barat kontemporer; Derrida
sedang mengigau.
Sisi lain dari Derrida, terlepas ateisme yang didakunya,
bahwa ketertarikan Derrida terkait ruang-ruang mistisisme cukup kuat. Banyak
dari para pembaca Derrida yang mencitrakannya sebagai pemangku teologi negatif
yang berkelindan dengan dua tradisi mistisisme kalsik: Mister Eckhart dan
Pseudo-Dionysius yang notabene sebagai pendahulu dekonstruksi.
Latar mistisisme ini menginspirasi pembacaan John D. Caputo atas mistisisme
Derrida, kemudian memanggilnya dengan Jaques ‘El-Biar’ Derrida. Julukan El-Biar
diasosiasikan dengan tempat kelahiran Derrida, sebuah wilayah terpencil dari
negara Algeria (Aljazair). Walaupun ia hidup di tengah komunitas yang mayoritas
beragama Islam, Derrida sendiri terbilang abai terhadap mistisisme Islam.
II
Memang, perbandingan dua tokoh memerlukan adanya penanda
relasional yang memungkinkan dibaca secara inter-tekstualitas terlebih dahulu. Terlebih
keduanya memijak pada kesadaran yang terkesan silih memunggungi; Ibn Arabi
dengan kesadaran religiusitas dan pengakuan Derida sebagai seorang Ateis. Maka
yang menjadi atensi Ian Almond paling mula, mencari pijakan dasar bahwa
pemikiran Ibn Arabi dan Derrida, pada detail-detail tertentu, bisa
diperbandingkan satu sama lain. Sejauh mana kemiripan proses pembacaan
dekonstruktif yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Ibn Arabi, tanpa harus
membetot-paksa Ibn Arabi sebagai ke dalam ruang post-strukturalis abad
pertengahan? Sejauh mana dekonstruksi bisa dijadikan strategi membaca sufisme
Ibn Arabi, atau sebaliknya? Mungkinkah!?
Untuk mengurai relasi sufisme dan Dekonstruksi dengan tetap
pada lokalitasnya masing-masing, Ian Almond memulainya dari pemikiran Mister
Eckhart dan Pseudo-Dionysius terkait ketidakmungkinan untuk membicarakan
sesuatu yang hiperesensial (a being beyond Being); bahwa
tentang sesegala yang tak terbincangkan (the unspeakable), bukankah lebih
baik tetap diam!? Begitulah kira-kira penghormatan dan pemeliharaan Eckhart
akan yang Liyan (Tout Autre). Ketidakmungkinan
ini merupakan konsekuensi gagasan différance milik Derrida. Melaluidifférance, segala
bentuk klaim metafisika—sejarah ontologi—yang mengandaikan sebuah pusat yang
stabil, universal, dan mengatasi segala bentuk perubahan patut dicurigai
kembali. Keyakinan tentang sebuah logos yang utuh dan universal
diporak-porandakan, menghancurkan tata logika tertentu, membetotnya keluar
dengan paksa, lalu kebingungan di rimba yang sangat liar. Derrida melihat
pembelaan terhadap kelainan dan perbedaan menjadi penting.
Mistisisme Ibn Arabi sendiri menaruh ketidakpercayaan dan
kecurigaan yang sama terhadap rasionalisme dan klaim metafisika ketika
mengandaikan satu titik paripurna. Kesaradan akan adanya kekuatan kreatif
bahasa, kepekaannya atas perbedaan identitas, maupun model interpretasi yang
‘tak biasa’ dan—kalau boleh mengistilahkannya—‘liar’ menjadi terma kunci yang
mendekatkan Ibn Arabi dengan tradisi literary studies di Barat.
Tersebab inilah, pemikiran Mister Eckhart menjadi sosok ‘hantu’ (phantom), penengah,
yang menjadikan studi komparatif Ibn Arabi dan Derrida menjadi—dalam batas
tertentu—memungkinkan. Dalam penelisikan Ian Almond, figur Eckhart sering
diasosiasikan di Barat dengan Ibn Arabi (Meister Eckhart of the Islamic tradition). Eckhart
juga sering dikaitkan Derrida melalui gagasan teologi negativnya.
Walaupun Eckhart dan Ibn Arabi mengembangkan gagasannya
dari poin yang identik, kemudian memendar dalam istilah yang berbeda, tapi
paling tidak, bagi Ian Almond, figur Eckhart ini merupakan opsi terdekat. Lain
pada itu, walaupun Derrida tidak mempunyai karya terkait mistisisme, namun
ketertarikannya terhadap Mister Eckhart ini telah membuka relasi diskursif
dengan mistisisme. Pada tahun 1964, diselipkan pada lembaran Revue
de Métaphysique et de Morale, Derrida menuliskan
kekagumannya atas teologi negatif Eckhart dalam karya How to Avoid
Speaking: Denials.
