fahmy farid p.

Tidak ada kebenaran pasti disana (teks), yang ada –sebatas- interpretasi

[ Nietzsche ]


Semenjak teks menjadi ‘objek’ tergugat dalam kerangka pemikiran post-modernisme, ‘tanpa sadar’ ia telah menemukan momentum tepat untuk –setidaknya- menegaskan kehadirannya kembali secara utuh dan proporsioal, baik dalam peranan ‘protagonis’ maupun ‘anatagonis’. Dalam hal ini, teks sedang dibaca melalui berbagai gugatan atas objektivitas kebenaran, untuk kemudian dimunculkan sebentuk kecurigaan-kecurigaan pada teks-teks yang menancap tegas dalam sirkulasi kesadaran manusia. Kecurigaan ini terkait kuat dengan ‘dugaan’ bahwa tidak sedikit –jika tidak semua- ‘teks’ hanyalah sebentuk rekam-jejak konstruksi sosial yang dihadirkan melalui konsensus bersama, atau dalam bahasa Nasr Hamid Abu Zaid diistilahkan sebagai al-muntaj al-tsaqâfiy (produk budaya).


Menjadi menarik apa yang diungkapkan GM dalam Caping-nya kalaulah; “Tiap jagoan perlu ironi. Tiap kali seorang tokoh ditampilkan demikian perkasa, penting untuk ambil jarak. Jarak untuk berpikir lagi, dengan sedikit lelucon. Jarak untuk lebih arif. Bersama ironi kita bisa merenung kembali dengan hati ringan tentang hal-ihwal yang berlebihan —dan jadi sedikit bijaksana seraya riang. Benang merah yang bisa ditampilkan disini, posisi bahasa –dalam prespektif yang mungkin terkesan arogan dan gegabah- menjadi sedemikian sentral, hadir sebagai ‘jagoan peradaban’ post-modernisme. Asumsi ini tentunya tidak dibangun dengan ‘serampangan’, mengingat beberapa dekade sebelumnya, salah satu paradigma ‘kunci’ filsafat cenderung berkutat pada ‘akal’ yang dimotori oleh Descrates. Bisa dikatakan, bahasa kini telah mewujud dalam penampakan yang meng-ironi, mencoba –setidaknya- menggugat kemapanan bangunan megah filsafat modernisme.


Sebagai pijakan paradigmatik, setiap teks –bagaimanapun juga- selalu ‘menyembunyikan’ konteks keterbentukannya dalam ‘ikatan yang tegas’. Ketrikatan teks dan konteks ini dengan sendirinya telah menunjukan bahwa –mengutip Gadamer- setiap interpretasi selalu melibatkan berbagai kemungkinan terbentuknya hubungan –interpretatif- dengan yang lain, hubungan antara author dengan interpreter. Maka tak ayal jika teks hidup dalam keterikatan pemaknaan-pemaknaan bahasa yang menyejarah nan terbatas, baik dalam ambang batas konteks pengalaman sebagai sebuah ‘efek fungsional-formal’, maupun konteks kerangka konseptual yang terkait problem paradoks diri (self-referencial paradox).


Pemetaan sederhananya, keterbatasan bahasa dalam mengurai fenomena tentunya mempertimbangkan ke-tidak-terbatas-an pengalaman nyata untuk selalu direfleksikan secara beragam. Karena pengalaman itu sendiri selalu menghadirkan perwajahan yang teramat dalam, luas dan rumit untuk sekedar disederhanakan pada untaian bahasa verbal. Maka yang menjadi persoalan mendasar adalah pola pemaknaan teks yang berputar pada ragam kemungkinan untuk direfleksikan dalam potret yang tak terbatas. Ketika teks ditafsirkan dalam kerangka pemaknaan deskriptif pengalaman yang monolitik, maka bahasa disini telah mengalami penciutan potensi makna. Untuk menghindari itu, teks harus senantiasa memotret realitas yang plural, relatif juga beragam corak paradigma pihak berkepentingan. Penggalian seperti ini memang telah menggiring sistem pemaknaan bahasa pada tataran paling radikal, bahkan bisa jadi justru menghancurkan bangunan semantik yang tertata rapi, sekaligus menghancurkan batas demarkasi pemaknaan bahasa antara yang literal dengan metafor. Sehingga, menjadi sebuah keniscayaan logis untuk menghadirkan sebentuk sistem kontrol. Hanya saja, kalaupun pemaknaan bahasa harus dibatasi agar tidak tampil sedemikian liar, maka ini harus dipahami dalam kerangka batas formal, bukan batas ontologis.


Lain pada itu, paradoks diri –di sini- menjadi pijakan penting klaim ‘tumbangnya filsafat’. Terbangun asumsi kuat kalaulah –secara umum- konstruk linguistik atau segala konstruk konseptual berpijak pada pengandaian yang tidak bisa dijelaskan secara utuh melalui media bahasa itu sendiri. Secara langsung, asumsi ini telah menggeret pada isyarat keterbatasan bahasa. Jika demikian, maka bahasa hanya memerankan fungsi deskriptifnya saja, terciutkan pada fungsi instrumental belaka. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, bahasa –pada akhirnya- hanya bisa digunakan untuk memotret dunia tapi tidak bisa memotret dirinya sendiri.


Ke-tidak-pasti-an identitas dan penggalian makna yang bisa dimunculkan bahasa inilah yang menjadi problem mendasar teks. Namun mengingat teks sejatinya tidak bisa melakukan auto-kritik, maka perangkat kritik teks menjadi sebuah keniscayaannya. Tak heran, geliat pemikiran post-modernisme telah memposisikan filsafat bahasa menjadi sebegitu penting dalam mengurai identitas yang hendak dimunculkan sebuah teks. Filsafat sedang mengalami antitesa paradigmatik, sebentuk pembalikan paradigma ke arah bahasa (linguistic turn). Pada tataran ini, geliat hermeneutika, sebagai salah satu metode interpretasi, mewujud instrumen peradaban untuk –setidaknya- dipertimbangkan.


***


Semenjak teks menjadi sirkulasi paradigmatik atas ruang interaksi manusia (atau ruang keberagamaan Islam dalam kasus yang lebih spesifik), lingkup interpretasi –dipahami- menjadi sedemikian sempit. Keterjebakan nalar pada fungsi pragmatis bahasa telah membentuk pola kesadaran yang ‘mati’. Kemudian –secara tidak- langsung, kesadaran yang hadir telah menggiring teks hanya pada interpretasi monolitik. Padahal, sirkulasi teks tersebut tidak semerta memunculkan makna secara objektif, akan tetapi pemaknaannya justru terletak pada bagaimana sebuah teks diindra oleh pembaca. Walaupun demikian, bukan berarti sebuah teks tidak memiliki makna permanen, yaitu makna yang dikehendaki oleh author. Akan tetapi ke-tidak-terbatas-an makna justru muncul dari keberagaman sudut pandang pembaca, ragam simbol-simbol kultural, juga berbagai prespektif menyejarah yang dibawa oleh pembaca ketika memahami teks. Pada tataran ini, teks menjadi teramat subjektif, ataupun kebenaran yang dihadirkan sebatas kesepakatan-kesepakatan bersama, karena sesiapapun tidak mungkin memperoleh makna objektif dari sebuah teks. Maka, disinilah peran hermeneutika menjadi penting untuk menghadirkan makna-makna yang ‘terkaburkan’.


Sebagai sebuah metode pembacaan teks, hermeneutika tidak seperti garapan dasar dekonstruksi yang notabene ‘sebatas’ metode kritik teks. Sebagaimana hipotesa Jonathan Culler kalaulah; “Dekonstruksi sejatinya bukanlah teori untuk menentukan makna, sehingga ia memberi tahu kepadamu cara untuk menemukannya”. Dengan kata lain, dekonstruksi hanya sebatas perangkat untuk mengoyak pemaknaan-pemaknaan yang berkutat dalam kerangka kultural yang tiran dan membatu. Sedangkan Hermeneutika sendiri –dalam bahasa paul Ricoeur- merupakan metode khusus untuk mempelajari proses pemaknaan (pemahaman makna), khususnya terkait interpretasi teks.


Sebagai sebuah ‘seni interpretasi’, hermeneutika –dalam pengertian yang paling umum- merupakan metode yang dipersiapkan secara tegas untuk menguraikan makna-makna yang terkandung dalam teks. Yaitu tentang bagaimana seharusnya interpretasi diaplikasikan pada sebuah teks secara proporsional. Metode ini sejatinya berakar dari tradisi Barat, dimana peranannya menjadi sangat sentral dalam kritik Bible yang notabene meiliki problem otentisitas.


Jika dilakukan lompatan periodik, diskursus hermeneutika modern merupakan kepanjangan hipotesa dari apa yang telah dilakukan Friedrich Schlemiermacher (1768-1834), dengan tokoh-tokoh kunci semisal Wilhelm Dilthey, Hans Georg Gadamer, Martin Heidegger, Paul Ricoeur, juga pakar representatif lainnya. Dalam hal ini, Richard Palmer termasuk pemikir yang berjasa dalam memaparkan gagasan besar metode hermeneutika melalui analisa tokoh-tokoh hermeneut secara apik, untuk kemudian memetakan kerangka teoritiknya.


Katakanlah, teori umum yang ditawarkan Dilthey melalui metode hermeneutika sejatinya berkutat pada pencarian validitas interpretasi teks yang hanya mungkin ditemukan dengan ‘membongkar’ maksud pengarang (authorial intent). Teori ini telah mendudukan author sebagai ‘kunci teks’ dalam menghadirkan pemaknaannya yang utuh. Dilthey mengembangkan kerangka paradigma hermeneutika Schlemiermacher atas gagasan lingkaran hermeneutika (hermeneutic circle). Hal ini berpijak pada terbentuknya interaksi paradoksial, dimana seorang pembaca –faktanya- sama sekali ‘tidak akan pernah’ memahami teks secara utuh, sampai dia melihat pola interpretasi hermeneutika bukan sebagai pola ‘lingkara setan’. Karena pada dasarnya, interpretasi yang valid akan selalu melibatkan pemaknaan-pemaknaan ‘liar’ pengarang. Lain pada itu, jika berpijak pada konsep pembongkaran makna –sebagaimana ditawarkan Dilthey- yang harus merujuk langsung pada author, tentunya hal ini mendapati kesesuaiannya dengan asumsi E. D Hirsch bahwa makna verbal sebuah teks selalu hadir dalam potret yang stabil dan pasti (determined). Identitas ini merupakan konsekuensi logis ketika author didudukan pada posisi kunci.


Berbeda dengan Dilthey, Heidegger justru menghendaki teks untuk dilepaskan dari pengarangnya. Dalam arti, seorang pembaca semestinya menelisik sisi terdalam teks (inner life of text) untuk memahaminya secara utuh. Sehingga, ketika sebuah ide ditransformasikan melalui sebuah teks, maka pemaknaannya menjadi sesuatu yang relatif, dan tidak mungkin lagi dihadirkan secara utuh. Gadamer kemudian mengembangkan kedua gagasan tersebut, dimana pemaknaan suatu teks merupakan sebentuk arti yang dihadirkan melalui konteks menyejarah yang melingkupi author dan interpreter sekaligus. Seketika itu, maka dapat dipastikan tidak seorangpun pembaca yang bisa menawarkan interpretasi monolitik ataupun makna final atas teks, mengingat keterbukaan corak konteks yang hadir. Sederhananya, baik Gadamer ataupun Heidegger bersikeras menekannkan pentingnya aspek kesejarahan dan ke-tidak-baku-an interpretasi dalam memaknai sebuah teks. Pada tataran ini, pemaknaan teks menjadi sebentuk usaha untuk mendapatkan kesepakatan pemaknaan bersama yang harus terjadi antara author dan interpreter. Hasilnya, makna kata akan senantiasa berdinamika dalam ruang relativitas dan ke-tidak-pasti-an (indeterminacy). Pada akhirnya, ke-tidak-pasti-an itu telah menjadikan bahasa muncul dalam perwatakan 'jagoan', dan acap kali datang tiba-tiba, tak terduga.


Giza, 27 Februari 2011 (03:27 pm)
Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment