fahmy farid p.
(sebuah catatan dari yang tersirat saat membaca Manâhij al-Bahts karya Ali Sami Nasyar)

Acap kali para sejarawan mendapati kesulitan menentukan titik tolak untuk melacak tipologi diskursus keilmuan Islam yang berakar dari filsafat. Dalam mengidentifikasi sejarah pemikiran Islam, mereka cenderung me-refer pada masa dinasti Abbasiah (750-1258 M.) sebagai prototype pemerintahan yang menterjemahkan secara massif wacana filsafat Yunani dan menerapkannya pada dunia akademik Islam, walaupun tidak ada kejelasan pasti siapa yang memulainya. Akan tetapi, mereka sepakat bahwa ilmu Mantiq (logika) merupakan wacana Yunani klasik yang pertama kali diadopsi Islam. Catatan kegemilangan peradaban Islam di bawah pemerintahan dinasti Abbasiah ini tidak mungkin mengesampingkan karakteristik pemerintahan Bani Umayyah (661-750 M.) sebagai pijakan historis memahami akar genealogis infiltrasi diskursus Yunani klasik terhadap Islam. Sejarawan mencatat bahwa, invasi religi yang dilakukan Dinasti Umayyah meliputi beberapa kawasan yang kental dengan ruh Hellenistik (seperti Mesir, Syam, Irak dan Persia-Iran), sehingga terjadi persenggamaan budaya dan ideologi (cross cultur and ideology) antara keduanya.

Sisi krusial dari invasi ini bahwa, Islam menanamkan nilai-nilai persamaan hak (human right) bagi setiap warga yang hidup di tanah penaklukan, tanpa memandang kultur-budaya, strata sosial dan bangsa. Perbedaan sejarah peradaban, adat-istiadat dan pengaruh pemikiran Yunani kuno yang menyeruak pada tatanan kehidupan sosial daerah-daerah tersebut kemudian berakulturasi dalam harmoni dengan nilai-nilai substansial Islam. Dalam arti, Islam tidak diposisikan sebagai agama eksklusif bangsa Arab, juga tidak tertutup untuk segala dinamika peradaban lain (inklusif), sebagaimana Islam di Jawa yang berakulturasi dengan budaya lokal melalui media wayang Purwa (wayang kulit bercorak Islam) atas kepiawaian Sunan Kalijaga, Sunan Drajat menggubah tembang Pengkur, Sunan Kudus dengan gending Maskumambang dan Mijil, bahkan Sunan Kalijaga mengajarkan Islam dengan media seni wayang Golek. Eksesnya, terjadi pengaburan orsinilitas diskursus Islam klasik disatu sisi, akan tetapi semakin memperkaya alat bedah serta optik pembacaan Islam itu sendiri pada sisi lainnya (efek ganda). Dalam hal ini, perlu adanya identifikasi mendalam menganai ajaran Islam yang tsâbit (tetap) dan mutahawwil (pengaruh budaya lokal), sehingga akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai-nilai substansial Islam itu sendiri.

Ketika melakukan invasi religi terhadap wilayah-wilayah yang lebih luas, Dinasti Umayyah meracik Islam dengan karakteristik agama yang toleran terhadap berbagai corak asasi peradaban, dalam bingkai konsep taswiyah (egalitarianisme) manusia dengan semangat kebebasan berfikir (hurriah al-fikr). Semangat persamaan antara bangsa Arab dan bangsa asing (`ajam) yang diusung, secara aksiomatik menimbulkan ragam kongklusi hukum yang berbeda di tiap daerah taklukan. Perbedaan ini tidak hanya terjadi dalam tatanan hukum dan akidah, namun masuk pula dalam ranah perdebatan teologis. Diskursus keilmuan Yunani kuno mulai diadopsi dan diaplikasikan dalam menjelaskan Islam, sehingga terjadi pergeseran wacana-wacana agama saat itu. Maka tidak aneh jika hasil penelitian para sejarawan mencatat bahwa teolog pertama dari kalangan mutakallimîn seperti Washil ibn `Athâ mengarang buku-buku diskursus filsafat. Kecenderungan pola pikir yang mengadopsi nilai-nilai Helenistik kemudian menjadi polemik berkepanjangan diantara muslim murni (aqhâh) generasi pertama dengan muslim blaster (muhajjan) serta tokoh-tokoh moderat diantara mereka.

Banyak sekali bukti-bukti serta data-data otentik yang menjelaskan muasal persenggamaan Islam dengan Yunani pada masa dinasti Umayyah –walaupun belum diadopsi dan tersebar secara massif- sebagaimana hasil penelusuran Ibnu Katsir (hal ini ditengarai atas sikap para ulama salaf yang enggan –menolak- ‘menceburkan diri’ pada segala aspek yang datang dari luar Islam, dalam hal ini adalah ilmu filsafat Yunani). Disamping itu, para gerejawan –terutama yang berada di kawasan Syam dan Nahrawain- sepenuhnya dilindungi dan dijamin kebebasannya dalam mengembangkan ideologi-religi oleh pemerintah, sehingga terjadi kontak personal anrara muslimin dengan gerejawan yang acap kali mendiskusikan teologi Nasrani. Diskusi ilmiah yang terjadi mengharuskan ulama muslim mempelajari teologi Nasrani yang sangat kental dipengaruhi wacana mantiq serta filsafat Ruwaqiyyah. Mereka memulainya dengan melakukan analisis-komprehensif terhadap diskursus filsafat Yunani dan Mantiq Aristoteles, sehingga banyak ditemukan tulisan-tulisan Mutakalimîn (teolog) yang menterjemah, menganalisa dan men-syarah-i, bahkan mengkritik Mantiq Aristoteles dengan menggunakan metodologi perbandingan. Di Iskandariah (Alexsandria-Mesir) sendiri, Khalid ibn Yazid memerintahkan para ulama keturunan Yunani yang menetap di sana, untuk menterjemahkan Organon (kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika) ke dalam Bahasa Arab. Adapun karya-karya Aristoteles yang pertama kali diterjemahkan adalah Categoriae (Terms/Qâthîgâriâs), de Interpretatione (Propositions/Bârî Arminiyâs), Analytica Priora (Syllogisms/Anâlûthîqâ al-Ûlâ), juga Eisagoge (pengantar buku Categoriae) karya Porohyus.

Data sejarah di atas jelas-jelas membuktikan bahwa, Dinasti Umayyah memiliki pengaruh signifikan terhadap pemerintahan Islam setelahnya, sebagai titik tolak transformasi filsafat Yunani kedalam diskursus Islam. Hasil pelacakan data-data yang ditemukan para sejarawan juga cenderung menguatkan fakta tersebut, dimana banyak ditemukan manuskrip-manuskrip kaum Suryaniyah pada masa pemerintahan dinasti Umayyah.

Me-refer pada sejarah peradaban manusia pra-Islam, Yunani merupakan salah satu kawasan yang memiliki peradaban gemilag (peradaban nalar). Pengadopsian diskursus filsafat Yunani kuno terbukti memainkan peranan sangat penting terhadap perkembangan Islam hingga mencapai titik kulminasi pada masa Dinasti Abbasiah, dimana corak Islam yang berkembang saat itu sangat ingklusif. Ilmu logika (mantiq) berpengaruh besar terhadap kemunculan ragam optik pmbacaan Islam, baik dalam diskursus Ushûl Fiqh (Islamic law and jurisprudence), maupun Kalâm (teology).

Di era modern (post-modern), Amerika dan Eropa merupakan peradaban yang paling gemilang. Mereka memiliki berbagai alat bedah keilmuan dalam memahami dinamika kehidupan sosial, politik dan budaya. Sedangkan Islam mengalami kemunduran yang cukup akut. Islam seolah-olah telah kehilangan Identitas sebagai agama yang ‘membebaskan’ yang kemudian bertransformasi menjadi agama yang ekslusif. Banyak cendikia muslim yang menutup diri terhadap wacana-wacana yang digelontorkan para orientalis. Padahal, jika saja mereka memandang bahwa sebenarnya ilmu adalah sesuatu yang bebas nilai, seharusnya mereka tidak terjerumus pada sikap chauvistik-eksklusif. Maka, sudah sepatutnya jejak-jejak pergerakan sejarah abad pertama Hijriyah mulai dikobarkan kembali.
Labels: edit post
0 Responses

Post a Comment