fahmy farid p.
Cartatan yang Aku Pahami dari Buku Karya Nasr Hâmid Abû Zaid:
Naqd al-Khitâb al-Dîniy -Critique of Islamic Discourse-

“Saatnya keluar dari perdebatan apologetik menuju kajian akademis”.


1. Mukadimah
Fenomena perluasan religiustic-islamic (fenomena yang diklaim sebagai proyek kebangkitan Islam) telah mengalami lompatan cukup signifikan dan turut mempengaruhi paradigma berfikir para intelektual yang concern terhadap diskursus keagamaan. Perluasan wacana ini diikuti dengan menyeruaknya ragam corak pemikiran akibat bentukan akulturasi realitas sosio-politik, ragam budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat. Banyaknya penawaran konsep ini justru akan dihadapkan pada sebuah polemik substansial, dimana proyek kebangkitan Islam terbentur dengan sulitnya menentukan pilihan konsepsi dan orientasi tepat-guna bagi peradaban manusia yang heterogen (majemuk). Rumusan pelebaran wacana kebangkitan agama ini, seyogyanya dipandang dari perkembangan frame konstruk dasar orientasi dan struktur wacana keagamaan.

Untuk mengkaji frame konstruk dasarnya secara lebih komprehensif, cukup ditelisik dalam beberapa terma esesnsial. Pertama, pemahaman terhadap kecenderungan sikap yang dikembangkan institusi agama resmi sebuah negara dan paradigma pemikiran tokoh-tokoh intelektual dibelakanngnya, ketika dihadapkan pada tuntutan pelurusan kontardiksi keagamaan. Sebagai contoh, posisi al-Azhar yang mempunyai otoritas istimewa dalam pemerintahan Mesir. Menurut mereka, setiap fenomena wacana kontemporer pada umumnya merupakan sesuatu yang bersifat positif-konstruktif jika ditinjau dari indikasi dan tujuannya, namun perlu ada pengawalan dan perhatian intensif dalam bentuk yang lebih khusus.

Kedua, orientasi yang bersinggungan dengan corak pembentukan suatu peradaban Islam baru. Stigma buruk yang berkembang disebagian kalangan umat Islam sendiri dalam memandang moderenitas -terutama peradaban Amerika dan Eropa- telah menjerumuskan mereka pada sikap arogansi dan fanatisme kesukuan serta chauvinism (sifat patriotik yang berlebih-lebihan). Mereka lebih senang mengisolasi diri dari segala dinamika moderenitas dan hanya bangga akan sejarah kegemilangan Islam klasik. Terdapat aspek penting yang terlupakan ketika menutup diri dari sikap plagiarisme peradaban bangsa lain, bahwa hal ini tidak akan pernah sempurna dengan hanya mencoba menghidupkan kembali kultur budaya dan peradaban Islam klasik yang telah mengalami banyak reduksi. Seolah-olah ada sejarah panjang peradaban manusia pra-Islam terpenggal, yaitu dnamika kehidupan yang telah membentuk sosio-kultur masyarakat kala itu. Jadi, pada dasarnya harus dipahami bahwa pembentukan identitas kemasyarakatan tidaklah kaku dan paripurna, akan tetapi selalu mengalami proses dialektika-akulturatif yang memungkinkan terjadinya penarikan dan pembentukan ulang kondisi sosial kemasyarakatan melalui proses cross cultur. Proses akulturasi ini dapat dilihat dari banyaknya pengaruh budaya dan pemikiran Eropa –mulai dari marxisme, sosialisme bahkan sekulerisme– terhadap peradaban Islam. Padahal, jika ditilik dari sisi historitas, faham tersebut sebagai representasi dari arus “politik dan pemikiran kiri”.

Ketiga, pola interpretasi terhadap warisan pemikiran dalam manuskrip (turats) kuno, dengan melakukan problematisasi-kritik pembacaan nash keagamaan secara ilmiah dan objektif. Pembacaan teks yang tepat sangat berperan serta dalam mengawal polemik rivalitas pemikiran Islam klasik dan kontemporer dari rongrongan kelompok penentang proyek revitalisasi wacana keagamaan dengan jargon “Islam adalah jawaban dan solusi”. Orientasi ini bukan semata-mata bentukan dari kemunculan gerakan perluasan wacana keagamaan, juga bukan respon negatif terhadapnya, akan tetapi merupakan arus pergerakan orisinil yang menyeruak ditengah-tengah para pemikir kontemporer. Mereka –bisa diklaim– merupakan ikon dari semangat Renaissance (al-tanwîr) dengan sekulerisme (al-`ilmâniyah) sebagai ideologi yang ditawarkan. Hanya saja, sekulerisme itu sendiri sering kali dituduh sebagai bertuk sarkasme dan pengkhianatan terhadap agama, bahkan dianggap sebuah manifesto dari faham atheis.

Pengguliran wacana reinterpretasi terhadap substansi polemik teks-teks keagamaan bukanlah sebuah bentuk penyimpangan. Dapat diartikan bahwa, hal ini sebenarnya tidak terjadi dalam tataran intra-teks, akan tetapi polemik pembacaan nash-nash keagamaan selalu selaras dengan sejarah panjang mekanisme nalaritas peradaban manusia, bukan nalar yang terbelenggu dalam bingkai mitologi agama yang justru akan mengekang terhadap wacana renaissance (pencerahan). Jadi, polemik yang terbentuk dalam dinamika wacana klasik pada dasarnya merupakan pemicu polemik dalam wacana kontemporer. Hanya saja, kali ini muncul dalam bentuk yang lebih kompleks, tidak terbatas mengenai perbedaan interpretasi teks-teks keagamaan, namun menyangkut pula dimensi kesetaraan sosial, politik dan ekonomi. Disamping itu, cakupannya juga merambat isu-isu mitologi atas nama agama dan pembatasan paradigma keagamaan terhadap kandungan makna literal teks.

Perkembangan rasionalisme sendiri mempunyai peranan penting dalam usaha melenyapkan unsur mitologi agama. Wacana-wacana yang diusung oleh kelompok rasionalis ini jelas-jelas merupakan mekanisme perang ideologi, bukan semata-mata titik tolak proses aktualisasi kesadaran intelektual dalam bingkai watak nash keagamaan dan ragam metodologi interpretasinya. Pada tataran ini, wacana keagamaan dan wacana rasionalitas senantiasa mengalami pergumulan yang cukup alot. Rivalitas keduanya justru menghadirkan dilema terpisah, dimana proses akhir perang tersebut hanyalah permasalahan superioritas ideologis, tidak lebih.

Konfrontasi ini sekiranya perlu disikapi secara bijak (rekonstruktif) dengan melakukan studi dan analisa secara komprehensif. Dialog antar ideologi akan mampu membersihkan perselisihan paradigma wacana pemikiran agama dan entitas-entitas didalamnya. Disamping itu, perlu adanya kampanye secara masif bahwa agama adalah unsur prinsipil yang orisinil, pembentuk komponen kemasyarakatan utuh, sehingga konstruk dasar agama sangat membutuhkan prinsip dan elemen fundamental (asasi) dalam proyek kebangkitannya (Islam-red).

Diantara bentuk rekonstruksi wacana keagamaan adalah dengan tidak melakukan pembacaan pada tataran ‘permukaan’ teks-teks keagamaan. Begitu pula, perlu adanya pemahaman mendalam tentang konstruk historis dinamika penyusunan hukum-keadilan sosial kemasyarakatan, serta independensi politik-ekonomi dalam hubungannya dengan situasi sosio-politik dan kultur kemasyarakatan saat itu –yang notabene penuh dengan intik-intrik kekuasaan dan unsur mitologi. Puncaknya, ketika titik tolak diskursus keagamaan berpijak pada mitologi agama dan pemberangusan nalar-dialektik (merasa cukup dengan kegemilangan peradaban Islam klasik), proses kebangkitan hanya akan berkutat dalam lingkup wacana, hingga akhirnya menjadi uthopia belaka.

Pada akhirnya, tidak diragukan lagi bahwa agama (tidak hanya Islam tentunya) pastilah memiliki komponen fundamental dalam setiap proyek kebangkitannya. Perbedaannya justru terfokus pada tujuan dasar agama; apakah tujuan tersebut –dalam bingkai ragam ideologi– bermanfaat bagi pergerakan pemikiran ‘arus kiri’ dan ‘arus kanan’ secara seimbang? ataukah agama –setelah dilakukan reinterpretasi, revitalisasi dan analisa ulang– pada dasarnya terbebas dari bentuk mitologi?

Sebagai contoh bahwa, sekulerisme merupakan salah satu wacana keagamaan yang menyeruak dalam proyek kebangkitan Islam. Sekulerisme bukanlah seperti apa yang dituduhkan penentangnya sebagai bentuk atheisme sebagai usaha pemisahan otoritas agama dari realitas sosial dan kehidupan. Harus dipahami bahwa, pemisahan otoritas agama dari otoritas pemerintahan (politik) dengan pemisahan otoritas agama dari realitas sosial dan kehidupan sangatlah berbeda. Bentuk pertama (pemisahan otoritas agama dari otoritas pemerintahan) sangat mungkin diaplikasikan dalam realitas kehidupan beragama dan bernegara, sebagaimana diterapkan oleh negara-negara di Eropa dalam tindakan nyata, sehingga mereka mampu keluar dari masa-masa kegelapan abad pertengahan menuju kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan kemerdekaan.