Pada prinsipnya, tidak secara otomatis apa yang ditulis
Derrida tentang Eckhart valid untuk digunakan membaca karya Ibn Arabi. Tapi
paling tidak, ‘hantu’ Eckhart ini bisa dijadikan takaran yang menjadikan studi
komparatif sufisme Ibn Arabi dan Dekonstruksi Derrida mungkin; semacam
perbincangan teologi negatif dan mistisisme dalam ruang yang lebih luas. Pada
latar-latar inilah, Ian Almond memijakan bukunya.
Ian Almond membagi buku Sufism and Deconstruction; A
comparative study of Derrida and Ibn Arabi ke dalam beberapa
pembahasan. Pertama, terkait bagaimana rasionalitas (`aql/reason) justru
termaknai sebagai belenggu(i`qâl/fetter). Dalam hal ini, baik
sufisme maupun dekonstruksi mempunyai kecenderungan menegasi, memberontak,
setiap upaya rasionalisasi Al-Haq/l’Écriture; membebaskannya
dari belenggu logosentris.
Kedua, Ian Almond menjelaskan tentang bagaimana kebingungan (perplexity/hayrah) menjadi
pijakan awal dan akhir dalam membincang yang tak terbincangkan; bahwa penolakan
atas logos berarti meniscayakan kebingungan. Bukankah
menjadi bingung berarti membuat sesegala bergerak bersama, memupus batas dan
jarak yang memisah sesegala kedalam bentuk-bentuk dan kategori-kategori.
Menjadi bingung berarti membuat sesegala yang tampak akrab, seketika menjadi
asing dalam dirinya sendiri. Kebingungan semacam ini hadir saat seseorang sadar
bahwa rasionalitas tidak cukup mewakili untuk memahami apa yang sejatinya,
mambutakan seseorang atas situasi aktualnya.
Ketiga, tentang bagaimana Derrida melihat teks sebagai proses yang
terbuka terhadap segala kemungkinan pemaknaan. Derrida sedang merecoki
sekaligus membuka katup strukturalisme yang telah mengunci teks dari
ke-tak-berhingga-an-nya; membebaskan teks dari belenggu logosentris, lalu
menjadikan setiap ungkapan sebagai makna yang selalu tertunda (defer).
Pola yang sama, tentu dengan wilayah berbeda, juga terjadi pada Ibn Arabi. Ia
hendak menunjukan bahwa selalu ada makna yang lebih dalam dari apa yang tampak
secara literal. Pada titik ini, makna literal ditarik ke dalam ruang yang lebih
luas, membuka dunia baru penafsiran Al-Qur’an. Ada semacam ketakterbatasan yang
dicitrakan sebagai samudra tanpa tepian (a sea without a shore), ketika
inter-tekstualitas menemukan pembenarannya.
Keempat, bahwa secret dan sirr merupakan
salah satu istilah kunci Derrida dan Ibn Arabi. Di balik semua sistem tanda (simbol),
selalu terkubur rahasia yang sama sekali tidak sedang menunjuki makna apa-apa,
kecuali kepada rahasia lainnya. Artinya, rahasia yang terselubung dalam teks
telah mensugestikan bahwa dekonstruksi sedang melakukan kerja demistifikasi dan
remistifikasi secara simultan atas metafisika kehadiran. Dekonstruksi hendak
membebaskan teks dari maksud tunggal; membiarkannya tanpa kemudi lalu bergerak
dalam alur yang khaos. Sedangkan sirr telah menggiring pada
pemahaman akan gerak simultan antara yang transendentalitas dan immanenitas
atas Al-Haq. Pada titk ini, penyingkapan rahasia bukan hanya
membawa pada penyingkapan teofanikAl-Haq, tapi juga pada
penghancuran-diri (self-annihilation/fanâ). Maka,
baik secret maupun sirr sedang mengandaikan kebutaan
atas Liyan, juga mengandaikan keimanan yang tak pernah
paripurna. Apa yang terungkap hanyalah sebatas tanda ataupun berhala yang tidak
menunjuki makna tertentu, tapi justru sedang membawa sesiapa pada tanda ataupun
berhala lainnya. Sehingga Al-Haq/l’Écriture selalu menemukan
kebaruannya di setiap penanda masa.
Di akhir pembahasan, Ian Almond membubuhkan sedikit
kongklusi terkait wacana post-strukturalis yang sedang membincang kematian
(pembubaran) subjek, memutus segala relasinya. Ambisi strukturalisme untuk
mengontrol dan mendeduksi fenomena ke dalam sistem baku dan logika biner
menggunakan bahasa dihujat, dipertanyakan ulang. Sederhananya, setiap teks
selalu bersifat inter-tekstul, berkelindan dan menjejaring satu sama lainnya,
tak pernah selesai, ad infinitum. Hal ini merupakan
konsekuensi teks yang tidak mempunyai poros tunggal, namun menyebar dan
menciptakan poros-porosnya masing-masing. Tak ayal, selalu ada penundaan dan
pendiferensian kehadirannya secara simultan.
