fahmy farid p.
The Cold War is gone. Colonialism is gone. Apartheid is gone. Yet remnants of past troubles remain
[ Bill Clinton ]


Beberapa dasawarsa sebelumnya, ada kekuatan terselubung yang menghegemoni kesadaran muslim secara komunal, kolonialisme. Krisis identitas internal, ditambah rongrongan bangsa-bangsa berjiwa imperial telah merusak tatanan sistem politik, psikologi, sosial-budaya hingga moralitas bangsa terjajah. Jelas, hal ini menghantam telak peradaban Islam, sehingga dinamika internalnya menjadi mati, kemudian ‘berhenti di titik jajah’. Dominasi ekonomi, kekuasaan hingga ideologi menjelma sebentuk potret muram gerakan kolonialisme. Akhirnya, peradaban Islam bermuram durja. Lantas?

Bagaimanapun juga, tekanan penjajahan selalu memunculkan titik balik, resistensi. Dan percikan api gerakan itu mulai muncul ke permukaan, sebagai sebuah lompatan kesadaran sosial-komunal yang mencoba melepaskan diri dari gurita hegemonial ‘sang pandita’. Kini, peradaban Islam sedang bergerak dari romansa kolonialsme menuju nuansa kemerdekaan. Suara-suara pembebasan membuncah bergelimpangan ‘di lahan-lahan basah agama’. Bermunculan semesta identitas baru yang berkarakter ideologis maupun praksis, kemudian menapaki lipatan jalan tersendiri dalam mengentaskan problem krisis identitas tersebut. Terjadi dialektika identitas diantara corak-corak pergerakan fundamentalis, liberalis, hingga sekuleris, dimana masing-masing mendaku diri memiliki konsep tepat-guna untuk menyembuhkan sisa-sisa penyakit peradaban yang muncul akibat kolonialisme.

Ketika ‘pasar dogma’ kemudian disikapi dengan bijak, tentu akan memunculkan warna yang indah nan harmoni. Dalam arti, bukan tentang bagaimana memaksa perbedaan digeret pada bentuk tunggalitas epistemik, tapi membuat suatu wadah yang mampu mendialogkan berjubel corak paradigma yang diusung masing-masing kelompok. Namun, ketika disikapi secara dogmatis-ideologis, justru akan menjadi sebentuk ‘kolonialisme baru’ dalam tubuh internal Islam pasca kolonial.

Dari sini dapat diidentifikasi bahwa, sepanjang sejarah pergumulan manusia dengan lingkungan sosial –baik mikro maupun makro, selalu terbentuk dua corak pendekatan dalam menawarkan suatu prespektif: Dialogis-kulturalis dan imperialis-ideologis. Corak pertama lebih mengedepankan proses dialog dengan kultur setempat dalam mencari formulasi yang tepat dalam menata ulang suatu peradaban yang porak-poranda. Sedangkan corak kedua cenderung memaksakan kebenaran, sehingga enggan berdamai dengan realitas, kesadaran maupun kearifan lokal, hingga akhirnya menjelma menjadi sebentuk ‘ideologi tertutup'. Bentuk pendekatan imperialistik – secara sadar ataupun tidak- telah menghancurkan kultur setempat. Masyarakat menjadi terkotak-kotak, dan timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat lanjutannya, muncul jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture of violence), bukan budaya dialog.

Berjubel permasalahan, justru akan muncul saat fenomena imperialis-ideologis mewarnai gerakan pembebasan peradaban Islam dari kungkungan sisa-sisa masa kolonialisme. Corak pendekatan ini tentunya tidak memiliki kontrol sosial yang jelas, dan terkesan memaksakan. Yang dicari hanyalah semesta dominasi ideologis, politis, hingga psikologis. Padahal, tiap peradaban tentu dihadapkan pada problematikanya tersendiri, dimana konstruk sosial cenderung berubah dari waktu ke waktu, juga peradaban senantiasa mengalami dinamika seiring perubahan konstruk sosialnya. Dan sayangnya, fenomena inilah yang lebih tercium pada tatara permukaan. Dibalik keragaman gerakan pembebaasn kolonialisme, terjadi klaim-klaim ideologis-dogmatis atas suatu kebenaran. Warna dialektika intelektual berubah fungsi menjadi lahan ‘baku-hantam’ untuk saling menjatuhkan, lalu fenomena tarik-ulur ‘tidak sehat’ menjadi sebuah keniscayaan tak terbantahkan. Adanya kecenderungan untuk mengkotak-kotakan ‘ke-aku-an’ pada tiap-tiap konsep yang diusung, ditengarai menjadi faktor adanya disharmoni antar gerakan, hingga akhirnya sebuah konsep menjadi ekslusif tanpa melalui proses dialog epistemik terlebih dahulu.