2. Wacana Keagamaan Kontemporer
Titik tolak pemaparan analisa diskursus keagamaan disini bersifat menyeluruh. Dalam arti, analisa yang ditawarkan akan mengesampingkan perbedaan paradigma wacana yang dikembangkan kelompok moderat dan ekstrimis-fundamentalis. Karena pada prinsipnya, titik tolak dan mekanisme pemikiran kedua kelompok ini tidak memiliki diferensiasi mendasar. Keduanya sepakat bahwa wacana keagamaan harus disandarkan pada unsur fundamental tak terbantahkan, yaitu otoritas teks (al-nash) dan otoritas komando/konstitusi hukum (al-hâkimiyah).

Secara umum, ruang lingkup wacana keagamaan kontemporer mencakup; Pertama, penyatuan antara nalar dan agama serta mengabaikan jarak antara wacana dan tema. Kedua, interpretasi segala fenomena semesta dan berbagai realitas sosial-kemasyarakatan, dengan menggembalikan seluruhnya kepada sumber utama (primer). Ketiga, berpijak pada otoritas manuskrip kuno (turats) –sebagai sumber kedua (sekunder)– dan pola pikir ulama salaf (klasik), dengan mentrasformasi pemahaman klasik untuk diterapkan dalam konteks kekinian, tanpa dilakukan reinterpretasi, revitalisasi dan analisa ulang. Keempat, keyakinan hati dan ketetapan pemikiran serta penolakan segala bentuk perbedaan prinsip dasar pemikiran, tidak dalam tataran parsial (al-furû` wa al-tafâsîl). Kelima, penghilangan kesenjangan dimensi sejarah dengan meratapi periode kegemilangan peradaban Islam (golden age) pada masa silam.

a.Mekanisme
i.Penyatuan Antara Nalar dan Agama
Semenjak periode awal kemunculan peradaban Islam –periode turunnya wahyu dan penyusunan teks-teks keagamaan, mengakar suatu paradigma dikotomis antara penerapan wilayah nash keagamaan (dalam wilayah tertentu) dengan wilayah yang tunduk pada nalar dan pengetahuan empirik manusia (tidak berkaitan dengan otoritas teks sama sekali). Tidak sedikit dari kalangan muslim dahulu yang mempertanyakan setiap perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW, apakah termasuk tindakan yang didasarkan atas wahyu ataukah sebatas bentukan nalar dan pengetahuan belaka. Maka, banyak dari para sahabat yang mengambil langkah berbeda dengan Rasul –kemudian memilih bentuk lain– ketika dihadapkan pada permasalahan yang berada dalam lingkup nalar dan pengetahuan. Walaupun demikian, kecenderungan wacana keagamaan yang ada, masih saja berpijak pada wilayah teks keagamaan secara total, seolah-olah lupa pada perkataan Nabi sendiri bahwa “Kamu sekalian lebih tahu dalam urusan-urusan dunia kalian.”

Diferensiasi antara teks dengan rasio, seperti yang terjadi pada periode awal, –secara aksiomatis– akan menghapus jarak antara substansi realitas dengan konteksnya. Hanya saja, hal ini tidaklah cukup untuk diterapkan dalam wacana keagamaan kontemporer. Perlu adanya penggabungan mekanisme metodologis antara teks-teks keagamaan dengan pembacaan dan pemahamannya. Pola pembacaan wacana keagamaan kontemporer dengan metode seperti ini –diasumsikan– akan mampu mengatasi segala hambatan, juga sampai pada maksud rahasia Ilahiyah yang tersembunyi dalam goresan tiap teks keagamaan dibalik segala fenomena kekinian.

Penerapan mekanisme ini –hampir– tidak ditemukan dalam setiap diskursus keagamaan kontemporer. Yang mengherankan, justru muncul berbagai statemen –atas nama Tuhan– tuduhan pengadopsian mekanisme dari wacana Kristen dan intelektual gerejawan pada abad pertengahan. “Mereka” terjerumus dalam lahan basah perang ideologi intra-agama. Hal ini ditengarai, sebab adanya kecenderungan sikap merasa puas wacana keagamaan klasik –yang diasumsikan sebagai bentuk Islam paripurna, dengan berpijak pada pendapat dan ijtihad ulama salaf tanpa mempertimbangkan unsur eksternal yang membentuk paradigma wacana tersebut.

Sebagai contoh mekanisme ini, statemen Fahmy Huwaidiy –salah seorang tokoh moderat– bahwa; “Pada prinsipnya, tidak ada dikotomi antara label Islam progresif dan konservaitf, islam revolusioner dan fundamental, Islam politik dan sosial-kemasyarakatan bahkan tidak Islam penguasa dan rakyat jelata. Yang ada hanya Islam satu, kitab satu, yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. kemudian disampaikan kepada umat”. Pendapat ini sejatinya kontradiktif dengan realita sejarah peradaban Islam itu sendiri, dimana banyak sekali ragam perbedaan ijtihad, orientasi pemikiran serta ragam kelompok dalam tubuh Islam yang diakibatkan oleh faktor sosial, ekonomi bahkan politik. Sikap ini dibentuk oleh ragam interpretasi terhadap berbagai teks. Dia juga menuliskan bahwa; ”Bukalah satu lembar dari tiap catatan sejarah Islam, maka kamu akan menemukan kemurnian dalam setiap masanya, ditulis dengan ucapan yang fasih dan ungkapan yang jelas. Seperti merekalah (ulama salaf) agama kamu”.

Asumsi bahwa Islam pada prinsipnya satu (tanpa mempertimbangkan niat penulis diatas), akan menggeret pada dua kongklusi. Pertama, pada dasarnya Islam memiliki makna tunggal, tidak berpengaruh terhadap dinamika pergerakan sejarah, juga tidak terpengaruh oleh ragam perbedaan masyarakat, karena bermacam-macamnya standar kemaslahatan pada tiap kelompok masyarakat. Kedua, makna tunggalitas ini hanya dikuasai oleh otoritas ulama agama, bukan masyarakat awam secara umum. Akan tetapi, wacana keagamaan tidak bisa menerima kongklusi-kongklusi mantiqiyah (nalar-rasional) selamanya, karena banyak pemikir-pemikirnya. Bahkan, banyak sekali yang menggabungkan mekanisme ini dengan bantahannya.

Di sisi lain, Yusuf al-Qardlâwi mendikotomikan Islam menjadi dua macam. Islam politis-hedonis (al-mustanis), yaitu Islam yang diberkati dan dilindungi oleh penguasa. Sedangkan Islam sejati (haqîqiy) adalah Islam al-Qur`ân dan al-Sunnah, juga Islam shahâbat dan tâbi`în. Dia berasumsi bahwa Islam sejati hanyalah Islam yang telah dipaparkan dalam wacana-wacana para ulama, karena mereka adalah orang-orang yang mampu memahami Islam yang benar. Dalam arti, otoritas tawîl dan tafsîr sepenuhnya ditangan mereka. Justifikasi otoritas ulama ini mau tidak mau akan membentuk paradigma berfikir bahwa kajian syari`ah tanpa pengajar akan terjebak dalam kerangka pemahaman hipotetis (praduga), juga tidak akan pernah terlepas dari celah kesalahan dan kerancuan kongkusi. Hal ini merupakan pijakan ulama salaf dalam paradigma pendidikan. Mereka berkata; “Janganlah kamu mengambil –pemahaman– al-Qur`ân dari mushafku, dan ilmu dari catatanku”. Mereka juga berpendapat bahwa; “Barangsiapa yang mengajak kepada al-Qur`ân dan al-Sunnah, kemudian memfitnah ulama umat, maka tidak bisa dipercaya untuk mengajarkan agama. Dan barangsiapa mengutip pendapat ulama dan kitab-kitab madzhab, namun mengesampingkan petunjuk al-Qur`ân dan al-Hadits, maka sesungguhnya mereka telah mengabaikan agama dan sumber syari`at”.

Wacana agama yang terjebak dalam paradox antara pengingkaran terhadap eksistensi otoritas yang dikultuskan dalam Islam –sebagai wacana– dan asumsi keniscaraan otoritas konstitusi hukum sebagai sumber tunggal pemaknaan agama dan akidah –kenyataannya–, sesungguhnya merupakan polemik yang menyeruak dari asas-asas prinsipil sebuah paradigma wacana keagamaan, tanpa memperhatikan kecenderungan watak manusia.

ii. Pengembalian Fenomena Realitas Terhadap Satu Sumber
Mekanisme pengembalian fenomena realitas terhadap satu sumber, bukanlah bentuk perangkat wacana keagamaan yang menyeruak ke permukaan secara sederhana (muncul secara apriori-intuitif dari sebuah keyakinan terhadap ‘syair-syair keagamaan kuno’). Akan tetapi, hal ini ditemukan melalui proses dialektika wacana keagamaan yang –sayangnya– justru menggeret pada paradigma ketertundukan otoritas nalar dalam urusan-urusan hidup dan sosial-kemasyarakatan.

