Prolog
Agama, Islam khususnya, tidak bisa hanya dipandang sebatas dogma teologis ataupun abstraksi pemikiran belaka. Islam harus juga menjadi tenaga kebudayaan, memberi arti kreatifitas sekaligus mendorong manusia untuk menyingkap rahasia-rahasia di balik segala penciptaan. Agama tidak hanya menegaskan titah ‘langit’, ia juga harus mewakili sekaligus proyeksi gagasan ‘bumi’; mendekatkan benggang yang menganga antara ‘bumi’ dan ‘langit’ hingga tidak sedemikian berjarak. Sehingga agama tidak berhenti pada titik semangat ataupun ritual, namun terus bergerak menuju titik yang paling mampu diabstraksi manusia melalui penyingkapan-penyingkapan fenomena penciptaan.
Meminjam perspektif Muhammed Iqbal, prilaku kehidupan religius sendiri terpetakan kedalam tiga periode penting: keyakinan (al-îmân), pemikiran (al-fikr), dan penyingkapan (al-istiksyâf). Pada periode pertama, agama muncul sebagai totalitas lelaku, sebuah penghambaan tanpa syarat atau landasan rasional apapun. Tapi jika ditelisik dari pertumbuhan dan perkembangan batin individu, totalitas penghambaan tadi akan diikuti oleh pengertian rasional terhadapnya, sekaligus terhadap sumber paling otoritatif dari agama. Manusia kemudian mencari landasan prilaku keberagamaan pada pembenaran-pembenaran metafisis, atau semacam pandangan logis mengenai dunia (penciptaan), dengan Tuhan sebagai bagian dari pandangan tersebut. Pada periode terakhir, terjadi pembalikan kesadaran beragama, dari metafisika menuju dimensi psikis manusia. Agama ditarik ke dalam ruang-ruang paling intim dari manusia, mengembangkan hasrat untuk terlibat langsung dengan realitas terakhir. Pada titik ini, manusia menemukan dirinya yang merdeka, tidak berarti melepaskan diri dari belenggu dogma agama (syari`at), tapi melakukan penelisikan secara kontinu untuk menyingkap sumber paling otoritatif dari dan di dalam kesadaran dirinya.[2]
Gradualisasi dalam proses keterbentukan prilaku agama dalam kesadaran diri manusia ini mendorong pembacaan manusia atas fenomena, khususnya fenomena sosial, cenderung melahirkan pandangan beragam. Pada titik ini, Yahya Muhammed dalam buku Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîhmencoba mendedah dua kencendereungan dalam melakukan pembacaan realitas. Ia melacak metode dan struktur nalar seorang cendikiawan/budayawan(mutsaqqif) dan seorang agamawan (faqîh) yang memiliki ‘ketegangan’ tersendiri. Katakanlah, ada semacam retakan-retakan epistemologi diantara keduanya, terutama retakan yang dipicu oleh pijakan paradigmatik yang berbeda. Ketegangan ini ia geret pada konteks legal hukum ketika membaca serta memberikan koridor tegas atas prilaku manusia dalam realitas nyata melalui kacamata agama. Namun sedemikian enigmatiknya sebuah realitas, menjadikan pembacaannya selalu tidak memadai jika hanya berpijak pada pandangan literal teks agama. Ia harus dipahami menggunakan pendekatan yang juga tak biasa.
Kesadaran batin memang penanda penting bagi manusia dalam setiap laku beragama, kemudian juga iman yang menemukan pembenaran-pembenarannya secara logis. Namun harus diingat pula bahwa manusia tidak pernah sedemikian berjarak dengan realitasnya. Artinya, kehidupan sosial menjadi entitas terdekat manusia dengan kenyataan, bukan sebatas abstraksi rasional murni belaka. Realitas sendiri selalu meuncul dalam perwatakan yang tak terduga, bahkan acap menipu. Untuk itu, prilaku keberagamaan juga harus mampu direlasikan dalam pola kehidupan nyata, bukan hanya kesadaran batin diri. Sehingga, meminjam perspektif Gadamer, pernyataan religius (pemaknaan agama) tidak bisa hanya dipahami sebagai dokumen historis, tapi juga harus dipahami dengan cara bagaimana ia menunjukan pengaruh penyelamatannya.[3]
Sudah menjadi permasalahn klasik dalam tradisi legal hukum bahwa hampir semua pakar di dalamnya berusaha mendamaikan antara tuntutan teks dengan gejolak konteks yang ada. Maka, teks hukum tidak bias hanya dipahami sebagai kompilasi hukum yang ketat, baku, dan stagnan, tapi juga harus mempertimbangkan pengaruh penyelamatannya secara riil ketika diterapkan dalam menghukumi kasus tertentu. Dalam ruang-ruang legal hukum inilah Yahya Muhammed menelusuri hingga titik yang paling asali; stuktur epistemologi.
Memang, sebuah sikap ataupun perspektif tentu memuat ideologi ataupun motif tertentu. Ia juga memiliki ruang abu-abu di antara dua karakter yang silih bertegangan. Dalam hal ini, Yahya Muhammed tidak sedang membincang muatan tersebut, namum melakukan pembacaan secara lebih umum, dengan mengesampingkan tendensi ideologis atapun motif-motif di dalamnya. Maka secara umum, buku Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh sedang membincang retakan-retakan epistemologi paling tajam antara seorang faqîh yang memulai pembacaan realitas dari teks, dengan mutsaqqif yang mengambil kecenderungan berbeda; memulainya dari konteks.[4]
Pijakan dan Arah Prilaku Peradaban
Manusia, dengan segala imajinasi serta arah kehendaknya, tentu menjadi makhluk yang paling bertanggung jawab dalam mewajahkan agama; santun, jenaka, bahkan keras. Tak ayal, agama—hampir—pasti muncul dalam batas kultur dan kesadaran yang bergerak di sekelilingnya. Terjadi persenyawaan yang sangat intim antara agama yang berada di luar batas kesadaran manusia dengan perspektif manusia atas agama. Pada titik inilah nampak semacam proses dialektis ketika gagasan agama mempengaruhi sistem prilaku yang membentuk konstruk kebudayaan manusia.
Pastinya, proses mewajahkan realitas manusia harus memiliki argumen dan pijakan paradigma yang jelas. Hanya saja, hal tersebut tidak bias serta-merta didominasi ataupun dimonopoli oleh sebuah kecenderungan pespektif yang tunggal. Dalam spektrum yang paling asali, realitas selalu menawarkan ruang-ruang bagi aktifitas interpretasi tanpa batas. Realitas lebih membutuhkan suatu dasar rasional dan kontekstual daripada hanya sekedar dogma agama. Ketika dasar pembacaan realitas berhenti pada titik kesadaran dogmatik, pengetahuan justru telah digiring pada watak ideologis, kemudian tersempitkan lagi pada watak sektarian (idiyûlûjiyâ al-madzhab), bukan watak epistemologis dan kebermungkinan yang terbuka. Kenyataan semacam tadi telah menggiring pada usaha pendedahan dua kecenderungan yang mempunyai peranan penting sekaligus ‘paling dekat’ dalam kehidupan manusia: faqîh dan mutsaqqif. Namun sebelum masuk jauh dalam pendedahan mekanisme analitik maupun struktur nalar, batas abstraksi pengertian mutsaqqif yang hendak dihadirkan menjadi penting. Sehingga melakukan studi komparatif diantara keduanya bisa menemukan ruang analisa.