Maka, dalam membangun identitas baru Islam yang sempat tenggelam sebelumnya, justru tradisi –asumsi penulis- dapat diposisikan menjadi sebuah perangkat yang berfungsi sebagai kontrol pergerakan Islam pasca kolonial. Beragam khazanah dan tradisi suatu peradaban yang hilang semasa kolonialisme, semestinya mulai diapresiasi kembali agar pembacaan identitas tidak selalu diterawang secara inter-kultural dan tercerabut dari akarnya. Andai saja masa transisi Islam mengalami problem kegagapan dalam membaca faktor-faktor kultural melalui kebangkitan kelompok-kelompok etnis dan kedaerahan, maka ‘militansi atas nama agama’ dan benturan antar gerakan pembebasan, bukan lagi sesuatu yang aneh. Jika demikian, justru Islam pasca kolonial akan dihadapkan pada bentuk gerakan kolonialisme baru, kolonialisme internal!

***

Dalam pemetaannya –meminjam analisa Hasan Hanafi dalam buku Humûm al-Fikr wa al-Wathan, proyek peradaban Islam secara umum terbentuk dari tiga periode: Pertama, proyek peradaban klasik (mâdliy al-masyrû` al-hadlâriy). Masa ini terbentang dari abad ke-1 H. hingga sekitar abad ke-7 H., yang mengalami masa keemasan sekitar abad ke-3 hingga 4 H.. Pada rentang waktu tersebut, terjadi ekspansi, integrasi dan puncak peradanban, dimana menyeruak sebentuk pergeseran paradigma peradaban dari bentuk syair ke wahyu, dari bentuk paganistik menuju monotheistik, hingga transformasi wahyu kedalam bentuk interpretasi humanis, matematis bahkan medis. Namun setelahnya, dinamika itu berhenti di titik ‘diam’. Sementara peradaban Islam terbentur oleh desakan syahwat politik dari dalam pada masa dinasti Mamluk-Turki yang menyebabkan munculnya disintegrasi internal, peradaban Barat lambat laun mulai menghegemoni jajahannya ke luar. Masa-masa di akhir abad ke-7 H. ini merupakan potret nyata ambiguitas peradaban Islam, dimana pergerakannya cenderung stagnan.

Potret muram ini diawali dengan runtuhnya kekuasaan Baghdad oleh Hulagu di tahun 1258 M.. Puncaknya, invasi yang dilakukan Napoleon Bonaparte di tahun 1798 M. telah berhasil menduduki Mesir sebagai poros peradaban Islam yang terpenting. Konflik serta intrik internal ditambah intervensi eksternal (Barat) inilah diantara faktor-faktor yang telah menghancurkan budaya intelektualitas Islam, ‘hingga tubuhnya terbujur kaku nan rapuh’.

Kedua, proyek peradaban kini (hâdlir al-masyrû` al-hadlâriy). Dibutuhkan berapa dasawarsa bagi peradaban Islam untuk sekedar pulih dari trauma masa keterpurukan. Dan selama itu pula Islam mencari-cari formula yang tepat. Hegemoni Barat telah mengusik generasi Islam yang selama berabad-abad terus saja berkutat pada pada konflik internal. Masa-masa pembaharuan dan kebangkitan (renaissance) yang ditunggu-tunggu itu akhirnya muncul ke permukaan. Sebagai langkah awal, stagnasi disiplin-disiplin keilmuan Islam mulai dibongkar dengan melakukan pelbagai pembacaan ulang, yaitu: Pembacaan transendentis, dengan menumbuhkan dimensi transendental danam dinamika budaya. Liberalis, dengan membebaskan manusia dari belenggu yang mereka buat sendiri, kemudian menyatu dengan realitas. Dan humanis, dengan memanusiakan manusia dan membebaskannya dari proses dehumanisasi, kemudian menyadari eksistensinya secara utuh.

Proyek reinterpretasi dan revitalisasi peradaban Islam ini kemudian berpolarisasi pada beberapa bentuk, gerakan fundamentalis (al-ishlâh al-dîniy) yang berakar dari pemikiran al-Afghani, gerakan liberalis (al-libraliyyah al-hadîtsah) yang diusung al-Thahthawi, dan gerakan sekuleris (al-`ilmâniy) yang bermula dari prespektif Syibli Syumail. Jika dilakukan generalisasi analisis, ketiga gerakan ini merupakan kepanjangan tangan dari sejarah pemikiran Islam klasik. Nalar al-Afghani berkelindan dengan pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab, Ibn Qayyim, Ibn Taimiyyah dan Imam Ahmad ibn Hambal. Pemikiran al-Thahthawi berakar dari cara pandang Hasan al-`Athar, Ibn Rusyd, sekte Mu`tazilah dan fuqahâ politis. Sedangkan prespektif Syibli Syumail bersinggungan dengan pemikiran ulama-ulama yang concern di lahan matematik-empiristik. Walaupun demikian, masing-masing memiliki perbedaan mendasar jika ditelisik dari struktur epistemologinya, dimana paradigma agama dijadikan titik tolak gerakan fundamentalis, paradigma negara dan politik-kekuasaan dalam prespektif liberalis, dan empirisme pada sekulerisme, namun ketiganya memiliki tujuan yang sama, yaitu menjadikan Barat sebagai prototype peradaban modern.

Ketiga, proyek peradaban nanti (mustaqbal al-masyrû` al-hadlâriy). Dalam arti, Islam ke depan harus lebih adaptif dan apresiatif terhadap segala dinamika perubahan yang terjadi, tanpa tercerabut dari akar peradaban dan akar tradisi. Akan selalu terjadi dialektika antara al-âna (self) yang diproyeksikan sebagai khazanah turâts dengan al-âkhar (the other) sebagai cermin peradaban maju. Peta proyek peradaban ini mengambarkan bagaimana dinamika yang terjadi dalam tubuh peradaban Islam yang cukup fluktuatif. Dan ketika hal ini terjadi, maka akulturasi antar peradaban menjadi sangat logis. Namun, akulturasi ini tentunya memerlukan kontrol yang jelas ketika akan melakukan proses normalisasi diskursus terapan (al-manqûlat) yang ditransfer dari peradaban lain (the other).

Mengadopsi konsep Taha Abdurrahman, proses normalisasi diskursus memerlukan kaidah standarisasi terlebih dahulu, yaitu: (1) Standar penerimaan (mi`yâr al-taslîm). Dalam arti, konsep dan struktur epistemologi nilai-nilai normalitatif yang akan dijadikan prinsip dasar (prinsip kedua), harus memiliki strata lebih kuat dari nilai-nilai normalitatif sebelumnya (prinsip pertama). (2) Standar diferenesiasi (mi`yâr al-tamyîz). Maksudnya, nilai-nilai normalitatif yang akan dijadikan standar kaidah dasar, harus memiliki kontribusi dalam melakukan diferenesifikasi atas bangunan nilai-nilai turâts Arab-Islam dari bangunan nilai-nilai diluar Islam. (3) Standar preferensifikasi (mi`yâr al-tafdlîl). Dapat diartikan bahwa, nilai-nilai normalitatif yang akan dijadikan standar kaidah dasar, harus menyimpan nilai-nilai keutamaan, lebih dari yang lainnya. Melalui ketiga kaidah standarisasi ini, proses dialog antar peradaban dan antar konsep akan menjadi lebih indah, bukan malah menggeret pada kolonialisme babak baru. Karena dalam medan inilah, dialog antara prespektif fundamentalis, liberalis dan sekuleris berdinamika untuk menemukan suatu konsepsi tepat-guna bagi peradaban Islam pasca kolonial. [el_Sundawiy]
Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment