‘SATU’ tak selamanya baik buat manusia. Bilangan itu terlampau berbatas untuk didaku seluruh umat manusia seutuhnya.
Identitas, bagaimanapun juga selalu memendam muatan enigmatik. Ia sesekali waktu bagai topeng tanpa kerutan tegas-menegas, apalagi relief yang jelas, terkaburkan atau sengaja dikaburkan. Tapi di lain waktu justru bisa menjelma lakon dalam suatu peranan yang menjadikan sesiapa itu dikenal, walaupun senyatanya tak pernah tuntas. Ia adalah entitas yang selalu bergerak, entah maju atau bahkan mundur, sering pula tidak memiliki kejelasan arah yang pasti. Berpijak dari sini, ada semacam muatan-muatan penting dalam sebuah identitas, namun sekaligus memendam problematisnya tersendiri. Sebegitu penting sekaligus problematisnya identitas ini telah menjadikannya patut untuk dibaca secara hati-hati. Karena bagaimanapun juga, bahkan sedari awal, setiap bentuk perjuangan manusia boleh jadi hanya sebatas proses mempertegas identitas belaka, tidak lebih. Dalam hal ini, mula-mula identitas menampak dalam potret yang teramat lugu, lalu sesaat seketika mendadak konyol. Tak heran, banyak catatan sejarah menjadi saksi bisu hadirnya juta angkara atas nama identitas itu, pun akhirnya nyawa hanya seharga ‘AKU’ saja.
Terkait identitas ini, lebih dahulu bisa kita tarik garis analisa secara linear bahwa pada prinsipnya manusia cenderung berkelompok dengan berpijak pada persesuaian prespektif, atau paling tidak hadir semacam kebermungkinan itu. Sebagian besar, dalam bentangan cakrawala sejarah manusia yang biasa kita sebut peradaban, paradigma dasar kelompok itu terbilang eksklusif dalam identitas yang kaku. Di sisi lainnya hadir pula semacam dorongan untuk saling mendominasi, lalu jikapun memungkinkan menyerap cakrawala kebudayaan dalam batas pemaknaan normalitatif yang mampu diabstraksi.
Jelas jikapun demikian, identitas di sini bisa jadi hanya menghadirkan ambivalensi saja. Dalam pengertian yang paling sederhana, tanpa identitas, ke-aku-an takan pernah dikenal. Tapi ketika itu mulai menancap tegas, disadari ataupun tidak, ia justru ‘telah’ memproklamirkan diri sebagai eksistensi yang berbeda. Kemudian bisa jadi yang beda itu semerta harus tersingkir, bahkan acap kali tanpa hormat. Lantas slogan ‘SATU’ menemukan momentum wacananya saat itu juga.
Tapi naïf, cita-cita ‘SATU’ seakan menjadi lebih sering terdengar tanpa bergandeng mesra dengan slogan –dalam konteks Indonesia- ‘BHINEKA’, sehingga hal tersebut lebih terdengar sebatas penanda dengan rongga yang teramat menganga, tak padat. Keanekaragaman –seolah- menjadi tidak penting di sini, namun kepentingan yang justru memainkan peran sentral. Pada titik paling radikal, nilai paradoksial ini justru telah menjadikan identitas manusia terjebak –katakanlah- dalam dimensi ‘limbo’, ruang imajiner tanpa ketegasan yang jelas. Ia tak tahu, tanpa sadar, kenyataan apa yang didepannya. Ada satu keadaan yang –sengaja- dilupakan, dihilangkan, karena ia telah menafikan satu kenyataan penting; ‘SATU’ tak selamanya baik buat manusia. Bilangan itu terlampau berbatas untuk didaku seluruh umat manusia seutuhnya.
Tapi jangan lantas semerta terjustifikasi bahwa ini adalah satu-satunya gagasan besar yang terpotret pada seluruh gagasan peradaban manusia. Dalam arti, ketika slogan ‘SATU’ menjadi sedemikian tereduksi ke dalam tatanan yang paling kaku sebagai sebentuk sketsa hitam-putih saja. Jika ‘dia’ hitam, maka ‘aku’ adalah putih, lantas si hitam hanyalah duri dalam sejarah pun masa depan peradaban manusia. Pada titik paling kejam, potret ini terpetakan dalam usaha perebutan dominasi ideologis di mata publik hingga penguasa. Padahal dari dialektika intra-identitas ini, tak jarang pula sesiapa yang pernah berpijak pada bumi manusia mempunyai gagasan besar lain. Tak sedikit yang memperjuangkan keutuhan ‘SATU’ dengan menggunakan pembacaan menyeluruh terkait konsep manusia seutuhnya. Mereka cenderung mendudukan ‘SATU’ tidak pada sketsa hitam-putih yang notabene hanya sebatas problem dimensional saja. Tapi lebih pada bagaimana keragaman entitas yang membentuk identitas tersendiri, sebagai buah eksklusifitas terkait fenomena ‘SATU’ itu, berkumpul-lebur dalam satu wadah gagasan universal, sebuah kesatuan yang utuh nan inklusif. Dengan cara pandang inklusif ini, tiap riak eksklusifitas menjadi terangkul. Tegasnya, mendudukan gagasan tersebut pada tatanan proporsional yang paling mampu diabstraksi manusia, sebagai sebuah fenomena lainnya, fenomena ‘Bhineka Tunggal Ika’, dengan sebenar-benarnya, tanpa kamuflase.
***
Bagi penulis, Bhineka Tunggal Ika, sebagai sebuah prinsip, bahkan ideologi, telah menjadi identitas paten di bumi pertiwi. Kemudian dalam hal ini, ada nilai-nilai yang senafas dengan gagasan kebinekaan itu, prinsip moderatisme. Dengan cara pandang seperti ini, perbedaan tidak lagi didudukan sebagai lahan konflik, tapi justru menerimanya sebagai sebuah kenyataan hidup. Walaupun nyatanya sejauh ini baru terimplementasikan dalam lokus teori dan belum pada tatanan aksi yang utuh, namun prinsip ini sejatinya bisa dijadikan weltanschauung (cara pandang) terkait problem laten identitas.
Tapi sebelum masuk pada tatanan konstruk identitas masyarakat moderat itu sendiri, ada beberapa hal yang perlu dibaca secara hati-hati. Bagi penulis, hal ini menjadi sedemikian klise mengingat –diakui atau tidak- terminologi moderatisme senyatanya menyimpan sisi-sisi problematis yang acap kali tak terbaca, baik dari tipologi paradigmatiknya maupun pemegang otoritas yang berhak menentukan bentuk tegasnya. Dalam arti, semenjak di mula, konstruk moderatisme tidak memiliki batas garis demarkasi yang jelas. Hadir semacam pemaknaan yang kabur, mengabur. Lain pada itu, problem otoritas menjadi penanda krusial di sini. Maka di akhir cerita, setiap per satu entitas manusia akan tidak selalu sama dalam memaknai moderatisme tersebut. Hadir semacam kebermungkinan yang luas terkait pemaknaannya, atau jangan-jangan moderatisme hanyalah sebatas ilusi metafisikal dan cenderung mengarah pada gagasan imajiner saja?
Pertimbangan penulis –sebagaimana di singgung sebelumnya, ketika sesiapa sudah menentukan sikapnya, ia justru telah memproklamirkan diri sebagai eksistensi yang berbeda. Karena bagaimanapun juga muncul sebuah sikap di sana, sebagai konsekwensi logis dari proses memilih identitas. Dan saat pemilihan itu terjadi, maka saat itu juga sesiapa telah menegaskan keberpihakannya, baik itu ke kanan atau ke kiri, ke depan atau ke belakang. Ini akan sama halnya dengan kasus yang terjadi ketika dihadapkan pada beberapa identitas lain, seperti identitas fundamentalisme, liberalisme, terorisme, [K]iri, [K]anan atau lainnya. Bukankah ini bisa jadi hanya semacam stigma bahasa yang mengakar tanpa konsepsi yang jelas. Sederhananya, paradigma ini muncul hanya dari pendakuan-pendakuan semata, bahkan tanpa kejelasan siapa yang berhak menentukan bentuk konsepsinya kecuali hanya kesepakatan-kesepakatan yang terlegalkan. Tak ayal, moderatisme tak bisa semerta kita maknai secara eksistensialis nan lugu, tapi harus didudukan pada batas abstraksi yang relevan dengan konteksnya, sebuah konteks yang membatasi pemaknaannya, sebuah aktualita.
Untuk itu, sebagai langkah awal, penulis akan melakukan analisa dari pengertiannya terlebih dahulu untuk mempersempit batas abstraksinya. Moderat, dalam KBBI mengandung arti selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem. Pengertian lainnya adalah berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah pandangannya (cukup mau mempertimbangkan pandangan pihak lain). Padanannya dalam bahasa Arab berarti wasath (tengah). Dalam kamus Lisan Al-`Arab, kata ini dimaknai mâ baina tharfaih (sesuatu yang berada di antara dua hal). Sedangkan beberapa literatur tafsir klasik maupun kontemporer, seperti tafsir Ibn Katsir ataupun tafsir Al-Wasith, memaknai wasath, seperti yang tertera dalam surat Al-Baqarah: 143, dengan khiyâr (pilihan) dan `udûl (adil). Lantas jika kita tarik pemaknaannya lebih ke dalam konteks sosial, ini menjadi sebentuk paradigma yang mengedepankan kemaslahatan bersama dalam bingkai perbedaan yang harmoni.
Jika demikian pemaknaannya, moderatisme, sebagai sebuah identitas sejatinya telah tumbuh-terkembang dan mengakar di nafas tradisi bumi pertiwi. Semenjak masa nenek moyang, budaya tepo seliro, handap asor, someah, dan berbagai karakteristik prilaku bangsa Indonesia telah menjadi ‘penanda kultural’. Hal tersebut tegas terlacak dalam jejak kesadaran salah satu wadah organisasi di Nusantara, Nahdlatul Ulama (NU), dengan prinsip moderatisme sebagai salah satu gagasan pentingnya. Moderatisme ala NU seyogyanya menjelma mainstream paradigmatik yang dimunculkan melalui gerakan-gerakan kultural, yaitu dengan menghindari cara-cara kekerasan, mengupayakan harmonisasi tiap paradigma, pendekatan-pendekatan persuasif, hingga membangun dimensi solidaritas secara total. Ada semacam kecenderungan paradikmatik di sini yang me-laten dan berelasi tegas dengan gagasan toleransi, inkusifitas serta prinsip-prinsip ke-bhineka-an, lantas menjadikan pluralitas sebagai potret realitas manusia yang tidak mungkin dibantah.
Maka dalam hal ini, NU menjadi salah satu percontohan yang unik sekaligus kontekstual di Indonesia dibalik berjubelnya organisasi sosial-kemasyarakatan yang bergerak di lahan yang sama, dengan pembasisan gagasan yang sama pula, walaupun dalam bentuk yang –bisa jadi- berbeda. Terbilang unik mengingat gagasan moderatisme ala NU selalu berpijak pada akar tradisi peradaban Indonesia sebagai potret masyarakat multi-kultural, dengan tidak menafikan keberagaman tersebut. Kontekstual mengingat gagasan-gagasan yang di usung NU tidak mengenal kecenderungan kolonialistik atau semacam dorongan untuk saling mendominasi. Walaupun secara internal NU membuat koridor yang membatasi ruang gerak anggotanya, koridor ahl al-sunnah wa al-jamâ`ah, tapi keragaman yang hadir di bumi Nusantara tetap dijaga sebagai sebuah realitas manusiawi. Maka jangan heran kalau NU memainkan peranan penting dalam menjaga keutuhan NKRI. Salah satu momentumnya terjadi pada Muktamar di Situbondo tahun 1984 ketika NU menerima Pancasila sebagai asas tunggal yang final.
Hanya saja, cita-cita moderatisme ala NU atau organisasi sejenis yang memiliki sayap paradigma yang hampir sama, saat ini dihadapkan pada tantangan yang cukup serius nan pelik. Yaitu mereka yang cenderung berpikiran uthopianis. Yaitu mereka yang menginginkan ‘SATU’ seperti apa yang dipahaminya saja, ‘SATU’ yang hitam-putih. Cara-cara yang digunakannya (baik ideologi ataupun aksi) juga terkesan dogmatis, kalau perlu menggunakan kekerasan untuk meluluskan pandangannya, radikalistis. Yang lebih mengherankan, mereka menamai aksi-aksinya sebagai sesuatu yang sesuai dengan nilai-nilai kultural, kepantasan, bahkan –bila perlu- membawa-bawa agama sebagai pembenarannya. Jika demikian, maka disintegrasi NKRI hanya tinggal menunggu waktu. Dan yang pasti bagi penulis, cita-cita identitas ‘SATU’ yang hitam-putih itu lebih terdengar ungkapan emosional dari para uthopianis. Mereka membangun sebuah manifesto yang terbilang ‘tak bias realitas’, baik muncul akibat imajinasi uthopis itu sendiri, atau hanya dengan meraba-raba masa silam, lalu dihadirkanlah kepingan kesadaran nostaligik belaka, tanpa sadar bahwa kenyataan tak selamanya manis, namun acap kali pahit. Lantas?
Oke, kita katakan bahwa apa yang telah dipaparkan sebelumnya –bisa jadi- hanyalah salah satu pemaknaan moderatisme ala NU, lantas tidak semerta menutup kemungkinan dipahami secara bebeda oleh kalangan Nahdliyyin itu sendiri atau lainya. Hanya saja harus ada koridor yang membatasi moderatisme Nusantara di sini agar tidak terjadi penggelembungan. Maka harus muncul sebuah pemahaman terlebih dahulu bahwa kebenaran sosial ‘terserak’ dimana ia berkembang, dalam batas artikulasi yang pantas. Ia bukan logika hitam-putih, terlebih kalkulus. Ia harusnya jejak kesadaran yang berkesinambungan, menapaki apa yang sering disebut jejak bersama. Karena memahami ‘SATU’ pada titik yang tak bisa diabstraksi kembali, tentunya sebatas tentang apa yang ‘diimani’. Namun pada dimensi tertentu, ‘SATU’ menjadi potret ujaran tanpa batas, abstraksi tiada henti. Tak ada otoritas apapun yang mampu membelenggu artikulasinya, bukan logika, apalagi dogma. Lalu, akan terbilang arogan bilamana memaknai kesadaran manusia dengan eksakta, tanpa negosiasi, hanya sebatas dogma. Maka dalam hal ini, tradisi yang dibangun semenjak dahulu oleh nenek moyang Nusantara memainkan peranannya.
Untuk itu, moderatisme Indonesia, NU khususnya, jangan sampai tersesatkan menjadi lahan baku hantam identitas, terperangkap dalam ruang limbo. Meminjam prespektif Hasan Hanafi saat Simposium Lakpesdam lalu bahwa istilah-istilah yang profokatif, justifikatif dan cenderung menyudutkan beberapa kelompok sepantasnya dihindari, mengingat sejatinya realitas adalah sebuah sikap itu sendiri (al-wâqi` huwa al-tatharruf). Justru rongga-rongga kesadaran yang tak tuntas akibat keterjebakan manusia pada laju khayal tentang ‘SATU’ sejatinya bisa terpadatkan oleh sebuah sikap bijak yang mampu menerima kenyataan tentang keanekaragaman, bahkan –meminjam istilah Pram- sejak dalam pikiran. Karena rongga itu senantiasa siap untuk dimasuki ‘BHINEKA’, kapan saja dan tanpa pamrih. Sederhananya, jalan manusia memang –akan selalu- beda, tapi akan ada masa dimana ‘sesegala’ akan kembali di titik yang sama.