fahmy farid p.
Cita rasa yang membungkus sebuah objek bernilai shopistik seharusnya ‘menggelitik’. Tanpa cita rasa, eksistensi hanyalah identitas hampa yang pejal-berjejal. Hanya saja, sangat mungkin takan pernah terbentuk kesadaran simultan untuk –sekedar- menghadirkan nilai-nilai persenggamaan kolektif bagi seorang ‘amatir’; menawarkan analisa yang mampu menempa sensitifitas, untuk kemudian berbagi perspektif. Dan pada saat bersamaan, ia akan dihadapkan paradoks tak berhingga. Jejak-jejak shopistik silam yang tercecer seolah hanya membawanya pada ruang padat-pekat, tersesat dalam labrin mimpi. Tegasnya, seorang ‘amatir’ –bagaimanapun juga- tidak akan pernah percaya sesegala memiliki cita rasa. Tak ayal, potret sosial-pun lahir dalam perwajahan yang prematur, ruh esensialnya menguap di antara selangkangan masa. Sengkarut ini tentunya menawarkan banyak epigram, lalu paradigma muncul dalam bahasa yang meng-ironi. Padahal kemunculan apapun memerlukan titk matang, titik artistik, titik shopistik.

Dalam menanamkan nilai-nilai shopistik sosial, memunculkan ruh peradaban menjadi sesuatu yang aksiomatik. Walaupun ruh itu satu, namun perwajahannya akan tidak selalu tunggal. Ia senantiasa beragam sebanding dengan pemaknaannya. Ruh itu sendiri bagi penulis adalah moralitas. Katakanlah, negeri antah-berantah tegas mengikat diri pada falsafah Bhineka Tunggal Ika. Identitas ini hanya akan berakhir dengan ‘bualan’ tanpa sebuah kesadaran bahwa kemanapun keragaman itu bergerak, pada akhirnya ia adalah satu, manusia Indonesia. Sederhananya, kemanapun gejolak perbedaan terbingkai di permukaan, tegaskan rona moralitas yang sama, karena manusia bukanlah potret pergerakan materiil belaka, tapi ia adalah entitas moral juga.

Namun kenyataan teoritis –acap kali- berbanding terbalik dengan apa-apa yang nampak di permukaan. Ia layaknya identitas yang ambivalen. Beberapa kawan penulis yang sempat ‘liburan’ di negeri tercinta justru hanya membawa cerita duka. Perbedaan menjelma fenomena asing yang tak pernah tuntas, tak terjawab. Mulai dari generasi yang tergadai, identias yang kabur pun terkotak, anarkisme yang me-laten, dan banyak fenomena lain yang –sekiranya- takan pernah cukup dituliskan jikapun lautan menjelma tintanya. Ke-tidak-mampu-an menguraikannya secara jernih ditengarai menjadi aspek yang tak terbantahkan. Tapi masalah terpenting kiranya bukan itu. Ada yang tergadaikan di sini! Di negeriku, politik adalah ruang dimana idealisme tumbuh, ‘idealisme pembual’. Lalu anarkisme adalah rumah bagi idealisme tumbuh, ‘idealisme pecundang’. Tumbuh semacam ketergesaan, dan akhirnya ruh Bhineka Tunggal Ika asing di rumah sendiri.

Seandainya ruh itu telah menancap tegas di dada peradaban, maka perbedaan akan nampak sebagai potret yang ‘biasa’. Takan pernah ada lagi ‘murka’, pun hasrat untuk mendirikan statuta –semata- agar tak terserak, lalu berbahasa sama. Ketika ruh itu mampu digenggam erat, garapan pengembangan peradaban kini berpaling tentang bagaimana manusia memahami realitas materiil-nya, berkembang bersama dalam bingkai konsep egalitarianisme, simpatik dan akomodatif terhadap berbagai corak dengan semangat kebebasan berfikir. Sejenak terbesit dengan apa yang ditawarkan Taha Abdurrahman bahwa; ‘Segala hal yang kita adopsi –pada prinsipnya- tertolak, sampai ada alasan kuat yang membenarkannya. Dan segala hal yang bersifat kultural –pada prinsipnya- diterima, sampai ada alasan kuat yang menolaknya.pun tidak tergesa. Pijakan ini menjadi penting dan menarik dalam konteks membangun peradaban dinamis; tidak membebek,

Tajamu` Awal, 22 Maret 2011 (02:36 am)

Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment