fahmy farid p.

Bagiku, dunia –sudah- terlalu bising dengan irama distorsi yang berjela-jela. Kehidupan sosial yang –seolah- nampak tenang, terlampau absurd untuk tidak dibahasakan ‘angkuh’. Keangkuhan ini teramat kasat mata, pun hadir secara rutin, lebih menggelikan lagi, bangga! Ya, dunia memang tidak –lagi- se-polos yang kita duga, tapi potret ambisi liar sang pandita, membentuk ruang-ruang ekslusif, padahal ‘hanya’ untuk menegaskan ke-aku-an, tidak lebih. Pun akhirnya, banyak jelata terperangah, lalu murung, durja atas apa yang terserai masa. Dunia telah beranjak tua dan bergerak tanpa pola yang pasti. Mungkin ini bukanlah kesadaran baru bagiku, bukan pula kesadaran yang sulit dimengerti. Tapi kiranya, kini ia hadir ‘lebih terang’ dalam belantara, menghuni pikiran seperti sebuah mimpi buruk.


Bagiku, sosial tidaklah hadir secara ‘lugu’. Ia senantiasa berpianak dualisme, wajah ‘iblis’ dan ‘malaikat’, sebagai sebentuk panggung teater, drama kehidupan, hadir tanpa tapal batas identitas. Walaupun sejatinya sosial di-desain sedemikian ideal oleh anak zaman, semerta mengejar nilai objektifitas, tapi justru hanya menghadirkan ambiuitas yang –bisa jadi- teramat liar. Kehidupan sosial akhirnya harus memunculkan konsensus nilai sebagai sebuah sikap, moralitas dan etika. Namun –sekali lagi, acap kali sayup-riuh ratapan terdengar tak berbalas. Selalu muncul sketsa ke-tidak-adil-an yang tak terbaca, atau mungkin sengaja tak dibaca. Sosial menjelma bak sandiwara yang kaku, membosankan. Naif-nya, hidup ternyata hanyalah tentang bagaimana logika membenarkan alam bawah sadar sebagai pijakan paradigmatik. Hanya mengejar pembenaran pra-asumsi untuk kemudian dijadikan ideologi. Perubahan menjadi tak begitu tenang, bergejolak. Pada tataran ini, ‘agama’ –bisa jadi- hanya drama sosial, hasil rekayasa ‘makelar moral’, riuh-rancu bergelimpangan di tiap pelataran ‘vagina’ yang menganga, basah-berlendir!


Bagiku, musik –tertentu- telah menjelma –salah satu- nafas sosial yang hidup. Seniman bukan saja telah, sedang, atau dalam proses membebaskan diri dari belenggu sengkarut sosial. Mereka tak terjajah di dunianya, menjadikan simbol-simbol bahasa sebagai alat ‘pemerkosa kesadaran’. Meliuk gemulai namun ‘garang’! Menghadirkan semburat nalar yang dibisukan keangkuhan sosial. Pijakan ini telah memunculkan lirik lagu sebagai sebuah sikap, bahkan kritik sosial yang multi-artikulasi. Simbol yang hadir bukan lagi sebatas membaca apa yang nampak ‘lugu’, namun muncul potret lainya, begitu berwarna dari kejauhan, entah itu apa, namun yang pasti aku tak memiliki kata untuk menjelaskannya, tapi bisa kurasa dan kunikmati.


Bagiku, kalaupun aku meminjam ‘teriakan’ band Bondan Prakoso & Fade2Black, salah satu musisi yang kukagumi, kalaulah ‘Jika satu tambah satu sama dengan dua, kenapa hitunganku slalu saja tidak sama. Mungkin saja karna faktor x, atau mungkin manusia slalu ikuti teks’, dapat dipahami bahwa, sosial dan bahasa memang semerta identitas yang tak mudah dijinakkan, senantiasa ber-mutasi. Ia takan pernah tunduk atas aransemen monololitik. Jikapun dipaksakan, tentunya sesiapapun dipastikan tidak mengerti akan sintesis atau asimilasi, atau bahkan tentang dialektika. Lantas atas otoritas apa ‘mafia moral’ mendaku bahwa ‘itu’ adalah ‘hanya aku’, padahal gelap tak sepenuhnya tertembus gulita, padahal satu itu palsu, padahal teks menerima pembacaan yang berbeda. Ya, mengherankan, kala ‘mereka’ tak hentinya mempersoalkan, menggugat bahkan meng-‘anjing’-kan ragam rona identitas dalam hidup. Ah, barang kali ‘mereka’ terlalu terpesona pikatan-pikatan yang –justru- melumpuhkan kreatifitas.


Bagiku, tak biasanya ada bagian diri ini yang berdegup lamat, lamat, lalu menghentak teramat kencang dan liar. Pada hari yang biasa, itu semua nampak begitu lugu, tapi hari itu kini menjadi berbeda. Then finally, I realize that languages has personifies the human’s ideas, hopes, and dreams as a life symbol in continuous movement, not belong to a particular group, but it belong to mankind.


Cairo, 17 Januari 2011 (09:09 pm.)



Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment