Membincang
kebenaran, terutama kaitannya dengan bagaimana nilai/klaim kebenaran (truth
claim) dipahami dalam bentuk interpretasi manusia atas—dalam hal ini—agama
(pemahaman agama), selalu tidak pernah stabil, paradoksial, enigmatik, bahkan
cenderung ‘aneh’. Upaya-upaya manusia memburu kebenaran tak terguat selalu
tertampik dengan sendirinya oleh kenyataan-kenyataan historis yang senantiasa menampik
narasi besar yang usai dan tunggal. Mengingat pada titik tertentu, nilai/klaim kebenaran
tidak pernah terlepas dari injeksi subjektif ataupun pahatan ideologis ke dalam
bangunannya. Maka, kebenaran agama yang telah mengalami persingungan dengan
interpretasi manusia telah kehilangan makna transendentalnya, atau paling tidak
tereduksi ke dalam watak yang parsial. Nilai/klaim kebenaran akan selalu
mengalami gugatan-gugatan, terutama sering dipicu oleh potongan ataupun jarak
waktu.
Tersebab adanya distansi
spatio-tempora, nilai/klaim kebenaran cenderung—katakanlah—‘melompat-lompat’
untuk menemukan satu pijakan paradigmatik di tiap penanda masa, senada dengan
upaya manusia menemukan pijakan eksistensialnya. Tak ayal, kebenaran itu ibarat
gerak melingkar, semacam putaran tanpa
tepi, atau seperti samudra tanpa pantai (shoreless ocean). Saat ia
menemukan pemaknaannya dalam ingatan kolektif suatu komunitas sosial, kebenaran
selalu mencoba melepaskan diri dari belenggu tersebut untuk menemukan pemaknaan
baru secara kontinu. Tak ayal, selalu muncul kelainan-kelainan dari pemaknaan
kebenaran yang notabene terpengaruh juga oleh konteks sosio-kultur
tumbuh-kembangnya suatu ajaran agama yang ter-institusikan oleh dogma, sejarah,
ataupun tradisi. Untuk itu, bagaimana memahami ‘agama’ beserta atribut
kebenarannya yang juga mausiawi itu, harus mengurai relasi manusia dengan Tuhan
terlebih dahulu. Paling tidak, hal ini menjadi penting untuk menghindari segala
bentuk kekerasan teologis, kekerasan atas nama agama.
Membingungkan! Sejatinya
itulah ungkapan yang—katakanlah—paling mewakili manusia ketika manusia
membincang Tuhan. Selalu saja ada makna tertunda dari setiap perbincangan
teologis, tak utuh, dan tidak pernah menemukan totalitasnya. Menarik apa yang
dikatakan Ibn ‘Arabi:
من قال يعلم أن الله خالقه ولم يحر كان برهانا بأن جهلا
‘Siapa saja yang
mendaku bahwa Allah-lah yang menciptakan dirinya tanpa sedikitpun mengalami
kebingungan, itulah bukti kedunguannya.
Ataupun ungkapan
Ian Almond:
To confuse,
etymologically, is to make things flow together. To remove the boundaries/borders/distinctions which
separate things into
categories..,
Dari apa yang penulis
pahami atas ungkapan tersebut bahwa kebingungan merupakan ‘pra-kondisi’ manusia
memahami relasinya dengan Tuhan. Dalam hal ini, kebingungan manusia akan
menghantarkannya pada suatu perspektif bahwa pada titik tertentu, sesegala mengalir
bersama-sama, tanpa ada batas pemisah ataupun belenggu yang dibentuk oleh usaha
manusia untuk merasionalkan citra Tuhan. Kebingungan manusialah yang justru
menghapus batas-batas yang memisahkan hal-hal ke dalam beberapa kategori yang
bersifat dimensional itu (lack of integrity), atau dalam ungkapan
lain menolak segala bentuk klaim manusia atas-Nya. Kebingungan atas Tuhan-nya
ini telah menggiring manusia pada sesegala yang tak pernah bisa terpahami,
kemisteriusan tanpa pelambang.
Relasi manusia
dengan Tuhan merupakan sesuatu yang misterius, dan akan tetap dalam selubung kemisteriusannya.
Meminjam ungkapan Derrida, ‘The relation with the Other is a relation with a
'Mystery'. Tak ayal, relasi tersebut harus termaknai sebagai ‘momen etis’,
bukan relasi inter-subjektivitas. Adanya relasi misterius semacam itu tentu
menuntut suatu pemaknaan yang berbeda terkait hakikat kebenaran serta nilai
historisitas dan manusiawi yang turut menginjeksinya. Kebenaran harus juga
dipahami dalam bentuk negativitasnya.
Negativitas di
sini tidak dipahami dalam kerangka tidak adanya suatu kebenaran yang bersifat
transenden. Negativitas tidak dimaknai sebagai totalitas ketiadaan ataupun
penolakan atas metafisika kebenaran. Namun lebih pada tertundanya totalitas
kebenaran. Artinya, selalu ada yang tak ter-ujar-kan, atau semacam
ke-tidak-mungkin-an untuk membicarakan kebenaran secara utuh, menemukan
totalitasnya.
Hal ini menjadi
penting untuk—sebagaimana disinggung sebelumnya—menghindari klaim sekarian
ataupun kekerasan teologis atas kehadiran liyan. Dalam ungkapan lain, negativitas
muncul sebagai penghormatan terhadap ‘yang lain’, atas ‘kelainan’. Negativitas
telah menunda makna kebenaran secara utuh, menjadi hanya tertangkap dalam
eksterioritasnya yang historis dan manusiawi, bukan dalam bentuk klaim.
Memijak pada
perspektif negativitas semacam ini, manusia justru akan memijak pada
keawamannya ketika mendengarkan yang ‘liyan’, ataupun saat ‘liyan’
memperdengarkan dirinya. Dalam ungkapan lain, bagaimana (ber)agama secara ‘awam’.
Pada titik inilah, agama akan menemukan momentumnya sebagai rahmat bagi alam
semesta, bagi manusia dan kemanusiaan.
#igauan