Jika meminjam analisa Al-Jabiri, seorang faqîh cenderung berpijak pada watak nalar eksplikatif (al-`aql al-bayâniy). Nalar eksplikasi sendiri secara sederhana bisa difahami sebagai relasi pemaknaan yang terikat dengan penanda (dalîl) teks dalam menyingkap suatu pemaknaan yang diinginkan. Penanda tersebut, yang dalam konteks Islam merujuk pada Wahyu, difungsikan sebagai pijakan dasar terkait bagaimana menguraikan sesuatu yang nampak problematis sehingga menjadi terang.[5] Pada titik ini, fungsi teks menjadi kontrol akal ketika mengabstraksi apa-apa yang bisa diindra. Keterikatan dengan teks inilah yang menjadikan analisa seorang faqîh lebih bersifat persepsi murni.[6] Yahya Muhammed sendiri, secara tersirat, tidak keluar dari pemaknaan semacam ini dalam menguraikan tipikal pemikiran seorang faqîh.
Berbeda dengan tradisi faqîh, mutsaqqif—sebagai sebuah kecenderungan diskursif—memang istilah yang terbilang baru muncul. Ia juga memiliki pengertian yang beragam. Dalam batas abstraksi terjauh, seorang mutsaqqif merupakan antitesa dari faqîh yang diwajahkan sebagai sosok terpelajar, dengan pengetahuan dan peta pemikiran yang luas. Sedangkan faqîh lebih pada sosok terdidik dengan kecenderung yang spesifik, juga metodologi ketat (model nalar bayâniy). Identitas mutsaqqif tersebut telah membentuk kepribadian yang cekatan dan lihai dalam menganalisa sekaligus pembasisan akar suatu masalah, karena ia melihat suatu permasalahan dari sudut pandang yang beragam. Ia menaruh perhatian yang cukup intens pada aspek-aspek sosial-kemasyarakatan, dengan analisa yang selalu berpijak realitas riil.[7] Sebelum melakukan studi perbandingan tersebut, Yahya Muhammed melacak dasar-dasar argumentatif terlebih dahulu, sehingga keduanya bisa dianalisa dalam satu konstruk pemikiran linear.
Jika ditelisik dari pijakan paling asali, baik faqîh ataupun mutsaqqif mempunyai porsi yang sama dan setara. Pada prinsipnya, pengetahuan manusia, seperti apapun kecenderungan yang dimilikinya, selalu berpijak pada akal dan intuisi (al-`aql wa al-wijdân). Pada titik ini, tidak jarang sebuah pengetahuan bermula tidak dari dasar-dasar rasional yang sistematis, namun disingkap melalui pembacaan-pembacaan intuitif. Maka, sikap yang dimunculkan oleh keduanya tidak bisa dijustifikasi sebagai sikap yang paling otoritatif dan manunggal terkait suatu keputusan dalam menyikapi gejolak sengkarut sosial. Karena secara intuitif, baik faqîh ataupun mutsaqqif mempunyai porsi yang sama.[8]
Adanya kesamaan porsi secara intuitif ini tentu menjadi penanda penting terkait bagaimana manusia memahami segala penciptaan. Yahya Muhammed kemudian mencontohkan bagaimana manusia memahami wujud dan ke-Esa-an Tuhan melalui aktifitas intuitif, sebagai wujud batin yang tidak memerlukan argumen rasional apapun, namun tentang iman yang dipahami secara emosional. Dalam hal ini, terjadi pembalikan kesadaran agama yang justru berpijak pada cara pandang intuitif. Ia kemudian mengutip perspektif Emile Durkheim dalam buku The Origins of Religion, bahwa pengetahuan rohani (spiritualitas) dan agama yang membentuk struktur nalar masyarakat primitif, sama seperti potret pemikiran logis masyarakat modern. Adapun perbedaan struktur rasionalitas yang muncul tidak lebih tersebab perbedaan tingkat logika, bukan terletak pada jenisnya.[9] Sikap Yahya Muhammed ini justru menjadi pembenaran tersendiri bahwa tidak semua aspek agama merupakan wilayah abstraksi rasional murni, bahkan pada titik bidik tertentu, nalar intuitif justru menjadi pijakan penting dalam memaknai penciptaan. Melalui kesadarannya, manusia menggerakan arah kehendak bebasnya menuju ruang-ruang baru.
Jika meminjam analisa Sartre, struktur kesadaran manusialah yang mempengaruhi cara bertindak, memaknai, ataupun menangkap suatu objek. Mekanisme penangkapan sebuah objek sendiri, secara umum, memiliki dua tipe; perseptif dan imajinatif. Tipe pertama (perseptif), seseorang menempatkan suatu objek sebagai entitas yang benar-benar nyata dirasakan (an act of perceiving). Ia bersinggungan langsung dengan objek tersebut secara menyeluruh, kemudian menguraikannya dengan utuh, sehingga kesadaran itu benar-benar merupakan kesadaran yang persis mengenai objeknya. Sedangkan penangkapan yang bersifat imajinatif lebih pada bagaimana menyentuh objek, namun dalam potretnya yang tidak menyeluruh. Ia juga memasukan tindakan keyakinan (an act of belief) di dalamnya, yakni dengan menempatkan objeknya dalam caranya sendiri (pemahaman sendiri).[10]
Bisa ditegaskan, kesamaan antara faqîh dan mutsaqqif terletak pada keterbatasannya dalam menguraikan fenomena yang tidak bisa dilacak menggunakan nalar demonstratif (burhâniy), sebuah fenomena yang hanya bisa disentuh oleh nalar intuitif. Agama, pada titik tertentu, titik yang tidak bisa diabstraksi secara utuh oleh rasionalitas, tentunya sebatas tentang apa yang diyakini. Iman mewujud dalam batas-batas gerak intuitif manusia. Sehingga perbedaan yang muncul dalam pola prilaku keberagamaan hanya terletak pada tigkat kesadaran suatu peradaban, bukan serta-merta dibatasi oleh nalar demonstratif. Sikap semacam inilah yang diyakini oleh Thabatabai’ dan Muhammad Baqir Shadr.[11] Juga dalam konteks semacam ini Al-Ghazali mengatakan, “manusia yang menyangka bahwa kasyf berpijak pada abstraksi dalil rasional murni justru telah membatasi rahmat Tuhan yang teramat luas”.[12] Selalu tersedia peluang dan ruang yang terbuka bagi imajinasi manusia, mengingat bukankah rasionalitas manusia sendiri merupakan salah satu bentuk pengejawantahan kosmologi purba?
Berpijak pada cara pandang semacam inilah, Yahya Muhammed memandang bahwa baik faqîh ataupun mutsaqqif mempunyai potensi dan hak yang sama dalam menganalisa sengkarut sosial, sekaligus menawarkan model hukum yang tepat untuk mengatasinya. Hanya saja, terdapat retakan-retakan epistemologi yang justru menjadi pemicu ketegangan di antara keduanya. Buku Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh membidik dua aspek yang menjadi akar ketegangan serta retakan-retakan epistemologi tadi, baik terkait mekanisme analisis ataupun struktur nalar. Ia juga mencoba mengidentifikasi sekaligus menawarkan paradigma baru hasil persenyawaan keduanya yang ia istilahkan dengan al-mutsaqqif al-dîniy.[13]
Identifikasi Tradisi Faqîh dan Mutsaqqif
Dalam bukunya tersebut, Yahya Muhammed mengambil sampel faqîh. Pertimbangannya, persinggungan seorang faqîh dengan realitas sedemikian mengakar. Kedekatan tersebut telah membentuk ruang keintiman tersendiri dalam proses pembentukan kehidupan sosial, melebihi tradisi keilmuan Islam lainnya, seperti filsafat, tashawuf, teologi, tafsir, ataupun hadits.[14] Fikih dipandang memiliki relevansi sosiologis dan aplikasi praktis berkenaan dengan norma prilaku dan tata peribadatan yang bias diukur secara lahirian. Tak heran fikih menjadi pijakan utama formulasi hukum. Eksesnya, peranan strategis seorangfaqîh dalam tradisi Islam menjadikannya cukup menonjol dibanding peranan lain.
Mengacu pada kenyataan semacam itu, watak peradaban Islam, paling tidak secara pengaruh umum dan fenomena kasat mata, boleh jadi dibentuk oleh tiga unsur dasar: penguasa, faqîh, dan masyarakat umum. Penguasa memainkan peranan dalam membentuk kecenderungan komunal dan arah prilaku suatu peradaban. Faqîh berperan dalam wilayah keilmuan yang berkaitan dengan permasalahan taklîfiyyah (tuntutan agama). Bahkan pada titik-titik tertentu, seorang faqîh sering dijadikan alat pembenaran-pembenaran kekuasaan menggunakan topeng agama, bahkan ditanamkan secara dogmatik pada masyarakat umum. Kolaborasi kedua elemen ini ‘sering kali’ membentuk ortodoksi yang justru sering mematikan kreatifitas manusia. Sehingga, masyarakat umum hanya memainkan peranan sebagai seorang ‘objek’ yang harus taat pada penguasa dan pemuka agama secara total (taklid buta).[15] Mereka tidak memerankan manusia dalam arti yang positif, kreatif, maupun progresif.
Kemunculan al-kuttâb yang terwakilkan oleh Ibn Al-Muqaffa` dan Ibn Khaldun telah menggeser lingkaran watak peradaban Islam tadi. Keduanya mengkritik tradisi fuqahâ pada sisi paling tendensiusnya. Bagi Ibn Al-Muqaffa`, pembacaan yang dilakukan para fuqahâ sering abai terhadap hakikat manusia dan prinsip-prinsip keadilan sosial. Sedangkan bagi Ibn Khaldun, analisa yang mereka tawarkan sering berbenturan dengan watak realitas yang pada dasarnya senantiasa berubah.[16] Adanya kecenderungan demikian—setidaknya—telah menghadirkan perspektif baru. Lingkaran kesadaran proses pembentukan peradaban tidak lagi dihegemoni oleh tiga otoritas, namun bergerak dari empat titik dasar: penguasa, faqîh, al-kuttâb, dan masyarakat umum. Peranan ini pula yang membuka jalan masuknya periode cendikiawan (daur al-mutsaqqif) dalam suatu peradaban. Yahya Muhammed kemudian mencoba menelisik sisi epistemologi seorang mutsaqqif yang ditengarai terjadi semacam persaingan dan gesekan-gesekan tersendiri, terutama pada beberapa aspek yang dipicu oleh perbedaan pijakan paradigmatik keduanya.
Dalam konteks legal hukum masyarakat modern, peradaban Islam telah mewariskan tradisi faqîh yang teramat melimpah. Namun munculnya gerakan pembaharuan dan kebangkitan Arab telah memunculkan gesekan-gesekan peradaban. Para tokoh yang berkecimpung dalam proyek tersebut mulai menggugat kemapanan. Pendirian sekolah-sekolah umum, universitas, juga analisa-analisa ilmiah yang berkembang di Barat mulai diwacanakan, kemudian direalisasikan secara bertahap. Mereka juga mula melakukan aktivitas penterjemahan, penyederhanaan studi gramatika, pengadopsian wacana-wacana yang berkembang di Barat, hingga melakukan pembacaan ulang terhadap turâts. Baik al-mutsaqqif al-`ilmâniy maupun al-mutsaqqif al-dîniy telah menjadikan peradaban barat sebagai ‘cermin’, namun tentunya dalam kapasitas dan kualitas yang berbeda.
Hal tadi tentu menimbulkan reaksi yang cukup tegang dari otoritas faqîh yang cenderung menjaga tradisi secara total, bahkan terkadang membabi-buta. Mesir dan Syam merupakan dua negara yang pertama kali terkena pengaruh tersebut, pengaruh yang telah memicu ketegangan antara tradisi faqîh danmutsaqqif. Pada babakan tersebut, Al-Azhar mewakiti otoritas faqîh yang lantang menyuarakan pemeliharaan tradisi secara total, dengan menolak segala bentuk wacana dari Barat.
Gerakan pembaharuan dan kebangkitan ini juga telah memunculkan beberapa pemikir sekuler, semisal; Nasif Al-Yaziji, Ahmad Faris Al-Shidyaq, Butrus Al-Bustani, Adib Ishaq, Ya`qub Sharuf, Jurji Zaidan, Syibli Syumail, Farah Anton, Jamil Sidqi al-Zahawi, Ahmad Luthfi Al-Sayid, dan lainnya. Mereka getol mewacanakan kebebasan, kemajuan, rasionalitas, serta wacana-wacana lainnya yang diadopsi dari tradisi Barat secara total. Di antara sekolah yang cukup menonjol menyuarakan gagasan orang-orang sekuler tadi adalah sekolah Butrus Al-Bustani.[17] Orientasi al-mutsaqqif al-`ilmâniy sendiri selalu berbeda satu dan lainnya, tergantung arah kecenderungan yang dikedepankannya. Yahya Muhammed setidaknya memaparkan lima kecenderungan dasar yang dipakai seorang sekuler: al-`ilmawiy (saintisme), al-mîtâfîziyâiy (metafisik), al-dzarâi`iy (pragmatisme), al-`aqlâniy (rationalisme), al-lâ `aqliy (irasionalisme).
Pertama, saintisme meyakini bahwa ilmu adalah satu-satunya metode untuk memperoleh pengetahuan. Dalam konteks sosial, kebangkitan peradaban tidak bisa dilakukan menggunakan jalan agama, namun harus melalui pengetahuan (science). Ada semacam perspektif bahwa agama hanyalah periode awal cara berfikir manusia yang cenderung didominasi oleh mitologi dan takhayul. Semenjak munculnya peradaban Yunani, filsafat kemudian mengambil alih fungsi agama tersebut sebagai kerangka baru cara berfikir manusia, dengan mendasarkan pada metafisika. Pada tahapan modern, peradaban harus berpijak pada pengetahuan, bukan lagi metafisika ataupun metafisika.
Kedua, metafisika bisa diartikan sebagai studi tentang realitas terakhir, realitas yang tidak terikat dengan ruang-waktu. Artinya, realitas sebagaimana terbentuk dalam dirinya sendiri, terpisah dari tampakan-tampakan yang bersifat ilusif yang terbentuk dalam persepsi manusia. Metafisika sama sekali belum berhubungan rengan fenomena partikular apapun, namun menggiringnya pada kajian secara menyeluruh, koheren, dan konsisten tentang realitas sebagai suatu keseluruhan yang utuh.
Ketiga, pragmatisme meyakini bahwa kebenaran adalah apa yang bernilai praktis dalam pengalaman hidup manusia. Ia harus dikaitkan dengan konsekuensi-konsekuensi riil, sebagai pengejawantahan dari praktek dan aksi yang bersifat tentatif dan asimtotis. Pragmatisme lebih mengedepankan kemaslahatan sebagai satu-satunya pertimbangan sosial, sekaligus mengesampingkan realitas diluar manusia. Bahkan pada titik tertentu, menutup mata pada nilai-nilai etik.
Keempat, rasionalisme pada dasarnya merupakan pendekatan filosofis yang menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, semacam abstraksi murni ataupun sistem deduktif yang terlepas dari pengamatan indrawi. Pemuja rasionalisme memposisikan akal budi sebagai satu-satunya cara menyingkap hakikat, melakukan kritik, hingga memutuskan model yang paling tepat dalam proyek kebangkitan peradaban.
Kelima, irasionalisme secara epistemologis menekankan bahwa realitas yang bisa ditangkap oleh pencerapan akal budi sejatinya bersifat irasional; yaitu sejauh kesadaran diri dan model berfikir manusia mencitrakannya. Dengan demikian, realitas tidak pernah bisa ditangkap secara utuh oleh bentuk kegiatan manusia yang bersifat konseptual. Gagasan irasionalisme sangat kental dengan prinsip-prinsip eksistensialisme (al-wujûdiyyah).
Kecenderungan-kecenderungan yang dibawa oleh al-mutsaqqif al-`ilmâniy tadi telah mewacanakan ketegangan dan persaingan dengan tradisi faqîh. Namun bagi al-mutsaqqif al-dîniy, semua itu sama sekali tidak serta merta harus dipertegangkan. Sebagai contoh kasus, pegiat saintisme cenderung memandang bahwa gagasan agama dengan ilmu pengetahuan merupakan dua entitas yang saling berlawanan. Yahya Muhammed kemudian mengutip perkataan Ibn Hanbal (salah satu otoritas yang mewakili tradisi faqîh) yang meyakini bahwa manusia diperintahkan untuk mengambil pengetahuan dari ‘atas’, atau penjelasan teks Wahyu. Padahal dalam perspektif al-mutsaqqif al-dîniy, hal tersebut bukan didasari oleh adanya perbedaan hakikat, namun lebih pada metode penyingkapan. Artinya, cara menyingkap suatu fenomena dan rahasia-rahasia penciptaan, saintis lebih mendasarkan pada metode penelusuran secara ilmiah, sedangkang faqîh mengambil jalan penjelasan teks Wahyu. Begitu juga terkait perspektif bahwa akal budi, sedari titik paling asali, bertentangan dengan agama yang dicitrakan sebagai bentuk dari irasionalitas manusia. Hal ini lagi-lagi dipicu oleh cara menyingkap, bukan hakikat perbedaan yang perlu dipertentangkan.[18] Tradisi yang muncul dari kecenderungan sekuleristik semacam ini hendak menutup pintu bagi realitas diluar kesadaran manusia, seolah tidak ada peluang bagi agama dalam peradaban manusia. Agama hanyalah sisa-sisa rasionalitas purba.
Pada titik ini, keduanya justru harus saling saling melengkapi. Kemunculan al-mutsaqqif al-dîniy tentu menjadi penanda penting dalam proses mendamaikan keduanya. Dengan berpijak pada agama, ia memerankan fungsi sebagai sebagai kontrol sosial agar tidak ‘liar’ dan memiliki kejelasan arah. Sedangkan prinsip-prinsip yang mereka adopsi dari tradisi Barat menjadi kontrol—pemaknaan—agama supaya dinamis, bukan statis. Sehingga agama, Islam khususnya, tidak serta-merta bersifat dogma teologis belaka, namun bergerak menuju fungsi tenaga kebudayaan, memberi arti kreatifitas sekaligus mendorong manusia untuk menyingkap rahasia-rahasia di balik segala penciptaan.
Kecenderungan al-mutsaqqif al-dîniy ini telah memunculkan pemikir-pemikir seperti; Rifa`ah Thahthawi, `Ali Mubarak, Khairuddin Al-Tunisiy, Jamaluddin Al-Afghani, Abdurrahman Kawakibiy, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dan lainnya. Mereka mencoba mendamaikan ketegangan intelektual tadi. Rifa`ah Thahthawi sendiri, sebagai pemikir yang muncul dari tradisi Al-Azhar, merupakan pelopor pemikir kontemporer yang berhasil mendamaikan tradisi Arab dengan tradisi Barat, merelasikan tradisi Al-Azhar dengan tradisi Barat secara proporsional.
Yahya Muhammed sendiri mencoba memunculkan identitas semacam ini. Baginya, harus dilakukan pembacaan ulang terhadap agama, perluasan sumber pengetahuan, pemunculan kembali semangat agama yang mengedepankan kemaslahatan manusia, semangat hak asasi manusia dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, fleksibilitas, dan lain sebagainya, tanpa mencerabut dari prinsip ataupun nilai dasar agama. Dengan demikian, agama tidak berhenti pada penjelasan Kitâbullah al-tadwîniy (teks Wahyu), tapi mempertimbangkan juga Kitâbullah al-takwîniy (penciptaan), sebagai kesatuan integral dari perspektif peradaban.
Jika melakukan pembacaan inter-tekstual, proyek Yahya Muhammed ini sendiri memiliki semangat yang sama dengan Muhammad Iqbal dalam bukuReconstruction of Islamic Thought ketika membincang masalah ruh peradaban,[19] ataupun Kuntowidjoyo dalam buku Islam Sebagai Ilmu.[20] Namun apakah memang demikian adanya? Hal tersebut tentunya memerlukan penjelasan lain, sebuah penjelasan yang bersifat epistemologis. Sehingga setiap gagasan yang diwacanakannya tadi tidak berhenti pada titik identifikasi tabiat dan model analisa saja, tapi masuk jauh ke dalam struktur nalar. Yahya Muhammed sendiri menjelaskan hal tersebut ketika membincang masalah retakan-retakan epistemologi yang bersifat struktural (al-qathî`ah al-binyawiyyah).
Kerangka Struktur Nalar Faqîh dan Mutsaqqif
Bagi penulis, Abdul Majid Shagir termasuk sosok pemikir yang berhasil memilah terlebih dahulu antara kuasa ideologis/politis dengan kuasa ilmu (epistemologis) ketika menganalisa perkembangan pengetahuan dalam buku Al-Ma`rifah wa Al-Sulthah. Kehati-hatian atau malah bisa jadi ‘sikap apologetis’ coba dihadirkan Yahya Muhammed ketika membincang al-qathî`ah al-binyawiyyah, dengan membatasi analisanya pada aspek-aspek epistemologi dari faqîh dan mutsaqqif, sekaligus menutup mata pada motif-motif politis ataupun ideologis. Sehingga apa yang sedang dianalisanya bukan sedang melakukan pengkotak-kotakan ataupun pembacaan fragmentatif, namun melacak keduanya dari sisi paling tendensius, kemudian mencoba mencari perspektif alternatif. Pertimbangannya, setiap gagasan yang muncul, tentunya memiliki ‘titik radikal’, ego, hingga motif tertentu. Titik inilah yang sering memunculkan apa yang disebut ‘klaim’. Maka, baik faqîh maupun mutsaqqif—pada titik paling radikal dan statis—memiliki standar-standar baku yang cenderung bermain dalam ruang-ruang tertutup. Hal ini diasumsikan menjadi pemicu ketegangan-ketegangan diantara keduanya.
Untuk melacak ruang ketegangan tersebut, Yahya Muhammed tidak menggunakan pendefinisian ataupun identifikasi menggunakan lawan kata (antonim/ta`rîf al-asyyâ bi adldâdihâ), mengingat perbedaan karakter nalar faqîh dan nalar mutsaqqif tidak terbentuk secara sempurna dan mutlak. Pada momen tertentu, seorang mutsaqqif kadang muncul dalam perwatakan faqîh, begitu juga sebaliknya.[21] Dengan demikian, ia menelisik menggunakan pendekatan kualitatif (al-manhaj al-kaifiy), bukan kuantitatif (al-manhaj al-kammiy).[22] Pilihan ini didasarkan pada kenyataan bahwa formulasi nalar faqîhdibentuk oleh tradisi keilmuan yang cukup lama dan mengakar kuat, terutama keterkaitannya dengan epistemologi bayâniy, dengan teks sebagai acuan pertama dan utamanya.
Teks, yang dalam tradisi faqîh tertuju pada Al-Qur’an dan Sunnah, menjadi unsur terpenting dalam proses membangun suatu peradaban. Bahkan menjadi adagium tersendiri; “Seandainya tidak ada teks, tak pernah akan ada faqîh”. Fakta-fakta semacam ini tentu akan memudahkan identifikasi tradisi fuqahâdaripada tradisi mutsaqqif yang mengambil jalan berbeda. Ia lebih terikat dengan fenomena hingga titik yang paling partikular. Ia lebih banyak terlibat langsung dengan penanda objek riil (dalâlah al-maudlû` al-khârijiy) daripada penanda makna teks (dalâlah al-nash). Tak ayal, identifikasi atas tradisi keilmuan yang ditawarkan oleh mutsaqqif akan sangat beragam, sebanyak ragam fenomena yang berhasil mereka kaji. Walaupun demikian, pada titik tertentu, dengan menggunakan pendekatan kualitatif ini tentunya, Yahya Muhammed melihat ada kecenderungan yang identik (persis) di dalam tradisi mutsaqqif itu sendiri. Dengan demikian studi perbandingan antara nalar faqîh maupun mutsaqqif menjadi mungkin.[23]
Dalam mengurai struktur nalar faqîh maupun mutsaqqif, Yahya Muhammed membidik dari tiga aspek dasar. Pertama, sumber asasi pengetahuan (al-mashdar al-ma`rifah) yang membincang masalah akar kemunculan setiap pengetahuan. Dalam buku ini ia petakan kedalam tiga macam: teks, konteks, dan akal.[24]Kedua, mekanisme pengetahuan (âliyat al-ma`rifah) yang membincang metode formulasi dan pembasisan suatu pengetahuan, semacam cara menyingkap dan mengaplikasikannya. Ketiga, hasil serta orientasi pengetahuan (muwalladât wa muwajjahât al-ma`rifah).[25]
Harus disadari bahwa teks Wahyu dan konteks (penciptaan) merupakan pengejawantahan dari Kitâbullah al-tadwîniy dan Kitâbullah al-takwîniy. Keduanya tentu mempunyai porsi yang sama sebagai sumber pengetahuan. Walaupun demikian, jika ditinjau dari segi al-mashdar al-ma`rifah, faqîh maupun mutsaqqifberangkat dari pijakan paradigma yang berbeda. Terjadi semacam stratifikasi yang tidak bisa didamaikan oleh masing-masing kecenderungan. Seorang faqîhlebih memprioritaskan Kitâbullah al-tadwîniy, sedangkan mutsaqqif justru mempunyai totalitas terkait Kitâbullah al-takwîniy.
Secara umum, struktur kesadaran nalar faqîh telah mendudukan teks Wahyu pada posisi teratas, tanpa melibatkan suber pengetahuan lainnya. Pada titik ini, realitas seolah-olah menghilang dari kesadarannya (al-jânib al-la syu`uriy). Dengan demikian, teks Wahyu telah diposisikan sebagai sumber formulasi pengetahuan (al-jânib al-syu`ûriy).[26] Keterikatan seorang faqîh dengan realitas hanya terjadi pada momen-momen tertentu, semisal adanya kebutuhan mendesak ataupun dalam kondisi darurat. Realitas menjadi sebatas nalar tidak sadar dari seorang faqîh. Ia tidak memiliki sensitifitas konteks yang cukup mumpuni (kurang penting). Jikapun konteks dijadikan pertimbangan, itu hanya dijadikan sumber sekunder. Hal ini bisa dilajak dari bagaimana seorang faqîhmenganalisa setiap fenomena yang tidak ditemukan dalam teks, dengan langsung menggunakan pendekatan analogi (qiyâs), tanpa ada pertimbangan realitas ataupun gejolak semacam apa yang dihadapi oleh masyarakat. Struktur nalar faqîh cenderung bermula dari teks, dan kembali ke teks.
Berbeda dengan kecenderungan mutsaqqif al-dîniy yang justru menjadikan konteks sebagai pijakan awal formulasi pengetahuan. Artinya, teks lebih diposisikan sebagai sumber pengetahuan yang memerankan fungsinya sebagai kontrol dan nilai esensial dari suatu ajaran, sehingga orientasinya tidak ‘liar’ dan memiliki kejelasan arah. Fungsi formulasi hingga titik paling partikular justru berangkat dari konteks. Mutsaqqif tidak memahami teks secara literal, namun masuk pada kandungan universalnya, sebagai bentuk pengejawantahan dari mashâlih al-mujtama` (kemaslahatan sosial).[27] Sehingga watak hukum tidak hanya tertuju pada bentuk literalnya saja, namun juga bergerak tertuju pada isyarat teksnya (isyârat al-nash), bahkan menjadi pijakan utama.[28]
Pada titik lain, ketegangan keduanya juga terjadi pada tataran âliyat al-ma`rifah. Mekanisme pemunculan pengetahuan ataupun analisa-analisa sosial yang berpijak pada konteks dan penalaran atasnya, bagi seorang faqîh, sangat rentan dengan hawa nafsu manusia. Akal juga sama sekali tidak bisa dijadikan pijakan dalam untuk menemukan hakikat kemaslahatan manusia, mengingat pada moment tertentu hanya akan menjerumuskan pada penghapusan nilai-nilai syari`at. Untuk itu, seorang faqîh memijakan analisanya pada sumber paling otoritatif dan ‘terbebas’ dari hawa nafsu; yaitu teks Wahyu. Tak ayal, realitas bagi seorang faqîh justru menjadi objek hukum, bukan subjek yang turut menawarkan perspektif bagi manusia.[29] Sedangkan mekanisme pemunculan pengetahuan seorang mutsaqqif lebih dibatasi oleh pergerakan konteks sebagai pijakan asali formulasi nalar.[30] Maka yang menjadi penting untuk diidentifikasi di sini terkait cara berfikir esensialis (al-tafkîr al-mâhuaiy) dengan kontekstualis (al-waqâi`iy).
Sederhananya, cara berfikir esensialis mengacu pada aspek-aspek permanen dan universal. Sedangkan cara berfikir kontekstualis lebih pada aspek yang berubah-ubah, parsial, ataupun fenomenal.[31] Sebagai permisalan, teks Wahyu menjelaskan secara gamblang untuk memerangi orang-orang musyrik, kecuali perempuan dan anak-anak. Dari wacana tersebut bisa ditarik prinsip-prinsip universal menggunakan cara berfikir esensialis bahwa, kapan-kali seorang muslim menemukan laki-laki musyrik yang sudah dewasa (al-bhulûgh), maka ia wajib memeranginya. Kewajiban tersebut sama sekali tidak mempertimbangan konteks apapun. Di sisi lain, pemunculan wacana menggunakan cara berfikir kontekstualis akan menjadi sangat berbeda. Ada pertimbangan-pertimbangan sosiologis yang juga dilibatkan ketika melakukan pembacaan teks Wahyu. Artinya, memang benar memerangi orang musyrik itu merupakan keharusan, namun manusia juga dituntut untuk mengedepankan nilai-nilai toleransi maupun humanisasi.[32] Sehingga setiap individu perlu memiliki kemampuan abstraksi dan pertimbangan matang agar sehingga setiap peranan dalam setiap tatanan sosial, secara tidak langsung, akan menemukan cara bagaimana membatasi diri sekaligus proporsionalisasi kandungan wacana.[33]
Sedangkan pada tataran muwalladât wa muwajjahât al-ma`rifah, struktur nalar cenderung bersifat harfiyyah (literal). Sehingga sejauh apapun penalaran yang digunakan, ia akan dibatasi oleh proyeksi teks dalam membaca fenomena hingga titik paling partikular. Tak ayal, pengetahuan yang dimunculkannya cenderung bersifat parsial (juziyyah) dan fragmentatif (tajzîiyyah), tanpa mampu menyentuh unsur-unsur universal dari teks. Sehingga bisa ditegaskan bahwa struktur nalar faqîh bersifat bayâniy yang berusaha menjelaskan maksud teks, sekaligus mengaplikasikannya dalam realitas nyata, tanpa perduli kesadaran, arah prilaku, maupun arah kehendak dari suatu peradaban; bahwa pertimbangan atau ungkapan apapun harus dilihat dari keumumannya, tidak dilihat dari kekhususan sebab-sebab yang mendasarinya.[34]
Kecenderungan al-mutsaqqif al-dîniy justru menjadikan teks Wahyu, konteks, dan akal sebagai unsur pembentuk suatu peradaban, saling mengisi dan memadatkan rongga-rongga menganga diantara ketiganya. Teks Wahyu tidak dipahami secara parsial dan fragmentatif, namun dibidik dari gagasan-gagasan universalnya. Akal, selain sebagai perangkat untuk menganalisa, difungsikan sebagai penyingkap setiap keragaman fenomena penciptaan. Sedangkan keragaman konteks menjadi dan fenomena penciptaan menjadi landasan penyingkapan pengetahuan (medan eksperimen) hingga titik yang paling partikular.[35] Dengan demikian, agama di hadapan mutsaqqif al-dîniy mempunyai arti kreatifitas, bukan reaktif, tapi pro-aktif.
Epilog
Setidaknya, buku ini mengajarkan kita untuk tidak menyikapi fenomena apapun secara emosional, sentimentil, dan tergesa-gesa, namun mampu dihadirkan secara analitis. Sebuah analisa atas kecenderungan tertentu, tidak bisa serta-merta dibaca menggunakan pembenaran-pembenaran atas arogansi kultural, egoisme sektarian, sentimen ideologi, hingga narsisme identitas. Memang, setiap gagasan yang muncul, kalau mau jujur, tentunya memiliki ‘titik radikal’, ego, hingga motif tertentu. Titik inilah yang sering memunculkan apa yang disebut ‘klaim’. Maka, istilah-istilah yang provokatif, justifikatif dan cenderung menyudutkan beberapa kelompok sepantasnya dihindari. Dalam hal inilah, Yahya Muhammed berhasil mendedah setiap kecenderungan yang muncul secara ilmiah. Lain pada itu, tawaran alternatif berupa gagasan al-mutsaqif al-dîniy cukup menarik unuk menjadi weltanschauung bagi manusia; yaitu dengan membangkitkan sekaligus mendorong watak saling melengkapi dari tiap paradigma, bukan saling menafikan.
_________________________________
[1] Bedah buku Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh, karya Yahya Muhammed
[2] Dalam bukunya, Iqbal bukan sedang melakukan pengkotakan prilaku keberagamaan, namun mencoba mendamaikan antara iman, rasionalitas dan penyingkapan. Sehingga agama tidak menjadi statis, tidak pula liar. Lihat: Muhammad Iqbal, Tajdîd Al-Tafkîr Al-Dîniy, diterjemahkan dari judul aslinya: The Reconstructions of Religious Thought in Islam oleh Abbas Mahmud, Dar Al-Hidayah, Kairo, cet. II, 2000, h. 214
[3] Hans-George Gadamer, Kebenaran dan Metode, diterjemahkan dari judul aslinya: Truth and Method oleh Ahmad Sahidah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. II, 2010, h. 371
[4] Harus ada ketegasan terlebih dahulu di sini bahwa kecenderungan seorang faqîh yang memulai analisanya dari teks, bukan berarti mereka abai terhadap konteks yang ada. Namun dipahami sebagai sisi diskursif yang dipahami secara sadar (al-jânib al-syu`ûriy). Sedangkan konteks cenderung menjadi sisi tak sadar (al-jânib al-lâ-syu`ûriy). Sedangkan seorang mutsaqqif justru mengambil kecenderungan berbeda.
[5] Dalam pemaknaan Al-Syafi`i, bayân sendiri merupakan isim jâmi` (kata plural/kata benda lebih dari dua item) yang menunjukan substansi pemaknaan secara universal (mujtami`ah al-ushûl), juga menyimpan cabang pemaknaan yang kompleks (mutasya`ibah al-furû`). Secara umum, metode ini digunakan untuk menyingkap relasi kata dan makna yang digali dari petanda-petanda dalam teks. Lantas dalam konteks Ushul Fikih, pendekatan bayân ini digunakan Al-Syafi`i yang terangkum ke dalam empat perwatakan: Pertama, sebentuk pemaparan hukum yang hadir secara tegas dalam teks Al-Qur`an, tanpa memerlukan penjelasan lanjut (teks eksplisit). Ketika perwajahannya seperti ini, maka konsekuensi hukum berhenti pada tataran literal (dzâhir). Kedua,sebentuk pemaparan tegas teks Al-Qur`an, namun memerlukan penjelasan lanjutan dalam menyempurnakan pemaknaannya. Ketiga, sebentuk pemaparan hukum yang dimunculkan dari pemaknaan umum teks Al-Qur`an (mujmalah), lantas perinciannya dipaparkan Nabi Saw.. Keempat, sebentuk pemaparan hukum yang hanya dijelaskan Sunnah. Kelima, ijtihad (dalam pemaknaan Imam Syafi`i yang merujuk pada model qiyâs) dengan menggali langsung pada Al-Qur`an dan Sunnah. Selengkapnya lihat: Muhammad ibn Idris Al-Syafi`i, Al-Risâlah, diulas dan dikomentari oleh Abd Al-Fath Kabbarah, Dar al-Nafais, Beirut, cet. I, 1999, h. 35-38
[6] Mohammad Abied Al-Jabiri, Bunnyah Al-Aql Al-Arabiy, Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah, Beirut, cet. I, 2007, h. 13
[7] Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh, Al-Intisyâr Al-`Arabiy, Libanon, cet. I, tt, h. 37-39
[8] Ibid., h. 15
[9] Ibid., h. 16-17
[10] Sayyidati Muniroh, Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre, Kanisius, Yogyakarta, cet. I, 2011, h. 153
[11] Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh, op. cit., h. 18-19
[12] Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Munkidz min Al-Dlalâl, Al-Hikmah, Damaskus, cet. I, 1994, h. 45. Secara umum, al-kasyf merupakan proses penyingkapan yang berpijak pada al-`aql al-`irfâniy (nalar intuitif)
[13] Secara umum, kecenderungan mutsaqqif yang memulai pembacaan fenomena sosial dari konteks ini terpetakan ke dalam dua identitas dasar: al-mutsaqqif al-dîniy yang masih mengikatkan diri dengan nilai-nilai agama, dan al-mutsaqqif al-`ilmâniy (sekuler) yang justru tidak terikat dengan nafas agama apapun. Identitas mutsaqqif terakhir inilah yang sering bersitegang dengan kecenderungan seorang faqîh secara frontal. Katakanlah sekuler yang berpijak pada totalitas konteks, tanpa mempertimbangkan teks, menggiringnya pada perspektif liberalisasi manusia yang paling radikal. Sedangkan faqîh yangkeukeuh dengan pijakan teksnya yang justru mematikan dialektika manusia itu sendiri. Lihat: Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh,op. cit., h. 39
[14] Bagi Yahya Muhammed, tradisi filsafat, tashawuf, teologi, tafsir, ataupun hadits sama sekali tidak bersinggungan secara langsung dengan struktur sosial. Pertimbangannya, tradisi filsafat hanya bisa dicerap setiap personal yang memiliki daya pikir yang tinggi, melewati batas-batas rasionalitas masyarakat awam. Tradisi tashawuf, pada titik tertentu, cenderung memisahkan diri realitas. Tradisi teologi lebih pada abstraksi murni yang jauh dari sengkarut sosial. Serta tradisi tafsir dan hadits cenderung berdialektida dalam tataran teks an sich, menjauh dari pengejawantahan arah kehendak manusia. Lihat: Ibid., h. 40
[15] Jika mengikuti bangunan logika Yahya Muhammed yang mengutip Al-Amidiy dan Al-Syaukaniy, maksud taklid di sini sebagai keyakinan atau kepercayaan atas suatu paham (pendapat) ahli hukum tanpa mengetahui dasar atau alasannya. Sehingga faqîh yang dimaksud oleh Yahya Muhammed dibatasi ketika otoritas yang dimilikinya mengalami semacam formalisasi yang menimbulkan ortodoksi prilaku beragama yang cenderung hegemonial (harakah al-taqlîd wa al-jumûd al-madzhabiy). Lihat: Yahya Muhammed, Al-Ijtihâd wa Al-Taqlîd wa Al-Itibâ` wa Al-Nadhar, Al-Intisyâr Al-`Arabiy, Libanon, cet. I, 2000, h. 91
[16] Ibid., h. 41
[17] Ibid., h. 44-45
[18] Selengkapnya lihat: Ibid., h. 50-59. Lihat juga: Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cet IV, 2005, h. 371, 624, 877, 929, dan 966
[19] “Muhammad saw. telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi. Demi Allah aku bersumpah, seadnainya aku telah mencapai tempat itu, aku tidak akan kembali lagi”. Iqbal menukil pernyataan ini dari Abdul Quddus (seorang sufi dari Ganggah). Bagi dia, satu kalimat ini mengandung perspektif sekaligus konsekuensi yang sangat tajam. Ada semacam perbedaan psikologis antara kesadaran profetik/kenabian (prophetic consciousness) dengan kesadaran mistik(mystic consciousness). Manusia yang menapaki lorong-lorong mistisisme pastilah enggan kembali lagi dari suasana syahdu, ketentraman jiwa yang ia peroleh dari ‘pengalaman tunggal’ (unitary experience) itu. Tapi kembalinya seorang nabi mengandung nilai lebih bagi tatanan sosial dan kebudayaan manusia. Ia menyisipkan diri dalam ruang-waktu untuk menjaga laku sejarah manusia, sekaligus menciptakan satu dunia ideal yang baru. Kembalinya nabi ke bumi selalu memberi arti kreatif. Semangat kreatifitas inilah yang hendak diwacanakan oleh Iqbal, sehingga agama ia citrakan sebagai kemungkinan yang terbuka, bukan hanya tentang ‘langit, namun juga ‘bumi’. Lihat: Tajdîd Al-Tafkîr Al-Dîniy, op., cit, h. 147-148
[20] Menurut Kuntowijoyo, selama ini ada dua model pembacaan utama terkait bagaimana mencari pembenaran-pembenaran prilaku manusia dalam teks Wahyu, yaitu Dekodifikasi (penjabaran) dan Islamisasi. Kedua model ini cenderung berusaha mengembalikan segala fenomena kepada teks. Dekodifikasi sendiri merupakan usaha menjaga Islam tetap pada asasnya. Hal ini dilakukan supaya ilmu agama tetap konsisten, tidak tercerabut dari akarnya. Al-Qur’an dan Sunnah kemudian dijabarkan (dekodifikasi) ke dalam ilmu-ilmu agama, seperti tafsir, tashawuf, hingga fikih. Dengan kata lain, hadir semacam pembacaan sebuah [T]eks (Al-Qur’an dan Sunnah) dijabarkan ke dalam [t]eks (tafsir, tashawuf hingga fikih). Sedangkan Islamisasi merupakan model pembacaan yang berusaha mengembalikan pengetahuan pada nilai-nilai teologis (tauhid), sebagai potret kesatuan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan sejarah. Artinya terjadi semacam gerakan pembacaan yang dimulai dari konteks kepada teks, dengan mengembalikan ilmu pengetahuan pada pusatnya, tauhid. Gerakan Islamisasi pertama kali dimunculkan oleh Ismail Raji Al-Faruqi pada tahun 1980-an. Tapi sebelumnya sudah dicetuskan oleh Naquib Al-Attas dari Malaysia. Kuntowijoyo sendiri menawarkan model pembacaan Demistifikasi, sebagai upaya menghubungkan kembali jarak yang terbentuk akibat ketegangan teks dan konteks, sehingga ada relasi yang sangat intim antara keduanya. Keterangan lebih lengkap lihat: Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika, Tiara Wacana, Yogyakarta, cet. II, 2006, h. 5-10
[21] Yahya Muhammed mencontohkan bagaimana sosok Muhammad Abduh, di mata Tayyeb Tizini yang memiliki kecenderungan Marxis itu, dicitrakan sebagai sosok ortodoks. Padahal di mata lainnya, ia justru dipandang sebagai tokoh liberal. Lihat: Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh, op. cit., h. 48
[22] Kualitas adalah ketertentuan objek, dengan mendudukan objek kajian sebagai objek itu sendiri, bukan objek lain, juga berbeda dengan objek lainnya. Pendekatan kualitatif terikat kepada objek sebagai keseluruhan. Pendekatan kualitatif lebih beroriantasi pada gejala-gejala yang bersifat alamiah dari suatu objek, baik berhubungan dengan sifat, atribut, ataupun karakteristik suatu objek. Yahya Muhammed sendiri, pada tahapan pertama, melakukan abstraksi terkait setiap kondisi riil suatu tatanan sosial beserta elemen-elemen yang mempengaruhinya. Setelah itu dilakukan analisa mendalam untuk mengidentifikasi semua unsur pembentuk tadi. Selengkapnya lihat: Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh, op. cit., h. 89-90. Lihat juga: Lorens Bagus, Kamus Filsafat, op., cit, h. 505
[23] Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh, op. cit., h. 94-95
[24] Identifikasi ketiga unsur ini ia jelaskan lebih jauh dalam buku Jadaliah Al-Khithâb wa Al-Wâqi`. Yahya Muhammed menjelaskan bahwa teks Wahyu, meskipun dalam dogma Islam diposisikan sebagai wicara Tuhan yang berbeda dengan wicara manusia, tapi bagaimanapun juga kenyataannya menggunakan bahasa yang digunakan manusia yang notabene sangat dipengaruhi oleh pemaknaan-pemaknaan `urfiyyah. Jika merujuk pada pemetaan yang dilakukan Al-Razi dalam buku Al-Mahshûl fî ‘Ilm Ushûl Al-Fiqh, sikap Yahya Muhammed ini mempunyai kecenderungan yang sama dengan perspektif bahwa makna kata bisa hadir dalam watak yang determinan (yaqîniyyah) tidak bisa dengan sendirinya, tapi selalu melalui pemaknaan-pemaknaan yang tersepakati bersama secara turun-temurun (tawâtur) dan persaksian terhadap kontes (musyâhadah), ataupun melalui simbol-simbol yang bisa diindra terlebih dahulu. Sehingga upaya pemunculan makna selalu didasarkan pada bagaimana manusia melakukan pencerapan fenomena kesehariannya, kemudian dibahasakan (ishthilâhiy). Lain pada itu, kenyaraan kehidupan sosial menjadi entitas terdekat manusia dengan kenyataan. Ia adalah realitas paling nyata dari kesadaran manusia. Sehingga, setiap aspek manusia selalu dibatasi oleh realitasnnya tersebut, baik pola pikir, intuisi maupun kesadarannya. Sedangkal akal memiliki kemampuan abstraksi, baik pada tataran abstaksi akal budi murni, realitas, maupun metafisik. Selengkapnya lihat: Yahya Muhammed, Jadaliah Al-Khithâb wa Al-Wâqi`, Al-Intisyâr Al-`Arabiy, Libanon, cet. I, 2002, h. 15, 25 dan 30. Bandingkan dengan: Fakhruddin Al-Razi, Al-Mahshûl fî ‘Ilm Ushûl Al-Fiqh, Dar Al-Salam, Kairo, cet. I, 2011, vol. I, h. 138-139
[25] Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh, op. cit., h. 97
[26] Padahal, kenyataan krusial bahwa teks Wahyu, baik Al-Qur’an maupun Hadits, tidak bisa meng-cover ragam fenomena keseharian manusia hingga bentuknya yang paling partikular dan unik sesuai dengan kesadaran masanya. Hal ini bahkan jauh hari telah ditegaskan ulama semisal Ibn Miskawaih dalam Al-Hawâmil wa Al-Syawâmil hingga Al-Ghazali dalam Fadlâih Al-Bâthiniyyah. Namun jangan dipahami bahwa keterbatasan teks Wahyu ini semerta menciutkan atau bahkan menghilangkan sifat dasarnya yang sakral itu. Karena jika kita pinjam analisa filsafat linguistika, keterbatasan bahasa dalam mengartikulasikan ragam fenomena manusia mempertimbangkan pengalaman nyata selalu lebih luas, lebih dalam dan lebih rumit dari sekedar apa yang terbahasakan. Tak ayal, fenomena yang terbahasakan pada dasarnya sedang mengalami semacam penciutan pengalaman. Bahasa sepenuhnya kesulitan memotret keragaman itu dalam bentuk yang paling utuh, atau bahkan memang tidak bisa!
[27] Selengkapnya bisa di lihat: Ibid., h. 101-110
[28] Keberhasilan Al-Syatibiy dalam memasukan unsur etik dalam formulasi nalar fikih, sehingga teks tidak dipahami sebatas bentuk literalnya saja, namun juga mempertimbangkan kandungan isyarat di dalamnya ini berhasil dipetakan oleh Taha Abdurrahman dalam buku Tajdîd Al-Manhaj fî Taqwîm Al-Turâts
[29] Dalam perspektif Izzuddin ibn `Abd Al-Salam, ketika kemaslahatan manusia bersifat duniawi, akal mempunyai porsi yang cukup krusial, bahkan menjadikan tradisi, penelitian, hingga asumsi-asumsi sebagai pijakannya. Selengkapnya lihat: Ibid., h. 114-115. Bandingkan dengan Izzuddin ibn `Abd Al-Salam, Al-Qawâ`id Al-Kubrâ; Qawâid Al-Ahkâm fî Ishlâh Al-Anâm, Dal Al-Qalam, Damaskus, vol. I, h. 13
[30] Ibid., h. 117
[31] Yahya Muhammed, Jadaliah Al-Khithâb wa Al-Wâqi`, op. cit., h. 51
[32] Ibid., h. 53-54
[33] Bagi Yahya Muhammed, pertentangan wacana yang secara kasat mata muncul dari teks Wahyu bukan menjadi permasalahan mendasar, mengingat nilai-nilai esensial yang silih bertentangan tadi memungkinkan terjadi. Sehingga yang perlu mendapat perhatian bukan pada pertentangannya, namun kesiapan sosial (konteks). Karena hal tersebuj pada dasarnya dipicu oleh konteks yang beragam dan senantiasa berubah. Maka sejatinya setiap peranan harus memiliki kemampuan abstraksi dan pertimbangan. Ibid., h. 60
[34] Yahya Muhammed, Al-Qathî`ah baina Al-Mutsaqqif wa Al-Faqîh, op. cit., h. 124-125
[35] Selengkapnya lihat: Ibid., h. 127, 132, dan 133
Post a Comment