Dalam menganalisa hukum perayaan maulid nabi, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan terlebih dahulu:
Pertama:
Definisi bid`ah, baik secara etimologi maupun terminologi. Hal ini penting diketahui agar tidak terjebak dalam kerancuan istilah-istilah yang digunakan. Pertama, kita kemukakan hadits yang sering digunakan ulama yang menentang praktek maulid:
Iyâkum wa muhdatsât al-umûr. Fainna kulla bid`ah dlalâlah.
Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan.
HR. Abu Daud dan Tarmizi.
Secara etimologi, bid`ah diartikan sebagai hal baru yang belum pernah dilakukan/ditemukan sebelumnya (muhdatsah jadîdah/muhdatsah lam takun). Sedangkan secara terminologi, pada prinsipnya tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam mendefinisikan bid`ah.[1] Menurut Imam al-Syafi`i:
al-muhdatsât (inovasi/hal baru) terbagi dua macam: Pertama, inovasi yang bertentangan dengan al-Qur`an, al-Sunnah, Atsar, atau Ijma`. Hal ini adalah al-bid`ah al-dlalâlah (inovasi yang menyesatkan). Kedua, inovasi akan hal-hal yang bersifat baik, serta sama sekali tidak bertentangan dengan salah satu sumber hukum syara` diatas. Hal ini dikategorikan al-bid`ah al-hasanah/muhdatsah ghair madzmûmah (inovasi yang tidak tercela).
Pengkategorian bid`ah ini, dilatarbelakangi oleh kejadian pada masa khalifah Umar ibn al-Khattab r.a., dimana beliau mengungkapkan bahwa berjamaah saat qiam Ramadhan adalah sebaik-baiknya bid`ah.[2] Selain itu, selaras dengan sejarah pengkodifikasian al-Qur`an pada masa kahifah Abu Bakar r.a, dimana sahabat Umar r.a. mengusulkan agar al-Qur`an dikumpulkan karena dianggap sesuatu yang berguna untuk kemaslahatan umat, walaupun Rasulullah saw. sendiri tidak pernah melakukannya.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Zaid ibn Tsabit bahwa umar berkata: Aku berpendapat bahwa kamu –sebaiknya– mengumpulkan al-Qur`an. Abu Bakar r.a. berkata: Aku berkata kepada Umar: Bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah saw?! Umar berkata: Demi Allah, itu baik. Tidak henti-hentinya Umar mendesakku untuk melakukannya hingga Allah menjelaskan dalam dada saya.
Dalam arti, pada mulanya Abu Bakar r.a. berargumen bahwa hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., sedangkan sahabat Umar r.a. berpendapat, walaupun belum pernah terjadi sebelumnya, tapi mempertimbangkan kemaslahatan dibaliknya (pensyari`tan bisa dipertimbangkan dari sisi ini). Abu Bakar menyepakati rencana tersebut dengan bertendensikan kemaslahatan/kebaikan, kemudian beliau mengulangi jawaban Umar r.a. saat berbicara dengan Zaid ibn Tsabit.
Frame sejarah ini –secara aksiomatik– bisa dijadikan jawaban bagi setiap orang yang menolak segala hal yang bersifat baru yang belum pernah dilakukan pada masa Rasul. Karena pada dasarnya kemaslahatan/kebaikan di-syari`at-kat oleh nash al-Qur`an dengan janji kebahagiaan dibaliknya.[3] Maka bisa dipastikan bahwa kata “kullu” (seluruh) dalam hadits diatas bermakna “ba`dlu” (sebagian), mempertimbangkan adanya dikotomi antara al-bid`ah al-madzmûmah/al-dlalâlah dengan al-bid`ah al-hasanah/muhdatsah ghair madzmûmah.
Metodologi penetapan hukum yang digunakan untuk mengklasifikasikan segala hal yang baru (inovasi) ke dalam bentuk bid`ah hasanah (atau dalam konsep ibn Taimiyah dikategorikan sebagai bentuk takhsis (pengkhususan) terhadap ucapan Rasul: “kulla bid`ah dlalâlah”), ada kalanya dengan menggunakan nash, atau memakai perangkat analisis-metodologis istambath, seperti ijma`,[4] qiyas dll.
***
Kedua:
Hukum perayaan maulid nabi apakah termasuk masalah yang bersifat ijtihady (nalar-kontemplatif) ataukah bukan? Melihat makalah yang ditulis orang-orang yang menganggap bid`ah, ada kecenderungan bahwa masalah maulid nabi digeret pada ranah ubûdiyah,[5] dengan mempertimbangkan beberapa poin penting;
- Cinta kepada nabi termasuk “ibadah”. Tapi, dalam hal ini tidak ada anjuran (baca-nash) dari Nabi saw. Untuk melakukan perayaan.
- Sejarah mencatat bahwa perayaan dilakukan pada abad IV Hijriyah, dimasa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Dalam arti para salaf al-shalih (yang hidup pada masa sahabat, tâbi`în dan tâbi` al-tâbi`în) sama sekali tidak merayakannya, padahal mereka lebih pantas untuk merayakannya.[6]
- Secara nalar, tidak ditemukannya kejelasan pasti dan otentik kapan Nabi Muhammad saw. dilahirkan.
Sedangkan para ulama yang memperbolehkan perayaan tersebut lebih cenderung mengkategorikannya dalam wilayah ijtihadiy yang jelas-jelas kebenarannya masih bersifat praduga-asumsi (bisa benar, juga bisa salah). Walaupun demikian, kesalahan dalam ber-ijtihad ditolelir oleh agama dan baginya satu kebaikan (pahala). Nabi sendiri jelas-jelas menjamin hal ini. Maka seseorang yang salah dalam menetapkan hukum (dalam wilayah ijtihadiy) tidaklah dikatakan bid`ah karena Allah tidak memberikan pahala/kebaikan apapun bagi orang yang melakukan bid`ah (kullu bid`ah dlalâlah wa kullu dlalâlah fî al-nâr). Bagi mereka, ulama yang mengharamkan maulid barangkali “lupa” akan prinsip dasar ini, “pura-pura tidak tahu” karena adanya persaingan ideologi, bisa juga mereka menduga bahwa masalah ini bukan dikelompokan dalam wilayah ijtihadiy. Jelaslah bahwa sudut pandang kedua kubu ini jauh berbeda!.
***
Ketiga:
Hukum perayaan maulid Nabi (terlepas dari faktor eksternal, seperti percampuran laki-laki dengan perempuan, ritual yang berbau klenik, takhayul dll.)?.[7] Ibn Hajar dan para ulama yang sepaham dengannya (seperti Imam al-Suyuti, ibn Duhaiyah, ibn Jazari serta ibn Nashir al-Damasqiy) berpendapat bahwa, hukum perayaan maulid Nabi adalah sunnah (mustahab) dengan menggunakan metodologi al-qiyas al-aulawiy dalam masalah hukum puasa `Asyura.
Sa`id ibn Jubair berkata dari ibn Abbas r.a. berkata: Ketika Nabi saw. bari berhijrah ke Madinah, mereka dapati kaum Yahudi berpuasa pada hari `Asyura (10 Muharram). Mereka bertanya kepada kaum Yahudi tentang puasa mereka itu. Mereka menjawab: “Hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil terhadap Fir`aun dan kaumnya. Maka kami berpuasa sebagai pengagungan hari ini”. Maka Nabi Saw. berkata: “Kami lebih layak mengikuti jejak langkah Musa dari kamu”.
Dilihat dari motif/alasan dan sebab disunnahkannya puasa `Asyura (sebagai bentuk “syukur” atas kemenangan Musa beserta Bani Israil), maka ibn Hajar berpendapat puasa pada hari kelahiran Nabi justru lebih utama sebagai rasa “syukur” atas ni’mat diutusnya Nabi Muhammad saw. menjadi rahmat bagi seluruh jagat raya (rahmat li al-`âlamîn). Dengan mempertimbangkan kesamaan motif dan sebabnya (syukur), maka muncukah kaidah umum:
Setiap perbuatan yang merefleksikan rasa syukur adalah sesuatu yang di-syari`at-kan, karena syukur –dalam hal ini– diposisikan sebagai motif/alasan hukum (`illat al-hukm) dan sebab hukum (sabâb al-ahkâm). Maka bentuk ibadah apapun yang memiliki kesamaan motif dan sebab, hukumnya disamakan dengan puasa `Asyura (baik menggunakan perangkat qiyas, atau memandang bahwa seolah-olah dalil ini menjadi legitimasi yang valid).
Maka, hukum perayaan maulid nabi adalah mustahabbah/sunnah. Namun ulama sendiri berbeda pendapat dalam menjustifikasi hukum tersebut. Sebgian ulama menjadikan hadits (nash) terkait puasa `Asyura –seolah-olah– sebagai tendensi dalil, sedangkan ulama lainnya menggunakan perangkat qias (qias aulawiy).
***
Pada akhirnya, semuanya punya alasan. Yang terpenting jangan saling mengcela, apalagi menghina. Tentang bagaimmmana beda melebur dalam harmoni nan berwarna...bhineka tunggal ika...
---------------------
[1] Pemilahan ini sejatinya tidak bertentangan dengan pedapat ulama yang mengatakan bahwa: “Sama sekali tidak pernah ditemukan adanya terma bid`ah hasanah dalam syara`”, karena yang dimaksud disana adalah: “sesungguhnya perbuatan yang bertentangan dengan dalil syara` tidak mungkin dianggap baik secara syara`”, sebagaimana dijelaskan oleh ibn Taimiyah. Sedangkan orang yang menyangka bahwa segala hal yang terjadi setelah masa Nabi saw. dan periode salaf al-shalih adalah bid`ah secara mutlak (tanpa pemilahan ataupun pen-takhsis-an sebagaimana yang dilakukan ibn Taimiyah), adalah pendapat yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip dasar syara`.
[2] Ketika menyikapi ritual shalat berjama`ah di malam bulan Ramadhan, sahabat umar r.a. berkata Ni`mat al-bid`ah hâdzâ.
[3] Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (Q.S. al-Hajj: 77)
[4] Seperti bagaimana sahabau Utsman ibn Affan menambah bilangan adzan (adzan awal) pada hari Jum`at, memandang semakin banyaknya orang-orang yang memeluk agama Islam saat itu. Dalam arti, Sahabat Utsman r.a. menggali hukum yang bertendensikan nash untuk kemudian menjadi syari`at.
[5] Dalam kaidah ushûliyah sendiri, para ulama kontemporer mendikotomikan antara aspek `ubûdiyah dan mu`âmalah, dimana prinsip dasar dalam masalah `ubûdiah lebih mengedepankan kebakuan ritual (segala hal adalah haram kecuali yang jelas diperintahkan oleh agama), sehingga aspek inovasi (bid`ah) atau pembaharuan dibatasi sesempit mungkin (inovasi harus bertendensikan nash atau perangkat ijtihad). Sedangkan aspek mu`amalah dan interaksi sosial lebih lebih mengedepankan keterbukaan dengan memandang mashalih `amah (kemaslahatan masyarakat umum) dan maqasid syari`ah (tujuan hukum) denagn bertendensikan kaidah “anna al-ashla fî al-asyâ al-ibâhah illa mâ jâa bihi nash yutsbitu tahrîmahu” (segala hal adalah diperbolehkan/halah kecuali yang jelas diharamkan oleh agama).
[6] Ibn Taimiyah berpendapat bahwa ulama salaf tidak pernah mengadakan perayaan maulid Nabi. Jika hal tersebut dianggap baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya. Maka hal ini adalah bid`ah. Akan tetapi Imam Suyuthi menanggapinya bahwa tidak ada seorang ulama salaf-pun melarang ataupun men-syari`at-kan, Mereka “diam” –dalam masalah ini. Sedangkan hadits (baca-hadits puasa `Asyura) adalah dalil yang tetap. Jelas bahwa hadits (tsubut al-dalil) lebih dikedepankan daripada “diam”. Hal ini dalam diskursus Ushûl al-Fiqh dinamakan al-Istishâb.
[7] Perayaan maulid Nabi yang mengandung unsur-unsur kemungkaran (tidak sesuai dengan norma-norma agama) didalamnya, maka hal tersebut jelas haram. Namun, norma-norma agama itu sendiri akan menjadi polemik ketika seseorang tidak memahami dan mengidentifikasi dengan jeli, mana ajaran agama yang tsâbit (tetap) dan mana yang mutahawwil/mutaghayyir (berubah), kemudian dibenturkan dengan nilai-nilai “islam lokal”, karena bagi penulis sendiri, ajaran agama itu ada yang bersifat universal dan ada yang lokal (produk budaya).
Pertama:
Definisi bid`ah, baik secara etimologi maupun terminologi. Hal ini penting diketahui agar tidak terjebak dalam kerancuan istilah-istilah yang digunakan. Pertama, kita kemukakan hadits yang sering digunakan ulama yang menentang praktek maulid:
Iyâkum wa muhdatsât al-umûr. Fainna kulla bid`ah dlalâlah.
Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan.
HR. Abu Daud dan Tarmizi.
Secara etimologi, bid`ah diartikan sebagai hal baru yang belum pernah dilakukan/ditemukan sebelumnya (muhdatsah jadîdah/muhdatsah lam takun). Sedangkan secara terminologi, pada prinsipnya tidak ditemukan perbedaan yang signifikan dalam mendefinisikan bid`ah.[1] Menurut Imam al-Syafi`i:
al-muhdatsât (inovasi/hal baru) terbagi dua macam: Pertama, inovasi yang bertentangan dengan al-Qur`an, al-Sunnah, Atsar, atau Ijma`. Hal ini adalah al-bid`ah al-dlalâlah (inovasi yang menyesatkan). Kedua, inovasi akan hal-hal yang bersifat baik, serta sama sekali tidak bertentangan dengan salah satu sumber hukum syara` diatas. Hal ini dikategorikan al-bid`ah al-hasanah/muhdatsah ghair madzmûmah (inovasi yang tidak tercela).
Pengkategorian bid`ah ini, dilatarbelakangi oleh kejadian pada masa khalifah Umar ibn al-Khattab r.a., dimana beliau mengungkapkan bahwa berjamaah saat qiam Ramadhan adalah sebaik-baiknya bid`ah.[2] Selain itu, selaras dengan sejarah pengkodifikasian al-Qur`an pada masa kahifah Abu Bakar r.a, dimana sahabat Umar r.a. mengusulkan agar al-Qur`an dikumpulkan karena dianggap sesuatu yang berguna untuk kemaslahatan umat, walaupun Rasulullah saw. sendiri tidak pernah melakukannya.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Zaid ibn Tsabit bahwa umar berkata: Aku berpendapat bahwa kamu –sebaiknya– mengumpulkan al-Qur`an. Abu Bakar r.a. berkata: Aku berkata kepada Umar: Bagaimana saya melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah saw?! Umar berkata: Demi Allah, itu baik. Tidak henti-hentinya Umar mendesakku untuk melakukannya hingga Allah menjelaskan dalam dada saya.
Dalam arti, pada mulanya Abu Bakar r.a. berargumen bahwa hal tersebut tidak pernah dilakukan oleh Nabi saw., sedangkan sahabat Umar r.a. berpendapat, walaupun belum pernah terjadi sebelumnya, tapi mempertimbangkan kemaslahatan dibaliknya (pensyari`tan bisa dipertimbangkan dari sisi ini). Abu Bakar menyepakati rencana tersebut dengan bertendensikan kemaslahatan/kebaikan, kemudian beliau mengulangi jawaban Umar r.a. saat berbicara dengan Zaid ibn Tsabit.
Frame sejarah ini –secara aksiomatik– bisa dijadikan jawaban bagi setiap orang yang menolak segala hal yang bersifat baru yang belum pernah dilakukan pada masa Rasul. Karena pada dasarnya kemaslahatan/kebaikan di-syari`at-kat oleh nash al-Qur`an dengan janji kebahagiaan dibaliknya.[3] Maka bisa dipastikan bahwa kata “kullu” (seluruh) dalam hadits diatas bermakna “ba`dlu” (sebagian), mempertimbangkan adanya dikotomi antara al-bid`ah al-madzmûmah/al-dlalâlah dengan al-bid`ah al-hasanah/muhdatsah ghair madzmûmah.
Metodologi penetapan hukum yang digunakan untuk mengklasifikasikan segala hal yang baru (inovasi) ke dalam bentuk bid`ah hasanah (atau dalam konsep ibn Taimiyah dikategorikan sebagai bentuk takhsis (pengkhususan) terhadap ucapan Rasul: “kulla bid`ah dlalâlah”), ada kalanya dengan menggunakan nash, atau memakai perangkat analisis-metodologis istambath, seperti ijma`,[4] qiyas dll.
***
Kedua:
Hukum perayaan maulid nabi apakah termasuk masalah yang bersifat ijtihady (nalar-kontemplatif) ataukah bukan? Melihat makalah yang ditulis orang-orang yang menganggap bid`ah, ada kecenderungan bahwa masalah maulid nabi digeret pada ranah ubûdiyah,[5] dengan mempertimbangkan beberapa poin penting;
- Cinta kepada nabi termasuk “ibadah”. Tapi, dalam hal ini tidak ada anjuran (baca-nash) dari Nabi saw. Untuk melakukan perayaan.
- Sejarah mencatat bahwa perayaan dilakukan pada abad IV Hijriyah, dimasa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Dalam arti para salaf al-shalih (yang hidup pada masa sahabat, tâbi`în dan tâbi` al-tâbi`în) sama sekali tidak merayakannya, padahal mereka lebih pantas untuk merayakannya.[6]
- Secara nalar, tidak ditemukannya kejelasan pasti dan otentik kapan Nabi Muhammad saw. dilahirkan.
Sedangkan para ulama yang memperbolehkan perayaan tersebut lebih cenderung mengkategorikannya dalam wilayah ijtihadiy yang jelas-jelas kebenarannya masih bersifat praduga-asumsi (bisa benar, juga bisa salah). Walaupun demikian, kesalahan dalam ber-ijtihad ditolelir oleh agama dan baginya satu kebaikan (pahala). Nabi sendiri jelas-jelas menjamin hal ini. Maka seseorang yang salah dalam menetapkan hukum (dalam wilayah ijtihadiy) tidaklah dikatakan bid`ah karena Allah tidak memberikan pahala/kebaikan apapun bagi orang yang melakukan bid`ah (kullu bid`ah dlalâlah wa kullu dlalâlah fî al-nâr). Bagi mereka, ulama yang mengharamkan maulid barangkali “lupa” akan prinsip dasar ini, “pura-pura tidak tahu” karena adanya persaingan ideologi, bisa juga mereka menduga bahwa masalah ini bukan dikelompokan dalam wilayah ijtihadiy. Jelaslah bahwa sudut pandang kedua kubu ini jauh berbeda!.
***
Ketiga:
Hukum perayaan maulid Nabi (terlepas dari faktor eksternal, seperti percampuran laki-laki dengan perempuan, ritual yang berbau klenik, takhayul dll.)?.[7] Ibn Hajar dan para ulama yang sepaham dengannya (seperti Imam al-Suyuti, ibn Duhaiyah, ibn Jazari serta ibn Nashir al-Damasqiy) berpendapat bahwa, hukum perayaan maulid Nabi adalah sunnah (mustahab) dengan menggunakan metodologi al-qiyas al-aulawiy dalam masalah hukum puasa `Asyura.
Sa`id ibn Jubair berkata dari ibn Abbas r.a. berkata: Ketika Nabi saw. bari berhijrah ke Madinah, mereka dapati kaum Yahudi berpuasa pada hari `Asyura (10 Muharram). Mereka bertanya kepada kaum Yahudi tentang puasa mereka itu. Mereka menjawab: “Hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil terhadap Fir`aun dan kaumnya. Maka kami berpuasa sebagai pengagungan hari ini”. Maka Nabi Saw. berkata: “Kami lebih layak mengikuti jejak langkah Musa dari kamu”.
Dilihat dari motif/alasan dan sebab disunnahkannya puasa `Asyura (sebagai bentuk “syukur” atas kemenangan Musa beserta Bani Israil), maka ibn Hajar berpendapat puasa pada hari kelahiran Nabi justru lebih utama sebagai rasa “syukur” atas ni’mat diutusnya Nabi Muhammad saw. menjadi rahmat bagi seluruh jagat raya (rahmat li al-`âlamîn). Dengan mempertimbangkan kesamaan motif dan sebabnya (syukur), maka muncukah kaidah umum:
Setiap perbuatan yang merefleksikan rasa syukur adalah sesuatu yang di-syari`at-kan, karena syukur –dalam hal ini– diposisikan sebagai motif/alasan hukum (`illat al-hukm) dan sebab hukum (sabâb al-ahkâm). Maka bentuk ibadah apapun yang memiliki kesamaan motif dan sebab, hukumnya disamakan dengan puasa `Asyura (baik menggunakan perangkat qiyas, atau memandang bahwa seolah-olah dalil ini menjadi legitimasi yang valid).
Maka, hukum perayaan maulid nabi adalah mustahabbah/sunnah. Namun ulama sendiri berbeda pendapat dalam menjustifikasi hukum tersebut. Sebgian ulama menjadikan hadits (nash) terkait puasa `Asyura –seolah-olah– sebagai tendensi dalil, sedangkan ulama lainnya menggunakan perangkat qias (qias aulawiy).
***
Pada akhirnya, semuanya punya alasan. Yang terpenting jangan saling mengcela, apalagi menghina. Tentang bagaimmmana beda melebur dalam harmoni nan berwarna...bhineka tunggal ika...
---------------------
[1] Pemilahan ini sejatinya tidak bertentangan dengan pedapat ulama yang mengatakan bahwa: “Sama sekali tidak pernah ditemukan adanya terma bid`ah hasanah dalam syara`”, karena yang dimaksud disana adalah: “sesungguhnya perbuatan yang bertentangan dengan dalil syara` tidak mungkin dianggap baik secara syara`”, sebagaimana dijelaskan oleh ibn Taimiyah. Sedangkan orang yang menyangka bahwa segala hal yang terjadi setelah masa Nabi saw. dan periode salaf al-shalih adalah bid`ah secara mutlak (tanpa pemilahan ataupun pen-takhsis-an sebagaimana yang dilakukan ibn Taimiyah), adalah pendapat yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip dasar syara`.
[2] Ketika menyikapi ritual shalat berjama`ah di malam bulan Ramadhan, sahabat umar r.a. berkata Ni`mat al-bid`ah hâdzâ.
[3] Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (Q.S. al-Hajj: 77)
[4] Seperti bagaimana sahabau Utsman ibn Affan menambah bilangan adzan (adzan awal) pada hari Jum`at, memandang semakin banyaknya orang-orang yang memeluk agama Islam saat itu. Dalam arti, Sahabat Utsman r.a. menggali hukum yang bertendensikan nash untuk kemudian menjadi syari`at.
[5] Dalam kaidah ushûliyah sendiri, para ulama kontemporer mendikotomikan antara aspek `ubûdiyah dan mu`âmalah, dimana prinsip dasar dalam masalah `ubûdiah lebih mengedepankan kebakuan ritual (segala hal adalah haram kecuali yang jelas diperintahkan oleh agama), sehingga aspek inovasi (bid`ah) atau pembaharuan dibatasi sesempit mungkin (inovasi harus bertendensikan nash atau perangkat ijtihad). Sedangkan aspek mu`amalah dan interaksi sosial lebih lebih mengedepankan keterbukaan dengan memandang mashalih `amah (kemaslahatan masyarakat umum) dan maqasid syari`ah (tujuan hukum) denagn bertendensikan kaidah “anna al-ashla fî al-asyâ al-ibâhah illa mâ jâa bihi nash yutsbitu tahrîmahu” (segala hal adalah diperbolehkan/halah kecuali yang jelas diharamkan oleh agama).
[6] Ibn Taimiyah berpendapat bahwa ulama salaf tidak pernah mengadakan perayaan maulid Nabi. Jika hal tersebut dianggap baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya. Maka hal ini adalah bid`ah. Akan tetapi Imam Suyuthi menanggapinya bahwa tidak ada seorang ulama salaf-pun melarang ataupun men-syari`at-kan, Mereka “diam” –dalam masalah ini. Sedangkan hadits (baca-hadits puasa `Asyura) adalah dalil yang tetap. Jelas bahwa hadits (tsubut al-dalil) lebih dikedepankan daripada “diam”. Hal ini dalam diskursus Ushûl al-Fiqh dinamakan al-Istishâb.
[7] Perayaan maulid Nabi yang mengandung unsur-unsur kemungkaran (tidak sesuai dengan norma-norma agama) didalamnya, maka hal tersebut jelas haram. Namun, norma-norma agama itu sendiri akan menjadi polemik ketika seseorang tidak memahami dan mengidentifikasi dengan jeli, mana ajaran agama yang tsâbit (tetap) dan mana yang mutahawwil/mutaghayyir (berubah), kemudian dibenturkan dengan nilai-nilai “islam lokal”, karena bagi penulis sendiri, ajaran agama itu ada yang bersifat universal dan ada yang lokal (produk budaya).
Post a Comment