Dalam merealisasikan mekanisme ini, wacana keagamaan berpijak pada “sya`ir-sya`ir teistik kuno” untuk kemudian difungsikan sebagai salah satu postulat ‘tak terbantahkan’. Berangkat dari kerangka berfikir ini, seperti ketika hipotesis-teistik tentang penciptaan semesta dijadikan penjelasan dalam memaparkan eksistensi semesta, maka bentuk interpretasi yang berkembang –dalam wacana kaegamaan selain akidah– adalah pengembalian setiap fenomena sosial-kemasyarakatan pada sumber pijakan primer tersebut. Hal ini, secara aksiomatis akan menghilangkan campur tangan otoritas manusia sebagai makhluk berfikir.

Salah satu efek yang ditimbulkan dari pijakan mekanisme seperti ini, nyata terlihat pada paradigma pemahaman semesta juga kemasyarakatan. Partikel-partikel semesta dan sosial adalah sesuatu yang berserakan. Semuanya berkait-kelindan dengan Sang Pencipta secara total. Interpretasi seperti ini jelas akan menutup akses pendalaman segala fenomena secara ilmiyah –sebagaimana perkembangan paradigma sekte Asy`ariyah klasik yang menolak hukum kausalitas secara total (baik dalam tataran semesta ataupun sosial), sebagai bentuk defensif terhadap infiltrasi ideologi Jabariyah pada dinamika sosio-politik saat itu.

Totalitas penerapan mekanisme pengembalian seluruh semesta dan berbagai realitas sosial-kemasyarakatan terhadap satu sumber, niscaya berkait-kelindan dengan otoritas komando/konstitusi hukum ilahiyah dan pengabaian –bahkan menolak– otoritas hukum manusia. Disamping itu, juga erat kaitannaya dengan pemahaman wacana-wacana eksternal, seperti sekulerisme. Yusuf al-Qardlâwi, salah seorang tokoh Ikhwan al-Muslimîn pernah menuliskan statemen penolakan terhadap sekulerisme bahwa;

“Sesungguhnya, ideologi sekulerisme selaras dengan paradigma pemikiran barat yang memandang Tuhan sebagai Sang Pencipta kemudian mereka mencampakannya. Maka, hubungan keduanya –Tuhan dengan semesta penciptaan– seperti pembuat jam dengan jam itu sendiri. Pertama kali, dia membuat jam kemudian membiarkannya berpurtar tanpa ada maksud atas perputaran itu. Pemikiran ini merupakan warisan filsafat Yunani –terutama filsafat Aristoleles– yang tidak mengimajinasikan (memposisikan) Tuhan sebagai suatu otoritas pembentuk fenomena semesta. Hal ini jelas berbeda dengan pandangan kita –orang muslim– terhadap Tuhan. Dia adalah Pencipta semesta, Pemilik segala kuasa, Pengatur segala urusan. Yaitu Tuhan yang mengetahui esensi dan mengkalkulasi substansi segala sesuatu. Rahmat-Nya melingkupi setiap makhluk, Pemberi rizki setiap kehidupan. Karenanya, Dia menurunkan syari`at, menghalalkan apa-apa yang halal, mengharamkan apa-apa yang haram, mewajibkan hamba-Nya untuk mengerjakan syari`at dan menghukumi segala sesuatu dengan apa-apa yang telah diwahyukan. Jika tidak, mereka termasuk golongan kafir, tersesat dan fasiq”

Dimatanya, urgensi pemetaan pemikiran barat bukan terletak pada ilustrasi jam dan pembuatnya. Yang patut diwaspadai adalah infiltrasi ideologi barat yang syarat dengan bentuk imprealisme dan kapitalisme terhadap Islam.

Namun sebenarnya, poin penting dalam wacana ini adalah menyeruaknya perang ideologi sebagai sebuah dampak yang muncul dari penguasaan paradigma pengkultusan otoritas sumber hukum, dengan mengembalikan segala fenomena realita kepada Tuhan dan mengabaikan campur tangan otoritas –nalar– manusia. Mekanisme ini jelas-jelas akan mereduksi peranan akal (ijtihad) dalam memahami substansi setiap wacana, sebagaimana sekulerisme yang dijustifikasi –tanpa melihat akar historis– sebagai “wacana penentangan agama”. Bahkan yang lebih disayangkan lagi, wacana keagamaan yang digulirkan ini tidak berhenti pada studi kasus sekulerisme saja, akan tetapi sudah masuk dalam tataran sikap penyerangan terhadap setiap wacana yang muncul dari nalaritas manusia.

iii. Berpijak Pada Pemahaman Manuskrip Kuno (Turats) dan Ulama Salaf
Mekanisme ini berpijak pada kerangka berfikir dan pendapat ulama salaf, dengan mentrasformasi pemahaman klasik untuk diterapkan dalam konteks kekinian yang dipaparkan dalam turats “tak terbantahkan”, tanpa adanya reinterpretasi, revitalisasi dan analisa ulang. Sikap inilah pemicu paradigma penyatuan terma ijtihad dan agama. Mekanisme ini, pada dasarnya merupakan bentuk pemanfaatan total ideologi turats, yaitu sikap yang menjauhkan dari rasionalisme dan semangat renaissance (pencerahan), juga sangat dekat dengan sikap konservatif dan keterbelakangan (takhalluf). Hal ini pula ditengarai sebagai pendorong sebagian pemikir Islam untuk menggunakan corak mekanisme wacana keagamaan yang disandarkan pada nalar progresif dalam turats. Mereka menyangka bahwa pemanfaatan wacana turats –mungkin– akan memerangi dan menghilangkan keterbelakangan. Namun pada hakikatnya, hal ini justru menjadi pemicu dalam memfungsikan mekanisme penghilangan kesenjangan dimensi sejarah dalam wacana keagamaan kontemporer.

Telah disinggung sebelumnya bahwa, pada dasarnya orang-orang muslim sadar akan adanya dikotomi antara otoritas teks-teks keagamaan dan otoritas yang tunduk pada nalar dan pengetahuan empirik manusia. Kesadaran ini senantiasa tertanam dalam hati mereka sebagai watak perbedaan yang dilatarbelakangi kemaslahatan duniawi, bukan perbedaan akidah agama. Namun, realita catatan sejarah berbicara lain, sebagaimana pertikaian politis yang terjadi saat pimpinan Bani Umayyah menawarkan konsep tahkim (memfungsikan teks keagamaan dalam setiap permasalahan, baik wilayah sengketa politik ataupun ragam kemaslahatan sosial) kepada khaifah Ali ibn Abî Thâlib. Hal ini terjadi ketika khalifah Mu`âwiyah ibn Abî Sufyân menerima nasihat dati Ibn al-`Âsh dan para pejabat pemerintahannya untuk mengangkat mushaf al-Qur`ân pada setiap ujung pedang seraya mengajak untuk mengembalikan konstitusi hukum kepada al-Qur`ân. Mekanisme yang dikembangkan pemerintahan Bani Umayyah sejatinya adalah permulaan praktek monopoli kesadaran manusia. Untuk menjustifikasi mekanisme yang ditanam ini, mereka mengadopsi pendapat sekte Jabariyyah yang menyandarkan setiap fenomena semesta (termasuk prilaku manusia) terhadap kehendak Tuhan.

Kerangka berfikir ini kemudian diadopsi oleh sekte Asy`ariyah dalam setiap konteks perkembangan pergerakan realitas dan pemikiran, yang akhirnya menjerumuskan mereka pada penolakan hukum kausalitas (sebab-akibat/aksi-reaksi). al-Gazhâli sendiri mengemukakan alasan yang melatarbelakangi Asy`ariyah menolak adanya hukum kausalitas. Penolakan ini didasarkan bahwa, tidak selamanya akibat dan hikmah penciptaan selaras dengan hukum alam. Karena hal ini berkaitan langsung dengan Kehendak Tuhan (fi`lu kulli mumkinin au tarkuhu). Seperti halnya api –yang secara tabiat– membakar, akan tetapi tidak menutup kemungkinan api tidak membakar. Dapat diartikan bahwa akibat dan hikmah yang terjadi sangatlah ditentukan oleh pngalaman tiap personal, sehingga dalam tatanan ini, segala hal tidak dapat digeneralisir secara massif.

Dalam perkembangannya, sekte Asy`ariyah mendikotomikan antara prilaku manusia dengan hukum alam. Prilaku manusia digeret dalam bingkai usaha (al-kasab), sedangkan wilayah hukum alam mereka sandarkan “sepenuhnya” langsung kepada Tuhan, dengan asumsi bahwa Allah adalah pelaku sejati dalam setiap partikel semesta beserta segala fenomenanya. Paradigma ini sangat berpengaruh terhadap wacana keagamaan dalam budaya pemikiran Islam (kebudayaan Arab khususnya), dimana mereka meyakini api tidak membakar dan pisau tidak memotong. Sesungguhnya Tuhan adalah sebab dibalik segala fenomena alam.

Ketika diskursus keagamaan kontemporer bersandar pada mekanisme ini, maka seolah-olah ada unsur kesengajaan untuk melupakan sisi wcaana turats lainnya, seperti hukum-hukum natural yang diusung sekte Mu`tazilah dan filsafat. Mereka menuduh bahwa paham-paham yang ditawarkan telah disusupi diskursus wacana di luar Islam. Padahal, sumber-sumber pijakan berfikir merekapun pada hakikatnya sudah mengalami percampuran kultur-ideologis (cross cultur-ideology). Kerangka penafsiran al-Qur`ân, ilmu Kalâm, Fiqh serta Usul Fiqh –kenyataannya– sangat dipengaruhi filsafat dan mantiq Yunani, hikayat-hikayat dalam manuskrip Persia, cerita-cerita Yahudi (Isrâîliyat), teologi Nasrani juga ragam disiplin ilmu luar lainnya, melalui endapan-endapan peradaban manusia.

iv. Keyakinan intelektual dan Ketetapan Pemikiran
Mekanisme keyakinan intelektual dan kepastian pemikiran sangat erat kaitannya dengan mekanisme penyatuan antara nalar dan agama. Dalam wacana keagamaan kontemporer, keterkaitan ini menggeret pada sisi historikal yang sarat dengan ragam pertentangan, di sisi lain mengkafirkan mereka. Mekanisme ini tidak memberi ruang (mentolelir) pada setiap perbedaan yang bersifat fundamental, walaupun mereka menerima realita perbedaan dalam tataran parsial.

Analisa bahwa “setiap” fenomena realita sosial-kemasyarakatan hanya boleh diserahkan pada “ulama” yang kompeten dalam pengetahuan Islam, karena ditangan merekalah pemaknaan Islam dan realita mendapatkan kesejatiannya. Hal ini muncul dari tuduhan –secara apriori– akan banyaknya pena-pena intelektual –seperti orientalis– yang tidak tahu, dengki ataupun disewa untuk berbicara panjang lebar tentang terma keislaman tanpa ilmu, petunjuk bahkan sumber-sumber otentik. Dari sini, wacana keagamaan memonopoli ragam realitas sosial-kemasyarakatan, sehingga setiap penjelasan ataupun hukum selama tidak disandarkan pada pemahaman Islam orisinil, nash serta kaidah-kaidah syari`at tidak ada harganya sama sekali. Berpijak pada kerangka berfikir ini, pendapat yang bertolak belakang dengan “warisan” hukum fikih dalan turats seperti dalam larangan musik, gambar, bersalaman dengan perempuan, kewajiban hijab, niqâb, jenggot serta ragam permasalahan lainnya tidak dapat ditolelir.

Ketika wacana keagamaan cenderung dikuasai oleh satu hakikat kebenaran, dengan menolak setiap perbedaan yang bersifat fundamental dan menerimanya terbatas dalam tataran parsial (yang diasumsikan sebagai bentuk toleransi), maka bentuk wacana yang muncul justru akan menggeret pada sikap kaku, keras dan ekstrim. Sehingga kasus saling memfasikkan, bahkan mengkafirkan menjadi asas akidah dan keimanan agama. Akan tetapi, ketika wacana keagamaan dapat menerima corak perbedaan pendapat pada lingkup asas prinsipil (fundamental) sebagai sebuah hakikat kebenaran, maka wacana tersebut justru akan mendapatkan proteksi dari hakikat kebenaran sejati yang mencakup perbedaan setiap prinsip. Disamping itu, tidak akan terjebak pada dikotomi ekstimisme, liberalism maupun moderat.

Wacana keagamaan yang berpijak pada mekanisme ini, telah memposisikan Islam dalam kesempurnaan ambigu, dimana justru mengasingkan diri dari dinamika realitas. Pergerakannya justru mundur kebelakang dengan penafsiran yang tendensius terhadap warisan wacana klasik –yang telah kehilangan kontekstualisasinya– dalam menjawab segala problematika sosial, politik, kemasyarakatan, ekonomi, budaya hingga tata karma kontemporer. Dalam arti, paradigma bahwa Islam telah paripurna ditangan ulama salaf, telah mencerabut sekaligus menutup aspek problematika kontemporer dari konteksnya. Wacana klasik yang berpijak pada teks-teks keagamaan, diasumsikan cukup kompeten dalam mengatasinya. Pola pikir ini mengindikasikan ketidakmampuan wacana keagamaan menawarkan berbagai analisa ilmiah untuk menjawabnya. Pada akhirnya, menyeruaklah jargon bahwa “syari`ah adalah solusi bagi segala ragam problematika kekinian” yang dipahami sebagai sebuah “keyakinan” –namun sayangnya mengarah pada proses memberangus nalar.

v. Penghilangan Kesenjangan Dimensi Sejarah
Wacana keagamaan tidaklah cukup mapan ketika berpijak pada suatu mekanisme yang menghilangkan kesenjangan dimensi sejarah, dengan memisahkannya dari konteks masa kodifikasi nash. Konstruk yang dibangun tanpa memperhatikan dinamika sejarah, hanya akan menjadikan Islam sebagai ajaran yang kehilangan konteksnya. Solah-olah, antara dinamika problematika kontemporer dan problematika klasik memiliki kesesuaian mendasar, dengan asumsi –yang cenderung memaksakan– bahwa solusi permasalahan masa lalu mampu mengatasi fenomena realita masa kini. Hal ini terlihat jelas sangat mempengaruhi setiap sudut wacana keagamaan sebelumnya, lebih-lebih dari titik tolak fundamentalnya. Disamping itu, juga terlihat jelas pada kemunculan sebuah asumsi akan adanya kesesuaian, antara pemaknaan manusia (ijtihad nalar) atas segala fenomena realitas dengan teks-teks primer yang terkait pada dinamika –realitas peradaban manusia– masa lalu. Menjadi jelas bahwa, hal ini merupakan prasangka yang memunculkan problematika berbahaya –pada tataran keyakinan– yang sama sekali tidak mendapatkan perhatian wacana keagamaan kontemporer.

Memfungsikan paradigma pemikiran salaf dan otoritas turats sebagai teks primer yang dikultuskan, semakin memperuncing pijakan mekanisme ini dalam wacana keagamaan kontemporer. Begitu pula, akan menggeret manusia pada bentuk pengasingan diri dari problematika kekinian. Ruang paradigma keduanya dalam diskursus keagamaan, mengisyaratkan adanya bentuk simbiotis terhadap penerapan mekanisme pengembalian fenomena realitas terhadap satu sumber, terutama kaitannya dalam penafsiran fenomena sosial-kemasyarakatan. Dalam arti, menjawab setiap krisis peradaban manusia –terutama masyarakat Islam– dengan metodologi klasik, sejatinya adalah bentuk ketidak mampuan membaca sejarah dengan benar dan bijak. Juga menjauh dari semangat kemajuan peradaban yang justru menuntut suatu pergerakan aktif menuju perubahan dan kesempurnaan.

Untuk membongkar kerancuan dalam memfungsikan mekanisme ini, sekiranya cukup meninjau kembali makna jâhiliyah (tanpa mencampurkan pemaknan Jâhiliyah dengan istilah kontemporer sebagai sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan/bodoh). Istilah jâhiliyah pada masa sebelun masuk peradaban Islam di jazirah Arab dipahami sebagai ketundukan terhadap pengaruh kekuasaan dan kekuatan perasaan (hawa nafsu), dengan tidak menyerahkan otoritas hukum dan Interpretasi sosial-kemasyarakatan pada pembenaran akal dan logika. Maka, “bodoh” disini diartikan sebagai penafian akal dan logika.

Dari sini, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keterkaitan suatu tatanan sosial-kemasyarakatan dengan “kebodohan”, merupakan alasan umum dan paling kuat untuk menjelaskan keterbelakangan manusia. Maka, seyogyanya umat Islam memfungsikan kembali otoritas hukum yang bersumber kepada akal dan logika (rasionalisme wacana). Pijakan ini, dapat mengantarkan pada suatu pemahaman komprehensif setiap wacana yang dipaparkan nash keagamaan dalam mengecam sikap jâhiliyah, seraya mengajak untuk merasionalisasikan ragam permasalahan.

Pada prinsipnya, teks-teks keagamaan menyampaikan pesan-pesan dalam lingkup terbatas yang menyangkut problematika kondisi sosio-kultur masa silam –sebagai kenyataan dan bagian sejarah. Akan tetapi, wacana-wacana itu sesugguhnya dapat dibuka dan diperluas kembali (reinterpretasi dan revitalisasi), agar sesuai dengan konteks peradaban kontemporer, dengan syarat tidak bertentangan dengan petunjuk aslinya. Ironinya, wacana keagamaan kontemporer malah menggeret para intelektual kearah pemberangusan nalar dan logika (kembali pada sikap jâhiliyah). Dalam arti, wacana keagamaan yang berpijak pada mekanisme ini, telah menggeret pada penafsiran jâhiliyah sebagai sikap penggunaan nalar-logika pada setiap fenomena realitas dan pelanggaran terhadap otoritas hukum Tuhan di muka bumi. Dari sini, pemaknaan jâhiliyah tereduksi dimensi sejarah menjadi ketundukan pada hukum manusia sebagai antitesis dari hukum Tuhan.

b. Titik Tolak Pemikiran (...to be continue!)
Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment