fahmy farid p.


Acap kali sketsa hadir dalam perwatakan yang menipu. Pemetaaan simetris seolah hanya sebentuk pembenaran-pembenaran yang tersepakati. Padahal, kebermungkinan cara untuk menegaskan identitas menjadi celah terbuka tak berbatas, walaupun --harus kita sadari- semuanya bergumul dalam batas kesadaran identik. Tak pelak lagi, identitas menjadi semacam proses repetitif yang terbentuk dari relasi-relasi yang menegas. Ia bukan lagi teka-teki, namun terkotakan dalam bentuk fantasi simetris. Jika identitas adalah relasi yang terulang pun menipu, seharusnya nilai-nilai otentisitasnya mengalami semacam kekaburan pola, selalu ada relasi yang tak teruraikan. Maka, agar ia tidak terperangkap pola stagnan, harusnya muncul dalam bentuk yang selalu tak terduga, sebuah enigma.


Kita berhenti disini sejenak untuk melakukan proses kilas balik terlebih dahulu saat identitas menjadi sedemikian repetitif. Ini bermula semenjak kebermiripan menjadi sentral pengetahuan yang –sebagian besar- dipandu bagaimana memahami apa yang kita sebut ‘teks’. Keberadaannya bisa saja kita maknai petunjuk, kemudian pada dimensi yang tak bisa kita abstraksi ia harus dipahami dengan iman, menjelma ‘sakral’. Namun ada yang terberangus disini. Ada sebagian yang telah membatasi kebermungkinan itu. Hadir semacam proses pelenyapan apa-apa yang melintas, terselip-pejal di antara titian masa. Semestinya ia dikembalikan pada bentuknya yang paling dalam, bentuk yang tak terabstraksi lagi, dilucuti dengan sedemikian rupa untuk kemudian dimunculkan semacam fantasi kebermungkinan yang luas. Pelucutan ini --sekiranya- harus bermula dari sebuah kesadaran bahwa ternyata selalu ada berliku cara untuk mengerjakan hal sama di antara ragam identitas yang berbeda. Lalu kita letakan pada kekhasan tersendirinya dengan hati-hati, untuk kemudian ditarik tegas garis esensinya.


Sayangnya, manusia telah --katakanlah- ‘memperselingkuhkan’ tuhannya ketika interprertasi telah menjelma ‘tuhan kedua’. Ada yang sengaja dibisukan, dibatasi pergerakannya dengan ‘semena-mena’. Paradigma ini telah hadir me-laten dalam kesadaran komunal, mengerak di jantung sesiapa yang --dalam pemaknaan yang saya yakini- anti-progresifitas. Tegasnya, harus terbangun pola desakralisasi interpretasi terlebih dahulu ketika ingin memunculkan kebermungkinan itu, lalu memposisikan teks sebagai ujaran yang meng-enigma.


Keterbukaan peleburan antar relasi menjadi sedemikian penting terkait proses pemunculan entitas yang segar. Katakanlah standar paradigmatik disini terpetakan ke dalam proses empat proses esensial; convenientia, aemulatio, analogy dan sympathies (penulis sendiri tidak memiliki padanan kata yang pantas untuk keempatnya. Penulis biarkan seperti itu untuk menjaga probabilitas pemaknaannya). Convenientia menegaskan tentang bagaimana penjajaran identitas mampu menghadirkan potret relasinya yang berkesinambungan. Lantas ia sendiri adalah pergerakan, keterpengaruhan, hasrat yang dikomunikasikan satu dengan lainnya, layaknya relasi jasad dengan jiwanya. Jaringan keduanya menghadirkan sebentuk kenyamanan melalui relasi-relasi harmoni. Jika relasi convenientia berantakan, maka disana juga ada aemulatio. Hal ini tentang bagaimana sesuatu dimunculkan tanpa ada sebuah ikatan tegas. Ia pada akhirnya menjelma imitasi dengan me-replika diri untuk menghilangkan jarak yang memisahkan, kemudian memberikan identitasnya masing-masing. Lantas convenientia dan aemulatio bisa jadi konsep yang terikat tegas analogy. Prinsip ketiga ini memendam daya yang teramat besar untuk menghadirkan semacam perumpamaan sesegala yang ‘limunan’, menggali substansi terdalam dari dua identitas yang identik. Adapun sympathies lebih menekankan pada semacam dunia yang terbebas dari ikatan apapun, layaknya melukis apa yang nampak hanya dalam fantasi. Keempat prinsip ini tentunya mengajarkan kita terkait bagaimana identitas mewujud, bersalin rupa, berefleksi untuk kemudian mengikatkan diri pada jejaring episteme yang luas, tak berhingga.


Bagi saya, enigma adalah proses kebermungkinan tak berhingga. Walaupun --bisa jadi- identitas itu hanya sebatas relasi-relasi repetitif, namun tidak lantas menjadikannya sebatas lahan permainan simbolik belaka, lalu dengannya berhak memutus siapa yang harus ‘nampak’ dan siapa yang mesti ‘limunan’ ketika menegaskan sebentuk identitas. Jika ia adalah sebuah penjajaran jaringan yang membentuk relasi, maka keterbukaan untuk saling ‘bersenggama’ antar relasi harusnya menjadi pembenarannya disini. Ia bukan lagi potret paradigma monolitis, tapi proses peleburan yang terbuka, proses menjelma.


Tajamu` Awal, 26 Maret 2011 (07:39 am)

fahmy farid p.
Cita rasa yang membungkus sebuah objek bernilai shopistik seharusnya ‘menggelitik’. Tanpa cita rasa, eksistensi hanyalah identitas hampa yang pejal-berjejal. Hanya saja, sangat mungkin takan pernah terbentuk kesadaran simultan untuk –sekedar- menghadirkan nilai-nilai persenggamaan kolektif bagi seorang ‘amatir’; menawarkan analisa yang mampu menempa sensitifitas, untuk kemudian berbagi perspektif. Dan pada saat bersamaan, ia akan dihadapkan paradoks tak berhingga. Jejak-jejak shopistik silam yang tercecer seolah hanya membawanya pada ruang padat-pekat, tersesat dalam labrin mimpi. Tegasnya, seorang ‘amatir’ –bagaimanapun juga- tidak akan pernah percaya sesegala memiliki cita rasa. Tak ayal, potret sosial-pun lahir dalam perwajahan yang prematur, ruh esensialnya menguap di antara selangkangan masa. Sengkarut ini tentunya menawarkan banyak epigram, lalu paradigma muncul dalam bahasa yang meng-ironi. Padahal kemunculan apapun memerlukan titk matang, titik artistik, titik shopistik.

Dalam menanamkan nilai-nilai shopistik sosial, memunculkan ruh peradaban menjadi sesuatu yang aksiomatik. Walaupun ruh itu satu, namun perwajahannya akan tidak selalu tunggal. Ia senantiasa beragam sebanding dengan pemaknaannya. Ruh itu sendiri bagi penulis adalah moralitas. Katakanlah, negeri antah-berantah tegas mengikat diri pada falsafah Bhineka Tunggal Ika. Identitas ini hanya akan berakhir dengan ‘bualan’ tanpa sebuah kesadaran bahwa kemanapun keragaman itu bergerak, pada akhirnya ia adalah satu, manusia Indonesia. Sederhananya, kemanapun gejolak perbedaan terbingkai di permukaan, tegaskan rona moralitas yang sama, karena manusia bukanlah potret pergerakan materiil belaka, tapi ia adalah entitas moral juga.

Namun kenyataan teoritis –acap kali- berbanding terbalik dengan apa-apa yang nampak di permukaan. Ia layaknya identitas yang ambivalen. Beberapa kawan penulis yang sempat ‘liburan’ di negeri tercinta justru hanya membawa cerita duka. Perbedaan menjelma fenomena asing yang tak pernah tuntas, tak terjawab. Mulai dari generasi yang tergadai, identias yang kabur pun terkotak, anarkisme yang me-laten, dan banyak fenomena lain yang –sekiranya- takan pernah cukup dituliskan jikapun lautan menjelma tintanya. Ke-tidak-mampu-an menguraikannya secara jernih ditengarai menjadi aspek yang tak terbantahkan. Tapi masalah terpenting kiranya bukan itu. Ada yang tergadaikan di sini! Di negeriku, politik adalah ruang dimana idealisme tumbuh, ‘idealisme pembual’. Lalu anarkisme adalah rumah bagi idealisme tumbuh, ‘idealisme pecundang’. Tumbuh semacam ketergesaan, dan akhirnya ruh Bhineka Tunggal Ika asing di rumah sendiri.

Seandainya ruh itu telah menancap tegas di dada peradaban, maka perbedaan akan nampak sebagai potret yang ‘biasa’. Takan pernah ada lagi ‘murka’, pun hasrat untuk mendirikan statuta –semata- agar tak terserak, lalu berbahasa sama. Ketika ruh itu mampu digenggam erat, garapan pengembangan peradaban kini berpaling tentang bagaimana manusia memahami realitas materiil-nya, berkembang bersama dalam bingkai konsep egalitarianisme, simpatik dan akomodatif terhadap berbagai corak dengan semangat kebebasan berfikir. Sejenak terbesit dengan apa yang ditawarkan Taha Abdurrahman bahwa; ‘Segala hal yang kita adopsi –pada prinsipnya- tertolak, sampai ada alasan kuat yang membenarkannya. Dan segala hal yang bersifat kultural –pada prinsipnya- diterima, sampai ada alasan kuat yang menolaknya.pun tidak tergesa. Pijakan ini menjadi penting dan menarik dalam konteks membangun peradaban dinamis; tidak membebek,

Tajamu` Awal, 22 Maret 2011 (02:36 am)

fahmy farid p.

Tidak ada kebenaran pasti disana (teks), yang ada –sebatas- interpretasi

[ Nietzsche ]


Semenjak teks menjadi ‘objek’ tergugat dalam kerangka pemikiran post-modernisme, ‘tanpa sadar’ ia telah menemukan momentum tepat untuk –setidaknya- menegaskan kehadirannya kembali secara utuh dan proporsioal, baik dalam peranan ‘protagonis’ maupun ‘anatagonis’. Dalam hal ini, teks sedang dibaca melalui berbagai gugatan atas objektivitas kebenaran, untuk kemudian dimunculkan sebentuk kecurigaan-kecurigaan pada teks-teks yang menancap tegas dalam sirkulasi kesadaran manusia. Kecurigaan ini terkait kuat dengan ‘dugaan’ bahwa tidak sedikit –jika tidak semua- ‘teks’ hanyalah sebentuk rekam-jejak konstruksi sosial yang dihadirkan melalui konsensus bersama, atau dalam bahasa Nasr Hamid Abu Zaid diistilahkan sebagai al-muntaj al-tsaqâfiy (produk budaya).


Menjadi menarik apa yang diungkapkan GM dalam Caping-nya kalaulah; “Tiap jagoan perlu ironi. Tiap kali seorang tokoh ditampilkan demikian perkasa, penting untuk ambil jarak. Jarak untuk berpikir lagi, dengan sedikit lelucon. Jarak untuk lebih arif. Bersama ironi kita bisa merenung kembali dengan hati ringan tentang hal-ihwal yang berlebihan —dan jadi sedikit bijaksana seraya riang. Benang merah yang bisa ditampilkan disini, posisi bahasa –dalam prespektif yang mungkin terkesan arogan dan gegabah- menjadi sedemikian sentral, hadir sebagai ‘jagoan peradaban’ post-modernisme. Asumsi ini tentunya tidak dibangun dengan ‘serampangan’, mengingat beberapa dekade sebelumnya, salah satu paradigma ‘kunci’ filsafat cenderung berkutat pada ‘akal’ yang dimotori oleh Descrates. Bisa dikatakan, bahasa kini telah mewujud dalam penampakan yang meng-ironi, mencoba –setidaknya- menggugat kemapanan bangunan megah filsafat modernisme.


Sebagai pijakan paradigmatik, setiap teks –bagaimanapun juga- selalu ‘menyembunyikan’ konteks keterbentukannya dalam ‘ikatan yang tegas’. Ketrikatan teks dan konteks ini dengan sendirinya telah menunjukan bahwa –mengutip Gadamer- setiap interpretasi selalu melibatkan berbagai kemungkinan terbentuknya hubungan –interpretatif- dengan yang lain, hubungan antara author dengan interpreter. Maka tak ayal jika teks hidup dalam keterikatan pemaknaan-pemaknaan bahasa yang menyejarah nan terbatas, baik dalam ambang batas konteks pengalaman sebagai sebuah ‘efek fungsional-formal’, maupun konteks kerangka konseptual yang terkait problem paradoks diri (self-referencial paradox).


Pemetaan sederhananya, keterbatasan bahasa dalam mengurai fenomena tentunya mempertimbangkan ke-tidak-terbatas-an pengalaman nyata untuk selalu direfleksikan secara beragam. Karena pengalaman itu sendiri selalu menghadirkan perwajahan yang teramat dalam, luas dan rumit untuk sekedar disederhanakan pada untaian bahasa verbal. Maka yang menjadi persoalan mendasar adalah pola pemaknaan teks yang berputar pada ragam kemungkinan untuk direfleksikan dalam potret yang tak terbatas. Ketika teks ditafsirkan dalam kerangka pemaknaan deskriptif pengalaman yang monolitik, maka bahasa disini telah mengalami penciutan potensi makna. Untuk menghindari itu, teks harus senantiasa memotret realitas yang plural, relatif juga beragam corak paradigma pihak berkepentingan. Penggalian seperti ini memang telah menggiring sistem pemaknaan bahasa pada tataran paling radikal, bahkan bisa jadi justru menghancurkan bangunan semantik yang tertata rapi, sekaligus menghancurkan batas demarkasi pemaknaan bahasa antara yang literal dengan metafor. Sehingga, menjadi sebuah keniscayaan logis untuk menghadirkan sebentuk sistem kontrol. Hanya saja, kalaupun pemaknaan bahasa harus dibatasi agar tidak tampil sedemikian liar, maka ini harus dipahami dalam kerangka batas formal, bukan batas ontologis.


Lain pada itu, paradoks diri –di sini- menjadi pijakan penting klaim ‘tumbangnya filsafat’. Terbangun asumsi kuat kalaulah –secara umum- konstruk linguistik atau segala konstruk konseptual berpijak pada pengandaian yang tidak bisa dijelaskan secara utuh melalui media bahasa itu sendiri. Secara langsung, asumsi ini telah menggeret pada isyarat keterbatasan bahasa. Jika demikian, maka bahasa hanya memerankan fungsi deskriptifnya saja, terciutkan pada fungsi instrumental belaka. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, bahasa –pada akhirnya- hanya bisa digunakan untuk memotret dunia tapi tidak bisa memotret dirinya sendiri.


Ke-tidak-pasti-an identitas dan penggalian makna yang bisa dimunculkan bahasa inilah yang menjadi problem mendasar teks. Namun mengingat teks sejatinya tidak bisa melakukan auto-kritik, maka perangkat kritik teks menjadi sebuah keniscayaannya. Tak heran, geliat pemikiran post-modernisme telah memposisikan filsafat bahasa menjadi sebegitu penting dalam mengurai identitas yang hendak dimunculkan sebuah teks. Filsafat sedang mengalami antitesa paradigmatik, sebentuk pembalikan paradigma ke arah bahasa (linguistic turn). Pada tataran ini, geliat hermeneutika, sebagai salah satu metode interpretasi, mewujud instrumen peradaban untuk –setidaknya- dipertimbangkan.


***


Semenjak teks menjadi sirkulasi paradigmatik atas ruang interaksi manusia (atau ruang keberagamaan Islam dalam kasus yang lebih spesifik), lingkup interpretasi –dipahami- menjadi sedemikian sempit. Keterjebakan nalar pada fungsi pragmatis bahasa telah membentuk pola kesadaran yang ‘mati’. Kemudian –secara tidak- langsung, kesadaran yang hadir telah menggiring teks hanya pada interpretasi monolitik. Padahal, sirkulasi teks tersebut tidak semerta memunculkan makna secara objektif, akan tetapi pemaknaannya justru terletak pada bagaimana sebuah teks diindra oleh pembaca. Walaupun demikian, bukan berarti sebuah teks tidak memiliki makna permanen, yaitu makna yang dikehendaki oleh author. Akan tetapi ke-tidak-terbatas-an makna justru muncul dari keberagaman sudut pandang pembaca, ragam simbol-simbol kultural, juga berbagai prespektif menyejarah yang dibawa oleh pembaca ketika memahami teks. Pada tataran ini, teks menjadi teramat subjektif, ataupun kebenaran yang dihadirkan sebatas kesepakatan-kesepakatan bersama, karena sesiapapun tidak mungkin memperoleh makna objektif dari sebuah teks. Maka, disinilah peran hermeneutika menjadi penting untuk menghadirkan makna-makna yang ‘terkaburkan’.


Sebagai sebuah metode pembacaan teks, hermeneutika tidak seperti garapan dasar dekonstruksi yang notabene ‘sebatas’ metode kritik teks. Sebagaimana hipotesa Jonathan Culler kalaulah; “Dekonstruksi sejatinya bukanlah teori untuk menentukan makna, sehingga ia memberi tahu kepadamu cara untuk menemukannya”. Dengan kata lain, dekonstruksi hanya sebatas perangkat untuk mengoyak pemaknaan-pemaknaan yang berkutat dalam kerangka kultural yang tiran dan membatu. Sedangkan Hermeneutika sendiri –dalam bahasa paul Ricoeur- merupakan metode khusus untuk mempelajari proses pemaknaan (pemahaman makna), khususnya terkait interpretasi teks.


Sebagai sebuah ‘seni interpretasi’, hermeneutika –dalam pengertian yang paling umum- merupakan metode yang dipersiapkan secara tegas untuk menguraikan makna-makna yang terkandung dalam teks. Yaitu tentang bagaimana seharusnya interpretasi diaplikasikan pada sebuah teks secara proporsional. Metode ini sejatinya berakar dari tradisi Barat, dimana peranannya menjadi sangat sentral dalam kritik Bible yang notabene meiliki problem otentisitas.


Jika dilakukan lompatan periodik, diskursus hermeneutika modern merupakan kepanjangan hipotesa dari apa yang telah dilakukan Friedrich Schlemiermacher (1768-1834), dengan tokoh-tokoh kunci semisal Wilhelm Dilthey, Hans Georg Gadamer, Martin Heidegger, Paul Ricoeur, juga pakar representatif lainnya. Dalam hal ini, Richard Palmer termasuk pemikir yang berjasa dalam memaparkan gagasan besar metode hermeneutika melalui analisa tokoh-tokoh hermeneut secara apik, untuk kemudian memetakan kerangka teoritiknya.


Katakanlah, teori umum yang ditawarkan Dilthey melalui metode hermeneutika sejatinya berkutat pada pencarian validitas interpretasi teks yang hanya mungkin ditemukan dengan ‘membongkar’ maksud pengarang (authorial intent). Teori ini telah mendudukan author sebagai ‘kunci teks’ dalam menghadirkan pemaknaannya yang utuh. Dilthey mengembangkan kerangka paradigma hermeneutika Schlemiermacher atas gagasan lingkaran hermeneutika (hermeneutic circle). Hal ini berpijak pada terbentuknya interaksi paradoksial, dimana seorang pembaca –faktanya- sama sekali ‘tidak akan pernah’ memahami teks secara utuh, sampai dia melihat pola interpretasi hermeneutika bukan sebagai pola ‘lingkara setan’. Karena pada dasarnya, interpretasi yang valid akan selalu melibatkan pemaknaan-pemaknaan ‘liar’ pengarang. Lain pada itu, jika berpijak pada konsep pembongkaran makna –sebagaimana ditawarkan Dilthey- yang harus merujuk langsung pada author, tentunya hal ini mendapati kesesuaiannya dengan asumsi E. D Hirsch bahwa makna verbal sebuah teks selalu hadir dalam potret yang stabil dan pasti (determined). Identitas ini merupakan konsekuensi logis ketika author didudukan pada posisi kunci.


Berbeda dengan Dilthey, Heidegger justru menghendaki teks untuk dilepaskan dari pengarangnya. Dalam arti, seorang pembaca semestinya menelisik sisi terdalam teks (inner life of text) untuk memahaminya secara utuh. Sehingga, ketika sebuah ide ditransformasikan melalui sebuah teks, maka pemaknaannya menjadi sesuatu yang relatif, dan tidak mungkin lagi dihadirkan secara utuh. Gadamer kemudian mengembangkan kedua gagasan tersebut, dimana pemaknaan suatu teks merupakan sebentuk arti yang dihadirkan melalui konteks menyejarah yang melingkupi author dan interpreter sekaligus. Seketika itu, maka dapat dipastikan tidak seorangpun pembaca yang bisa menawarkan interpretasi monolitik ataupun makna final atas teks, mengingat keterbukaan corak konteks yang hadir. Sederhananya, baik Gadamer ataupun Heidegger bersikeras menekannkan pentingnya aspek kesejarahan dan ke-tidak-baku-an interpretasi dalam memaknai sebuah teks. Pada tataran ini, pemaknaan teks menjadi sebentuk usaha untuk mendapatkan kesepakatan pemaknaan bersama yang harus terjadi antara author dan interpreter. Hasilnya, makna kata akan senantiasa berdinamika dalam ruang relativitas dan ke-tidak-pasti-an (indeterminacy). Pada akhirnya, ke-tidak-pasti-an itu telah menjadikan bahasa muncul dalam perwatakan 'jagoan', dan acap kali datang tiba-tiba, tak terduga.


Giza, 27 Februari 2011 (03:27 pm)