Ada kekacauan atas sesegala yang sering kita anggap dekat,
akrab, dan jernih, menjadi sesuatu yang tertunda, belum/tak mungkin menubuh.
Sesegala selalu memperbaharui pemaknaannya, melampauin batas horizon antisipasi
manusia yang berpangkal dari keterbukaan atas apa yang akan terjadi. Sesegala
menjadi sebatas manifestasi tanpa batas, gambaran-gambaran The Wholly
Other. Sesiapa sedang ditarik pada kesadaran bahwa apa yang
kita panggil [t]uhan tidak selalu berarti [T]uhan, apa yang kita yakini sebagai
[k]ebenaran tidak selalu merupakan [K]ebenaran.
Pada kesempatan kali ini, penulis akan mengurai dua bab
pertama dari buku tersebut. Adapun catatan penting sebelum masuk ke dalam
ruang-ruang yang lebih diskursif, bahwa posisi keduanya terbebas total (al-tafarrud
al-muthlaq) dari ikatan sekte atau tradisi pemikiran apapun.
Memang hal ini terkesan ‘arogan’, namun kenyataannya, membaca Ibn Arabi dan
Derrida memang berarti sedang membaca kesunyian, totalitas kesendirian (absolute
singularity). Baik Muktazilah, `Asya`irah, maupun Bathiniyyah tak
lepas dari kritik Ibn Arabi. Posisi Derrida juga tak jauh berbeda. Gagasannya
sering menyerang konsepsi fenomenologi, strukturalisme, bahkan existentialisme.
III
Belenggu nalar meniscayakan pembalikan paradigma. Ada
semacam ketidaksepakatan Ibn Arabi terhadap `ilm al-kalâm yang
memijak pada penalaran murni. Penampikan ini memang terkesan ‘arogan’, tapi
sejatinya Ibn Arabi justru telah membuka jalan baru atas pemaknaan Al-Haq. Ibn
Arabi hendak menghindari dua kemungkinan terradikal perbincangan teologis
menggunakan pendekatan teologi dialektis; kemungkinan ta`thil (pelepasan
total setiap atribut Tuhan) dan tasybîh (penyerupaan total setiap
atribut Tuhan). Pemalingan diri dari dua kutub tendensius dalam tradisi teologi
dialekstis ini merupakan usaha Ibn Arabi dalam membincang Al-Haq secara
tak biasa. Ibn Arabi memasuki satu pemahaman akan adanya gerak simultan antara
transendentalitas dan immanenitas Tuhan yang tidak dipahami oleh para teolog.
Gerak simultan semacam ini telah memporak-porandakan setiap usaha pendefinisian Al-Haq; bahwa
tak akan pernah ada seorang pemikir-pun yang mampu mendefinisikan-Nya secara
total.
Di penanda masa lain, Derida gencar mengugat tradisi
filsafat Barat yang bermimpi akan adanya logos yang
menampik paradoks. Terkesan ‘arogan’ juga memang, namun Derrida justru telah
menyibak keniscayaan cacat-cacat internal dalam filsafat yang tersamar. Ia
berusaha memangkas suatu jarak tertentu antara strategi pembacaan teks pembaca
dan tulisan; semacam proses isolasi moment-moment kehadiran-diri (self-presence) dari
tulisan mereka yang akan menggeret kembali kepada tradisi
metafisika-logosentris. Derrida berusaha menggugat setiap bentuk impian dan
nostalgia atas muasal yang menjadi poros tak terggugat dalam metafisika
logosentris. Derrida melihat adanya pengabaian atas kenyataan bahwa tanda (sign) tidak
membawa seseorang kepada makna(meaning), tapi justru kepada tanda
lainnya (other sign). Teks hanyalah sebuah permainan, hanya
bermain-main.
Hal yang sama ia perlakukan terhadap teologi negatif yang
digagas St Augustine, Pseudo-Dionysius, maupun Eckhart. Di satu sisi, Derrida
berusaha keras untuk menunjukkan kekagumannya terhadap teologi negatif; semacam
korpus yang membuka sekaligus menutup pada saat yang bersamaan, kemudian
ditulis dalam bahasa yang senantias diuji hingga tapal batas akhirnya, ujung
bahasa. Di sisi lain, bahwa semua pertanyaan radikal atas metafisika
masih terkungkung dalam gagasan onto-teologis. Pola sirkular ini menunjukan ada
semacam pengakuan atas batas bahasa dalam membincang The
Other; ketika sesiapa sadar bahwa bahasa mampu memotret dunia,
tapi tidak bisa memotret dirinya sendiri. Namun pada saat bersamaan terjadi
penerimaan utuh atas kehadiran[nya]. Pada titik ini Derrida sedang menegaskan
bahwa semua pembicaraan tentangnya sirna seketika. Tidak ada seorang
pemikir-pun yang mampu melepaskan diri dari belenggu metafisika yang
menyejarah.
Kedua gambaran umum ini dijadikan pitnu masuk Ian Almond
untuk melacak motif penolakan Ibn Arabi dan Derrida atas
rasionalisme/logosentris. Ketidakpercayaan keduanya atas metafisika logosentris
tentu menggiring pada ruang diskursif yang lebih kompleks yang akan melibatkan
analisa atas terma Al-Haq (Tuhan) and l’Écriture(teks
tanpa kendali). Keduanya, tentu dalam konteksnya masing-masing, sedang
membincang tentang ‘belenggu’ dan ‘kebebasan’; semacam proses pembebasan Al-Haq and l’Écriture dari
belenggu rasionalitas. Dalam wilayah Derrida, pembebasan ini tercecap murni
dalam konteks semantik (makna kalimat), sedangkan dalam konteks Ibn Arabi
tertuju pada spiritualitasnya. Meski berbeda, keduanya sedang melakukan
afirmasi ulang terhadap sesuatu yang khaos, tak tentu, dan sukar dipahami;
sesuatu yang membuat perbincangan tentangnya membingungkan, menjadi tak
mungkin, tertudan dari segala perbincangan dan klaim manusia.
IV
Penolakan Ibn Arabi atas usaha rasionalisasi Al-Haq bermula
dari bagaimana ia memahami reason (al-`aql).Baginya, al-`aql
(reason) memiliki akar kata yang sama dengan al-`iqâl
(fetter). Cirta belenggu yang memendar dari kata al-`aql menemukan
pembenarannya ketika melihat kenyataan bahwa dengan akalnya, para teolog maupun
filsuf justru malah membatasi keluasan tanpa batas gambaran Al-Haq
(Divine Vastness). Rasionalisasi Tuhan malah mengaburkan kenyataan
bahwa setiap kelompok meyakini Tuhan dalam citranya masing-masing, bahkan tiap
per-satu individu. Gejala yang ditimbulkan sebab usaha rasionalisasi Tuhan
adalah munculnya dua posisi paling tendensius dalam teologi. Konsep teolog
Asya`irah telah mengafirmasi bahwa Tuhan bisa diungkapkan melalui berbagai
atribut-Nya (al-lâhût al-ijâbiy/cataphatic). Sedangkan konsep teologi
Muktazilah lebih menekankan pada sisi negativitasnya; bahwa Tuhan hanya bisa
diungkapkan dengan apa yang bukan diri-Nya (al-lâhût
al-salbiy/apopatic). Yang menjadi tanda Tanya besar, sejauh
apa validitas keyakinan dan gambaran manusia atas Tuhannya?
Pada titik ini, Ibn Arabi mencoba melepaskan diri dari
logika biner yang diniscayakan upaya rasionalisasi Al-Haqtadi. Cara
mengelak dari upaya rasionalisasi semacam itu, Ibn Arabi tidak lagi memijakan
diri pada akal (reason)dalam memahami pertautannya dengan Al-Haq,
namun masuk dalam ruang-ruang intuitif; merasakan (al-dzauq)kehadiran-Nya
secara utuh melalui segala penyingkapan (al-kasyf). Ibn Arabi masuk ke
dalam ruang ketika transendentalitas dan immanenitas lebur pada diri manusia di
saat yang bersamaan; menarik Tuhan dalam watak negativitasnya (apopatic),
namun pada saat yang sama terjadi penegasan watak positivitasnya (cataphatic).Apopatic di
sini sebagai totalitas ke-tidak-hadir-an (al-ghiyâb al-muthlaq) dalam
setiap pikiran dan imajinasi manusia, penundaan totalitas klaim kehadiran.
Sedangkan cataphatic sebagai kehadiran manifestasial (teofani)
yang tercecap intuisi manusia.
Kritik Ibn Arabi atas konsepsi rasional para teolog maupun
filsuf bermula pada satu kenyataan penting bahwa ‘Dia bukanlah Dia (Huwa lâ
Huwa)’. Artinya, semua ide dan konsepsi yang dibangun manusia untuk
menunjukan Al-Haq bagi pembenaran diri, sejatinya terselubung
kenyataan yang sepenuhnya tak terbincang, tak terpikir; ketika semua
pembicaraan tentangnya menguap dalam sekejap. Konsepsi apapun tentang Al-Haq, sebagai yang
tak ada bandingannya (incomparability) itu, pada
akhirnya, hanya perbincangan teologis yang memijak pada konstruksi
ilusif. ‘Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia’.
Situasi aktual menjadi menarik dalam hal ini. Ada satu cara
pandang tersendiri dalam kitab Fushûs Al-Hikâm yang dikutip Ian
Almond, bahwa kapan kali memikirkan Al-Haq, justru manusia sedang
mereka-reka citra yang ia ciptakan sendiri, bukan sebagai yang
benar-benar Al-Haq. Maka selama manusia memahami citra itu dalam
konteks situasi aktual yang sesuai dengan kesiapan hamba menerima nafas
teofanik-Nya, sebagai citra manifestasial dari Al-Haq, tentu
gambaran tersebut selalu memperbaharui dirinya di setiap penanda waktu. Al-Haq yang
terungkapkan di moment tertentu bukan sebagai Al-Haq di
penanda waktu lainnya.
Bagi Ian Almond, ada—dalam batas tertentu—kemiripan antara
situasi aktual dengan ilusi moment kehadiran-diri(self-presence) milik
Derrida; semacam poros yang sejatinya tidak pernah benar-benar
menjadi poros. Sehingga subjek menghilang, mengandaikan kematiannya. Bagi
Derrida penandaan hanya membawa sesiapa pada penandaan lainnya. Pada titik ini,
perlu ada penguraian lanjutan terkait situasi aktual yang menandai
ke-tak-terbatas-an (infinity) citra teofanik.
Ataupun self-presence yang menandai signifikasi teks.
V
Sejatinmya, rasionalitas memiliki peranan positif selama
tidak dipahami sebagai yang stabil, utuh, total, dan universal. Namun,
rasionalitas tanpa memahami situasi aktual seorang hamba dalam mencecap setiap
citra teofanikAl-Haq yang selalu memperbaharuai, berpotensi menjadi
cara pemberhalaan Al-Haq itu sendiri. Ada
ke-tak-terbatas-an citra teofanik yang malah dibatasi; membuat kendali atas apa
yang sebenarnya tak pernah terkendali, memikirkan apa yang sejatinya tak
terpikirkan. Pemikiran reflektif atas Al-Haq tidak pernah bisa memadai,
utuh, dan tuntas, tersebab citra yang terpikirkan selalu terbentur dengan
kegamangan-kegamangan manusia ketika mengafirmasi ke-tak-terbatas-an Al-Haq.
Upaya-upaya teolog dan filsuf yang membatasi, merantai, citra teofanikAl-Haq hanyalah
untuk kepuasan ego akal budi mereka sendiri, lantas mendaku bahwa
gambaran liyan tentang-Nya merupakan laku-laku heretis
(klenik). Tak ayal, teologi—selama tidak menyadari adanya kebermungkinan citra
teofanik Al-Haq yang tak terbatas—hanya akan
mengantarkan pada pemberhalaan dan syirik.
Dalam konteks yang berbeda, Derrida melihat adanya
signifikasi teks yang tak terbatas; semacam kemelimpahan posibilitas makna
kata (infinite semantic possibilities of a text). Baginya,
ambisi untuk membatasi kemungkinan makna teks merupakan usaha naïf dalam
memfosilkan kemungkinan tanpa batas tersebut di permukaan (literal). Pemaknaan
yang terhenti, menubuh dalam bentuk literal itu, sedang mengandaikan belenggu,
lalu merantai teks dari pendaran ke-tak-terbatas-an makna, ke-kini-an tanpa
batas.
Bentuk relasi linguistikalitas yang hanya dipahami dalam
batas formal justru telah membetot teks pada penandaan simbolik, diperlakukan
secara deskriptif. Padahal, selalu banyak pendaran-pendaran makna yang belum
terafirmasi bahasa; semacam ruang terbuka, kebermungkinan, yang belum
tertandai, namun selalu siap untuk ditandai, dipermainkan lewat bahasa.
Bukankah potensialitas teks ini bertahan tersebab keterbukaannya,
ke-serba-tak-pastian-nya; semacam permainan semantik tanpa kendali yang
bergerak di dalam teks, membuka ruang-ruang kejut bagi pembaca. Derrida sedang
merayakan ke-tak-terbatas-an pendaran-pendaran l’Écriture.
Pendarannya adalah sebuah momen aktual yang yang mempertautkan berbagai sistem
penandaan sekaligus menegaskan bahwa setiap penandaan selalu menemukan ruang
kebaruannya.
VI
Repetisi adalah pembatasan, sedangkan Setiap waktu adalah
penciptaan (Setiap waktu Dia dalam kesibukan). Repetisi mengandaikan
satu pola yang sama dan terus berulang, sedangkan setiap sekejap-saat adalah
cirta teofanik yang baru, memperbaharui-diri bagi yang awas. Citra teofanik
bukan pengulangan yang sama persis (identik), namun selalu mengalami kebaruan
yang memijak pada ke-tak-terbatas-an Al-Haq. Kebaruan ini erat berkelindan
dengan situasi aktual seseorang, sesuai dengan kesiapannya menerima
teofani Al-Haq di sekejap penanda waktu tertentu. Maka, kapan waktu
dan dimana saja (omnipresently), manusia yang
awas selalu mendapati potongan citra Al-Haq.
Pada titik ini, Ibn Arabi membuka dan mencabik ulang setiap
tindakan signifikasi Al-Haq, mengingat apa yang
tertandai itu hanya cecapan sekejap-saat dari keluasan teofanik tanpa batas.
Kebaruan yang simultan ini(unrepeatability) tentu akan
menghindarkan manusia pada laku-laku pemberhalaan. Artinya,
mendeskripsikan Al-Haq, tanpa kesadaran atas
situasi aktual, merupakan cara memfosilkan-Nya. Deskripsi manusia telah
memaksa citraAl-Haq mengalami pengulangan teofanik yang sama, juga
membetot-Nya pada ruang-ruang oposisi biner yang sama sekali bukan cirta
diri-Nya. Terjadi proses pendedasan Al-Haq yang sejatinya dinamis,
teofani tanpa kendali. Bahkan pada tapal batas paling tendensiusnya,
fosil-fosil citra malah sering Al-Haq dijadikan pembenaran bagi
nafsu duniawi yang terselubung.
Kebaruan yang simultan (unrepeatability) pada
Ibn Arabi lebih pada gaung religiusitas, sedangkan Derrida mengaitkan hal
tersebut pada permainan kehadiran (presences) dan ketiadaan (absences) dalam
teks. Struktur-dalam semantik teks menjadi tidak pernah stabil, namun sebatas
tanda yang timbul-tenggelam secara simultan. Lain pada itu, kebaruan juga
dipicu oleh perubahan-perubahan konteks di luar teks yang meniscarayakan cara
baca atas teks menjadi tidak stabil pula. Artinya, selalu ada yang
tertunda (defer) dari setiap upaya pemaknaan teks. Pada titik
ini, teks menjadi tidak punya pusat, tanpa jangkar, namun tertenun antara satu
teks dengan teks lainnya(intertextuality). Teks mengembara
dari satu pembaca ke pembaca lainnya; mengulang-ulang dirinya sendiri secara
baru dihadapan pendengar, lalu berubah sejalan dengan perubahan konteks
pendengar. Teks mengelak untuk ditunggalkan.
Konsekuensi yang tak terelak dari citra Al-Haq/l’Écriture yang
tanpa kendali itu, bahwa Dia adalah sumber sesegala yang silih bertegangan;
baik-buruk, imanen-transenden, bijaksana-murka, dan pola-pola lain yang saling
memungungi. Hal inilah yang menghantarkan pada satu keadaan ketika manusia
benar-benar merasa kebingungan(a state of perplexity). Kebingungan
menghapus batas-batas yang memisahkan hal-hal ke dalam beberapa kategori yang
bersifat dimensional itu (lack of integrity). Dalam kebingungan
primordial semacam ini sesegala mengalir(flow) bersama-sama seperti air.
Batas pemisah ataupun belenggu yang dibentuk oleh usaha manusia untuk
merasionalkan citra Al-Haq menjadi kabur, paling
tidak tertunda.
Jika Ibn Arabi menggunakan metafora air, Derrida
mengistilahkannya dengan déborder dalam menggambarkan
bagaimana teks mengalir kesana-kemari tanpa kendali; semacam alternatif
pemaknaan yang menerobos batas-batas teks, lalu membawanya ke ruang pristiwa,
teks yang hidup. ‘si le jeu du sens peut déborder la
signification...ce débord est le moment du vouloir écrire’, begitulah
kira-kira Derrida menggambarkan permainan signifikasi teks yang mengalir
kesana-kemari tanpa kendali tadi. Moment kemelimpahan makna yang telah membuka
ruang untuk tulisan. Dalam hal ini, Derrida mencoba menganalisa setiap moment
yang sulit dipahami saat menulis, moment ketika tanda muncul ke dalam tulisan,
kelimpahan makna sesaat-seketika langsung ‘membanjiri’, lalu membuka ruang
penafsirang yang sama sekali baru. Teks menjadi khaos, tanpa kekang.
Pada akhirnya, Ibn Arabi dan Derrida sama-sama menolak
segala bentuk oposisi biner yang kaku. Perbedaannya, Ibn Arabi dihadapkan pada
usaha-usaha para teolog maupun filsuf dalam merasionalkan Al-Haq yang
paripurna. Mereka menciptakan konsepsi dulistik yang justru menabir kehadiran
teofanik Tuhan dalam banyak citra(al-hudlûr al-lâ mutanâhiy). Sedangkan
bagi Derrida, oposisi biner tersebut sedang menabir ketiadaan tanpa batas (al-ghiyâb
al-lâ mutanâhiy). Hal ini tidak lepas dari persingungannya dengan
para pemikir strukturalis yang telah menghilangkan kekuatan kata yang
terselubung dan tersamar dalam teks, dimanipulsi sedemikian rupa oleh logika
formal. Mereka cenderung lebih memperhatikan bentuk (forme), lalu
lupa pada kekuatan (force/energy)tersembunyi yang menolak
segala upaya penunggalan. Ada permainan khaos dalam teks yang terabai oleh
ambisi untuk menstabilkan teks; semacam teks tanpa kontradiksi, tanpa paradoks.
Strukturalisme ini merupakan bentuk logosentrisme terdekat yang dikritik
Derrida.
VII
‘The text is never present’ . Begitulah kira-kira pandangan Derrida atas teks.
Tidak peduli seberapa koheren dan teliti struktur yang dibuat untuk
menjelaskanya, teks tidak pernah benar-benar hadir. Teks selalu menggiring
kepada teks lain, sehingga penafsiran teks tidak pernah paripurna. Hal ini
dipicu oleh ketidakmungkinan teks yang benar-benar hadir dan menemukan
totalitasnya, namun sebuah proses simultan yang terbuka terhadap segala
kemungkinan. Pada titik ini, istilah différance menjadi penanda
penting dalam gagasan dekonstruksi Derrida.Différance sedang mengandaikan
penundaan, permainan tanda, hingga menyodorkan paradoks yang tersamar di balik
teks.
Memang menampilkan ironi tersendiri bahwa différance bukanlah
kata-kata, bukan pula sebuah konsep (à la lettre, ni un mot, ni un concept). Semakin
ironi, beberapa kritikus mengasosiasikan différance dengan ‘god’; semacam
echo teologis yang muncul dari istilah tersebut. Brice Parain
merupakan pemikir pertama yang mendeklarasikandifférance sebagai
‘Tuhan bagi teologi negatif’. Tapi bagi John Caputo, différance sama
sekali tidak memiliki kelindan dengan ‘god’. Tapi terlepas dari itu
semua, Derrida sendiri sejatinya berusaha mengelak dari upaya membetot différance ke
dalam bias-bias teologis (theological contamination). Imbasnya,
dekonstruksi tidak dimaknai dengan proses pemunculan makna, namun lebih pada
strategi pembacaan, sebuah permainan tanda baca. Sehingga différance—sebagai
inti dari perbincangan dekonstruksi—tetap dalam selubung kemisteriusan
primordialnya, tanpa tanda-tinanda apa-apa.
Seperti halnya Al-Haq, différance tidak punya
tempat dalam struktur bahasa apapun (n’a aucune nom dans notre langue), bahkan
dengan nama différance itu sendiri. Posisi différance merupakan
kemisteriusan primordial tanpa atribut-atribut yang ditunjuki kata-kata atau
konsep apapun. Différance bermain di ujung batas bahasa. Tersebab
itu, différance harus dipahami sebatas strategi Derrida
untuk membedakan (to differ) sekaligus
menunda (to defer)setiap permainan tanda dalam l’Écriture yang
dipicu oleh ambivalensi huruf [a]. Totalitas kehadiran dalam teks mengalami
keretakan, menjadi sangat tak terkendali; membelah untuk membeda sekaligus
menunda, lalu pada saat bersamaan mengandaikan ulang différance.
Kehadiran menjadi sebatas jejak (trace) yang pernah tertandai
dalam teks, sebatas permainan inter-tekstual yang simultan.
Bagi Derrida, différance bisa dianalogikan
dengan cermin yang meniscayakan ‘ruang kematian’ (non-space), ‘spasi
imajiner’ di belakangnya. ‘Ruang kematian’ ini menjeda ungkapan dengan tulisan,
lalu menjadikan keduanya berjarak namun tetap silih bersentuhan; semacam moment
tak terujar kapan kali yang ada di pedalaman menjadi literal, teks meniscayakan
interpretasi, ataupun kata menjelma benda. Différance yang
mengizinkan identitas memproduksi perbedaan (memutasi) dan sebaliknya, ad
infinitum, lalu meninggalkan residu, jejak kehadiran tanpa
poros, paradoks, ambigu; sisa-sisa kehadiran yang pernah ada namun sekejap
sirna.
Pada akhirnya, différance merupakan ‘permainan
bisu’ yang membebaskan teks dari belenggu logosentris. Begitu juga Al-Haq yang
berusaha dibebaskan dari jeratan sejarah metafisika. Pada titik ini,
kebingungan(perplexity/hayyrah) menjadi penting untuk
diperbincangkan, menghindarkannya upaya-upaya membetotdifférance ke
dalam bias-bias teologis, ataupun menggeret Al-Haq ke
dalam konsepsi rasionalitas tertentu.
VIII
Membingungkan! Sejatinya itulah ungkapan
yang—katakanlah—paling mewakili manusia ketika manusia membincang apa yang
sejatinya ‘tak mungkin terbincang’ (Al-Haq/l’Écriture). Bermula dari
kebingungan manusia, selalu saja ada makna tertunda dari setiap perbincangan,
tak utuh, dan tidak pernah menemukan totalitasnya. Kondisi bingung (perplexity/hayyrah) menjadi
penting; sebagai kondisi primordial manusia memahami relasinya dengan yang tak
terbincang tadi. Dalam hal ini, kebingungan manusia akan menghantarkannya pada
suatu perspektif bahwa sesegala mengalir bersama-sama, tanpa ada batas pemisah
ataupun belenggu yang dibentuk oleh usaha manusia untuk merasionalkan
citra Al-Haq/l’Écriture. Kebingungan manusialah yang justru
menghapus batas-batas yang memisahkan hal-hal ke dalam beberapa kategori yang
bersifat dimensional itu (lack of integrity). Dalam
ungkapan lain, menolak segala bentuk klaim manusia atas-Nya. Kebingungan ini
telah menggiring manusia pada sesegala yang tak pernah bisa terpahami secara
paripurna, kemisteriusan tanpa pelambang. Kebingungan menjadi puncak
perbincangan Al-Haq.
Baik dalam Al-Qur’an maupun dalam tradisi filsafat Barat,
kata bingung mempunyai konoasi negatif. Bingung dicitrakan secagai kesalahan,
dosa, maupun dusta. Walau demikian, bagi Ibn Arabi, tersembunyi pemaknaan
positif dari hayrah; sebagai anugrah Tuhan. Mengutip ungkapan
William Chittick, untuk menemukan Tuhan berarti untuk jatuh dalam kebingungan
yang hebat. Sebegitu pentingnya aspek hayrah memunculkan tanya: seperti
apa yang paripurna tentang Tuhan, kebingungan (confusion) ataukan
kejernihan (clarity)?
Maksud hayrah, bahwa kebingungan memiliki
tiga tahap. Pertama, kebingungan para pemula (bewilderment
of the beginners); semacam kecemasan sesiapa yang mencari
makna Al-Haq, tapi tidak tahu arah mana yang harus dilalui.
Kebingungan semacam ini cenderung terhapuskan oleh kebulatan tekad seorang
hamba untuk senantiasa mencari Al-Haq. Kedua, bingung
karena melihat kenyataan bahwa manusia terpecah ke dalam sekte-sekte, tanpa
tahu keyakinan semacam apa yang paling benar dalam realitas. Kebingungan
semacam ini terhapus saat seorang hamba melepaskan segala hasrat menghadirkan
Tuhan dalam citra maupun pikiran tertentu. Ketiga, puncak
kebingungan seorang hamba yang tersesat di gurun tak bertuan. Ia senantiasa
bergerak naik untuk menggapai Al-Haq tanpa pernah menemukan
jalan menujunya; bahwa kebingungan hamba tersebut dari, melalui, dan di dalam-Nya.
Artinya, kebingungan pada tahapan ini lebih pada sikap penerimaan seorang hamba
atas hayrah; penerimaan atas situasi aktual seorang hamba,
bahkan perayaan moment tersebut.
Adapun perplexity dalam konteks Derrida
merupakan dampak dari proses peledakan tatanan semantik teks melaluidifférance dan dissemination. Différance telah
membuat teks kebingungan dan tertunda (to defer) sekaligus
menstrukturasi dan membedakan (to differ) satu teks dengan
lainnya dalam satu waktu yang bersamaan. Teks bingung dalam dirinya sendiri dan
khaos; kebingungan untuk menemukan poros stabil dan terkendali yang sejatinya
tidak pernah ada (ilusi). Cara kerja teks menjadi diseminatif, menyebar dan
berhubungan dengan tek-teks lainnya (intertextuality). Akibatnya, poros
menyebar ke segala arah tanpa kendali, memproduksi tanda-tanda lalu membuat
bangunan teksnya tersendiri.
Pada akhirnya, baik Ibn Arabi maupun Derrida menekankan
pentingnya perplexity. Kebingungan merupakan kondisi a priori l’Écriture,
begitu pula Al-Haq. Teks harus ditarik pada moment-moment
kehadiran-diri (self-presence), sedangkan Al-Haq pada
situasi aktual. Dalam kebingungan, justru ada perayaan ke-tak-terbatas-an citra
teofanik maupun pendaran makna kata di setiap penanda tertentu, sekaligus
penolakan terhadap segala bentuk stabilitas yang tak memijak pada situasi
aktual ataupun moment kehadiran-diri. Adapun yang total merupakan hal misterius
dan akan tetap dalam selubung kemisteriusannya.
IX
Pada akhirnya, tanpa harus menjadi yang benar-benar akhir,
mari senyumi setiap keganjilan, ketidakmungkinan, kelainan. Mari pula merayakan
kebingungan. Karena tentang Al-Haq/l’Écriture, kita semua
adalah orang awam. Toh, relasi manusia dengan Tuhan merupakan sesuatu yang
misterius, dan akan tetap dalam selubung kemisteriusannya. Meminjam ungkapan
Derrida, ‘The relation with the Other is a relation with a ‘Mystery’.
Relasi tersebut harus termaknai sebagai ‘momen etis’. Maka, masihkah ada
pembenaran kekerasan yang memijak pada perbincangan-perbincangan ilusif,
kekerasan teologis, kekerasan metrafisika!?
من قال أن الله خالقه ولم يحر كان برهانا بأن جهلا
[Ibn Arabi]
--||--
فإن قلت بالتنزيه كنت مقيدا - فإن قلت بالتشبيه كنت محددا
فإن قلت بالأمرين كنت مسددا - وكنت إماما في المعارف سيدا
[Ibn Arabi]
Post a Comment