Ah, sungguh malam yang begitu tenang. Angan-pun melayang pada sesuatu yang selama ini mengganjal, tentang bagaimana mengoyak paradigma keberagamaan yang terbilang arogan; ‘strata agama telah diposisikan lebih tinggi dari budaya’. Pijakan semacam ini berdampak jelas pada matinya dialektika manusia itu sendiri. Baiknya, agama diposisikan sejajar dengan budaya. Bukankah agama merasuk dalam tatanan sosial melalui proses keseharian kultural!?. Pada titik ini, keduanya saling melengkapi, dimana agama memerankan fungsinya sebagai kontrol sosial agar tidak ‘liar’, dan budaya sebagai kontrol agama supaya dinamis, bukan statis apalagi anarkis. Mungkin pen-sejajar-an ini sama arogannya dengan melakukan pen-strata-an. Untuk itu penulis kira perlu semacam penelusuran sangat sederhana di sini, setidaknya agar malam nan tenang ini menjadi tidak sia-sia.
Jika mengamati proses bagaimana manusia menegaskan identitas, maka tak bisa semerta dilepaskan dari apa yang sering disebut dialektika. Pemahaman ini berpijak pada satu kenyataan penting bahwa manusia (individu) adalah bagian tak terpisahkan dari entitas-entitas pembentuk masyarakat, atau meminjam perspektif Ibn Khaldun kalaulah watak dasar manusia selalu berkelompok (madaniy/civilis). Kecenderungan berkelompok ini erat kaitannya dengan persesuaian prespektif, atau paling tidak hadir semacam kebermungkinan itu. Dengan demikian, ada semacam inter-subjektivity atau katakanlah pergulatan ragam kesadaran yang hadir dalam batas kultur dimana sesiapa tumbuh-kembang, untuk kemudian membangun kebersamaan di sana. Sehingga manusia pada prinsipnya tidak sedang menghidangkan kesadaran indivual untuk dirinya sendiri, tapi juga akan melibatkan masyarakat secara luas, semerta berelasi dalam bingkai tradisi. Maka, seorang manusia boleh jadi belum memahami hidup secara utuh kecuali ia melibatkan dirinya secara intim dalam konstruk sosial. Ia dituntut membumikan kesadarannya dalam ruang-ruang publik. Pada titik ini, budaya menjelma medium untuk merelasikan kesadaran bersama itu.
Budaya itu sendiri merupakan fenomena sosial yang kompleks, dinamis sekaligus mempesona. Kompleks mengingat ada keragaman tanpa batas di sana. Dinamis karena budaya merupakan entitas yang selalu bergerak, entah maju atau bahkan mundur, sering pula tidak memiliki kejelasan arah yang pasti. Mempesona mempertimbangkan budaya adalah bahasa peradaban yang bisa membantu sesiapa mengerti masa lalunya. Tak ayal, budaya –bisa jadi- tidak memiliki batas demarkasi pemaknaan yang ajeg, kecuali hanya sebatas fenomena-fenomena yang terbahasakan, kemudian dikonsensuskan dalam batas kulturnya. Dalam arti, pada titik tertentu pengejawantahan terma budaya secara diskursif senantiasa mengalami pergeseran-pergeseran epistemologis, atau semacam tarik-ulur paradigmatik disetiap masa.
Pergeseran ini sendiri terbilang sesuatu yang logis mengingat setiap kata –bagaimanapun juga- selalu menyembunyikan konteks keterbentukannya dalam ikatan yang tegas. Keterikatan kata dengan konteks ini dengan sendirinya telah menunjukan bahwa setiap interpretasi selalu melibatkan berbagai kemungkinan pemaknaannya yang luas. Pemaknaannya akan sangat dipengaruhi olah kesadaran komunal di masanya, sehingga tiap peradaban tentu memiliki artikulasinya masing-masing di sini. Untuk itu, penulis bukan hendak melakukan pendefinisian budaya di sini, tapi –setidaknya- mencoba membatasi ruang lingkupnya dengan mengidentifikasi lebih lanjut cakupan paradigmatik budaya itu sendiri. Yaitu tentang bagaimana ke-tidak-terbatas-an pengalaman nyata untuk selalu direfleksikan secara beragam, membentuk masyarakat yang ber-kebudayaan itu sendiri.
Katakanlah budaya di sini adalah bentukan dialektika manusia dengan lingkungannya. Manusia melakukan pencerapan-pencerapan beragam fenomena, kemudian diolah sedemikian rupa hingga terbentuk semacam sistem prilaku, kepercayaan, adat-istiadat, nilai, kesenian dan berbagai kesepakatan-kesepakatan sosial lainnya. Relasi seperti ini meniscayakan sebuah pola komunikasi berbasiskan al-tatsîr wa al-taatsûr (saling mempengaruhi). Dalam arti, disatu sisi budaya membentuk identitas manusia, lain sisi kesadaran mereka mempengaruhi budaya itu sendiri. Hadir semacam ruang-ruang terbuka yang memungkinkan terjadinya peleburan paradigma di sini.
Proses peleburan itu sendiri memiliki beberapa karakter. Bisa dengan melakukan penjajaran identitas kemudian menghadirkan potret relasinya yang berkesinambungan. Relasi tersebut semerta menghadirkan kenyamanan melalui relasi-relasi harmoni. Bisa juga dengan memunculkan sesuatu kreatifitas dari ruang-ruang fantasi. Namun yang pasti, proses ini selalu tentang bagaimana identitas mewujud, bersalin rupa, berefleksi untuk kemudian mengikatkan diri pada jejaring epistema yang luas dalam bingkai sebuah kebudayaan. Maka sejauh ini selalu ada celah yang bisa dimasuki proses dialektika itu, mengisi apa-apa yang belum padat dari konstruk sosial. Lantas pada titik inilah agama menjadi sesuatu yang penting untuk dicermati secara ketat dan hati-hati. Atau bahasakanlah ada celah menganga ketika budaya ‘mungkin’ bisa didialektikakan dengan agama, saling mengisi rongga-rongga yang menganga, memadatkan apa yang dinamakan identitas.
Sadar diri bahwa baik agama manupun budaya memiliki rongga menganga ini berpijak pada kenyataan krusial bahwa teks Wahyu tidak bisa meng-cover ragam fenomena keseharian manusia hingga bentuknya yang paling partikular. Hal ini bahkan jauh hari telah ditegaskan ulama semisal Ibn Miskawaih dalam Al-Hawâmil wa Al-Syawâmil hingga Al-Ghazali dalam Fadlâih Al-Bâthiniyyah. Namun jangan dipahami bahwa keterbatasan teks Wahyu ini semerta menciutkan atau bahkan menghilangkan sifat dasarnya yang sakral itu. Karena jika kita pinjam analisa filsafat bahasa, keterbatasan bahasa dalam mengartikulasikan ragam fenomena manusia mempertimbangkan pengalaman nyata selalu lebih luas, lebih dalam dan lebih rumit dari sekedar apa yang terbahasakan. Tak ayal, fenomena yang terbahasakan pada dasarnya sedang mengalami semacam penciutan pengalaman. Bahasa sepenuhnya kesulitan memotret keragaman itu dalam bentuk yang paling utuh, atau bahkan memang tidak bisa.
Mungkin sesiapa akan merasa terbatasi oleh penegasan Al-Qur`an terkait kesempurnaan agama, semerta ia dipahami se-kaku mungkin. Dalam surat Al-Maidah ayat 3 dijelaskan bahwa; ‘Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu’. Ayat ini dipahami seolah menunjukan tidak ada celah yang bisa dimasuki budaya untuk mengartikulasikan agama secara lebih kultural. Padahal kesempurnaan di sini –sebagaimana dipaparkan dalam beberapa literatur tafsir klasik- lebih dimaksudkan demikian jika memang dibidik dari pemaparan kaidah-kaidah umum, baik menyangkut akidah, nilai ataupun ketetapan-ketetapan hukum. Sedangkan bagaimana agama dipahami dalam potret partikularnya justru lebih dekat dengan interpretasi manusia yang berkelindan dengan pola hidup kesehariannya. Maka penegasan ini sebaiknya diartikan sebagai koridor yang membatasi ruang gerak keberagamaan, koridor Al-Qur`an dan Hadits. Sehingga tiap keragaman yang hadir dari bagaimana sesiapa mengartikulasikannya tetap dijaga sebagai sebuah realitas, atau semacam keniscayaan manusiawi.
Jadi walaupun agama –katakanlah- merupakan sesuatu diluar kesadaran indrawi, namun ketika dipahami oleh manusia agama harus didudukan dalam sistem kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam arti, pijakan paradigmatik keduanya yang menjadikan agama akan selalu berbeda dengan budaya, tapi proyeksi ke-beragama-an inilah yang selalu memunculkan keragaman interpretasi. Karena agama, sebagai sesuatu yang –katakanlah- ‘asing’, diluar sistem sosial dan adat-istiadat, sering mengadopsi tradisi dan kebiasaan yang sudah ada, agar perpindahan agama tidak terlalu mengagetkan (shock culture). Dan penulis kira, pendekatan kultural semacam inilah yang menjadikan Islam perlahan-lahan diterima di komunitasnya. Untuk itu, sesiapa harus cermat dalam memilah dan memilih antara nilai agama yang ajeg (al-tsâbit) dan nilai yang senantiasa berdialektika, berubah (al-mutaghayyir).
Memang, untuk melakukan identifikasi antara yang ajeg dengan sesuatu yang senantiasa berubah menjadi penting di sini. Namun bagi penulis, keduanya tidak bisa dibatasi dengan tipologi yang tegas, mengingat keduanya sangat berkelindan dengan bagaimana sesiapa memahami teks keagamaan. Dalam hal ini pernyataan Stephen Mulhall menjadi menarik bahwa; ‘just as interpretation is grounded in understanding, so assertions is grounded in interpretation’. Dalam arti, sebuah pernyataan selalu didasarkan pada bagaimana sesiapa mengartikulasikan sebuah teks, lantas artikulasi itu sendiri sangat dipengaruhi sesiapa memahami teks. Tak ayal, penegasan yang kaku menjadi tidak menemukan pembenarannya di sini.
Asumsi penulis, justru pada titik inilah nampak semacam celah dimana budaya masuk dalam nilai-nilai agama, memotret manusia dalam bentuk yang paling beragam, paling partikular. Dalam arti, teks yang terbatas ini menghadirkan semacam peluang untuk menguisi apa-apa yang belum padat dari pencerapan realitas melalui proses ijtihâd. Dan selama manusia memiliki imajinasi, fenomena akan selalu berubah dan bagaimana memaknai agama juga tidak akan pernah ajeg. Akhirnya, tunggalitas interpretasi menjadi tidak penting, dan pluraitas menjelma tak terbantahkan.
Tagammu; 25 Oktober 2011 (01:40 pm)